Senin, 05 Juli 2021

Suci Dari Haid di Waktu Ashar, Wajibkah Meng-qadha Shalat Dzuhurnya?

 


Topik kali ini sangat penting untuk dibahas, sebab sepertinya masih banyak wanita yang belum benar-benar tau tentang hal ini.


"Jika ada wanita haid, kemudian di akhir durasi haidnya dia suci di waktu Ashar, apakah dia wajib meng-qadha waktu dzuhur atau tidak?"

 

Atau begini :

 

"Jika ia sudah suci di waktu isya , apakah dia wajib mengqadha shalat maghribnya?”

 

Mengapa kita membahas ini? Bukankah masing-masing merupakan waktu shalat yg berbeda? Mengapa dibahas?

 

Para ulama memandang 2 waktu ini (Dzuhur dan Ashar / Maghrib dan Isya') memiliki keterkaitan dalam waktu, atau dalam istilah fiqih disebut dengan ‘tadaaaruk al-waqt”. Dimana dua pasang waktu ini bisa digabung dalam shalat jamak. Yakni jamak taqdim dan ta’khir.

 

Dalam masalah wajibnya qadha dzuhur / maghrib saat wanita suci di waktu Ashar/ Isya' ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka masih mewajibkan dengan sebab adanya 'tadaruk al-waqt" antara Dzhuhur dengan Ashar. Tetapi sebagian ulama lainnya tidak memandang demikian.

 

Berikut rincianyna:

 

1. Madzhab Al-Hanafiyah

Mazhab Al-Hanafiyah tidak menyebutkan secara jelas apakah harus meng-qadha’ dhuhur dan maghrib jika terlewat atau tidak, akan tetapi mazhab ini hanya menyebutkan keumuman tidak wajibnya mengqadha’ shalat bagi wanita haid atas shalat-shalat yang ia tinggalkan selama masa haidnya berlangsung.

 

As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut :

 

فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتْ أَيَّامَ الصَّوْمِ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ

 

Dan jika dia (wanita haid) sudah suci, maka wajib baginya mengganti puasa (puasa wajib yang terlewat) dan tidak ada kewajiban atasnya mengganti shalat (yang terlewat). [1]

 

2. Madzhab Al-Malikiyah

Para ulama mazhab Al-Malikiyah sepakat bahwa jika seorang perempuan suci di sore hari, yakni di akhir waktu dzuhur menjelang ashar. Jika masih ada waktu yang sekiranya cukup untuk mengerjakan kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya mengerjakan shalat dhuhur, dan kemudian melaksanakan shalat ashar setelah masuk waktunya.

 

 

 

Akan tetapi jika waktu yang tersisa di sore itu hanya cukup untuk mengerjakan kira-kira 4 rakaat atau kurang dari itu, maka baginya hanya wajib mengerjakan shalat ashar tanpa mengerjakan shalat dhuhur. Karena waktunya dianggap sudah berlalu.

 

Ibnul Jallab (w. 378 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas menuliskan sebagai berikut :

 

وليس على الحائض قضاء ما فات وقته من الصلوات، وعليها أن تصلي ما أدركت وقته من الصلوات. فإن أدركت أول الوقت وجب عليها الأداء، وإن أدركت آخره فكذلك أيضًا، وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها. وإن كان الذي بقي عليها من النهار قدر أربع ركعات أو ما دونهن إلى ركعة واحدة، صلت العصر لإدراكها آخر وقتها، وسقط الظهر عنها لفوات وقتها.

 

Tidak ada kewajiban bagi seorang wanita meng-qadha’ shalat yang terlewat, kewajibannya hanya melaksanakan shalat pada waktunya. Jika dia suci di awal waktu shalat maka wajib mengerjakan shalat itu, begitupun jika dia suci di akhir waktu shalat.

