Selasa, 29 September 2020

Islam Cenderung Patriarkal, Benarkah?

Islam kerap dipandang memiliki formulasi hukum yang cenderung menguntungkan kaum pria. Pandangan ini tak hanya bersumber dari Barat yang notabene non-Muslim, namun juga dari kalangan Muslim sendiri. Mereka menganggap setting-an hukum Islam berbasis budaya patriarki dan memandang ‘sebelah-mata’ terhadap perempuan (misogyny).


Aturan dalam Islam seperti larangan bagi wanita mengimami laki-laki dalam sholat, aturan shaf sholat yang mengharuskan wanita di belakang laki-laki, kewajiban patuh pada suami sebagai kepala keluarga, dll, seringkali dipandang patriarkal yang membuat sebagian muslimah merasa menjadi korban subordinasi dan diskriminasi. Kemudian menganggap hukum Islam tak lagi relevan dengan trend kekinian.

Semua itu menjadi stimulus munculnya pergerakan ‘Feminisme Islam’ dalam dunia feminisme yang mengacu pada konsistensi perjuangan dalam menghilangkan subordinasi, memusnahkan ideologi patriarki serta meluruskan pandangan misogyny dengan menggunakan paradigma Islam sebagai bahasan utama.


Padahal, bukan sebuah diskriminasi ketika wanita tidak boleh menjadi imam sholat bagi laki-laki, atau ketika ia harus berdiri di shaf shalat yang berada di belakang laki-laki. Karena itu semata-mata bertujuan agar prosesi penyerahan diri dihadapan Allah berjalan dengan lebih tunduk, khusyu’ dan sakral. Bukan untuk ditafsirkan sebagai penempatan derajat wanita sebagai kelas kedua dalam kehidupan sosial.


Demikian pula ketika isteri harus mematuhi suami yang menjadi kepala keluarganya, bukan untuk diartikan bahwa ia mengabdi dan tunduk pada pria, akan tetapi melaksanakan kewajibannya yang telah ditentukan Penciptanya.


Laki-laki tidaklah menjadi lebih mulia dihadapan Allah hanya karena menjadi kepala rumah tangga, menjadi imam atau berdiri di depan shaf wanita dalam shalat. Karena masing-masing tentu diberi ganjaran yang sama dalam melaksanakan tugas yang sudah dibagi oleh Allah.


Yang menjadi patokan hanyalah satu, yakni "Tingkat Takwa", dan itu tak ada relasinya dengan gender. Siapapun mampu dan dipersilakan berlomba-lomba mencapainya.


Maka, ‘Gender Equality’ tidaklah selalu bermakna persamaan hak dan kewajiban dalam bidang atau porsi yang benar-benar serupa, karena yang menjadi substansi dari persamaan itu adalah ‘Nilai’.


Laki-laki yang ingin mendapatkan manisnya berjihad diberikan-Nya jalan dengan cara mempertaruhkan nyawa di medan perang atas nama agama Allah. Begitu pula wanita yang ingin mendapatkan manisnya berjihad diberikan-Nya jalan dengan cara mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan bayi dari rahimnya.


Kadangkala laki-laki dan wanita ditempatkan di bidang atau porsi yang berbeda, namun tetap memiliki ‘nilai’ yang sama. Inilah sesungguhnya makna dari Gender Equality.


Oleh: Ustadzah Aini Aryani, Lc

Kamis, 13 Agustus 2020

Hukum Boleh Dan  Haramnya Bejana Emas Dan Perak Menurut Syariat Islam

 Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan pernah lepas dari bejana. Bejana untuk media air atau makanan dan yang lainnya senantiasa ada bersama setiap orang dengan beragam jenis, bentuk dan bahan pembuatannya. Ada bejana yang terbuat dari plastik, kramik, besi, aluminium, stainless, bahkan ada yang terbuat dari emas dan perak.

HUKUM BEJANA

Pada asalnya hukum bejana adalah halal dan mubah dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. [Al-Baqarah/2:29]

Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan kepada manusia semua yang ada di muka bumi ini. Allâh Azza wa Jalla tidak akan menganugerahkan kecuali yang mubah. Karena tidak ada anugerah dalam larangan. Sehingga semua yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan di atas bumi ini adalah halal untuk kita kecuali ada larangan dari Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya.

