Rabu, 19 Februari 2020

Hukum Qadha Shalat
by : Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA

Allah swt berfirman:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku” (QS. Thaha: 14)
Ada tiga pokok pembahasan pada ayat di atas:
[Pertama]
Ayat ini adalah penutup kisah tentang kerasulan nabi Musa as setelah sebelumnya Musa melarikan diri dari kejaran orang-orang yang akan membunuhnya hingga akhirnya sampai ke suatu negri yang bernama Madyan. Ibnu Katsir  dalam Qashash Al-Anbiya menuturkan[1], sembari duduk istirahat, Musa melihat ada dua orang perempuan yang sedang berusaha mengambil air, untuk minum ternaknya, namun terhalang karena mulut sumur tidak bisa diakses karena adanya batu besar yang menghalanginya.


Musa akhirnya membantu keduanya, mengangkat batu itu sendirian yang biasanya batu tersebut diangkat oleh sepuluh orang, dan setelah itu, tanpa bayak basa-basi Musa kembali duduk istirahat. Kejadian hari itu diceritakan kembali oleh kedua perempuan tadi dengan ayahnya yang itu tak lain adalah nabi Syuaib as[2]. Musa kemudian diminta untuk menemui ayah dari kedua peremuan tersebut untuk diberi upah atas budi baiknya. Namun nabi Musa memilih jalan lain, beliau dengan penuh kemuliaan akhirnya bersedia dirinya “disewa” untuk menjadi pengembala kambing milik nabi Syuaib, demi menjaga kehormatan dirinya dan perutnya.
Tawaran itu bermula dari ide yang dilontarkan oleh anak perempuan nabi Syuaib as, setelah sebelumnya mereka semua mendengar cerita Musa bahwa sesungguhnya keberadaan di negri Madyan itu karena lari dari kejaran Firaun, tanpa ada persiapan sama sekali, sehingga bekal pun tidak ada.
Salah satu dari kedua anak perempuan itu berkata:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(QS. Al-Qasash: 26)
Umar bin Khattab ra berkata, ini juga riwayat dari Ibnu Abbas ra, Syuraih, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin Ishaq, dan banyak lagi yang lainnya menceritakan bahwa ketika mendengar perkataan anaknya, nabi Syuaib as berkata: “Dari mana ananda mengetahui bahwa Musa adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya?” Lalu kemudian anaknya berkata: “Musa dengan sendirian berhasil mengangkat batu besar yang menutupi mulut sumur yang biasanya batu sebesar dan seberat itu diangkat oleh orang sepuluh, lalu ketika dalam perjalanan menuju ke rumah, awalnya saya yang berjalan didepan dan Musa mengikuti dari belakang, lalu Musa meminta agar beliau yang berjalan didepan dan saya dibelakang, jika beliau salah jalan cukup lempar saja batu kecil, tanpa saya harus berkata-kata”[3]
__________