 

Dan hal itu terjadi jika ia suci di siang hari (akhir waktu dzuhur), dan masih ada waktu shalat kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya shalat dhuhur, begitu juga shalat ashar dan ashar, karena dia masih masuk dalam waktu shalat (dzuhur). Dan jika waktu yang tersisa di siang hari itu hanya cukup untuk mengerjakan shalat 4 rakaat atau kurang, maka dia hanya wajib shalat ashar karena hanya mendapati akhir waktu dzuhur (menjelang ashar) dan gugur kewajiban shalat dhuhur karna waktunya sudah lewat. [2]

 

Ats- Tsa’labi (w. 422 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah menuliskan sebagai berikut :

 

فلو طهرت الحائض وبلغ الصبي لقدر خمس ركعات، فإلى أن تطهر وتلبس وبقي عليه قدر ركعة كان عليه العصر دون الظهر

 

Jika (di akhir waktu dzuhur) seorang wanita telah suci dari haid, dan anak yang baru saja baligh mendapati waktunya masih cukup untuk shalat selama 5 rakaat, maka wajib baginya dhuhur dan kemudian ashar. Namun jika waktu yang tersisa hanya cukup untuk mengerjakan 1 rakaat, maka wajib baginya shalat ashar tanpa shalat dhuhur. [3]

 

3. Madzhab Asy-Syafi’iyah

Ulama dari madzhab Asy-Syafi’iyah mengatakan, jika seorang wanita yang suci dari haid dan masih ada waktu sore (secara mutlak, tidak membatasi sisa waktunya) maka wajib baginya mengganti shalat dhuhur dan melaksanakan shalat ashar.

 

Imam Al-Haramain (w. 478 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab menuliskan sebagai berikut :

 

ثم يتفق انقطاعُ الحيض في آخر النهار، فيجب قضاءُ الظهر مع العصر

 

Kemudian mereka (ulama madzhab Syafi'i) sepakat jika darah haid sudah berhenti di akhir siang hari, maka wajib baginya qadha’ shalat Dhuhur dan Ashar. [4]

 

4. Madzhab Al-Hanabilah

Dalam permasalahan ini, ulama mazhab Al-Hanabilah dengan jelas mengatakan kewajiban bagi seorang wanita mengganti shalat dhuhur/ maghrib dan melaksanakan ashar/ isya’ walaupun waktu yang tersisa dari waktu shalat tersebut hanya sebentar.

 

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

 

ولنا ما روى الأثرم، وابن المنذر، وغيرهما، بإسنادهم عن عبد الرحمن بن عوف، وعبد الله بن عباس، أنهما قالا في الحائض تطهر قبل طلوع الفجر بركعة تصلي المغرب والعشاء، فإذا طهرت قبل أن تغرب الشمس، صلت الظهر والعصر جميعا

 

Dalam mazhab kami (Hanabilah), seperti apa yang diriwayatkan Al-Atsram, dan ibnu mundzir, dari yang lainnya dengan sanad dari Abdurrahman bin 'Auf, dan Abdullah ibnu Abbas, dalam masalah haid. Jika ia bersuci sebelum terbit fajar (akhir waktu isya) masih ada waktu satu rakaat: maka baginya sholat maghrib dan isya, dan apabila suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar), maka baginya menjama' shalat Dzuhur dan Ashar. [5]

 

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa  menuliskan sebagai berikut :

 

وَلِهَذَا قَالَ الصَّحَابَةُ كَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَغَيْرِهِ: إنَّ الْمَرْأَةَ الْحَائِضَ إذَا طَهُرَتْ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ. وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ

 

Seorang wanita yang haidh ketika sudah suci sebelum fajar (akhir waktu isya', sebelum masuk shubuh), maka ia wajib shalat maghrib dan isya. Dan apabila ia suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar sebelum masuk maghib), maka wajib baginya shalat Dzuhur dan Ashar. [6]

 

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

 

قَوْلُهُ  - وَإِنْ بَلَغَ صَبِيٌّ، أَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ، أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ، أَوْ طَهُرَتْ حَائِضٌ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بِقَدْرِ تَكْبِيرَةٍ: لَزِمَهُمْ الصُّبْحُ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ: لَزِمَهُمْ الظُّهْرُ وَالْعَصْرُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ: لَزِمَهُمْ الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ

 

