Kamis, 22 Juli 2021

Bersentuhan Dengan Isteri, Batalkah Wudhu Suami?

 


Pertanyaan ini hampir selalu ditanyakan. Dan jawaban setiap ustadz, hampir semua berbeda. Mengapa? Sebab dalam hal ini, para ulama fiqih lintas madzhab memang berbeda pendapat.

Akar perbedaannya ada pada berbedanya ulama dari empat madzhab dalam menarik kesimpulan hukum dari QS. Al-Maidah ayat 6, yang bunyinya:

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا

“...atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)...”

Secara harfiyah, ayat tersebut menyatakan bahwa menyentuh wanita menyebabkan batalnya wudhu’ sehingga ia diperintahkan mencari air untuk berwudhu’ kembali, dan jika tidak menemukan air maka diperintahkan untuk bertayammum.

Akan tetapi, ayat diatas tidak menjelaskan secara terperinci mengenai:

  • Wanita manakah yang jika disentuh menjadikan wudhu’ seseorang menjadi batal? Wanita yang menjadi mahramnya atau bukan? Wanita yang sudah baligh ataukah yang belum?
  • Siapakah yang jika menyentuh wanita bisa membatalkan wudhu? Apakah semua gender, ataukah terbatas lelaki saja?
  • Manakah anggota tubuh wanita yang membuat penyentuhnya jadi batal wudhu’nya? Kulitnya saja ataukah gigi dan rambutnya juga?

Hal-hal tersebut membuat para ulama menarik kesimpulan berbeda dari QS. Al-Maidah ayat 6 diatas. Tentu dengan metode istimbath ahkam yang dimiliki oleh masing-masing madzhab. Berikut penjelasannya:

  1. Batal Secara Mutlak

Para ulama fiqih dari madzhab Syafi’i memandang bahwa bersentuhan kulit secara langsung antara laki-laki  dan wanita yang bukan mahramnya dapat membatalkan wudhu’ jika sentuhan itu tidak dihalangi oleh apapun seperti kain, kertas, atau lainnya.

Parameter utama dalam madzhab Syafi’i adalah “mujarrad iltiqa’ al-basyaratain”. Artinya, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita dapat membatalkan wudhu’ walau tanpa syahwat, sengaja atau tidak sengaja.

Wanita yang menjadikan laki-laki batal wudhu’ saat menyentuhnya adalah ‘musytahah’, yakni wanita yang lazimnya memiliki peluang untuk membuat laki-laki tertarik kepadanya. Ciri-cirinya antara lain : wanita yang sudah baligh dan bukan mahramnya sendiri.

Isteri bukanlah mahram bagi suaminya. Maka dalam madzhab ini sentuhan kulit antara suami-isteri membatalkan wudhu. Sengaja atau tidak sengaja. Dengan atau tanpa syahwat. Menjadi pihak yang menyentuh, ataupun yang disentuh.[1]

Dalam kitab Raudhah at-Thalibin Bab Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu’, Imam Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

الناقض الثالث: لمس بشرة امرأة مشتهاة، فإن لمس شعرا، أو سنا، أو ظفرا، أو بشرة صغيرة لم تبلغ حد الشهوة، لم ينتقض وضوءه، على الأصح. وإن لمس محرما بنسب، أو رضاع، أو مصاهرة، لم ينتقض على الأظهر.وإن لمس ميتة، أو عجوزا لا تشتهى، أو عضوا أشل، أو زائدا، أو لمس بغير شهوة، أو عن غير قصد، انتقض على الصحيح في جميع ذلك، وينتقض وضوء الملموس على الأظهر.

Pembatal (wudhu’) yang ketiga adalah menyentuh wanita musytahah. Jika ia menyentuh rambut, gigi, atau kuku wanita, atau menyentuh anak kecil yang tidak mengundang syahwat maka wudhunya tidak batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab ini (Syafi’i). Begitu juga menyentuh mahram, baik mahram karena nasab, sepersusuan atau mushaharah, maka wudhu’nya tidak batal. Adapun jika ia menyentuh wanita yang sudah meninggal atau wanita tua yang sudah tidak mengundang syahwat, atau anggota tubuh wanita yang cacat atau yang organ tambahan, atau ia sentuhan tanpa syahwat dan tidak disengaja maka wudhunya batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab, begitu juga batalnya wudhu orang yang disentuh.

  1. Tidak Batal Secara Mutlak.

Berbeda dengan madzhab Syafi’i, para ulama dalam madzhab Hanafi cenderung memaknai kalimat  “لاَمَسْتُمُ النِّسَاء” dengan makna majazi, yakni jima’ atau hubungan seksual.

Dalam madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita non-mahram (termasuk isterinya) tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak, walaupun sentuhan itu dilakukan dengan syahwat. Sebab yang menjadi patokan batalnya wudhu dalam hal ini adalah terjadinya jima’. Maka, sentuhan yang tidak sampai pada taraf hubungan seksual tidak membatalkan wudhu’.[2]

Namun ulama dalam madzhab Hanafi berbeda pendapat mengenai percumbuan antara laki-laki dan wanita dengan tanpa busana, yang menjadikan hampir seluruh tubuh mereka saling bersentuhan dengan syahwat. Tidak terjadi penetrasi, juga tidak sampai keluar air mani.