Demikian kuat fisik yang digambarkan dengan mampu mengangkat batu besar sendirian, dan dapat dipercaya yang digambarkan dengan sikap yang sangat mulia, diawali dengan menjaga pandangan, dan menjaga pendengaran, yang bisa membuat jiwa terperosok kedalam dosa. Bahasa anak sekarang, kalau mata dan pendengaran saja bisa dijaga karena khawatir jiwa berdosa, apalagi hanya sebatas menjaga dan mengembala kambing, tidak mungkin rasanya Musa akan menipu mereka.
Akhirnya nabi Syuaib as menawarkan:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (QS. Al-Qasash: 27)
Musa mengiyakan:
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan" (QS. Al-Qasash: 28)
Dari semenjak saat itu hingga sepuluh tahun kedepan, menutut pendapat yang paling kuat, Musa bekerja dengan nabi Syuaib, menjadi pengembala kambing. “Para nabi dan Rasul itu jika berkata (berjanji) dia akan melakukannya/menetapinya”, demikian Imam Al-Bukhari meriwayatkan sabda Rasulullah saw.
[Kedua]
Setelah sepuluh tahun bekerja dengan nabi Syuaib as, dan menikah dengan salah satu anak perempun beliau yang umurnya paling muda, Musa meminta izin kepada nabi Syuaib as untuk kembali/pulang kampung ke Mesir, alasan sederhananya seperti yang diungkap oleh para ulama adalah kerinduan nabi Musa akan kampung halaman juga rindu dengan ibunya yang juga tidak diketahui apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di malam hari, malam jumat, musim dingin, bersama istrinya yang baru melahirkan, mereka tersesat jalan, ditengah kegelapan yang dingin itu, Musa melihat cahaya api dari kejauhan, Musa meminta istrinya untuk menetap sebentar, agar Musa bisa memastikan api yang beliua lihat, mudah-mudahan dari sana api bisa dibawa untuk memanaskan badan dan menerangi perjalanan.
Ternyata api tersebut berasal dari sebuah pohon, Musa kaget dan ta’jub melihat keindahan cahaya api yang berada dipohon tersebut, beliau mendekat, lalu tiba-tiba beliau mendengar suara:
إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci” (QS. Al-Qasash: 2)
Lalu kemudian dilanjutkan dengan dipilihnya Musa sebagai nabi dan rasul Allah swt:
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”(QS. Al-Qasash: 13-14)
Terkait dengan perintah melepas sandal/alas kaki bagi nabi Musa pada waktu itu, setidaknya ada lima pendapat, menurut Imam Al-Qurthubi:[4]
  1. Pada waktu nabi Musa diangkat menjadi rasul, beliau memakai pakaian; tutup kepala, baju (jubah), dan celana yang terbuat dari bulu domba, namun sandalnya terbuat dari kulit bangaki keledai, sehingga sandal itu dinilai najis, karena terbuat dari kulit hewan yang tidak disembelih, demikian pendapat Ka’ab, Ikrimah dan Qatadah.
  2. Ali bin Abi Thalib, juga Hasan dan Ibnu Juraij berependapat bahwa perintah itu dimaksudkan agar nabi Musa mendapat berkah dari tanah suci ditempat itu, sehingga kakinya langsung menempel dengan tanah tersebut.
  3. Ada juga yang berpendapat bahwa perintah itu dimaksudkan agar Musa lebih khsuyuk dan tawadu’ saat bermunajat kepada Allah swt, yang demikian juga sama halnya degan perilku generasi salaf (terdahulu) mereka juga melepas alas kaki saat melakukan  tawaf di ka’bah.
  4. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa melepas alas kaki itu dengan maksud sebagai penghormatan. Konon, Imam Malik, tidak menaikai kendaraan (onta) saat berada di Madinah sebagai perhormatan beliau terhadap tanah Madinah yang didalamnya banyak terdapat mayat orang-orang yang mulia. Inilah makna yang diperoleh dari perkataan Rasulullah saw kepada Basyir bin Khasashiyah ketika beliau berjalan diseputaran kuburan memakai sandal:
إِذَا كُنْتَ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَكَانِ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ
“Jika kamu, wahai Basyir, berada pada tempat semisal ini, maka lepaslah alas kakimu”
  1. Pendapat kelima ada yang mengungkap bahwa maksud melepas alas kaki itu sebagai isyarat agar nabi Musa bisa fokus menerima perintah Allah swt, dan semenara waktu “lupakan” sebentar istri dan anak ditinggal tadi.  
[Ketiga]
Dalam banyak refresensi fiqih kita akan menemukan bahwa ayat diatas (QS. Thaha: 14) pernah dibaca oleh nabi Muhammad saw dihadapan para sahabat dalam kaitannya dengan perhatian terhadap perkara shalat fardhu.
Lebih jelas, Imam Tirmidzi[5] dan Nasai[6] meriwayatkan sebuah cerita kepada kita semua, cerita Rasulullah saw “tertinggal” shalat pada waktunya, bukan karena males, bukan juga karena lesu, tapi karena kondisi peperangan yang sangat menyibukkan mereka dari menghadapi musuh-musuh Allah, yang pada waktu itu terjadi para perang khondaq. Bahkan tidak tanggung-tangung, hingga empat waktu shalat terlewatkan.
Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, dari Abdullah bin Masud, telah berkata Abdullah:
إِنَّ المُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ، حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ
”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah saw sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap.
فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan diteruskan iqamah, lalu Rasulullah saw mengerjakan shalat dzuhur, kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat ashar, kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat maghrib, dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.”
__________

