Jumat, 28 Mei 2021

Abu Amr ad-Dani; Salah Satu Syaikhani dalam Ilmu Rasm

 




Dalam ilmu penulisan Al-Qur'an dikenal sebuah cabang ilmu yaitu ilmu rasm. Dalam ilmu rasm, dikenal 2 tokoh ulama yang disebut Syaikhani atau 2 syeikh. Kedua orang itu adalah Abu ‘Amr ad-Dani yang telah menulis buku berjudul Al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar, dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah yang telah menulis buku Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil.

Rasm adalah tatacara penulisan, atau disebut juga pola tulis kalimat. Secara umum, dalam penulisan huruf Arab ada tiga jenis rasm, yaitu:

1. Rasm qiyasi/imlai, pola penulisan sesuai dengan cara pengucapannya.

2. Rasm Utsmani, pola penulisan sesuai dengan cara penulisan yang ditetapkan shahabat Usman bin Affan RA.

3. Rasm Arudi, pola penulisan sesuai dengan wazan dalam syair-syair Arab.

Dalam penulisan mushaf Al-Quran, hanya dipakai dua rasm, yaitu Rasm Qiyasi dan Rasm Utsmani. Yang paling populer hingga saat ini adalah mushaf Al-Quran yang ditulis menggunakan Rasm Utsmani.

Meski selain dua nama di atas, terdapat imam-imam rasm lain yang juga sering dijadikan rujukan. Seperti al-Balansi (w. 564 H) dalam kitabnya al-Munsif, asy-Syatibi (w. 590 H) dalam karyanya Al-Aqilat Al-Atraf, As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Wasilah ila Kasyf al-‘Aqilah, dan lain-lain.

Mereka memberikan tambahan terhadap hal-hal yang tidak dibahas oleh Syaikhani di atas. Bahkan terkadang juga memberikan koreksi terhadap pandangan keduanya. Sayangnya, nama-nama para imam selain Syaikhani tersebut kurang popular di masyarakat. Atau bahkan di masyarakat, nama Syaikhan dalam ilmu rasm juga tak begitu terkenal.

Bahkan muncul pemahaman di kalangan masyarakat bahwa mushaf rasm Utsmani itu satu macam, yang diterbitkan oleh, misalnya, penerbit mushaf Madinah saja. Selain terbitan Madinah, dianggap bukan rasm Utsmani.

Padahal, dalam mushaf cetakan Madinah pun terdapat pembaruan dan penyesuaian yang didasarkan pada pendapat imam-imam rasm selain As-Syaikhani. Misalnya halaman akhir Mushaf Madinah (Ta’rif bi-hadza al-Mushaf) terbitan Mujamma’ al-Malik Fahd tahun 1407 H/1986 M, terdapat keterangan:

“Pola penulisan rasm pada mushaf ini adalah sesuai dengan  riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani).”

Namun setelah diteliti ulang, ternyata tidak sepenuhnya penulisan mushaf tersebut konsisten pada Madzhab Abu Dawud. Karenanya, pada cetakan tahun 1426 H/2004 M, redaksi pada halaman Ta’rif bi-hadza al-Mushaf ditambah keterangan:

“Pola penulisan rasm pada mushaf ini adalah sesuai dengan  riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani) pada umumnya, dan terkadang dirujuk dari ulama selain keduanya.”

Dengan redaksi di atas, Mushaf Madinah tidak membatasi acuannya hanya pendapat Asy-Syakhani saja, namun menampung juga pendapat dari luar keduanya, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa versi Rasm Usmani.

Apakah Mushaf terbitan Indonesia berbeda dengan terbitan Arab Saudi? Apakah juga memakai rasm utsmani?

Mushaf Indonesia tidak berafiliasi secara tegas kepada salah satu mazhab rasm, namun kalau dilihat secara lebih rinci lebih banyak mengadopsi pandangan Abu ‘Amr Ad-Dani. Ini bisa dilihat dalam isbat (penetapan) Alif dalam banyak penulisan kata.

Dengan demikian, anggapan bahwa rasm usmani hanya satu macam adalah anggapan yang kurang pas dan cenderung keliru. Mushaf Standar Indonesia juga menggunakan Rasm Usmani, seperti halnya Mushaf Madinah, dan Mushaf Jamahiriyyah Libya.

Maka mushaf Rasm Utsmani itu bukan hanya mushaf yang hari ini dicetak oleh Pemerintah Arab Saudi (mushaf Madinah) saja. Mushaf versi Indonesia yang ditashih oleh Kemenag RI juga menggunakan Rasm Utsmani.

Meski sama-sama menggunakan Rasm Utsmani, terdapat perbedaan di antara keduanya karena memang dalam Rasm Utsmani itu sendiri terdapat beberapa pendapat tentang penulisan lafal-lafal tertentu. Bukan hanya pendapat tunggal.

a. Nasab Abu Amr ad-Dani

Abu ‘Amr ad-Dani nama lengkapnya adalah Usman Bin Said Bin Usman Bin Amr Abu Amr ad-Dani[1]. Sebutan ad-Dani yang melekat pada dirinya merupakan nisbat kepada tanah kelahirannya, yaitu sebuah kota kecil di Andalusia (Spanyol bagian selatan) bernama al-Danniyyah, dibawah kekhalifahan Daulah Umayyah di Cordoba saat itu atau sekitar tahun (371-444 H/ 981-1053 M). Jika melihat tahunnya, maka ad-Dani hidup sekitar Daulah Umayyah dari Hisyam II Sampai Hisyam III.

Selain terkenal dengan sebutan ad-Dani, menurut al-Dzahabi, beliau juga lebih dikenal pada masa itu dengan sebutan Ibn al-Shairafi, sedangkan pada masa sekarang lebih masyhur sebagai al-Dani. Namanya selalu dikait-kaitkan dengan ilmu qiro’at sebagaimana ikatan antara Imam Syibawaih dengan ilmu nahwu, serta ikatan antara Imam Bukhari dengan ilmu hadits.[2]

Ibnu al-Jazary dalam Thabaqah al-Qurra’-nya menjelaskan bahwasannya al-Dani termasuk seorang yang terkemuka dan menjadi rujukan para qari dan perawi qiraat. Dikisahkan dari gurunya al-Hafizh ‘Abdullah Muhammad ibn Khalil bahwa kesaksian sebagian ahli qiraat pada masa itu, tidak dijumpai seorang yang melebihi al-Dani dalam hal hafalannya serta kedalaman penguasaannya terhadap ilmu qiraah.

Imam Ad-Dani hidup dalam Masa abad 4-5 Hijriyah (seperempat akhir masa waktu abad ke empat dan masuk abad ke-5), dimana saat itu masa bergejolaknya politik islam dari barat sampai timur Arab. Pada masa itu dari sisi keilmuan merupakan masa keemasan perkembangan ilmu pengetahuan (Masa Daulah Ummayah).

Perjalanan keilmuannya dimulai pada tahun 386 H, dan menjelajah ke daerah timur atau semenanjung arab dan sekitarnya pada tahun 397 H. hingga memutuskan untuk tinggal di Mesir selama satu tahun. Pada tahun 399 H, beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah. Selama rentang waktu beberapa tahun berada di daerah timur, beliau maksimalkan dengan berguru dan mengambil sanad keilmuan kepada para ulama.