Abu Hanifah dan Yusuf memandangnya dengan kacamata istihsan yang menjadikan keduanya berhadats, sehingga otomatis membatalkan wudhu’. Berbeda dengan Muhammad Bin Hasan as-Syaibani  yang menghukuminya dengan qiyas, perbuatan tersebut tidak membatalkan wudhu’ sebab tidak sampai terjadi penetrasi atau jima’ yang sesunguhnya.[3]

Dalam kitab Fathul Qadir, Ibnul Humam menjelaskan sebagai berikut :

ولا يجب من مجرد مسها ولو بشهوة ولو فرجها، خلافا للشافعي مطلقا، ولمالك إذا مس بشهوة. لنا في الأولى عدم دليل النقض بشهوة وبغير شهوة فيبقى الانتقاض على العدم، وقوله تعالى {أو لامستم النساء} مراد به الجماع وهو مذهب جماعة من الصحابة

Tidak wajib berwudhu karena menyentuh wanita, sekalipun dengan adanya syahwat, sekalipun pada kemaluannya. Pendapat ini berbeda dengan Imam Syafi’i yang mengatakn bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu secara mutlaq, dan Imam Malik yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dnegan syahwat mewajibkan wudhu. Bagi kami (madzhab Hanafi) tidak ada dalil yang menegaskan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak. Adapun yang dimaksud dalam firman Allah: {أو لامستم النساء} adalah Jima’, dan ini adalah pendapat sebagian sahabat Rasulullah.

  1. Batal Jika Disertai Syahwat

Ulama dari madzhab Maliki dan Hambali sepakat bahwa yang membatalkan wudhu’ adalah sentuhan yang disertai syahwat. Maka, sekedar menyentuh saja tidak membatalkan wudhu’ jika tidak disertai adanya syahwat.

Akan tetapi ada beberapa perbedaan mendasar antara madzhab Maliki dan Hambali dalam masalah ini sebagaimana berikut:

       a. Madzhab Maliki

Dari segi pelaku dan objeknya, madzhab ini mengatakan bahwa yang membatalkan wudhu adalah sentuhan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah baligh terhadap orang lain sambil menikmati sentuhan tersebut, baik pihak yang disentuh itu:

  • sudah baligh atau belum baligh,
  • isterinya atau bukan,
  • mahramnya sendiri atau bukan,
  • sesama jenis atau lawan jenis,
  • langsung pada kulitnya atau dengan adanya penghalang (kain) yang tipis.

Semuanya membatalkan wudhu’ jika sentuhan yang dilakukan itu disertai adanya syahwat. Maka, dalam madzhab ini, laki-laki yang menyentuh sesama laki-laki dapat membatalkan wudhu jika sentuhan itu disertai dengan syahwat. Begitu juga jika itu terjadi antara wanita dengan sesama wanita.

Dari segi organ tubuh yang disentuh, madzhab ini tidak membedakan antara kulit atau bukan. Maka, menyentuh organ tubuh manapun jika disertai syahwat dapat membatalkan wudhu’, bahkan jika yang disentuh adalah kuku dan giginya.[4]

Dalam kitabnya Al-Kafi fi Fiqhi Ahli Al-Madinah, Ibnu Abdil Barr menjelaskan sebagai berikut :

الملامسة، وهي ما دون الجماع من دواعي الجماع فمن قبل امرأة لشهوة كانت من ذوات محارمه أو غيرهن وجب عليه الوضوء التذ أم لم يلتذ. ومن قصد إلى لمس امرأة فلمسها بيده انتقض وضوؤه إذا التذ بلمسها من فوق الثوب الرقيق الخفيف أو من تحته وسواء مس منها عند مالك شعرها أو سائر جسدها إذا التذ بلمس ذلك منها.

Mulamasah adalah salah satu bentuk percumbuan yang dilakukan suami isteri tetapi tidak sampai kepada Jima’. Orang yang mencium perempuan disertai syahwat baik itu mahramnya ataupun bukan maka ia wajib berwudhu, baik ia menikmatinya atau tidak. Seseorang yang bermaksud menyentuh perempuan, kemudian ia menyentuhnya dengan tangannya maka wudhunya batal jika sentuhan itu disertai taladzdzudz (kenikmatan), baik sentuhan itu dilakukan di atas pakaian yang tipis (adanya penghalang tipis) atau dari bawahnya (secara langsung), baik yang ia sentuh itu -menurut imam malik- rambutnya atau apapun dari anggota tubuh wanita tersebut jika disertai taladzdzudz.

Penjelasan senada diungkapkan oleh al-Qarafi dalam kitabnya Adz-Dzakhirah sebagaimana berikut :

الملامسة مس أحد الزوجين صاحبه للذة من فوق ثوب أو من تحته أو قبلة في غير الفم يوجب الوضوء

Mulamasah adalah saling menyentuh antara suami dan isteri yang disertai ladzdzah (menikmati), baik dari atas pakaian (ada penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung), atau ciuman pada selain mulut, maka hal tersebut mewajibkan wudhu.

          b. Madzhab Hambali

Ketentuan sentuhan yang membatalkan wudhu dalam madzhab Hambali adalah jika yang disentuh dengan syahwat itu adalah:

  • lawan jenis,
  • bukan mahramnya, baik itu isterinya atau bukan,
  • sudah baligh,
  • langsung pada kulitnya tanpa ada penghalang sama sekali,

Maka dalam madzhab Hambali, objek yang disentuh harusnya kulit lawan jenis non mahram (termasuk isteri) tepat pada kulitnya langsung. Sebab menyentuh gigi atau rambut tidak membatalkan wudhu’.[5]

Pendapat madzhab Hambali sebenarnya sangat mirip dengan madzhab Syafii’i, hanya saja madzhab Hambali mensyaratkan adanya syahwat sedangkan madzhab Syafi’i tidak.