Dan dalam kejadian yang lainnya, tepatnya pada perang Khaibar, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw dan para sahabat kesiangan, karena beratnya peperangan, sehingga mereka semua terlelap tidur dan sengatan matahari pada akhirnya yang membangunkan mereka.
Ssetelah berwudhu tentunya, Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk iqamah, lalu beliau bersama-sama melaksanakan shalat subuh berjamaah walaupun waktu shalat subuh sudah habis.
Akhir dari segala itu, akhirnya Rasulullah saw mengingatkan kita semua, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:[7]
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي}
 “Siapa saja diantara lupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia ingat, tidak ada tebusan selain dengan melaksanakan shalat tersebut”, kemudian Rasulullah saw membacakan potongan ayat Al-Quran yang berbunyi:
«وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لذِّكْري»
dirikanlah shalat untuk mengingatku” (QS. Thaha: 14)
Dalam riwayat lainnya, Imam Muslim meriwayatkan:[8]
إذا رقد أحدكم عن الصلاة، أو غفل عنها، فليصلها إذا ذكرها
“Jika diantara kalain ada yang tertidur dari melaksanakan shalat, atau lalai (lupa) darinya, maka hendaklah dia mengerjakan shalatnya ketika dia ingat”
Dalam khazah fiqih Islam kita mengenal bab meng-qadha/mengganti shalat yang tertinggal. Shalat jika dikerakan pada waktunya dia disebut dengan ada-an, jika dikerjakan bukan pada waktunya di dikenal dengan ist ilah qadha-an, jika shalat diulang dan dikerjakan pada waktunya maka dia disebut i'adatan.

Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meninggalkan shalat karena udzur syar’i; tertidur atau lupa, maka dia wajib meng-qodho/mengganti shalatnya ketika dia sudah bangun dari tidur, atau ketika dia sudah ingat kembali dari lupanya, berapun jumlah shalatnya.
Untuk kasus dimana seseorang “sengaja” meninggalkan shalat, bahkan bertahun-tahun, sehingga ribuan kali shalat dia tinggalkan, disini para ulama juga sepakat bahwa dia berdosa sejumlah shalat yang dia tinggalkan, namun perkara apakah dia “wajib” menggantinya atau tidak, maka disinilah letak perbedaan diatara para ulama.
Kalau mau jujur apa adanya dengan apa yang sudah dibahas oleh para ulama, maka mayoritas ulama menilai bahwa kewajiban mengganti shalat itu berlaku untuk siapa saja dan untuk alasan apapun, baik alasannya lupa/tertidur, atau karena alasan sengaja meninggalkannya. Baik jumlah yang ditnggalkan sedikit maupun banyak.
Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Hanafi menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut:
أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة
Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit.[9]
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama mazhab Maliki menuliskan di dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :
ومن نسي صلاة مكتوبة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فذلك وقتها
Orang yang lupa mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan shalat begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia.[10]
Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'i menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
ومن وجبت عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها
Orang yang wajib mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka wajiblah atasnya untuk mengqadhanya.[11]
Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Hanbali menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[12]
Memang ada semisal Imam Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri, juga Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah yang berpendapat bahwa bagi mereka yang “sengaja” meniggalkan shalat tidak wajb menggantinya, namun baginya cukup bertaubat dengan sebenar-benar taubat.[13]
Namun jika ingin lebih aman, tentunya kedua pendapat ini kita ambil dan kita amalkan:
Mula-mula mari bertaubat kepada Allah saw atas dosa besar meninggalkan shalat dengan sengaja yang mungkin selama ini kita lakukan, banyak beristighfar, menyesal dan berusaha untuk tidak meninggalkan shalat lagi apapun kondisinya, lalu kemudian kita cicil dengan cara perlahan sejumlah shalat yang kita tinggalkan, berapapun jumlahnya, semampunya, hingga kita merasa yakin bahwa semua sudah terbayarkan,  jikapun maut datang sebelum semunya lunas, setidaknya kita sudah  
Berat memang, tapi begitulah kehidupan didunia; penuh dengan beban. Hanya di surga tempat dimana kita bersenang-senang tanpa ada beban dan tanggung jawab lagi.
Wallahu A'lam Bisshawab
---------------------------------------
Referansi:
[1] Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 241
[2] Masih menurut Ibnu Katsir, memang terjadi perbedaan pendapat perihal siapa ayah dari kedua perempuan yang ada pada ayat diatas, akan tetapi pendapat terbanyak dan termasyhur menyebutkan bahwa dia adalah nabi Syuaib as, demikian pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan Malik bin Anas. (Lihat Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 242.
[3] Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 243
[4] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid 11, hal. 172-
[5] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, jilid 1, hal. 337
[6] An-Nasai, as-Sunan as-Sughra Li an-Nasai, jilid 2, hal. 17
[7] Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid 1, hal. 122
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, hal. 477
[9] Ibnu Najim, Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 2, hal. 86
[10] Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1, hal. 223
[11] As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, hal. 106
[12] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hal. 439
[13] Lihat: Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jilid 2, hal. 10, Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah, jilid 1, hal. 404