Al-Dani pun kembali ke Andalus pasca menunaikan ibadah haji. Beliau tercatat tinggal selama kurun waktu 45 tahun di Andalus dan menjadi imam qiraah disana. Al-Dani wafat pada hari Senin pertengahan bulan Syawwal tahun 444 H. dan dikebumikan di Daniyah[3]. Lautan manusia tampak tatkala proses dikebumikannya al-Dani, menggambarkan betapa kehilangan seorang ulama besar. Secara fiqih beliau bermazhab Malikiyyah, sebagaimana kebanyakan ulama dari Andalusia saat itu[4].

b. Sanad Keilmuan Al-Dani

Di dalam kitabnya al-Arjuzah al-Munabbahah, al-Dani memaparkan bahwa ia telah mengambil beragam cabang keilmuan islam dari beberapa guru. Bahkan disebutkan jumlah guru yang telah ia ambil ibroh nya tidak kurang dari 70 orang ahli, pada riwayat lain disebut juga berjumlah 90 orang.[5]

Diantara guru Abu Amr ad-Dani yang paling masyhur di kalangan masyarakat Andalusia adalah Abu Marwan ‘Ubaidillah ibn Salamah dan Muhammad Yusuf al-Qurthubi atau yang dikenal sebagai al-Najjad (w. 386 H), al-Najjad merupakan paman dari al-Dani. Dari keduanya itu al-Dani mengambil sanad riwayat Nafi’, dan dari Ibn Salamah ia mengambil riwayat Ibn ‘Amir, namun kedua gurunya tersebut tidak termaktub dalam al-Arjuzah nya. Sedangkan, guru tertua beliau adalah Abu Muslim Muhammad bin Ahmad al-Katib (w. 403 H)[6].

Diantara sekian banyak ulama ahli qiraat lain yang menjadi guru dari al-Dani ialah:[7]

  1. Abu al-Fath Faris ibn Ahmad al-Dlarir
  2. Abu al-Qasim Abd al-Aziz ibn Ja’far al-Farisy (w. 413)
  3. Abu Muslim Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Ali al-Katib (w. 403)
  4. Khalaf ibn Ibrahim ibn Ja’far al-Khaqani al-Masry (w. 402)
  5. Abu al-Hasan Thahir ibn Ghalbut (w. 399)
  6. Abu Muhammad Abdullah al-Mashahifi
  7. Ahmad ibn ‘Umar al-Qhadli al-Jiziy
  8. Abu Muhammad Abd al-Rahman ibn ‘Umar al-Mu’dil
  9. Muhammad ibn Abd al-Wahid al-Baghdadi
  10. Muhammad ibn Abu ‘Amr al-Baghandi

c. Murid-Murid Abu Amr ad-Dani

Selain banyaknya guru yang menjadi sumber keilmuan beliau, banyak pula tokoh-tokoh islam terkemuka yang lahir dari majelis ilmu pimpinan beliau. Oleh karenanya, Abu ‘Amr al-Dani disebut juga sebagai ka’bahnya para santri, dan juga imamnya para imam pada masa itu.

Jika menilik pada keluasan ilmunya, para ulama menjadikan al-Dani sebagi sumber rujukan apabila menemukan perbedaan. Dari sekian banyak muridnya yang terkenal adalah Abu Sulaiman ibn Najah yang telah mengarang sebuah buku dalam cabang ilmu rasm ‘Utsmani dengan judul al-Tanzil fi al-Rasm. Abu Sulaiman ibn Najah mempunyai seorang murid bernama ‘Ali ibn Hudzail yang darinya belajar seseorang yang nantinya menjadi ahli qiraat terkemuka pula, ia adalah al-Qasim al-Syathibi.

Murid-murid al-Dani lainnya yang tidak kalah terkenal antara lain, ibnu al-Bayyaz dan Ahmad Abd al-Malik ibn Abi Hamzah yang mana merupakan sosok terakhir perawi kitab al-Taisir sebelum al-Dani wafat. Tercatat pula tokoh lain yang sempat menimba ilmu kepada al-Dani diantaranya, Khalaf ibn Ibrahim al-Thalithi, Abdullah ibn Sahal al-Anshari, al-‘Ash ibn Khalaf Abu Bakar al-Isybili pengarang kitab al-Tadzkirah wa al-Tahdzib, Muhammad ibn ‘Isa ibn al-Farg al-Maghami, juga Muhammad ibn Ibrahim ibn Ilyas yang lebih dikenal dengan ibn Syu’aib.

d. Karya-Karya Abu Amr ad-Dani

ad-Dzahabi (w. 748 H) menyebutkan banyak kitab yang telah ditulis oleh Abu Amr ad-Dani; kitab itu antara lain[8]:

  1. Jami’ al-Bayan fi as-Sab’i
  2. at-Taisir
  3. al-Iqtishad fi as-Sab’i
  4. Ijaz al-Bayan fi Qiraat Warasy
  5. At-Talkhish
  6. Al-Muqni’ fi ar-Rasm
  7. Al-Muhtawa fi Qira’at as-Syawadz
  8. Thabaqat al-Qurra’
  9. Al-Arjuzah fi Ushul ad-Diyanah
  10. Al-Waqf wa al-Ibtida’
  11. Al-‘Adad
  12. At-Tamhid fi Harf an-Nafi’
  13. Al-Lamat wa ar-Ra’at
  14. Al-Fitan al-Kainah
  15. Al-Hamzatain
  16. Al-Ya’at
  17. Al-Imalah dan masih banyak lagi

 


[1] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', (Baerut: Muasisah ar-Risalah, 1982 M), juz 18, hal 77

[2] Syamsuddin Abi al-Khair Muhammad ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ali ibnu al-Jazary al-Dimasyqi al-Syafii, 2006. Ghayatun Nihayah fi Thabaqaatil Qurra’. h. 447

[3] Abdul Fattah bin Sayyid Ajmi al-Mishri (w. 1409 H), Hidayat al-Qari ila Tajwid Kalam al-Bari, (Madinah: Maktabah Thaibah, t.t), juz 2, hal. 672

[4] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', juz 18, hal 78

[5] Abu ‘Amar ‘Utsman ibn Sa’id ibn ‘Utsman ibn Sa’id al-Dani al-Andalusi. Al-Arjuzah al-Munabbahah ‘ala Asmai al-Qurra’ wa al-Ruwaat (Riyadh: Daar al-Mughni), hal. 19

[6] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', juz 18, hal 78

[7] Muhammad Mukhtar, Tarikh al-Qira’at fi al-Masyriq wa al-Maghrib, (Rabat: Isesco Iznan, 2001), h. 121

[8] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', juz 18, hal 81

 

Rabu, 19 Mei 2021

Perbedaan Jual Beli Salam dan Istishna

Perbedaan Jual Beli Salam dan Istishna

Kerap orang tidak bisa membedakan apakah transaksi yang dia lakukan adalah jual beli salam atau istishna.  Padahal ada beberapa perbedaan mendasar dari keduanya. Sebelum membahas perbedaan dari keduanya, perlu  diketahui dulu  defenisi masing-masing akad ini.

Akad salam menurut definisi para fuqaha adalah jual beli barang tidak tunai dengan pembayaran tunai. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan maksud dari salam adalah jual beli suatu barang secara tangguh, hanya sifat-sifatnya saja yang disebutkan ketika akad.  Penyerahan barangnya diwaktu yang akan datang, namun pembayarannya wajib dilakukan dipendahuluan akad secara keseluruhan dan tunai.[1]

Adapun Istishna menurut jumhur dari segi definisi sama dengan salam, hanya saja Hanafiyah lebih spesisifik dan membedakannya dari salam. Menurut Hanafiyah akad istishna merupakan suatu akad terhadap seorang pembuat atau pengrajin untuk mengerjakan atau membuat suatu barang tertentu yang ditangguhkan. [2]

Ketua komisi fatwa DSN Hasanuddin menyebutkan, “Dalam akad salam, barangnya mitsli (mesti sudah ada sebelumnya atau ada contoh sebelumnya. Sedangkan dalam akad istishna’ barang bersifat qiimi (barang masih berbentuk gambaran, belum ada wujudnya) sehingga perlu dibuat terlebih dahulu sebelum diserahkan ke pemesan atau pembeli.” Sebagai contoh, barang yang sering disebutkan untuk akad istisha ini adalah pembuatan baju. Seseorang datang kepada desainer atau perancang busana atau tukang jahit minta dibuatkan baju. Maka akad yang cocok untuk transaksi ini adalah akad istishna.