Dalam kitabnya Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan sebagai berikut:

المشهور من مذهب أحمد - رحمه الله -، أن لمس النساء لشهوة ينقض الوضوء، ولا ينقضه لغير شهوة. وعن أحمد رواية ثانية، لا ينقض اللمس بحال. وعن أحمد، رواية ثالثة أن اللمس ينقض بكل حال. ولنا، عموم النص، واللمس الناقض تعتبر فيه الشهوة، ومتى وجدت الشهوة فلا فرق بين الجميع. ولا ينقض مس شعر المرأة، ولا ظفرها، ولا سنها، وهذا ظاهر مذهب الشافعي. لنا، أنه لم يلمس جسم المرأة؛ فأشبه ما لو لمس ثيابها

Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad Bin Hambal Rahimahullah bahwa menyentuh wanita yang disertai syahwat membatalkan wudhu, namun tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat. Dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara muthlaq. Dan riwayat ketiga bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq. Dan menurut pendapat yang kami pilih (mayoritas ulama madzhab Hambali) adalah keumuman nash, dan sentuhan yang membatalkan adalah sentuhan yang disertai syahwat, jika sentuhan terhadap wanita itu disertai syahwat maka tidak ada perbedaan antara mahram dan wanita ajnabiyah (non-mahram), wanita dewasa ataupun anak kecil. Dalam dzahir madzhab Syafi’i, menyentuh rambut wanita, kukunya atau giginya tidak membatalkan wudhu. Dan bagi kami (madzhab Hambali) hal demikian (menyentuh gigi dan kuku) tidak diaggap menyentuh tubuh wanita, sebagaimana menyentuh pakaiannya.

Ibnu Taimiyyah menuliskan dalam kitabnya Majmu' Fatawa sebagai berikut :

المشهور عن أحمد -: أنه إن كان بشهوة نقض الوضوء وإلا فلا

Pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad Bin Hambal bahwa menyentuh wanita jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak membatalkan.

Penutup

Demikian pendapat masing-masing madzhab yang cenderung berbeda satu sama lain.  Namun tidak untuk dijadikan ajang perselisihan di kalangan umat Islam. Sebab tiap pendapat para ulama madzhab tentu melalui proses 'istimbath ahkam' dengan metode Ushul Fiqh yang sudah dirumuskan oleh para mujtahid yang kompeten di bidangnya.

Wallahu A’lam Bishshswab.

 



[1] Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab jilid 2, hal.26

[2] Al-Fatawa al-Hindiyah jilid 1, hal.13

[3] Badai’ as-Shanai’, jilid 1, hal.147

[4] Hasyiyah ad-Dasuqi, jilid 1, hal.119

[5] Al-Mughni Li Ibni Qudamah, jilid 1, hal. 190

Jumat, 16 Juli 2021

Bolehkah Wanita Mengusap Bagian Atas Kerudungnya Sebagai Ganti Mengusap Kepala Saat Wudhu


 Mengusap sebagian kepala adalah salah satu rukun wudhu. Mengenai mengusap kerudung sebagai penggantinya, memang ada sedikit perbedaan pendapat dari para ulama. Mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa mengusap kerudung saja tidak akan cukup memenuhi rukun wudhu jika tidak disertai basahnya sebagian rambut atau kulit kepala. Berikut penjelasannya:


A. Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i.


Mayoritas ulama fiqih dari madzab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan salah satu riwayat dari madzhab Hambali mengatakan bahwa wanita tidak boleh sekedar mengusap atas kerudungnya tanpa mengusap atau membasahi rambut atau sebagian kepalanya secara langsung.


Ulama dari madzhab Maliki menambahkan bahwa jika kerudung yang dipakai diatas kepala itu tipis, sehingga air menembus rambut saat si wanita ini mengusap bagian atas kerudungnya, maka wudhu'nya tetap sah. Namun tidak sah jika tidak ada air tidak menembus kerudung dan membasahi sebagian kepala.


 Baca juga: Keutamaan dan Manfaat Berwudhu


Ada beberapa alasan mengapa jumhur ulama tidak membolehkan wanita sekedar mengusap air ke atas kerudungnya saat berwudhu':


1. Yang menjadi salah satu anggota tubuh yang wajib dibasahi adalah sebagian kepala, bukan benda yang membungkusnya atau yang menghalanginya.

2. Bolehnya mengusap bagian atas sorban tidak secara otomatis menjadi dalil atas bolehnya mengusap bagian atas kerudung. Dan dalam hal mengusap sorban-pun, Rasulullah tetap membasahi ubun-ubunnya yang tidak tertutup oleh sorban.

أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ

Bahwa Rasulullah SAW ketika berwudhu’ mengusap ubun-ubunnya dan sorbannya (HR. Bukhari)

3. Secara dzahir, QS. Al-Maidah ayat 6 dengan jelas menyatakan keharusan membasahi sebagian kepala.


Maka, wudhu' hanya sah apabila kepala, rambut atau sebagian kepala ikut terbasahi saat proses mengusap dengan air dilakukan. Adapun jika yang diusap sekedar kerudung, dan airnya tidak menembus ke rambut atau sebagian kepala, maka wudhu'nya tidak sah. Sebab pada dasarnya, membasahi kerudung bukanlah membasahi rambut, melainkan mengusap penghalangnya.


Dalam hal ini, masing-masing disebutkan dalam kitab ulama, antara lain sebagai berikut:


- Madzhab Hanafi (Bada'i as-Shana'i lil-Kasani, jilid1 halaman 5)

- Madzhab Maliki (adz-Dzakhirah lil-Qarafi, jilid 1 halaman 267)

- Madzhab Syafi'i (Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 410)


Imam Sahnun, salah satu ulama dalam madzhab Maliki mengatakan dalam kitab "Al-Mudawwanah Al-Kubra" sebagai berikut:


قال مالك في المرأة تمسح على خمارها : أنها تعيد الصلاة والوضوء .