Minggu, 16 Februari 2020

Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam

 Alhamdulillah, praktisi programmer Indonesia yang juga taat ibadah dan "mengejar" sunnah benar-benar memanfaatkan ilmunya dalam sharing masalah agama.



Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam dibuat oleh anak bangsa, terdiri dari 9 Imam Hadist, lengkap dengan tulisan Arab dan artinya, aplikasi ini sangat berguna bagi muslimin yang ingin mengetahui lebih dalam tentang prilaku Nabi kita, Baginda Muhammad SAW.
Aplikasi ini juga cocok untuk para pendakwah yang saat ini banyak menggunakan gadget dalam kegiatan ceramahnya.

Hasil gambar untuk software Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam

Harganya sekitar Rp. 119.000 dan dibayarkan pertahun, tapi jika ingin menggunakan secara gratis juga bisa. Harga segitu tidaklah mahal jika ingin mendapati ilmu hadist dengan mudah, serta untuk mengembangkan produk anak bangsa, selain mendukung usaha mereka untuk menyebarkan Agama.

Download Gratis For PC : Google Drive

Download Gratis For Android : Google Play

Thanks
Memberi Nama Janin yang Keguguran

Tentu sebuah kesedihan tersendiri jika janin yang telah ditunggu kehadirannya ternyata meninggal. Baik meninggal dalam kandungan atau meninggal setelah keluar dari kandungan. Sabar dan mengharap pahala dari Allah adalah cara terbaik menghadapinya.

Tapi ada satu hal yang menjadi pertanyaan, apakah janin itu tetap diberi nama? Ternyata para ulama telah membahasnya. Meski tetap ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka.

Keluar Masih Hidup Lantas Meninggal

Jika janin telah keluar, telah ada pula tanda kehidupannya seperti bernafas, berteriak atau menangis maka ulama sepakat jika janin itu telah menjadi bayi atau manusia pada umumnya.

Maka semua ulama sepakat bahwa bayi yang telah keluar dalam keadaan hidup, lantas meninggal itu diberi nama. Karena bayi itu telah memiliki ruh dan menjadi manusia.

Keluar Sudah Meninggal

Seorang janin yang meninggal dahulu sebelum keluar dari rahim ibunya disebut dengan as-siqthu (السقط). Ibnu Manzur menyebutkan:

السَّقْطُ، بِالْفَتْحِ وَالضَّمِّ والكسرِ، والكسرُ أَكثر: الْوَلَدُ الَّذِي يَسْقُطُ مِنْ بَطْنِ أُمه قَبْلَ تَمامِه. (لسان العرب، 7/ 316)

As-siqthu; dengan fathahnya sin dan dhammah atau kasrah. Adapun dengan kasrah itu yang paling banyak yaitu anak yang keluar dari perut ibunya sebelum sempurnanya.