Oleh karena itu semua bejana baik dari besi, tembaga, kuningan dan lain-lainnya halal dan mubah digunakan kecuali yang Allâh Azza wa Jalla larang. Ada bejana yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla penggunaannya untuk makan dan minum yaitu bejana yang terbuat dari emas dan perak. Disebutkan dalam hadits Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهِمَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

Janganlah kamu minum dengan gelas (yang terbuat) dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan pada piring yang terbuat dari emas dan perak, karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi].

Hadits yang mulia ini menunjukkan larangan menggunakan bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum. Para Ulama sepakat dalam mengharamkan makan dan minum menggunakan bejana emas dan perak, berdasarkan hadits ini, sedangkan untuk selain makan dan minum masih diperselisihkan oleh para Ulama pengharamannya.

SEBAB PELARANGAN



Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah di atas menjelaskan sebab pelarangannya yaitu pada sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi]

Pengertiannya adalah orang kafir, orang yang menggunakan bejana emas dan perak di dunia; karena mereka tidak memiliki agama yang melarang hal tersebut, sehingga kalian wahai kaum Muslimin dilarang meniru mereka dan hal itu untuk kalian di akhirat sebagai balasan karena kalian tidak menggunakannya di dunia. Bejana emas dan perak tidak diberikan pada mereka di akhirat sebagai balasan atas kemaksiatan mereka di dunia.

Ada juga beberapa hadits lain yang menjelaskan hal ini, diantaranya:

  • Hadits al-Bara` bin ‘Azib yang diriwayatkan imam Muslim yang berbunyi:

أَمَرَنَا َرسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ، وَمِنْهَا: وَعَنِ الشُرْبِ فِيْ الفِضَّةِ، فَإِنَّهُ مَنْ شَرِبَ فِيْهَا فِيْ الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْ فِيْهَا فِي الآخِرَةِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami melakukan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara: diantaranya dilarang minum dengan menggunakan bejana perak, karena siapa yang minum darinya di dunia tidak akan minum darinya di akhirat.

  • Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan imam an-Nasâ’i dan al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa sanadnya kuat (Isnaduhu Qawi). Dalam hadits itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَرِبَ فِيْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ فِي ْالدُّنْيَا لَم ْيَشْرَبْ فِيْهِمَا فِي الآخِرَةِ، وَآنِيَةُ أَهْلِ الْجَنَّةِ الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ

 Barangsiapa minum dari bejana perak dan emas di Dunia maka tidak minum dari keduanya di akhirat dan bejana ahli syurga adalah emas dan perak

Dengan alasan ini, kaum Muslimin dilarang menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa yang benar bahwa sebab pelarangan adalah semua bentuk dan keadaan yang bertentangan dengan ubudiyah secara jelas yang didapatkan kalbu dengan menggunakannya. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebab larangannya adalah bejana tersebut buat orang kafir didunia; karena mereka tidak memiliki bagian dari ubudiyah yang menjadi sebab mendapatkan kenikmatan di akherat. Sehingga penggunaannya tidak pas bagi hamba-hamba Allâh didunia. Yang menggunakannya hanyalah orang yang keluar dari sikap ubudiyah dan ridha dengan dunia serta mendahulukannya dari akherat. [Zaad al-Ma’ad 4/351].

Apakah larangan menggunakan bejana emas dan perak khusus untuk makan dan minum saja atau bersifat umum.?

Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Mereka terbagi menajdi dua pendapat:

Pendapat Pertama: mengharamkan semua penggunaan bejana emas dan perak. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.

Dengan alasan keumuman hadits Hudzaifah di atas dan pemahaman tentang sebab larangan yang mencakup itu semua. Adapun tentang pembedaan antara lelaki dan wanita, maka itu hanya berlaku pada penggunaan perhiasan emas. Imam al-Qurthubi dalam al-Mufhim Syarhu Shahîh Muslim menyatakan, “Hadits ini menyatakan haramnya penggunaan bejana-bejana emas dan perak untuk makan dan minum dan termasuk untuk perkara yang semakna dengannya, misalnya, untuk wewangian, alat bercelak dan sejenisnya. Pengharaman ini adalah pendapat mayoritas Ulama salaf dan khalaf . [Lihat al-Mufhim Syarhu Shahîh Muslim, 5/345]

Disebutan kata makan dan minum dalam hadits ini secara khusus karena untuk itulah biasanya bejana itu digunakan, bukan untuk membatasi (mengkhususkan) pada kedua penggunaan ini saja. Jika penggunaannya untuk makan dan minum dilarang, padahal itu menjadi kebutuhan terbesar, maka penggunaannya untuk selain itu yang kebutuhannya dibawah kebutuhan makan dan minum lebih layak untuk dilarang.