"Imam Malik berpendapat mengenai wanita yang mengusap atas kerudungnya (saat melakukan wudhu') : dia harus mengulang shalat dan wudhu'-nya"


Pendapat tersebut senada dengan pendapat ulama lain, yakni imam Nafi', Hammad, al-Auza'i, dan an-Nakha'i.


 Baca juga: Haruskah Wanita Mengurai Rambutnya Saat Mandi Janabah ?


B. Madzhab Hambali


Ibnu Qudamah, salah satu ulama dari madzhab Hambali mengatakan bahwa dalam masalah ini mereka terbagi menjadi 2 pendapat. Pertama; tidak membolehkan mengusap air di atas kerudungnya, sebab mengusap rambut bisa dilakukan dari arah bawah kerudung sehingga menyentuh rambut secara langsung. Kedua, boleh mengusap air dari atas kepala, sebab ada 'atsar' yang mengatakan bahwa bunda Ummu Salamah (isteri Rasulullah SAW) pernah mengusapkan air dari atas kerudungnya.


beirkut pernyataan dari Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni:


أن فيه روايتين في المذهب الحنبلي إحداهما تقول بالجواز قياساً على العمامة، قال: وسئل الإمام أحمد كيف تمسح المرأة على رأسها؟ قال: من تحت الخمار ولا تمسح على الخمار، قال: وقد ذكروا أن أم سلمة كانت تمسح على خمارها.


"Sesungguhnya dalam masalah ini, ditemukan 2 riwayat dari madzhab Hambali. Salah satunya mengatakan boleh mengusap diatas kerudung dengan dalil qiyas atas bolehnya mengusap atas sorban bagi laki-laki. Ada pula riwayat bahwa Imam Ahmad pernah ditanya tentang hal tersebut, dan beliau menjawab: Boleh mengusap tapi dari bawah kerudung, bukan dari atasnya. Dan sebagian ulama lagi menyebutkan bahwa Ummu Salamah pernah mengusap atas kerudungnya."


Ulama lain dari madzhab ini yakni Ibnu Taimiyyah mengatakan hal yang agaknya serupa. Saat ditanya tentang hukum wanita yang membasuh air di atas kepalanya, beliau mengatakan bahwa hampir seluruh ulama fiqih tidak membolehkan wanita sekedar membasahi atas rambutnya, kecuali ada udzur syar'i seperti ;


[1] Sakit di daerah kepala yang mengharuskannya untuk mengindari air di wilayahnya rambut dan sebagian kepalanya,

[2] Rasa dingin luar biasa yang memberinya masyaqqah (beban/kesulitan) jika kerudungnya dilepas, atau

[3] Kekhawatiran akan terlihatnya rambut oleh laki-laki yang bukan suami dan bukan mahramnya di tempat umum.


Namun demikian, Ibnu Taimiyyah tetap menyarankan wanita yang mengusap atas kerudungnya agar tetap membasahi sebagian rambut atau kulit kepalanya walaupun sedikit.


Berikut pemaparan dari Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa jilid 21 halaman 218 :


إن خافت المرأة من البرد ونحوه مسحت على خمارها فإن أم سلمة كانت تمسح على خمارها وينبغي أن تمسح مع ذلك بعض شعرها 


"Apabila wanita takut akan hawa dingin (jika melepas kerudungnya), atau ada alasan lain yang serupa, maka ia boleh mengusap bagian atas kerudungnya (saat berwudhu'), sebab Ummu Salamah pernah mengusap bagian atas kerudungnya saat wudhu. Dan seorang wanita yang mengusap kerudungnya itu sebaiknya tetap mengusap/membasahi sebagian rambutnya."


 Baca juga: Bolehkah Mencicil Mandi Janabah ?


Penutup

Demikian pendapat para ulama mengenai hukum wanita yang mengusap kerudungnya saat berwudhu'; apakah sah atau tidak. Perlu menjadi catatan, jika yang diusap hanya kerudung atau bagian wajah seperti dahi, tentu belum dikatakan sah. Sebab yang merupakan wudhu' itu aslinya adalah kepala, daerah yang lazimnya ditumbuhi rambut.


Rambut adalah bagian dari kepala, sehingga ulama dalam madzhab Syafi'i menyebutkan bahwa asalkan rambutnya sudah basah, walaupun hanya tiga helai, dan walau pun masing-masing cuma sepanjang satu centimeter, maka rukunnya sudah terpenuhi. Sedangkan mengusap kerudung tanpa membasahi rambut, jelas tidak sah wudhu'nya. Demikian juga bila yang basah hanya dahi saja, juga tidak sah wudhu'nya. Demikian menurut mayoritas ulama Fiqih.


Yang dimaksud dengan mengusap adalah meraba atau menjalankan tangan ke bagian yang diusap dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air. Sedangkan yang disebut kepala adalah mulai dari batas tumbuhnya rambut di bagian depan (dahi) ke arah belakang hingga ke bagian belakang kepala.


Memang benar ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengusap sorbannya ketika berwudhu' khususnya ketika mengusap kepala. Namun hadits itu tidak bisa dijadikan dalil sekedar mengusap kerudung wanita. Hadits itu justru menegaskan bahwa harus ada beberapa helai rambut yang kena air.


Adapun pendapat kedua, yakni sebagian ulama dari madzhab Hambali memang membolehkan wanita mengusap bagian atas kerudungnya. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyyah. Namun demikian, dalam hal ini Ibnu Taimiyyah tetap mengharuskannya untuk langsung mengusap atau membasahi sebagian kepalanya atau beberapa helai dari rambutnya. Bukan sekedar mengusap kain kerudungnya saja.