Apabila seorang anak kecil telah baligh, orang kafir masuk islam, orang gila menjadi sadar, atau wanita yang haidh itu suci sebelum terbitnya matahari maka mereka wajib shalat subuh, tapi jika kejadiannya sebelum matahari terbenam maka mereka wajib shalat Dzuhur dan Ashar, dan kalau kejadiannya sebelum terbit fajar maka mereka wajib menunaikan shalat maghrib dan isya. [7]

 

Kesimpulan

Dari uraian para ulama dari empat madzhab di atas, maka kita pahami bahwa para ulama dari madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat adanya kewajiban meng-qadha shalat dzuhur bagi wanita haid yang suci di waktu ashar. Begitu juga wajibnya meng-qadha' shalat maghrib bagi ia yang suci di waktu isya'. Hanya saja masing-masing agak sedikit berbeda terkait waktunya.

 

Walaupun demikian, madzhab Hanafi menyendiri dalam pendapatnya berkaitan dengan hal ini. dan madzhab Maliki mensyaratkan adanya waktu yang cukup di akhir waktu shalat untuk melaksanakan shalat segera paska suci dari haid.

 

Wallahu’alam



[1] As-SarakhsiAl-Mabsuth, jilid 3 hal 81.

[2] Ibnul JallabAt- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas, jilid 1 hal 111.

[3] Ats- Tsa’labiAl- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah, jilid - hal 266.

[4] Imam Al-HaramainNihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab, jilid 1 hal 398.

[5] Ibnu QudamahAl-Mughni, jilid 1 hal 287.

[6] Ibnu TaimiyahMajmu' Fatawa, jilid 2 hal 347.

[7] Al-MardawiAl-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 1 hal 442.

Minggu, 20 Juni 2021

Belum Mandi Janabah Sedangkan Haid Sudah Selesai, Bolehkah Berhubungan Suami-Isteri ?



Salah satu larangan bagi wanita yang sedang haid adalah berhubungan suami-isteri. Dan bagi wanita yang sudah berhenti atau selesai masa haidnya namun belum sempat mandi janabah, ada sedikit perbedaan di kalangan ulama Fiqih tentang boleh atau tidaknya berhubungan intim bagi wanita tersebut.

 

1. Madzhab Al-Hanafiyah                  

 

Ulama dari madzhab ini membolehkan wanita haid yang sudah berhenti darah haidnya untuk berhubungan suami isteri, walau belum mandi janabah, dengan syarat sudah melewati hari ke-10 sejak hari pertama haidnya. Durasi 10 hari adalah durasi maksimal haid dalam madzhab Hanafi. [1]

Ada beberapa ketentuan bagi wanita haid terkait boleh dan tidaknya berhubungan intim usai berhentinya darah haid. Sebagaimana dijelaskan oleh salah satu ulama madzhab Hanafi, yakni Ibnu Abdin dalam kitabnya Hasyiyah, yakni :

 

a. Darah berhenti di akhir durasi maksimal haid, atau lebih.

Dalam madzhab Hanafi, durasi maksimal haid adalah 10 hari. Ketika darahnya benar-benar berhenti pada hari ke-10 atau lebih, ia boleh berhubungan seksual walaupun belum sempat mandi janabah. Yang penting darahnya benar-benar sudah berhenti keluar. Akan tetapi wanita tersebut tetap dianjurkan menunda hubungan seksual sampai ia melakukan mandi janabah terlebih dulu.

 

b. Darah berhenti sebelum mencapai durasi maksimal haid (sebelum hari ke-10)

Jika darahnya berhenti sebelum mencapai hari ke-10 dari hari pertama haid, ia tidak boleh berhubungan suami-isteri sebelum mandi janabah.

 

c. Darah berhenti setelah mencapai durasi kebiasaan

Poin ini berlaku bagi wanita Mu'taadah, yakni wanita yang memiliki siklus haid teratur dimana ia bisa memprediksi durasi haidnya dengan cara melihat dari kebiasaannya. Misalnya, wanita yang setiap bulannya selalu memiliki durasi haid yang tetap (6 hari, atau 7 hari, atau 8 hari, dst).