Kemudian setelah diketahui definisi dari keduanya, apa perbedaan sebenarnya dari kedua akad di atas? Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah menyebutkan ada sisi persamaan dan perbedaan dari kedua akad di atas sebagai berikut: [3]

  1. Persamaan
  1. Penerimaan Barang

Dimana dalam kedua akad ini, barang yang menjadi objek akad tidak ada di majlis akad.

  1. Hukum

Kedua akad status hukumnya sama-sama halal, diperbolehkan, tidak terlarang. Karena sama-sama menjadi hajat atau keperluan orang banyak. Dan orang-orang terbiasa bermuamalah seperti yang demikian.

  1. Perbedaan
  1. Barang

Kalau dalam akad salam, barang tidak perlu dibuat atau mengalami proses pengolahan sebelum diserahkan.

Sedangkan akad istishna adalah akad untuk suatu barang pesanan, dimana barang perlu proses pembuatan pengolahan sebelum diserahkan.

  1. Akad salam merupakan akad lazim atau mengikat. Artinya akad ini tidak boleh serta merta dibatalkan oleh salah satu pihak. Sedangkan akad istishna tidak lazim menurut riwayat yang paling kuat. Kecuali kalau barang sudah dibuat barulah dia mengikat menurut Abu Yusuf. Tapi kalau selepas akad tiba-tiba salah satu pihak berubah pikiran dan membatalkan akad, maka akad menjadi batal.
  2. Dan perbedaan mendasar dari kedua akad ini juga ialah dari segi penyerahan uangnya. Dimana disyaratkan dalam akad salam, uang wajib diserahkan terimakan secara tunai semuanya di majlis akad. Sedangkan dalam akad istishna’ tidak disyaratkan harus demikian. Boleh diserahkan secara tunai semuanya di awal, atau dicicil atau dihutang dan dilunasi diakhir akad.

Syafi’i Antonio memberikan gambaran perbedaan kedua akad ini sebagai berikut:

Perbandingan Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna[4]

SUBJEK

SALAM

ISTISHNA

ATURAN DAN      KETERANGAN

Barang

Muslam Fiihi

Mashnu’

Barang ditangguhkan dengan spesifikasi.

Harga

Di bayar saat

Kontrak

Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari

Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.

Sifat Kontrak

Mengikat secara asli (thabi’i)

Mengikat secara ikutan (taba’i)

Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.

 

والله تعالى أعلم

 

 

 


[1] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, jilid.1, hal.295

[2] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, jilid.1, hal.295

[3] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, jilid.1, hal.296

[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Jakarta, Gema Insani, 201, hal. 116

 

Multi Akad, Benarkah Halal?


Dalam bertransaksi melakukan akad, akad apapun itu, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan, diantaranya adalah tidak melakukan multi akad dalam satu transaksi, karena nabi SAW secara tegas melarang hal ini, sebagaaimana sabdanya:


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Rasulullah SAW melarang terjadinya dua akad dalam satu transaksi. (HR.Ahmad)


Contoh dua akad ini seperti seseorang melakukan akad sewa dan jual beli rumah secara bersamaan. jual beli kredit dan jual beli tunai.


Menurut penafsiran ulama yang paling masyhur tentang hadis di atas adalah jual beli inah, dimana seseorang yang membutuhkan dana, ingin meminjam uang kepada kreditur. Karena dalam Islam dilarang melakukan pinjaman berbunga, namun sang debitur pelaku bisnis,  tidak mau uangnya diam tidak berkembang dengan dipinjamkan begitu saja.  Maka dibuatlah rekayasa akad. Dengan melakukan akad ganda yaitu akad kredit dan akad jual beli tunai secara bersamaan. Agar terpenuhi keinginan kedua belah pihak.


Contoh kasus, Dul datang meminta pinjaman kepada Acep sebesar Rp. 10.000.000,00. Namun Acep tidak mau memberi pinjaman begitu saja, melainkan menawarkan kepada Dul untuk membeli laptopnya secara kredit selama 1 tahun. Kemudian laptop akan dibeli acep kembali dari dul secara tunai seharga Rp.10.000.000,00. dengan demikian Dul akan mendapatkan uang Rp.10.000.000,00 dari hasil penjualan laptopnya kepada Acep. Bukan dari hasil pinjaman. Jual beli seperti ini disebut dalam istilah fiqih jual beli inah, rekayasa dari pinjaman berbunga, dengan melakukan akad jual beli ganda dalam satu transaksi.


Pada dasarnya akad jual beli keduanya sah, karena rukun jual beli terpenuhi. Ada barang, ada harga dan pihak yang berakad. Namun ini diharamkan karena melakukan dua akad jual beli sekaligus terhadap barang yang sama, laptop. Dan jual beli laptop hanya sebagai alat rekayasa. Karena dari awal Dul tidak punya kepentingan atau butuh laptop, tapi yang Dul inginkan adalah pinjaman uang. Bukti bahwa ini tetap disebut pinjaman berbunga yang direkayasa, Dul punya hutang kepada Acep Rp.10.000.000,00 dan harus dibayarkan untuk waktu satu tahun sebesar Rp. 12.000.000,00.


 Tapi berbeda halya ketika suatu akad dan waad dilakukan secara bersamaan. Karena waad bukan akad, Ketika dilakukan bersamaan tetap subtansinya hanya terjadi satu akad. Tidak terjadi akad ganda.


Akad merupakan suatu ikatan atau perjanjian/kontrak antara para pihak yang berakad, dengan terjadinya ijab dan qabul oleh para pihak.[1]  Sedangkan waad hanya merupakan promise/janji melakukan akad. Sebuah janji akan melakukan tidaklah bisa dikatakan sama dengan terjadi akad.


Perbedaan mendasar kedua istilah tersebut adalah


1. Akad sifatnya merupakan suatu perjanjian/kontrak, sedangkan waad merupakan janji melakukan kontrak.


2. Waad terjadi sebelum terjadinya akad. Janji beli ini bisa dilakukan dengan sebatas ucapan, atau ditandai dengan penyerahan uang muka sebagai jaminan.


3. Konsekuensi waad mengharuskankan pihak yang berjanji saja menunaikan janjinya. Sedangkan akad mewajibkan semua pihak melaksanakan apa yang telah dibuat dalam perjanjian/kontrak. Ketika terjadi kontrak sewa wajib bagi pemilik rumah menyerahkan rumah, dan wajib bagi penyewa membayar sewa rumah. 


4. Akad mengikat kedua pihak. Sehingga akad tidak bisa dibatalkan begitu saja oleh sepihak,  selama tidak ada menyalahi persyaratan, kecuali dengan kesepakatan keduanya. Kalau tidak ada kesepakatan boleh membatalkan akad dengan ketentuan-ketentuan tertentu, akad harus dilanjutkan hingga selesai. Sebagaimana Firman Allah :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad.(QS.Al-Maidah: 1)


 


Dalam ayat diatas Allah memerintahkan untuk orang-orang yang beriman yang melakukan akad untuk menuntaskan akad yang telah mereka buat.


Sedangkan waad hanya mengikat satu pihak. Pihak yang berjanji saja. Seperti seseorang yang berjanji akan menghibahkan rumahnya. Janji ini tidak memperkenankan untuk orang yang dijanjikan menuntut hak rumah. Karena belum terjadi akad hibah sebenarnya. Dan rumah masih menjadi milik pihak yang berjanji. Sehingga kalau dia membatalkan janji dan niatnya menghibahkan rumah. Janji tersebut batal begitu saja. Tidak perlu dilanjutkan.