Sebenarnya tidak ada sedikit pun kesulitan bagi wanita untuk berwudhu tanpa melepaskan kerudung. Misalnya memasukkan jari-jari tangan atau sebagian telapak tangan yang telah dibasahi dengan air sebelumnya ke sela-sela kerudung agar tersentuh rambut di dalamnya. Cara bisa dari arah wajah ke dalam, atau bisa juga dari arah bawah kerudung atau dari dalam dan bagian bawah kerudung. Yang penting tangan yang basah ini bisa menyentuh rambut, sehingga rambut itu ikut basah. Dan cara ini tentu sangat meringankan, khususnya buat wanita yang kesulitan berwudhu' di tempat umum, lantaran tidak menemukan tempat wudhu' yang tertutup.


Wallahu A'lam Bishshawab.

Haruskah Wanita Mengurai Rambutnya Saat Mandi Janabah ?


Jumhur (mayoritas) ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan sebagian dari Hambali berpendapat bahwa dalam melakukan mandi janabah, wanita tidak wajib mengurai rambutnya yang terkepang atau tergelung, yang penting air sampai ke kulit kepalanya dan membasahi seluruh kulit dan rambutnya.

Namun, jika tanpa menguraikan kepangan itu air menjadi tidak bisa membasahi seluruh rambut dan kulit kepalanya, maka gelungan dan kepangannya harus diuraikan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, isteri Rasulullah :


يا رسول الله، إني امرأة أشد ضفر رأسي فأنقضه لغسل الجنابة؟ قال: لا، إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثلاث حثيات، ثم تفيضين عليك الماء فتطهرين


"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang memiliki kepangan rambut yang sangat kuat, apakah aku harus menguraikannya pada saat mandi janabah? Rasul Menjawab: Tidak, cukup engkau memercikkan air tiga kali ke atas kepalamu, kemudian mengguyurkan air ke atasnya, lalu engkau menjadi suci" (HR. Muslim)


 Baca juga: Bolehkah Mencicil Mandi Janabah ?


Ulama dari Madzhab Hambali sepakat dengan pendapat jumhur ulama mengenai tidak wajibnya mengurai kepangan dan gelungan rambutnya pada saat mandi janabah dari jima', Namun sebagian yang lain berbeda dalam hal mandi janabah dari Haid dan Nifas.

Dalam hal wanita yang suci dari haid dan nifas, ulama Madzhab Hambali terbagi menjadi dua pendapat: Sebagian mengatakan bahwa wanita yang suci dari haid dan nifas wajib membuka gelungan dan kepangan rambutnya pada saat mandi janabah.

Namun, sebagian ulama lain dari madzhab ini mengatakan sebaliknya. Yakni bahwa wanita tidak wajib menguraikan gelungan dan kepangan rambutnya. Adapun pendapat kedua inilah yang sepakat dengan pendapat mayoritas ulama.

Mengapa sebagian ulama dari Madzhab Hambali membedakan antara mandi janabah dari jima' dan dari haid atau nifas?

Sebab mandi janabah dari jima' jauh lebih sering dilakukan. Maka akan memberatkan bagi wanita jika ia harus membuka gelungan dan kepangan rambutnya berkali-kali, apalagi jika ia menjadi pengantin baru.

Berbeda dengan wanita yang suci dari haid dan nifas, dimana ini tidak terlalu sering dilakukannya. Maka, dalam hal ini madzhab Hambali mengharuskan wanita untuk mengurai kepangan dan gelungannya saat mandi untuk bersuci. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW pada bunda Aisyah saat beliau baru bersih dari haid:


انقضي شعرك وامتشطي


"uraikanlah rambutmu, dan bersisirlah"


 Baca juga: Belum Mandi Janabah Sedangkan Haid Sudah Selesai, Bolehkah Berhubungan Suami-Isteri ?


Disini, Rasul memerintahkan Aisyah agar menguraikan dan menyisir rambutnya terlebih dahulu sebelum mandi janabah dari haidnya. Memang pada dasarnya, wanita harus membuka kepangan dan gelungannya pada saat mandi agar air mudah merata sampai pada kulit kepada dan rambutnya.

Adapun bolehnya untuk tidak membuka kepangan dan gelungan pada saat mandi janabah dari jima' itu merupakan keringanan untuk menghilangkan masyaqqah (kesulitan) karena lebih sering dilakukan dari pada mandi dari haid dan nifas.

Walau terbagi menjadi 2 pendapat, namun yang menjadi pendapat resmi dalam madzhab Hambali adalah bahwa membuka gelungan rambut saat mandi janabah, baik dari jima' maupun haid tidaklah wajib bagi wanita, melainkan sekedar anjuran saja. Yang penting kulit kepala dan rambutnya dapat terbasahi oleh air saat mandi.


Hal ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni jilid 1 halaman 226-227 :


قال بعض أصحابنا: هذا مستحب غير واجب، وهو قول أكثر الفقهاء، وهو الصحيح إن شاء الله؛ لأن في بعض ألفاظ حديث أم سلمة أنها قالت للنبي: صلى الله عليه وسلم إني امرأة أشد ضفر رأسي فأنقضه للحيضة والجنابة؟ فقال: لا، إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثلاث حثيات، ثم تفيضين عليك الماء فتطهرين . وهي زيادة يجب قبولها، وهذا صريح في نفي الوجوب


"Sebagian ulama dari madzhab kami (Hambali): hal ini (mengurai rambut) sifatnya mustahab (dianjurkan), dan inilah pendapat mayoritas ulama fiqih, dan inilah pendapat yang benar insyaa Allah, Sebagaimana hadits dari Ummu Salamah yang isinya:

'Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang memiliki kepangan rambut yang sangat kuat, apakah aku harus menguraikannya pada saat mandi janabah (dari jima') dan dari haid?