Mereka menyatakan bahwa penyebutan lafazh makan dan minum dalam hadits ini adalah karena biasanya penggunaan bejana emas dan perak untuk itu, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). [An-Nisâ’/4:10]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allâh supaya kamu mendapat keberuntungan. [Ali Imrân/3:130].

Dalam ayat-ayat di atas yang dilarang adalah lebih umum dari sekedar memakannya. Demikian juga pada penggunaan emas dan perak.

Hal ini dikuatkan dengan sebab pelarangan menurut pendapat ini tidak terbatas hanya dalam makan dan minum saja bahkan lebih dari itu, sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

Karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi].

Orang kafir menikmati penggunaan emas dan perak untuk makan dan minum serta yang lainnya, sebagaimana juga kaum Mukminin di surga akan menggunakan bejana emas dan perak untuk makan dan minum serta yang lainnya, tidak terbatas pada makan dan minum saja.

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah, Syaikh Abdulaziz bin Bâz rahimahllah dan Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Basâm rahimahullah dalam Taudhîh al-Ahkâm.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Semua bejana mubah kecuali bejana emas dan perak dan campurannya. [Minhajus Sâlikîn, hlm 34]

Beliaupun menyatakan dalam kitab al-Qawâ’id wal Furuq (hlm. 155), “Penggunaan emas dan perak ada tiga keadaan:

  1. digunakan untuk bejana dan sejenisnya maka ini diharamkan untuk lelaki dan wanita
  2. digunakan untuk dipakai perhiasan maka ini halal bagi wanita tanpa lelaki.
  3. Penggunaan pada pakaian perang dan alat senjatanya maka ini diperbolehkan sampai untuk lelaki juga.”

Syaikh al-Bassâm rahimahullah menyatakan, “Larangan penggunaan bejana-bejan emas dan perak dalam makan dan minum umum mencakup semua penggunaannya dalam semua pemanfaatan kecuali ada dalil yang mengizinkannya. [at-Taudhîh, 1/116]

Pendapat Kedua: Larangan ini khusus untuk makan dan minum saja. Adapun penggunaan diluar keduanya seperti untuk tempat wewangian, celak, wudhu dan mandi serta yang lainnya maka itu diperbolehkan. Inilah pendapat sebagian Ulama diantaranya imam asy-Syaukâni rahimahullah, ash-Shan’âni rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah. Pendapat ini mengambil makna tekstual dari hadits. Mereka menyatakan bahwa dalam hadits itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang dari sesuatu yang tertentu dan khusus yaitu makan dan minum menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak. Ini menunjukkan bahwa penggunaan untuk selain makan dan minum itu diperbolehkan. Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan larangan bersifat umum tentu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan tidak mengkhususkan hal itu dengan makan dan minum.

Mereka berargumen juga dengan membawakan hadits dari Utsman bin Abdillah bin Muhib yang menyatakan:

أَرْسَلَنِي أَهْلِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَجَاءَتْ بِجُلْجُلٍ مِنْ فِضَّةٍ فِيهِ شَعَرٌ مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ إِذَا أَصَابَ الإِنْسَانَ عَيْنٌ أَوْ شَيْءٌ بَعَثَ إِلَيْهَا مِخْضَبَهُ، فَاطَّلَعْتُ فِي الجُلْجُلِ، فَرَأَيْتُ شَعَرَاتٍ حُمْرًا

Keluargaku mengirimku kepada Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa segelas air. Lalu Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma membawa bejana dari perak berisi rambut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila ada orang yang terkena penyakit ‘ain atau sejenisnya maka ia mengirim bejananya kepada Ummu Salamah Radhiyallah anhuma. Lalu aku lihat dalam sejenis lonceng dan aku dapati rambut-rambut berwarna merah. [HR. Al-Bukhâri]

Hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan bejana perak untuk selain makan dan minum. Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma sendiri adalah perawi hadits larangan ini sebagaimana yang ada dalam riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma berkata bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

Orang yang minum dengan bejana perak sesunggunya hanya memasukkan ke dalam perutnya neraka jahannam. [Muttafaqun ‘Alahi]

Imam asy-Syaukani rahimahullah menyatakan:

Analogi seluruh penggunaan bejana kepada makan dan minum adalah qiyas (analogi) dengan disertai perbedaan (sehingga tertolak), karena illah (sebab) larangan dari makan dan minum adalah tasyabbuh (meniru) ahli surga yang dikelilingi dengan bejana perak. Ini adalah alasan mu’tabar secara syariat, sebagaiman ada dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang memakai cincin dari emas maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenapa aku melihat engkau memakai perhiasan ahli surga?” Hadits ini dikeluarkan oleh tiga imam (Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasâ’i) dari hadits Buraidah Radhiyallahu anhu. [Nailul Authâr, 1/83]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Boleh menggunakan bejana emas dan perak pada selain makan dan minum; karena larangannya hanya pada makan dan minum. Seandainya seorang menggunakan bejana emas dan perak untuk menyimpan obat-obatan atau nyimpan dirham (uang) atau kebutuhan lainnya selain makan dan minum, maka tidak mengapa. Hal itu karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling fashih, paling ikhlas dalam nasehat dan paling pandai (berilmu). Seandainya penggunaan emas dan perak pada selain makan dan minum dilarang tentu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya dengan jelas dan gamblang sehingga tidak menyisakan permasalahan. Apalagi pernyataan Hudzaifah Radhiyallahu anhu :

إِنِّي أُخْبِرُكُمْ أَنِّي قَدْ أَمَرْتُهُ أَنْ لَا يَسْقِيَنِي فِيهِ

Sesungguhnya aku beritahukan kepada kalian bahwa aku perintahkan untuknya agar tidak memberiku minum pada bejana tersebut.

Ini menunjukkan bahwa Hudzaifah Radhiyallahu anhu memiliki bejana tersebut namun tidak menggunakannya untuk makan dan minum. Ini sudah jelas. Kita tidak sepatutnya apabila pembuat syariat menyampaikan sesuatu secara khusus lalu kita jadikan memiliki pengertian umum. [Fathul Jalâl, 1/118].

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Yang benar adalah tidak haram kecuali pada makan dan minum.” [Fathul Jalâl, 1/120]

TARJIH

Dari keterangan diatas nampaknya yang rajih adalah pendapat kedua, karena dalil mereka kuat dalam masalah ini.

APAKAH DIPERBOLEHKAN MEMILIKI BEJANA EMAS DAN PERAK TANPA MENGGUNAKANNYA?

Terjadi perbedaan pendapat para Ulama dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pendapat Pertama : Melarang. Ini adalah pendapat madzhab Mâlik (Lihat al-Istidzkâr 26/270), Ahmad (Lihat Mathâlib Ulin-Nuhâ, 1/55) dan mayoritas Ulama Syâfi’iyah (Lihat al-Majmû 1/308) serta mayoritas Ulama.

Mereka beralasan, semua yang tidak boleh digunakan maka tidak boleh dimiliki, seperti alat-alat musik dan khamr (miras) dan selainnya. Juga karena memilikinya menjadi sarana untuk menggunakannya dan hukum memiliki sarana sama dengan hukum tujuan. Juga illah (sebab) hukum yang ada dalam pemakaian sesuatu sudah ada ketika sesuatu itu sudah ada dalam kepemilikan, bahkan lebih berat lagi; karena memiliki bejana tanpa menggunakannya sama sekali adalah membuang-buang harta.

Pendapat Kedua: Memperbolehkan kepemilikian bejana emas dan perak. Ini adalah pendapat Abu Hanifah (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 6/342), salah satu pendapat dalam madzhab Mâlikiyah (Lihat Hasyiyah ash-Shâwi ‘ala asy-Syarhul Shaghîr, 1/61) dan salah satu pendapat dari imam Syâfi’i (Lihat al-Majmû 1/308) dan satu riwayat dari Ahmad [Lihat al-Furû 1/97].

Mereka beralasan karena nash syariat hanya melarang penggunaannya dan tidak melarang kepemilikannya.

Inilah pendapat yang rajih insya Allâh Karena kuatnya dalil pengkhususan larangan hanya pada makan dan minum saja.