Namun berbeda dengan telah terjadinya akad hibah, rumah serta merta berpindah kepemilikan kepada orang yang dihibahkan. Sehingga memungkinkan dia menuntut hak atas rumah yang telah dihibahkan.Kalau sewaktu-waktu pemilik rumah membatalkan hibahnya, meminta rumah dikembalikan, ini sudah tidak diperkenankan.


Dengan demikian akad sewa dengan janji pemindahan kepemilkan untuk suatu barang setelah masa sewa berakhir, atau lebih dikenal dengan istilah akad ijarah muntahiyah bit tamlik (IMBT) sah dilakukan. Ini yang biasa dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah. Mengingat akad yang terjadi adalah akad sewa yang didalamnya ada janji perpindahan kepemilkan sewaktu-waktu oleh pemilik rumah. Akad yang harus dipenuhi dan diselesaikan sampai waktu sewa berakhir hanya akad sewa. Sedangkan janji pemindahan kepemilikan ini merupakan waad, dan waad ini ditepati atau tidaknya tergantung keinginan atau kebijakan dari pemilik rumah setelah selesai masa sewa. Jika akad sewa telah selesai, pemilik rumah ingin memenuhi janji menyerahkan rumah, barulah dibuat akad baru yaitu akad hibah. Proses ini tidak menunjukkan terjadinya akad ganda. Tapi bertahap setelah selesai suatu akad, baru dibuat akad baru.


والله تعالى أعلم

 


 


[1] Muhammad Amim Al-Ihsan, At-Ta’rifat Al-Fiqhiyah,( Pakistan, Darel Kutub Al-Ilmiyah, 1424H/2003M ), hal 149

Berjamaah Di Madjis Atau Di Rumah, Samakah Fadhilahnya


Disebutkan dalam hadits Shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat di rumah 25-27 tingkatan, sebagaimana riyawat Abu Hurairah:


عن أَبَي هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ. ((صحيح البخاري، 1/ 131)، صحيح مسلم، 1/ 459).


Dari Abu Hurairah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat seorang laki-laki dengan berjama'ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama'ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo'akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, 'Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia'. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti palaksanaan shalat."


Lantas bagaimana dengan hari ini? Dimana sebagian masjid meliburkan shalat berjamaah?


Pertama, hadits diatas untuk shalat berjamaah di masa aman dan tanpa ada udzur syar'i. Ketika kita masih punya pilihan antara hadir berjamaah ke masjid atau shalat sendiri di rumah.


Tapi jika ada udzur syar'i, baik udzur yang bersifat personal atau udzur bersama, maka insyaallah transferan pahala berjamaah tetap akan didapat, meski sedang Shalat from Home. Syaratnya kita biasa berjamaah di masjid. Sebagaimana hadits dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا. (صحيح البخاري، 4/ 57)


“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari)


Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) mengatakan,


وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا


“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath Al-Bari, juz 6, hal. 136).


Orang yang hadir ke masjid dan telat tak mendapatkan shalat berjamaah saja, masih mendapatkan transferan pahala berjamaah full, tanpa dikurangi dari pahalanya orang yang berjamaah. Sebagaimana hadits:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا». (رواه أحمد وأبو داود والنسائي).


 “Barang siapa yang berwudhu dengan sempurna kemudian dia pergi ke masjid, ternyata shalat jama’ah telah selesai, maka Allah akan berikan padanya pahala seperti orang yang mengikuti shalat jamaah itu dan menghadirinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai).


Jadi, Semoga kita semua meski shalatnya di rumah karena biasanya shalat berjamaah di masjid, akan tetap mendapatkan pahala shalat berjamaah di masjid seperti biasanya. Masalahnya satu, Kita tergolong orang yang dianggap rajin dan pantas mendapatkan transferan pahala jamaah meski tak hadir atau tidak.


Kedua, Para ulama menjelaskan shalat berjamaah lebih utama dengan shalat di rumah dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim diatas, itu ketika shalatnya di rumah dilakukan sendiri tanpa berjamaah.


Imam an-Nawawi (w. 676 H) ketika menjelaskan hadits tersebut menyebutkan:


قال النووي: قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً الْمُرَادُ صَلَاتُهُ فِي بَيْتِهِ وَسُوقِهِ مُنْفَرِدًا هَذَا هُوَ الصَّوَابُ. وَقِيلَ فِيهِ غَيْرُ هَذَا، وَهُوَ قَوْلٌ بَاطِلٌ نَبَّهْتُ عَلَيْهِ لِئَلَّا يُغْتَرَّ بِهِ. (شرح النووي على مسلم، 5/ 165)


Iman an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan: Sabda Nabi, "Shalatnya seorang laki-laki dengan berjamaah itu lebih utama 20an lebih dengan shalatnya di rumah atau di pasarnya" itu maksudnya jika shalatnya di rumah atau di pasar dilakukan dengan sendiri tanpa berjamaah. Ini adalah yang benar. Adapun yang menyebut tidak seperti ini, itu adalah pendapat yang batil. Saya ingatkan agar tidak keliru. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), Syarah Shahih Muslim).


Maka dalam keadaan aman tanpa ada udzur, Imam an-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan:


إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ فِي بَيْتِهِ بِرَفِيقِهِ، أَوْ زَوْجَتِهِ، أَوْ وَلَدِهِ، حَازَ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ، لَكِنَّهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَلُ. وَحَيْثُ كَانَ الْجَمْعُ مِنَ الْمَسَاجِدِ أَكْثَرَ فَهُوَ أَفْضَل. (النووي، روضة الطالبين وعمدة المفتين، 1/ 341)


Ketika seorang laki-laki shalat di rumah bersama temannya, atau istrinya, atau anaknya maka dia tetap memperolah fadhilah jamaah. Tetapi jika dilakukan di masjid maka itu lebih utama. Dimana jamaah lebih banyak itu lebih utama. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), Raudhat at-Thalibin, juz 1, hal. 341).


Lantas, berapa kali lipat lebih baiknya daripada shalat sendiri? Wallahua'lam. Masalah pahala memang manusia tak ada yang tahu. Kita tak bisa mengecek saldo pahala dan dosa kita sebagaimana cek saldo tabungan di rekening.


Ketiga, meski shalat fardhu saat ini dilakukan di rumah, maka jika dilakukan secara berjamaah itu lebih baik daripada sendiri-sendiri. Dengan siapa? Dengan anggota keluarga dan orang serumah pastinya.


Sebagaimana hadits Nabi dari Ubay bin Ka'ab:


... وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ، وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ، وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى. (سنن أبي داود، 1/ 152)


Sesungguhnya shalat seseorang yang berjamaah dengan satu orang, adalah lebih baik daripada shalat sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang jamaah, adalah lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah. Semakin banyak jama'ahnya, maka semakin dicintai oleh Allah Ta'ala." (HR. Abu Daud).


Keempat, Kita itu kadang unik. Dulu waktu sekolah, kangen ingin libur. Ketika libur, kangen ingin sekolah. Ketika kerja, kangen tanggal merah. Beneran sekarang, semua tanggal warnanya merah tanpa tahu kapan hitam lagi malah tambah bingung.


Ketika masa aman, Kita males ke masjid. Ketika jamaah masjidnya libur, kangen masjid, bahkan setengah ngeyel ingin ke masjid. Kita? Saya doang kali ya!