Tidak, cukup engkau memercikkan air tiga kali ke atas kepalamu, kemudian mengguyurkan air ke atasnya, lalu engkau menjadi suci'.

Lafadz HAID dalam hadits ini adalah tambahan dalil yang wajib untuk diterima, dan hadits tersebut menjelaskan tidak adanya kewajiban untuk menguraikan rambutnya (saat mandi janabah, baik dari haid maupun jima')".


 Baca juga: Wanita Haid Wajib Qadha Shalat, Benarkah?


Kesimpulan


Sebagian ulama dari madzhab Hambali mewajibkan wanita membuka gelungan dan kepangan rambutnya pada saat mandi janabah dari Haid dan Nifas. Namun itu bukan menjadi pendapat resmi madzhab ini.

Adapun pendapat resmi dari madzhab Hambali adalah bahwa membuka gelungan dan kepangan rambut bagi wanita pada saat mandi janabah itu TIDAK WAJIB, melainkan anjuran saja. Baik mandi dari Jima' maupun dari Haid dan Nifas. Asalkan air bisa merata di kulit kepala dan rambutnya. Dan inilah yang disepakati oleh Mayoritas ulama dari empat madzhab.


Wallahu A'lam bishshowab

Senin, 05 Juli 2021

Suci Dari Haid di Waktu Ashar, Wajibkah Meng-qadha Shalat Dzuhurnya?

 


Topik kali ini sangat penting untuk dibahas, sebab sepertinya masih banyak wanita yang belum benar-benar tau tentang hal ini.


"Jika ada wanita haid, kemudian di akhir durasi haidnya dia suci di waktu Ashar, apakah dia wajib meng-qadha waktu dzuhur atau tidak?"

 

Atau begini :

 

"Jika ia sudah suci di waktu isya , apakah dia wajib mengqadha shalat maghribnya?”

 

Mengapa kita membahas ini? Bukankah masing-masing merupakan waktu shalat yg berbeda? Mengapa dibahas?

 

Para ulama memandang 2 waktu ini (Dzuhur dan Ashar / Maghrib dan Isya') memiliki keterkaitan dalam waktu, atau dalam istilah fiqih disebut dengan ‘tadaaaruk al-waqt”. Dimana dua pasang waktu ini bisa digabung dalam shalat jamak. Yakni jamak taqdim dan ta’khir.

 

Dalam masalah wajibnya qadha dzuhur / maghrib saat wanita suci di waktu Ashar/ Isya' ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka masih mewajibkan dengan sebab adanya 'tadaruk al-waqt" antara Dzhuhur dengan Ashar. Tetapi sebagian ulama lainnya tidak memandang demikian.

 

Berikut rincianyna:

 

1. Madzhab Al-Hanafiyah

Mazhab Al-Hanafiyah tidak menyebutkan secara jelas apakah harus meng-qadha’ dhuhur dan maghrib jika terlewat atau tidak, akan tetapi mazhab ini hanya menyebutkan keumuman tidak wajibnya mengqadha’ shalat bagi wanita haid atas shalat-shalat yang ia tinggalkan selama masa haidnya berlangsung.

 

As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut :

 

فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتْ أَيَّامَ الصَّوْمِ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ

 

Dan jika dia (wanita haid) sudah suci, maka wajib baginya mengganti puasa (puasa wajib yang terlewat) dan tidak ada kewajiban atasnya mengganti shalat (yang terlewat). [1]

 

2. Madzhab Al-Malikiyah

Para ulama mazhab Al-Malikiyah sepakat bahwa jika seorang perempuan suci di sore hari, yakni di akhir waktu dzuhur menjelang ashar. Jika masih ada waktu yang sekiranya cukup untuk mengerjakan kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya mengerjakan shalat dhuhur, dan kemudian melaksanakan shalat ashar setelah masuk waktunya.

 

 

 

Akan tetapi jika waktu yang tersisa di sore itu hanya cukup untuk mengerjakan kira-kira 4 rakaat atau kurang dari itu, maka baginya hanya wajib mengerjakan shalat ashar tanpa mengerjakan shalat dhuhur. Karena waktunya dianggap sudah berlalu.

 

Ibnul Jallab (w. 378 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas menuliskan sebagai berikut :

 

وليس على الحائض قضاء ما فات وقته من الصلوات، وعليها أن تصلي ما أدركت وقته من الصلوات. فإن أدركت أول الوقت وجب عليها الأداء، وإن أدركت آخره فكذلك أيضًا، وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها. وإن كان الذي بقي عليها من النهار قدر أربع ركعات أو ما دونهن إلى ركعة واحدة، صلت العصر لإدراكها آخر وقتها، وسقط الظهر عنها لفوات وقتها.

 

Tidak ada kewajiban bagi seorang wanita meng-qadha’ shalat yang terlewat, kewajibannya hanya melaksanakan shalat pada waktunya. Jika dia suci di awal waktu shalat maka wajib mengerjakan shalat itu, begitupun jika dia suci di akhir waktu shalat.