Rabu, 19 Februari 2020

Hukum Qadha Shalat
by : Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA

Allah swt berfirman:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku” (QS. Thaha: 14)
Ada tiga pokok pembahasan pada ayat di atas:
[Pertama]
Ayat ini adalah penutup kisah tentang kerasulan nabi Musa as setelah sebelumnya Musa melarikan diri dari kejaran orang-orang yang akan membunuhnya hingga akhirnya sampai ke suatu negri yang bernama Madyan. Ibnu Katsir  dalam Qashash Al-Anbiya menuturkan[1], sembari duduk istirahat, Musa melihat ada dua orang perempuan yang sedang berusaha mengambil air, untuk minum ternaknya, namun terhalang karena mulut sumur tidak bisa diakses karena adanya batu besar yang menghalanginya.


Musa akhirnya membantu keduanya, mengangkat batu itu sendirian yang biasanya batu tersebut diangkat oleh sepuluh orang, dan setelah itu, tanpa bayak basa-basi Musa kembali duduk istirahat. Kejadian hari itu diceritakan kembali oleh kedua perempuan tadi dengan ayahnya yang itu tak lain adalah nabi Syuaib as[2]. Musa kemudian diminta untuk menemui ayah dari kedua peremuan tersebut untuk diberi upah atas budi baiknya. Namun nabi Musa memilih jalan lain, beliau dengan penuh kemuliaan akhirnya bersedia dirinya “disewa” untuk menjadi pengembala kambing milik nabi Syuaib, demi menjaga kehormatan dirinya dan perutnya.
Tawaran itu bermula dari ide yang dilontarkan oleh anak perempuan nabi Syuaib as, setelah sebelumnya mereka semua mendengar cerita Musa bahwa sesungguhnya keberadaan di negri Madyan itu karena lari dari kejaran Firaun, tanpa ada persiapan sama sekali, sehingga bekal pun tidak ada.
Salah satu dari kedua anak perempuan itu berkata:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(QS. Al-Qasash: 26)
Umar bin Khattab ra berkata, ini juga riwayat dari Ibnu Abbas ra, Syuraih, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin Ishaq, dan banyak lagi yang lainnya menceritakan bahwa ketika mendengar perkataan anaknya, nabi Syuaib as berkata: “Dari mana ananda mengetahui bahwa Musa adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya?” Lalu kemudian anaknya berkata: “Musa dengan sendirian berhasil mengangkat batu besar yang menutupi mulut sumur yang biasanya batu sebesar dan seberat itu diangkat oleh orang sepuluh, lalu ketika dalam perjalanan menuju ke rumah, awalnya saya yang berjalan didepan dan Musa mengikuti dari belakang, lalu Musa meminta agar beliau yang berjalan didepan dan saya dibelakang, jika beliau salah jalan cukup lempar saja batu kecil, tanpa saya harus berkata-kata”[3]
__________