Maka, mari sama-sama berdoa kepada Allah subhanahu wa ta'ala semoga wabah ini segera diangkat oleh Allah, Allah limpahkan kesabaran dan kebaikan kepada Kita. Sehingga dari ujian ini, Kita keluar sebagai orang-orang yang paling baik amalnya. Semua bisa kembali merasa aman dan nyaman dalam beribadah, berjamaah, ngaji, termasuk juga mencari rezeki halal. Amin

Minggu, 16 Mei 2021

Berlakulah Adillah Jika Hendak Hibah kepada Anak


Ada satu hal yang penting diperhatikan dalam bab hibah kepada anak. Nabi ﷺ mengharuskan adil dalam hibah kepada anak.


1. Hadits Adil dalam Hibah


Sebagaimana dalam hadits yang cukup panjang dari Nu'man bin Basyir:


 عَنْ النُّعْمَانِ قَالَ: سَأَلَتْ أُمِّي أَبِي بَعْضَ الْمَوْهِبَةِ فَوَهَبَهَا لِي، فَقَالَتْ: لاَ أَرْضَى حَتَّى أُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَخَذَ أَبِي بِيَدِي وَأَنَا غُلاَمٌ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمَّ هَذَا ابْنَةَ رَوَاحَةَ طَلَبَتْ مِنِّي بَعْضَ الْمَوْهِبَةِ، وَقَدْ أَعْجَبَهَا أَنْ أُشْهِدَكَ عَلَى ذَلِكَ، قَالَ: يَا بَشِيرُ، أَلَكَ ابْنٌ غَيْرُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَوَهَبْتَ لَهُ مِثْلَ مَا وَهَبْتَ لِهَذَا؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَلاَ تُشْهِدْنِي إِذًا، فَإِنِّي لاَ أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ


Dari an-Nu’man (bin Basyir), beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Ibu saya meminta hibah kepada ayah, lalu memberikannya kepada saya. Ibu berkata, ‘Saya tidak rela sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi saksi atas hibah ini.’ Maka ayah membawa saya –saat saya masih kecil- kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, ibunda anak ini, ‘Amrah binti Rawahah memintakan hibah untuk si anak dan ingin engkau menjadi saksi atas hibah.’ Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Basyir, apakah engkau punya anak selain dia?’ ‘Ya.’, jawab ayah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Engkau juga memberikan hibah yang sama kepada anak yang lain?’ Ayah menjawab tidak. Maka Rasûlullâh berkata, ‘Kalau begitu, jangan jadikan saya sebagai saksi, karena saya tidak bersaksi atas kezhaliman.’ ” (HR. al-Bukhâri)


Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi:


عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا؟» فَقَالَ: لَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَارْجِعْهُ» (صحيح مسلم، 3/ 1241)


Dari Nu'man bin Basyir dia berkata, Suatu ketika ayahnya membawa dia menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil berkata, Sesungguhnya saya telah memberi anakku ini seorang budak milikku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: Apakah setiap anakmu kamu beri seorang budak seperti dia? Ayahku menjawab, Tidak. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Kalau begitu, ambillah kembali. (HR. Muslim).


Dalam redaksi lain disebutkan:


عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ، فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «اتَّقُوا اللهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ»، فَرَجَعَ أَبِي، فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ (صحيح مسلم، 3/ 1242)


Dari An Nu'man bin Basyir dia berkata, Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas Ummu 'Amrah binti Rawahah berkata, Saya tidak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai saksinya. Setelah itu saya bersama ayahku pergi menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk memberitahukan pemberian ayahku kepadaku, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: Apakah kamu berbuat demikian kepada anak-anakmu? dia menjawab, Tidak. Beliau bersabda: Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu. Kemudian ayahku pulang dan meminta kembali pemberiannya itu. (HR. Muslim).


Dalam redaksi lain disebutkan:


عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: انْطَلَقَ بِي أَبِي يَحْمِلُنِي إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، اشْهَدْ أَنِّي قَدْ نَحَلْتُ النُّعْمَانَ كَذَا وَكَذَا مِنْ مَالِي، فَقَالَ: «أَكُلَّ بَنِيكَ قَدْ نَحَلْتَ مِثْلَ مَا نَحَلْتَ النُّعْمَانَ؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي»، ثُمَّ قَالَ: «أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ فِي الْبِرِّ سَوَاءً؟» قَالَ: بَلَى، قَالَ: «فَلَا إِذًا» )صحيح مسلم، 3/ 1243)


Dari An-Nu'man bin Basyir dia berkata, Ayahku pernah membawaku menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ayahku lalu berkata, Wahai Rasulullah, saksikanlah bahwa saya telah memberikan ini dan ini dari hartaku kepada Nu'man. Beliau bertanya: Apakah semua anak-anakmu telah kamu beri sebagaimana pemberianmu kepada Nu'man? Ayahku menjawab, Tidak. Beliau bersabda: Mintalah saksi kepada orang lain selainku. Beliau melanjutkan sabdanya: Apakah kamu tidak ingin mereka berbakti kepadamu dengan kadar yang sama? ayahku menjawab, Tentu. Beliau bersabda: Jika begitu, janganlah lakukan perbuatan itu lagi. (HR. Muslim).


Dari beberapa hadits diatas, disimpulkan bahwa hibah kepada anak ini harus adil.


Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang harus adil disini, apakah harus itu maksudnya wajib atau sunnah? Jika sudah terlanjut diberikan kepada anak tapi tak adil, apakah hibahnya sudah terjadi dan sah atau tidak sah?


Ibnu Rusyd (w. 595 H) menyebutkan:


وَأما هبة جَمِيع مَاله لبَعض وَلَده دون بعض أَو تَفْضِيل بَعضهم على بعض فِي الْهِبَة فمكروه عِنْد الْجُمْهُور وَإِن وَقع جَازَ، وَرُوِيَ عَن مَالك الْمَنْع وفَاقا للظاهرية. 

( Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, juz 4, hal. 113)


Adapun menghibahkan seluruh hartanya untuk sebagian anaknya tanpa yang lainnya, atau melebihkan bagian yang lain dari yang lainnya maka hukumnya adalah makruh menurut jumhur ulama, namun sah saja jika telah terjadi. Dan disebutkan dari pendapat imam Malik sesuai dengan pendapat Dzahiriyah tentang larangan hal tersebut.


2. Hukum Adil dalam Hibah


Menurut mayoritas ulama, tidak adil dalam hibah itu makruh. Jika sudah terlanjut dihibahkan, maka hihab itu sudah terjadi dan sah. Jika dosa, maka yang menanggung adalah pemberinya. Adapun menurut riwayat dari Imam Malik dan Dzahiriyyah, adil dalam hibah itu wajib.


Imam as-Syairazi as-Syafi'i (w. 476 H) menyebutkan:


والمستحب أن لا يفضل بعض أولاده على بعض في الهبة

(Abu Ishaq as-Syairazi (w. 476 H), al-Muhaddzab, juz 2, hal. 333)


Sunnahnya jika memberi hibah kepada anak itu tak dibedakan satu dengan lainnya.


3. Maksud Adil


Mayoritas ulama menyebutkan bahwa adil dalam hibah itu maksudnya sama rata, baik laki-laki maupun perempuan.[Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, , juz 2, hal. 4012]


Ibnu Rusyd (w. 595 H) menyebutkan:


وَالْعدْل هُوَ التَّسْوِيَة بَينهم وَقَالَ ابْن حَنْبَل للذّكر مثل حَظّ الْأُنْثَيَيْنِ.

(Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, juz 4, hal. 113)


Adil dalam hibah disini adalah kesamaan jatah di antara mereka (baik anak laki-laki maupun perempuan), Adapun Ahmad bin Hanbal mengatakan (tentang pembagian hibah untuk anak) adalah bagi laki-laki seperti dua perempuan. (sebagaimana dalam waris).