 

Dan hal itu terjadi jika ia suci di siang hari (akhir waktu dzuhur), dan masih ada waktu shalat kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya shalat dhuhur, begitu juga shalat ashar dan ashar, karena dia masih masuk dalam waktu shalat (dzuhur). Dan jika waktu yang tersisa di siang hari itu hanya cukup untuk mengerjakan shalat 4 rakaat atau kurang, maka dia hanya wajib shalat ashar karena hanya mendapati akhir waktu dzuhur (menjelang ashar) dan gugur kewajiban shalat dhuhur karna waktunya sudah lewat. [2]

 

Ats- Tsa’labi (w. 422 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah menuliskan sebagai berikut :

 

فلو طهرت الحائض وبلغ الصبي لقدر خمس ركعات، فإلى أن تطهر وتلبس وبقي عليه قدر ركعة كان عليه العصر دون الظهر

 

Jika (di akhir waktu dzuhur) seorang wanita telah suci dari haid, dan anak yang baru saja baligh mendapati waktunya masih cukup untuk shalat selama 5 rakaat, maka wajib baginya dhuhur dan kemudian ashar. Namun jika waktu yang tersisa hanya cukup untuk mengerjakan 1 rakaat, maka wajib baginya shalat ashar tanpa shalat dhuhur. [3]

 

3. Madzhab Asy-Syafi’iyah

Ulama dari madzhab Asy-Syafi’iyah mengatakan, jika seorang wanita yang suci dari haid dan masih ada waktu sore (secara mutlak, tidak membatasi sisa waktunya) maka wajib baginya mengganti shalat dhuhur dan melaksanakan shalat ashar.

 

Imam Al-Haramain (w. 478 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab menuliskan sebagai berikut :

 

ثم يتفق انقطاعُ الحيض في آخر النهار، فيجب قضاءُ الظهر مع العصر

 

Kemudian mereka (ulama madzhab Syafi'i) sepakat jika darah haid sudah berhenti di akhir siang hari, maka wajib baginya qadha’ shalat Dhuhur dan Ashar. [4]

 

4. Madzhab Al-Hanabilah

Dalam permasalahan ini, ulama mazhab Al-Hanabilah dengan jelas mengatakan kewajiban bagi seorang wanita mengganti shalat dhuhur/ maghrib dan melaksanakan ashar/ isya’ walaupun waktu yang tersisa dari waktu shalat tersebut hanya sebentar.

 

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

 

ولنا ما روى الأثرم، وابن المنذر، وغيرهما، بإسنادهم عن عبد الرحمن بن عوف، وعبد الله بن عباس، أنهما قالا في الحائض تطهر قبل طلوع الفجر بركعة تصلي المغرب والعشاء، فإذا طهرت قبل أن تغرب الشمس، صلت الظهر والعصر جميعا

 

Dalam mazhab kami (Hanabilah), seperti apa yang diriwayatkan Al-Atsram, dan ibnu mundzir, dari yang lainnya dengan sanad dari Abdurrahman bin 'Auf, dan Abdullah ibnu Abbas, dalam masalah haid. Jika ia bersuci sebelum terbit fajar (akhir waktu isya) masih ada waktu satu rakaat: maka baginya sholat maghrib dan isya, dan apabila suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar), maka baginya menjama' shalat Dzuhur dan Ashar. [5]

 

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa  menuliskan sebagai berikut :

 

وَلِهَذَا قَالَ الصَّحَابَةُ كَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَغَيْرِهِ: إنَّ الْمَرْأَةَ الْحَائِضَ إذَا طَهُرَتْ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ. وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ

 

Seorang wanita yang haidh ketika sudah suci sebelum fajar (akhir waktu isya', sebelum masuk shubuh), maka ia wajib shalat maghrib dan isya. Dan apabila ia suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar sebelum masuk maghib), maka wajib baginya shalat Dzuhur dan Ashar. [6]

 

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

 

قَوْلُهُ  - وَإِنْ بَلَغَ صَبِيٌّ، أَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ، أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ، أَوْ طَهُرَتْ حَائِضٌ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بِقَدْرِ تَكْبِيرَةٍ: لَزِمَهُمْ الصُّبْحُ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ: لَزِمَهُمْ الظُّهْرُ وَالْعَصْرُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ: لَزِمَهُمْ الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ

 

Apabila seorang anak kecil telah baligh, orang kafir masuk islam, orang gila menjadi sadar, atau wanita yang haidh itu suci sebelum terbitnya matahari maka mereka wajib shalat subuh, tapi jika kejadiannya sebelum matahari terbenam maka mereka wajib shalat Dzuhur dan Ashar, dan kalau kejadiannya sebelum terbit fajar maka mereka wajib menunaikan shalat maghrib dan isya. [7]

 

Kesimpulan

Dari uraian para ulama dari empat madzhab di atas, maka kita pahami bahwa para ulama dari madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat adanya kewajiban meng-qadha shalat dzuhur bagi wanita haid yang suci di waktu ashar. Begitu juga wajibnya meng-qadha' shalat maghrib bagi ia yang suci di waktu isya'. Hanya saja masing-masing agak sedikit berbeda terkait waktunya.

 

Walaupun demikian, madzhab Hanafi menyendiri dalam pendapatnya berkaitan dengan hal ini. dan madzhab Maliki mensyaratkan adanya waktu yang cukup di akhir waktu shalat untuk melaksanakan shalat segera paska suci dari haid.

 

Wallahu’alam



[1] As-SarakhsiAl-Mabsuth, jilid 3 hal 81.

[2] Ibnul JallabAt- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas, jilid 1 hal 111.

[3] Ats- Tsa’labiAl- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah, jilid - hal 266.

[4] Imam Al-HaramainNihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab, jilid 1 hal 398.

[5] Ibnu QudamahAl-Mughni, jilid 1 hal 287.

[6] Ibnu TaimiyahMajmu' Fatawa, jilid 2 hal 347.

[7] Al-MardawiAl-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 1 hal 442.