Demikian kuat fisik yang digambarkan dengan mampu mengangkat batu besar sendirian, dan dapat dipercaya yang digambarkan dengan sikap yang sangat mulia, diawali dengan menjaga pandangan, dan menjaga pendengaran, yang bisa membuat jiwa terperosok kedalam dosa. Bahasa anak sekarang, kalau mata dan pendengaran saja bisa dijaga karena khawatir jiwa berdosa, apalagi hanya sebatas menjaga dan mengembala kambing, tidak mungkin rasanya Musa akan menipu mereka.
Akhirnya nabi Syuaib as menawarkan:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (QS. Al-Qasash: 27)
Musa mengiyakan:
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan" (QS. Al-Qasash: 28)
Dari semenjak saat itu hingga sepuluh tahun kedepan, menutut pendapat yang paling kuat, Musa bekerja dengan nabi Syuaib, menjadi pengembala kambing. “Para nabi dan Rasul itu jika berkata (berjanji) dia akan melakukannya/menetapinya”, demikian Imam Al-Bukhari meriwayatkan sabda Rasulullah saw.
[Kedua]
Setelah sepuluh tahun bekerja dengan nabi Syuaib as, dan menikah dengan salah satu anak perempun beliau yang umurnya paling muda, Musa meminta izin kepada nabi Syuaib as untuk kembali/pulang kampung ke Mesir, alasan sederhananya seperti yang diungkap oleh para ulama adalah kerinduan nabi Musa akan kampung halaman juga rindu dengan ibunya yang juga tidak diketahui apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di malam hari, malam jumat, musim dingin, bersama istrinya yang baru melahirkan, mereka tersesat jalan, ditengah kegelapan yang dingin itu, Musa melihat cahaya api dari kejauhan, Musa meminta istrinya untuk menetap sebentar, agar Musa bisa memastikan api yang beliua lihat, mudah-mudahan dari sana api bisa dibawa untuk memanaskan badan dan menerangi perjalanan.
Ternyata api tersebut berasal dari sebuah pohon, Musa kaget dan ta’jub melihat keindahan cahaya api yang berada dipohon tersebut, beliau mendekat, lalu tiba-tiba beliau mendengar suara:
إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci” (QS. Al-Qasash: 2)
Lalu kemudian dilanjutkan dengan dipilihnya Musa sebagai nabi dan rasul Allah swt:
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”(QS. Al-Qasash: 13-14)
Terkait dengan perintah melepas sandal/alas kaki bagi nabi Musa pada waktu itu, setidaknya ada lima pendapat, menurut Imam Al-Qurthubi:[4]
  1. Pada waktu nabi Musa diangkat menjadi rasul, beliau memakai pakaian; tutup kepala, baju (jubah), dan celana yang terbuat dari bulu domba, namun sandalnya terbuat dari kulit bangaki keledai, sehingga sandal itu dinilai najis, karena terbuat dari kulit hewan yang tidak disembelih, demikian pendapat Ka’ab, Ikrimah dan Qatadah.
  2. Ali bin Abi Thalib, juga Hasan dan Ibnu Juraij berependapat bahwa perintah itu dimaksudkan agar nabi Musa mendapat berkah dari tanah suci ditempat itu, sehingga kakinya langsung menempel dengan tanah tersebut.
  3. Ada juga yang berpendapat bahwa perintah itu dimaksudkan agar Musa lebih khsuyuk dan tawadu’ saat bermunajat kepada Allah swt, yang demikian juga sama halnya degan perilku generasi salaf (terdahulu) mereka juga melepas alas kaki saat melakukan  tawaf di ka’bah.
  4. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa melepas alas kaki itu dengan maksud sebagai penghormatan. Konon, Imam Malik, tidak menaikai kendaraan (onta) saat berada di Madinah sebagai perhormatan beliau terhadap tanah Madinah yang didalamnya banyak terdapat mayat orang-orang yang mulia. Inilah makna yang diperoleh dari perkataan Rasulullah saw kepada Basyir bin Khasashiyah ketika beliau berjalan diseputaran kuburan memakai sandal:
إِذَا كُنْتَ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَكَانِ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ
“Jika kamu, wahai Basyir, berada pada tempat semisal ini, maka lepaslah alas kakimu”
  1. Pendapat kelima ada yang mengungkap bahwa maksud melepas alas kaki itu sebagai isyarat agar nabi Musa bisa fokus menerima perintah Allah swt, dan semenara waktu “lupakan” sebentar istri dan anak ditinggal tadi.  
[Ketiga]
Dalam banyak refresensi fiqih kita akan menemukan bahwa ayat diatas (QS. Thaha: 14) pernah dibaca oleh nabi Muhammad saw dihadapan para sahabat dalam kaitannya dengan perhatian terhadap perkara shalat fardhu.
Lebih jelas, Imam Tirmidzi[5] dan Nasai[6] meriwayatkan sebuah cerita kepada kita semua, cerita Rasulullah saw “tertinggal” shalat pada waktunya, bukan karena males, bukan juga karena lesu, tapi karena kondisi peperangan yang sangat menyibukkan mereka dari menghadapi musuh-musuh Allah, yang pada waktu itu terjadi para perang khondaq. Bahkan tidak tanggung-tangung, hingga empat waktu shalat terlewatkan.
Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, dari Abdullah bin Masud, telah berkata Abdullah:
إِنَّ المُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ، حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ
”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah saw sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap.
فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan diteruskan iqamah, lalu Rasulullah saw mengerjakan shalat dzuhur, kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat ashar, kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat maghrib, dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.”
__________