Menurut mayoritas ulama, adil dalam hibah itu laki-laki dan perempuan sama. Hal itu berbeda menurut Ahmad bin Hanbal, bahwa adil dalam hibah itu seperti waris, yaitu laki-laki mendapatkan 2 bagian perempuan.[Ibnu qudamah (w. 620 H), al-Mughni, juz 5, hal. 604]


4. Jika Sudah Hibah tapi tak Adil


Menurut para ulama yang berpendapat bahwa adil dalam hibah terhadap anak itu sunnah, jika hibah orang tua kepada anak itu tak adil maka hibahnya tetap dianggap sah.


Imam as-Syairazi as-Syafi'i (w. 476 H) menyebutkan:


فإن فضل بعضهم بعطية صحت العطية لما روي في حديث النعمان أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "أشهد على هذا غيري" فلو لم يصح لبين له ولم يأمره لأن يشهد عليه غيره

(Abu Ishaq as-Syairazi (w. 476 H), al-Muhaddzab, juz 2, hal. 333)


Jika hibah terhadap anak itu tak adil, salah satunya mendapatkan bagian lebih banyak maka hibahnya tetap sah. Sebgaimana hadits an-Nu'man diatas bahwa Nabi ﷺ bersabda: Carilah saksi selainku. Jika hibah itu dianggap tak sah, maka Nabi ﷺ pastinya menjelaskan hal itu dan tak menyuruhnya untuk mencari saksi lain.


7 Amalan Pahalanya Setara Ibadah Haji dan Umrah


Dalam sebuah hadits shahih, disebutkan bahwa janji pahala haji adalah surga. Sebagimana hadits:


عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ


Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).


Tahun ini, tidak semua orang bisa pergi haji. Meski demikian ternyata ada beberapa hadits yang menyebutkan bahwa amalan-amalan ini pahalanya setara dengan haji. Meski kadang secara kasat mata, amalan ini cukup sederhana.


Meski setara pahalanya dengan haji, bukan berarti menggugurkan syariat haji. Minimal jika belum bisa makan rendang, ya makan mie instan rasa rendang. 


Ada tujuh amalan yang jika diamalkan bisa berpahala haji. Amalan ini ada yang ringan bahkan kita bisa melakukannya setiap waktu. Walau ringan, namun pahalanya sangat luar biasa.


1. Umrah di bulan Ramadhan


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya pada seorang wanita,


مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّى مَعَنَا


“Apa alasanmu sehingga tidak ikut berhaji bersama kami?”


Wanita itu menjawab, “Aku punya tugas untuk memberi minum pada seekor unta di mana unta tersebut ditunggangi oleh ayah fulan dan anaknya –ditunggangi suami dan anaknya-. Ia meninggalkan unta tadi tanpa diberi minum, lantas kamilah yang bertugas membawakan air pada unta tersebut. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda,


فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ


“Jika Ramadhan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Dalam lafazh Muslim disebutkan:


فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً


“Umrah pada bulan Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Muslim)


Dalam lafazh Bukhari yang lain disebutkan,


فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِى حَجَّةً مَعِى


“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti berhaji bersamaku.” (HR. Bukhari).


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah umrah Ramadhan mendapati pahala seperti pahala haji. Namun bukan berarti umrah Ramadhan sama dengan haji secara keseluruhan. Sehingga jika seseorang punya kewajiban haji, lalu ia berumrah di bulan Ramadhan, maka umrah tersebut tidak bisa menggantikan haji tadi.” (Syarh Shahih Muslim, 9:2)


2. Berbakti Kepada Orang Tua


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


إِنِّي أَشْتَهِي الْجِهَادَ وَلا أَقْدِرُ عَلَيْهِ، قَالَ: هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ ؟ قَالَ: أُمِّي، قَالَ: فَأَبْلِ اللَّهَ فِي بِرِّهَا، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ، وَمُعْتَمِرٌ، وَمُجَاهِدٌ، فَإِذَا رَضِيَتْ عَنْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَبِرَّهَا


“Ada seseorang yang mendatangi Rasululah ﷺ dan ia sangat ingin pergi berjihad namun tidak mampu. Rasulullah ﷺ bertanya padanya apakah salah satu dari kedua orang tuanya masih hidup. Ia jawab, ibunya masih hidup.


Rasul pun berkata padanya, “Bertakwalah pada Allah dengan berbuat baik pada ibumu. Jika engkau berbuat baik padanya, maka statusnya adalah seperti berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 5/234/4463 dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman 6/179/7835)


3. Shalat Fardhu Jamaah di Masjid


Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,


مَنْ مَشَى إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ فِي الجَمَاعَةِ فَهِيَ كَحَجَّةٍ وَ مَنْ مَشَى إِلَى صَلاَةٍ تَطَوُّعٍ فَهِيَ كَعُمْرَةٍ نَافِلَةٍ


“Siapa yang berjalan menuju shalat wajib berjama’ah, maka ia seperti berhaji. Siapa yang berjalan menuju shalat sunnah, maka ia seperti melakukan umrah yang sunnah.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)


Dalam hadits lainnya, dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,


مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلاَةٌ عَلَى أَثَرِ صَلاَةٍ لاَ لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِى عِلِّيِّينَ


“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci menuju shalat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji. Barangsiapa keluar untuk shalat Sunnah Dhuha, yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah. Dan (melakukan) shalat setelah shalat lainnya, tidak melakukan perkara sia-sia antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘illiyyin (kitab catatan amal orang-orang shalih).” (HR. Abu Daud; Ahmad)


4. Melakukan Shalat Dhuha / Isyraq


Meski masih jadi perbedatan tentang nama dan pensyariatannya, tapi pahalanya jelas. Shalat 2 rakaat di waktu awal hari, dimulai dengan shalat shubuh berjamaah di masjid, tidak pulang ke rumah tapi duduk dzikir, sampai matahari benar-benar terbit maka pahalanya setara haji dan umrah dengan sempurna. Dalilnya adalah dari hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,


مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ


“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat Sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thabrani)


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,


مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ


“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi)


5. Menghadiri Majelis Ilmu di Masjid


Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,


مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حَجَّتُهُ


“Siapa yang berangkat ke masjid yang ia inginkan hanyalah untuk belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)


6. Membaca Tasbih, Tahmid dan Takbir Seteleh Shalat


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا ، وَيَعْتَمِرُونَ ، وَيُجَاهِدُونَ ، وَيَتَصَدَّقُونَ قَالَ « أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ » . فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا فَقَالَ بَعْضُنَا نُسَبِّحُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ . فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ « تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ.


“Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi ﷺ. Mereka berkata, orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah. Nabi ﷺ lantas bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya dapat terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.”


Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Nabi ﷺ bersabda, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.” (HR. Bukhari, no. 843).


Abu Shalih yang meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Hurairah berkata,


فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.


“Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin kembali menghadap Rasulullah ﷺ, mereka berkata, “Saudara-saudara kami yang punya harta (orang kaya) akhirnya mendengar apa yang kami lakukan. Lantas mereka pun melakukan semisal itu.” Rasulullah ﷺ kemudian mengatakan, “Inilah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang ia kehendaki.” (HR. Muslim).


7. Bertekad untuk Berhaji


Siapa yang memiliki uzur namun punya tekad kuat dan sudah ada usaha untuk melakukannya, maka dicatat seperti melakukannya. Contohnya, ada yang sudah mendaftarkan diri untuk berhaji, namun ia meninggal dunia sebelum keberangkatan, maka ia akan mendapatkan pahala haji.


Kenapa sampai yang punya uzur terhitung melakukan amalan?


عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزَاةٍ فَقَالَ: إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ.


Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena mendapatkan uzur sakit.” (HR. Muslim).


Dalam lafazh lain disebutkan,


إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِى الأَجْرِ


“Melainkan mereka yang terhalang sakit akan dicatat ikut serta bersama kalian dalam pahala.”


Juga ada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,


عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ فِى غَزَاةٍ فَقَالَ: إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ.


Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ dalam suatu peperangan berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari).


Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,


إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا


“Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (HR. Bukhari).


Maka, bagi para calon jamaah haji tahun ini yang sudah tinggal berangkat, persiapan sudah matang, sudah menggelar tasyakuran dan pamit kepada sanak family dan tetangga ternyata tahun 2020 haji dibatalkan karena covid 19, semoga saat ini sudah mendapatkan pahala haji dan umrah. Semoga tahun depan masih diberi usia dan kesempatan untuk pergi haji dengan sebaik-baiknya keadaan.

Puasa Ayyam al-Bidh Khusus Bulan Dzulhijjah



Ayyam al-Bidh artinya hari-hari putih. Puasa ayyam al-Bidh biasanya dilakukan 3 hari dalam tiap bulan ketika rembulan sedang purnama, yaitu tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan qamariyyah.


Sebagaimana hadits dari Abu Dzar, Rasulullah bersabda padanya,


يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ


“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi dan An an-Nasai. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan).


Dari Ibnu Milhan al-Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ. وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ


“Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu dan An Nasai)


Tetapi kesunnahan puasa ayyam al-bidh ini menjadi masalah ketika di bulan Dzulhijjah, dimana tanggal 13 bulan Dzulhijjah masih masuk hari tasyriq yang dilarang puasa.


Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,


لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ


“Pada hari tasyriq tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.” ( HR. Bukhari).


Lantas apakah puasanya cukup 2 hari saja, atau geser ke hari berikutnya?


Jika biasanya puasa ayyam al-bidh dilakukan tiap tanggal 13,14,15 tiap bulannya, maka pada bulan Dzulhijjah bisa dilakukan 14, 15, dan tanggal lainnya. Bisa tanggal 16 atau selain tanggal itu.


Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan dalam kitabnya al-Majmu' bahwa puasa 3 hari di setiap bulan itu tak harus tanggal 13, 14, 15. Tapi yang penting 3 hari. Beliau menyebutkan:


وثبتت أحاديث في الصحيح بصوم ثلاثة أيام من كل شهر من غير تعيين لوقتها وظاهرها أنه متى صامها حصلت الفضيلة  [1]


Hadis-hadis yang shahih menyebutkan bahwa puasa 3 hari tiap bulan tak dibatasi waktunya. Zahirnya jika sudah puasa 3 bulan, maka sudah hasil pahalanya.



Adapun hadis-hadis yang menunjukkan kesunnahan puasa 3 hari tiap bulan, tanpa disebutkan tanggal pastinya adalah sebagai berikut:


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ: صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ


“Kekasihku (yaitu Rasulullah ﷺ mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: 1- berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2- mengerjakan shalat Dhuha, 3- mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari)


Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah ﷺ bersabda,


صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ


“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari)


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ


“Rasulullah ﷺ biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An-Nasa'i).


 


 


[1] Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), al-Majmu', juz 6, hal. 384

Sabtu, 15 Mei 2021

Ayah Mertua Menikahi Ibu Kandung Menantu


Menurut hukum Islam, selama calon istri itu bukan termasuk wanita yang haram dinikahi, maka boleh dan sah untuk dinikahi. Wanita yang haram dinikahi biasanya disebut mahram. Meski wanita yang haram dinikahi tidak hanya karena mahram.


Dalam kasus seorang ayah mertua menikahi ibu kandung dari menantu, apakah boleh?


Jawabnya adalah sebuah pertanyaan, dari sudut pandang calon suami; apakah calon istrinya termasuk wanita yang haram dinikahi?


Jika tidak termasuk wanita yang haram dinikahi, maka pernikahannya sah menurut hukum Islam. Meski hukum sah dan tidak, tak selalu berbanding lurus dengan pantas atau tidak pantas. Karena kepantasan itu relatif.


Kita akan bahas lebih detail dahulu sebelum menjawab boleh atau tidak. Ada 3 jalur sebab seseorang menjadi mahram; karena nasab, persusuan, dan pernikahan.


Bahasa yang sering digunakan untuk larangan karena sebab pernikahan adalah mushaharah (مُصَاهَرَة). Mushaharah sendiri berasal dari kata as-shihru (الصهر) yang berarti kerabat karena pernikahan (Majma' al-Lughat al-Arabiyyah, al-Mu'jam al-Wasith, hal. 527).


Dalam Al-Qur'an disebutkan:


... وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ ...


… ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu, maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu... (QS. An-Nisa : 23).


Dalam ayat lain, Allah berfirman:


وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاء سَبِيلاً


Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisa' : 22)


Maka, mahram karena hubungan pernikahan itu adalah:


1. Ibu dari istri (mertua wanita).

Kemahraman ini meski istrinya telah meninggal dunia atau telah putus ikatan perkawinannya, misalnya karena cerai dan seterusnya, tetapi mantan ibu mertua adalah wanita yang menjadi mahram selama-lamanya.


2. Anak wanita dari istri (anak tiri).

Bila seorang laki-laki menikahi seorang janda beranak perawan, maka haram selamanya untuk suatu ketika menikahi anak tirinya itu. Keharamannya bersifat selama-lamanya, meski pun ibunya telah wafat atau bercerai.


Kecuali bila pernikahan dengan janda itu belum sampai terjadi hubungan jimak suami istri, lalu terjadi perceraian, maka anak perawan dari janda itu masih boleh untuk dinikahi. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala :


وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ


(dan haram menikahi) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (QS. An-Nisa' : 23)


3. Istri dari anak laki-laki (menantu).

Keharamannya berlaku untuk selama-lamanya, meski pun wanita itu barangkali sudah tidak lagi menjadi menantu.


4. Istri dari ayah (ibu tiri).

Para wanita yang telah dinikahi oleh ayah, maka haram bagi puteranya untuk menikahi janda-janda dari ayahnya sendiri, sebab kedudukan para wanita itu tidak lain adalah sebagai ibu, meski hanya ibu tiri.


Selain empat pihak ini, maka statusnya bukan mahram. Jika bukan mahram, maka hukumnya seperti orang lain pada umumnya.


Maka, bolehkah ayah mertua menikahi ibu kandung dari menantu? Jawabnya boleh. Karena bukan termasuk wanita yang haram dinikahi karena hubungan pernikahan. Pantas atau tidak? Sangat relatif.

Bahaya Takhbib Dalam Percintaan,Karena Dosa Besar Menanti



Takhbib, Secara istilah bermakna "menggoda istri orang lain" atau dapat juga di artikan "sebagai upaya mengoda wanita yang sudah ada jaminan jadi milik orang lain". Sedangkan dalam pandangan Islam, merusak rumah tangga seorang muslim disebut dengan takhbib. Hal ini merupakan dosa yang sangat besar, selain ada ancaman khusus, ia juga telah membantu Iblis untuk menyukseskan programnya menyesatkan manusia. Meski sekedar iseng, tapi ternyata ada bahaya besar mengancam. Menggoda istri orang lain, ternyata bukan hal yang remeh dalam agama Islam.


Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:


لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا


Bukan bagian dariku seseorang yang melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.” (HR. Abu Daud).


Dalam hadits lain riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,


وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا


Siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dariku.” (HR. Ahmad).


Melamar wanita yang sudah dilamar orang lain saja dilarang, apalagi menggoda wanita yang telah menjadi istri orang lain, apalagi dalam rangka agar bercerai dengan suami sahnya.