Rabu, 30 Juni 2021

Wajibkah Melakukan Khitan Bagi Wanita? Apa Manfaatnya?

 


Khitan bagi anak perempuan tidak semasyhur khitan yang dilakukan pada anak laki-laki. Jika khitan pada anak laki-laki adalah menyunnat kulup dari batang dzakar (penis), maka tindakan khitan pada anak perempuan adalah menyunnat bagian 'clitoral hood'.

Menurut Wikipedia: "Clitoral Hood atau disebut juga preputium clitoridis and clitoral prepuce adalah lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungi clitoral glans [batang klitoris]. Berkembang sebagai bagian dari labia  [bibir]minora dan merupakan homolog dari kulup penis [biasa disebut preputium] pada kelamin laki-laki".

Dalil yang menjadi dasar pensyariatan khitan adalah sebagai berikut:

  1. Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus (QS. An-Nahl: 23).
  2. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW, "Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita." (HR. Ahmad dan Baihaqi)
  3. Dari Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Nabi Ibrahim as. Berkhitan saat berusia 80 tahun dengan qadur / kapak. (HR Bukhari dan muslim)
  4. Dari Aisyah ra, Rasulullah bersabda : “Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah” (HR. Muslim)

Dari dalil-dalil diatas, khitan bagi anak perempuan jelas disyariatkan. Namun jika ditinjau dari hukumnya, para ulama fiqih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang itu pemuliaan atas perempuan.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Madzhab ini sepakat bahwa berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan, mayoritas ulama dari madzhab ini tidak memandangnya dari kacamata hukum taklifi, namun sebagai kemuliaan bagi perempuan.

Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :

 

الختانان موضع القطع من الذّكر والفرج وهو سنّةٌ للرّجل مكرمةٌ لها

Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya Sunnah bagi laki-laki, dan bagi perempuan merupakan sebuah kemuliaan.

Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :

 

وختان المرأة ليس بسنة، وإنما هو مكرمة للرجال لأنه ألذ في الجماع

Tidaklah sunnah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki, karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami istri.[1]

 

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Qarafi (684 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :


كرهه مالك يوم الولادة ويوم السابع لأنه من فعل اليهود قال وحد الختان الأمر بالصلاة من سبع سنين إلى عشر قال ابن حبيب الختان سنة للرجال مكرمة للنساء


Makruh bagi imam Malik mengkhitan anak pada hari kelahiran ataupun hari ke tujuh, Karena itu perbuatannya orang-orang Yahudi. Dan membatasi usia khitan ketika anak berumur 7 tahun, sebagaimana diperintah untuk mereka shalat dari umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun. Ibnu Hubaib mengatakan, berkhitan bagi laki-laki sunnah, sedangkan bagi perempuan merupakan kemuliaan.[2]

Al-Hathab Ar-Ru'aini (954 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil sebagai berikut :

 

وأما الخفاض فقال ابن عرفة والخفاض في النساء الرسالة مكرمة وروى

Adapun khitan bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah mengatakan bahwa itu adalah syari’at yang mulia.[3]

3. Mazhab Asy-Syafi’i

Madzhab ini  memandang bahwa berkhitan bagi laki-laki dan perempuan itu hukumnya wajib. Sebagaimana penuturan di bawah ini:

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Minhaj At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiin fi Al-Fiqh menuliskan sebagai berikut :

 

ويجب ختان المرأة بجزء من اللحمة بأعلى الفرج والرجل بقطع ما يغطي حشفته بعد البلوغ ويندب تعجيله في سابعة

Wajib bagi perempuan berkhitan, dengan memotong sebagian daging kecil yang berada di bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki dengan menghilangkan sebagian kulit penutup bagian depan dari kemaluan, dan disunnahkan bagi laki-laki untuk menyegerakan khitan di umur tujuh tahun.[4]

Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.


(و) من (قطع شيءٍ من بظر المرأة) (الخفاض) أي اللّحمة الّتي في أعلى الفرج فوق مخرج البول تشبه عرف الدّيك، وتقليله أفضل


Dengan memotong sebagian daging kecil -yang berada di bagian atas farji, letaknya diatas tempat keluarnya urin, dan bentuknya menyerupai jengger ayam-, itu hukumnya afdhal (utama).[5]

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhafatu Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :


ويجب أيضًا (ختان) المرأة والرّجل

Diwajibkan juga berkhitan bagi perempuan dan laki-laki .[6]

Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :


(ويجب ختان المرأة بجزءٍ) أي قطعه

Diwajibkan berkhitan bagi perempuan, dengan menghilangkan sebagian daging kecil di atas kemaluannya.[7]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Adapun madzhab Al-Hanabilah, hukum berkhitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :


فأمّا الختان فواجبٌ على الرّجال، ومكرمةٌ في حقّ النّساء، وليس بواجبٍ عليهنّ

Diwajibkan bagi laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan hanya sebuah kemuliaan bagi yang mengerjakannya.[8]

Kesimpulan

Demikian pemaparan para ulama dari empat madzhab. Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib atas laki-laki maupun perempuan. Sedangkan madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan dari sisi afdhaliyyah (keutamaan). Ketiga madzhab tersebut mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.


Wallahu a’lam bishshawab


 



[1] Az-Zaila'i, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 1, hal 227

[2] Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah, jilid 4, hal 167

[3] Al-Hathab Ar-Ru'aini, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil, jilid 3, hal 258

[4] An-Nawawi, Minhajut Thalibin Wa Umdatul Muftiin, jilid 1, hal 306

[5] Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib, jilid 4, hal 164

[6] Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj, jilid 9, hal 198

[7] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj , jilid 5, hal 539

[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hal 64