Para ulama berbeda pendapat terkait diberi nama atau tidak. Menurut Mazhab Hanafiyyah dan Malikiyyah; jika keluar dari perut ibunya tak ada tanda kehidupan seperti menangis atau berteriak maka tak diberi nama. Sedangkan menurut Mazhab Syafi'iyyah dan Hanabilah meski sudah meninggal sejak dalam kandungan, selama sudah berbentuk manusia atau ditiupkan ruh, maka tetap diberi nama. Kecuali jika cuma masih segumpal darah atau segumpal daging, maka itu belum disebut anak. Meski menurut mazhab Hanafiiyah dan Malikiyyah, tidak diberi nama bukan berarti dilarang diberi nama. Selengkapnya sebagai berikut:


Hanafiyyah


Dalam mazhab Hanafiyyah, tak usah diberi nama jika keluar dari rahim dalam keadaan meninggal. Bayi diberi nama hanya ketika ada tanda kehidupan setelah keluar dari rahim. Disebutkan dalam kitab Badai' as-Shanai':

رُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ قَالَ: إذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ سُمِّيَ وَغُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَوَرِثَ وَوُرِثَ عَنْهُ، وَإِذَا لَمْ يَسْتَهِلَّ لَمْ يُسَمَّ وَلَمْ يُغَسَّلْ وَلَمْ يَرِثْ. وَعَنْ مُحَمَّدٍ أَيْضًا أَنَّهُ لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَهَكَذَا ذَكَرَ الْكَرْخِيُّ وَرُوِيَ عَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُسَمَّى وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَكَذَا ذَكَرَ الطَّحَاوِيُّ. (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع (1/ 302)

Diriwayatkan dari Abu Hanifah beliau berkata: Ketika bayi berteriak setelah dilahirkan maka diberi nama, dimandikan, dishalatkan, mewarisi dan diwarisi. Jika belum berteriak maka tak diberi nama... (al-Kasani, Badai' as-Shanai', 1/ 302).

Alauddin as-Samarqandi (w. 540 H); salah seorang ulama mazhab Hanafiyyah menyebutkan bahwa tanda bayi dianggap masih hidup ketika keluar dari rahim ibunya adalah ketika berteriak atau menangis. Maka jika keluar sudah meninggal itu belum dianggap bayi.


وَلَا يصلى على من ولد مَيتا لما رُوِيَ عَن النَّبِي عَلَيْهِ السَّلَام أَنه قَالَ إِذا اسْتهلّ الْمَوْلُود صلي عَلَيْهِ وَمن لم يستهل لم يصل عَلَيْهِ لِأَن الاستهلال دلَالَة الْحَيَاة وَالْمَيِّت فِي عرف النَّاس من زَالَت حَيَاته لَا يعلم أَنه خلقت الْحَيَاة فِيهِ أم لَا فَلم يعلم بِمَوْتِهِ وَلِهَذَا قُلْنَا إِنَّه لَا يَرث وَلَا يُورث وَلَا يغسل وَلَا يُسمى لِأَن هَذِه أَحْكَام الْأَحْيَاء وَلم تثبت حَيَاته. (تحفة الفقهاء، محمد بن أحمد بن أبي أحمد، أبو بكر علاء الدين السمرقندي (المتوفى: نحو 540هـ)، 1/ 248)

... Seorang disebut mati jika diketahui sudah pernah hidup. Maka bayi yang lahir dalam keadaan tak bernyawa itu tidak mewarisi, diwarisi, dimandikan, diberi nama. Karena hukum itu berlaku untuk manusia yang diketahui hidupnya. (as-Samarqandi, Tuhfat al-Fuqaha': 1/ 248)

 

Malikiyyah


Mazhab Malikiyyah juga berpendapat sama dengan mazhab Hanafiyyah yang tak memberi nama kepada janin ketika lahir tidak dalam keadaan masih hidup. Sebagaimana pernyataan dari Imam Malik bin Anas:

وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُصَلَّى عَلَى الصَّبِيِّ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ، وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُغَسَّلُ وَلَا يُحَنَّطُ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ خَرَجَ مَيِّتًا (المدونة، 1/ 255)

Malik berkata: Bayi itu tidak dishalatkan, tidak mewarisi dan diwarisi, tidak diberi nama, tidak dimandikan selama tidak berteriak atau menangis. Karena bayi itu dianggap mati sebelum keluar dari rahim (Malik bin Anas, al-Mudawwanah: 1/ 255).