Ibnul Qoyim al-Jauziyyah (w. 752 H) menjelaskan tentang dosa takhbib:


وَقَدْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ وَتَبَرَّأَ مِنْهُ، وَهُوَ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ. وَإِذَا كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَدْ نَهَى أَنْ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَأَنْ يَسْتَامَ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ، فَكَيْفَ بِمَنْ يَسْعَى فِي التَّفْرِيقِ بَيْنَ رَجُلٍ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَأَمَتِهِ حَتَّى يَتَّصِلَ بِهِمَا؟ (الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي = الداء والدواء، ص: 216).[1]


"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat orang yang melakukan takhbib, dan beliau berlepas diri dari pelakunya. Takhbib termasuk salah satu dosa besar. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk meminang wanita yang telah dilamar oleh lelaki lain, dan melarang seseorang menawar barang yang sedang ditawar orang lain, maka bagaimana lagi dengan orang yang berusaha memisahkan antara seorang suami dengan istrinya atau budaknya, sehingga dia bisa menjalin hubungan dengannya."


Penjelasan Takhbib


Mula Ali al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan, takhbib secara bahasa artinya menipu dan merusak, yaitu dengan menyebut-nyebut kejelekan suami di hadapan istrinya atau kebaikan lelaki lain di depan wanita itu[2].


Al-Adzim Abadi menyebutkan pengertian takhbib:


مَنْ خَبَّب زوجة امرئ أي خدعها وأفسدها أو حسن إليها الطلاق ليتزوجها أو يزوجها لغيره أو غير ذلك[3]


"Siapa yang melakukan takhbib terhadap istri seseorang’ maknanya adalah siapa yang menipu wanita itu, merusak keluarganya atau memotivasinya agar cerai dengan suaminya, agar dia bisa menikah dengannya atau menikah dengan lelaki lain atau cara yang lainnya."


Ad-Dzahabi (w. 748 H) menyebutkan diantara dosa adalah takhbib:


وَمن ذَلِك إِفْسَاد قلب الْمَرْأَة على زَوجهَا. (الكبائر للذهبي (ص: 211)[4]


"Diantara hal yang dilarang adalah merusak hati wanita terhadap suaminya."


Pekerjaan Setan


Memisahkan antara suami dan istri termasuk pekerjaan setan. Dalam ayat Al-Qur'an disebutkan:


{فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ} [البقرة: 102]


Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. (Q.S. al-Baqarah: 102).


Terdapat hadits Nabi bahwa Iblis memuji setan yang berhasil menceraikan suami-istri, sedangkan setan lainya telah melakukan sesuatu tetapi Iblis tidak mengapresiasi hasilnya.


Dari Jabir radhiallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ bersabda,


إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُوْلُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ، وَيَقُوْلُ: نِعْمَ أَنْتَ.


“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut) kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR Muslim IV/2167 no 2813).




[1] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), ad-Da' wa ad-Dawa', hal. 216

[2] Mula Ali al-Qari (w. 1014 H), Mirqat al-Mafatih, hal. 5/ 2128. Lihat pula: Al-Adzim Abadi, Aun al-Ma'bud, hal. 6/ 159

[3] Al-Adzim Abadi, Aun al-Ma'bud, hal. 14/ 52

[4] Al-Hafidz adz-Dzahabi (w. 748 H), al-Kabair, hal. 211 

Jumat, 14 Mei 2021

Bolehkah Istri Menolak Berhubungan Karena Alasan Virus?


 Alaikum salam wr. wb.

Pada dasarnya kewajiban istri adalah melayani kebutuhan seksual suami, bahkan para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi'i mengatakan itulah satu-satunya kewajiban istri kepada suami.

Di dalam kitab hadits bertabur penjelasan Nabi SAW tentang hal itu.

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Bila seorang wanita melewati malamnya dengan menolak tidur dengan suaminya, maka malaikat melaknatnya sampai shubuh. (HR. Bukhari dan Muslim)

إِذَا دَعَا الرَّجُل امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Bila suami mengajak istrinya berjima' tetapi istrinya menolak untuk melakukannya, maka malaikat melaknatnya hingga shubuh (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun juga perlu diketahui bahwa kewajiban ini juga bukan hanya semata kewajiban istri, tetapi suami pun juga punya kewajiban yang sama.

وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Dan istrimu punya hak atas dirimu (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Ad-Darda’ untuk melakukannya dengan istrinya :

فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَصَل وَنَمْ وَائْتِ أَهْلَكَ

Puasalah tapi juga berbukalah. Lakukan shalat malam tapi juga tidur. Dan datangilah istrimu. (HR. Ad-Daruquthuny)

Bahkan melakukan 'azl pun dilarang kecuali dengan izin istri.

نَهَى رَسُول اللَّهِ عَنْ عَزْل الْحُرَّةِ إِلاَّ بِإِذْنِهَا

Rasulullah SAW melarang melakukan ‘azl atas istri yang merdeka, kecuali atas izinnya. (HR. Al-Baihaqi)

Dari Wajib Berubah Jadi Haram

Namun sesuai karakteristik syariat Islam, hukum-hukumnya sangat dinamis, sesuai dengan 'illatnya. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah :

الحكم تدور مع العلة وجوبا وعدما

Hukum itu akan berubah sesuai dengan 'illatnya, ada atau tidak adanya.

Maka suatu kewajiban bisa saja kemudian berubah menjadi keharaman, atau sebaliknya. Semua dikaitkan dengan 'illat yang berlaku pada tiap kasusnya.

Dalam kasus yang Anda tanyakan, kewajiban melayani suami untuk melakukan hubungan seksual berubah menjadi keharaman, karena ada 'illat yang membuatnya menjadi haram.

Keharamannya adalah apabila dikhawatirkan terjadi madharat, yaitu istri yang sakit berbahaya dan menularkan penyakitnya itu kepada suaminya. Atau juga berlaku sebaliknya.

Misalnya istri atau suami mengidap penyakit yang berbahaya. Kalau sampai berhubungan badan dengan pasangannya, khawatir pasangannya itu akan tertular penyakit yang berbahaya itu. 

Dalam hal ini istri atau suami itu justru berdosa kalau sengaja melakukan hubungan badan, apalagi dia tidak mengaku telah mengidap suatu penyakit. Dan pasangannya tidak tahu kalau dirinya beresiko menularkan penyakit yang berbahaya. Maka kesalahannya jadi berlipat.

Maka kita harus melihat kasus ini dengan lengkap, bila ada dua dalil yang saling bertabrakan, maka salah satunya lebih diutamakan. Dalam hal ini, kewajiban melayani suami dengan melakukan hubungan badan jadi gugur karena adanya madharat yang lebih besar, yaitu resiko menularkan penyakit.

Ada kaidah yang sering digunakan oleh para ulama, misalnya :

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menolak mafsadat lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan

الضرر يزال

Segala yang merusak itu dihilangkan

لا ضرر ولا ضرار

Tidak boleh memberi madharat atau menerima madharat

Catatan

Keharaman berhubungan badan antara suami istri hanya berlaku bila kekhawatiran itu berasalan kuat, dengan dasar kepastian dari dokter bahwa suami istri bisa saling menulari.

Namun manakala hanya berdasarkan asumsi saja, wajib atas keduanya untuk meminta kepastian dari pihak dokter. Sebab masalah semacam ini sangat peka, kalau pendekatannya kurang baik, bisa membuat rumah tangga jadi pecah.

Karena itu sebaiknya berpikir hati-hati, diskusikan dengan pasangan, dan tidak termakan gosip, hoaks atau pun sekedar latah ikut-ikutan informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya.

Semoga Allah SWT melindungi kita semua, Amin.

Wassalamu 'alaikum wr. wb.