Dan dalam kejadian yang lainnya, tepatnya pada perang Khaibar, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw dan para sahabat kesiangan, karena beratnya peperangan, sehingga mereka semua terlelap tidur dan sengatan matahari pada akhirnya yang membangunkan mereka.
Ssetelah berwudhu tentunya, Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk iqamah, lalu beliau bersama-sama melaksanakan shalat subuh berjamaah walaupun waktu shalat subuh sudah habis.
Akhir dari segala itu, akhirnya Rasulullah saw mengingatkan kita semua, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:[7]
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي}
 “Siapa saja diantara lupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia ingat, tidak ada tebusan selain dengan melaksanakan shalat tersebut”, kemudian Rasulullah saw membacakan potongan ayat Al-Quran yang berbunyi:
«وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لذِّكْري»
dirikanlah shalat untuk mengingatku” (QS. Thaha: 14)
Dalam riwayat lainnya, Imam Muslim meriwayatkan:[8]
إذا رقد أحدكم عن الصلاة، أو غفل عنها، فليصلها إذا ذكرها
“Jika diantara kalain ada yang tertidur dari melaksanakan shalat, atau lalai (lupa) darinya, maka hendaklah dia mengerjakan shalatnya ketika dia ingat”
Dalam khazah fiqih Islam kita mengenal bab meng-qadha/mengganti shalat yang tertinggal. Shalat jika dikerakan pada waktunya dia disebut dengan ada-an, jika dikerjakan bukan pada waktunya di dikenal dengan ist ilah qadha-an, jika shalat diulang dan dikerjakan pada waktunya maka dia disebut i'adatan.

Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meninggalkan shalat karena udzur syar’i; tertidur atau lupa, maka dia wajib meng-qodho/mengganti shalatnya ketika dia sudah bangun dari tidur, atau ketika dia sudah ingat kembali dari lupanya, berapun jumlah shalatnya.
Untuk kasus dimana seseorang “sengaja” meninggalkan shalat, bahkan bertahun-tahun, sehingga ribuan kali shalat dia tinggalkan, disini para ulama juga sepakat bahwa dia berdosa sejumlah shalat yang dia tinggalkan, namun perkara apakah dia “wajib” menggantinya atau tidak, maka disinilah letak perbedaan diatara para ulama.
Kalau mau jujur apa adanya dengan apa yang sudah dibahas oleh para ulama, maka mayoritas ulama menilai bahwa kewajiban mengganti shalat itu berlaku untuk siapa saja dan untuk alasan apapun, baik alasannya lupa/tertidur, atau karena alasan sengaja meninggalkannya. Baik jumlah yang ditnggalkan sedikit maupun banyak.
Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Hanafi menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut:
أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة
Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit.[9]
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama mazhab Maliki menuliskan di dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :
ومن نسي صلاة مكتوبة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فذلك وقتها
Orang yang lupa mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan shalat begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia.[10]
Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'i menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
ومن وجبت عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها
Orang yang wajib mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka wajiblah atasnya untuk mengqadhanya.[11]
Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Hanbali menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[12]
Memang ada semisal Imam Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri, juga Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah yang berpendapat bahwa bagi mereka yang “sengaja” meniggalkan shalat tidak wajb menggantinya, namun baginya cukup bertaubat dengan sebenar-benar taubat.[13]
Namun jika ingin lebih aman, tentunya kedua pendapat ini kita ambil dan kita amalkan:
Mula-mula mari bertaubat kepada Allah saw atas dosa besar meninggalkan shalat dengan sengaja yang mungkin selama ini kita lakukan, banyak beristighfar, menyesal dan berusaha untuk tidak meninggalkan shalat lagi apapun kondisinya, lalu kemudian kita cicil dengan cara perlahan sejumlah shalat yang kita tinggalkan, berapapun jumlahnya, semampunya, hingga kita merasa yakin bahwa semua sudah terbayarkan,  jikapun maut datang sebelum semunya lunas, setidaknya kita sudah  
Berat memang, tapi begitulah kehidupan didunia; penuh dengan beban. Hanya di surga tempat dimana kita bersenang-senang tanpa ada beban dan tanggung jawab lagi.
Wallahu A'lam Bisshawab
---------------------------------------
Referansi:
[1] Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 241
[2] Masih menurut Ibnu Katsir, memang terjadi perbedaan pendapat perihal siapa ayah dari kedua perempuan yang ada pada ayat diatas, akan tetapi pendapat terbanyak dan termasyhur menyebutkan bahwa dia adalah nabi Syuaib as, demikian pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan Malik bin Anas. (Lihat Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 242.
[3] Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 243
[4] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid 11, hal. 172-
[5] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, jilid 1, hal. 337
[6] An-Nasai, as-Sunan as-Sughra Li an-Nasai, jilid 2, hal. 17
[7] Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid 1, hal. 122
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, hal. 477
[9] Ibnu Najim, Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 2, hal. 86
[10] Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1, hal. 223
[11] As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, hal. 106
[12] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hal. 439
[13] Lihat: Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jilid 2, hal. 10, Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah, jilid 1, hal. 404