Syafi'iyyah


Sedangkan mazhab Syafi'iyyah menyebutkan bahwa as-siqthu atau janin yang keluar sudah dalam keadaan meninggal tetap sunnah diberi nama. Imam an-Nawawi menyebutkan:

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَ أَصْحَابِنَا اسْتِحْبَابُ تَسْمِيَةِ السَّقْطِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَقَتَادَةُ وَالْأَوْزَاعِيُّ. وَقَالَ مَالِكٌ لَا يُسَمَّى مَا لَمْ يَسْتَهِلَّ صَارِخًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (المجموع شرح المهذب (8/ 448)

Mazhab kita hukumnya sunnah memberi nama janin yang keluar meski sudah meninggal. Ini adalah pendapat dari Ibnu Sirin, Qatadah, al-Auza'i... (an-Nawawi, al-Majmu': 8/ 448).

Lantas bagaimana jika janin itu tak diketahui jenis kelaminnya? Diberi nama laki-laki atau perempuan? Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyebutkan tetap diberi nama yang bisa untuk laki-laki dan perempuan. Seperti Hamzah, Thalhah, Hindun, dll.


تُسَنُّ تَسْمِيَةُ سَقْطٍ نُفِخَتْ فِيهِ الرُّوحُ فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ أَذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى سُمِّيَ بِمَا يَصْلُحُ لَهُمَا كَهِنْدٍ وَطَلْحَةَ. (تحفة المحتاج في شرح المنهاج، 9/ 373)

Disunnahkan memberi nama as-siqthu yang telah ditiupkan ruh meski keluar dari perut ibunya dalam keadaan meninggal. Meski tak diketahui laki-laki atau perempuan. Diberi nama yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan seperti Hamzah, Thalhah, Hindun. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj, 9/ 373).

Meski dalam mazhab Syafi'iyyah, jika masih berupa segumpal darah atau daging maka belum disebut as-siqthu. Maksudnya jika masih berupa segumpal darah atau segumpal daging itu tak disunnahkan diberi nama, meski juga tak dilarang. Sebagaimana  pernyataan dari Imam an-Nawawi al-Jawiy (w. 1316 H):


وَخرج بِالسقطِ الْعلقَة والمضغة لِأَنَّهُمَا لَا يسميان ولدا. (نهاية الزين، محمد بن عمر نووي الجاوي البنتني إقليما، التناري بلدا (المتوفى: 1316هـ) ص: 156)

Tidak disebut as-siqthu jika masih berupa segumpal darah atau daging. Karena belum disebut sebagai anak manusia. (an-Nawawi al-Jawiy, Nihayat az-Zain: 156).


Hanabilah


Mazhab Hanbali berpendapat sama dengan mazhab Syafiyyah, sebagaimana perkataan dari Ibnu Qudamah:


 (فصل) ويستحب أن يسمى السقط لأنه يروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: "سموا أسقاطكم فإنهم أسلافكم" رواه ابن السماك باسناده (الشرح الكبير على متن المقنع (2/ 337)

Pasal: Disunnahkan memberi nama as-siqthu atau bayi yang lahir dalam keadaan meninggal. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: Berilah nama as-siqthu kalian, karena mereka adalah orang yang telah mendahului kalian. (Ibnu Qudamah, as-Syarh al-Kabir: 2/ 337).

Meski hadits yang dijadikan sandaran oleh Ibnu Qudamah ini dianggap lemah. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikhnya. Sebagaimana pernyataan dari Alauddin dalam kitabnya Kanzul Ummal: 16/ 423.