Bagi wanita Mu'taadah yang terbiasa haid selama 6 hari (misalnya), jika darah haidnya sudah berhenti di hari ke-6 atau lebih, maka ia boleh berhubungan suami isteri setelah mandi janabah. Dan tidak boleh melakukannya sebelum mandi janabah.

 

d. Darah berhenti sebelum mencapai durasi kebiasaan  

Poin ini juga hanya berlaku bagi wanita Mu'taadah.

Wanita mu'tadah yang terbiasa haid selama 7 hari (misalnya), jika darahnya keluar di hari ke-4 atau ke-5 atau ke-6, maka ia belum boleh berhubungan suami-isteri, bahkan walaupun ia sudah mandi janabah.

Artinya, wanita mu'tadah hanya boleh berhubungan intim jika : [1] darahnya berhenti di akhir durasi kebiasaannya, dan [2] sudah mandi janabah terlebih dulu.

 

Catatan:

Dari poin-poin diatas dapat disimpulkan bahwa madzhab Hanafi tidak membolehkan wanita yang baru selesai haidnya untuk berhubungan suami-isteri sebelum mandi janabah. Kecuali jika sudah mencapai hari ke-10 atau lebih sejak hari pertama keluarnya haid.

 

2. Madzhab Al-Malikiyyah, As-Syafi'iyyah, Al-Hanabilah.

 

Jumhur Ulama dari madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa wanita yang bersih dari haid masih belum boleh melakukan hubungan intim selama ia belum melakukan mandi janabah. [2]

Sebab wanita haid yang hendak melakukan hubungan intim harus melalui 2 fase, yakni : At-Thuhr (berhentinya darah haid) dan Al-ghusl (melakukan mandi janabah). Hal tersebut disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222 yang isinya :

 

 

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

 

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)

 

Dalam ayat diatas terdapat dua redaksi yang harus difahami, yakni :

 

يَطْهُرْنَ

تَطَهَّرْنَ

 

Yang pertama (يَطْهُرْنَ) bermakna "suci" secara hakiki yakni berhentinya darah haid. Dan yang kedua (تَطَهَّرْنَ) bermakna "bersuci" yakni melakukan mandi janabah untuk mengangkat hadats besarnya usai haid.

Bahkan ulama dari madzhab Maliki menegaskan bahwa bersuci dengan tayammum saja tidak menjadikan wanita tersebut boleh berhubungan intim dengan suaminya sampai ia benar-benar mandi janabah menggunakan air. [3]

 

Kesimpulan

 

Mayoritas ulama fiqih (selain madzhab Hanafi) berpendapat bahwa wanita haid yang sudah berhenti darahnya tidak boleh berhubungan seksual sebelum ia melakukan mandi janabah. Hal tersebut sesuai dengan QS. Al-Baqarah : 222.

Adapun ulama dari madzhab Hanafi memang membolehkan wanita haid yang sudah berhenti darahnya untuk berhubungan intim, dengan syarat sudah melewati durasi maksimal haid, yang dalam madzhab ini 10 hari. Dalam keadaan inipun, madzhab ini tetap menganjurkan si wanita untuk mandi janabah tersebih dahulu.

 

Wallahu A'lam Bishshawab.



[1] Hasyiyah Ibn Abdin, jilid 1 hal. 195

[2] Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Jilid 18, hal. 325

[3] Hasyiyah Ad-Dasuqi 'Ala Asy-Syarh Al-Kabir, jilid 1 hal. 173


Kamis, 01 Oktober 2020

Siklus Darah Haid Terputus-putus; Antara Haid & Istihadlah

 Banyak wanita mengeluh karena siklus haid yang kadang tidak teratur. Tak jarang ada yang mengalami haid beberapa hari, kemudian berhenti darahnya, lalu selang beberapa hari keluar lagi, padahal masih dalam satu fase haid dan di bulan yang sama.


Ada pula wanita yang sudah terbiasa haid teratur dan stabil tapi tiba-tiba berubah menjadi tidak teratur karena sebab tertentu, misalnya habis melahirkan, atau sedang memakai alat kontrasepsi.


Wanita Dengan Siklus Haid Teratur


Dalam ilmu Fiqih ada istilah Mu’taadah, artinya: Wanita yang punya kebiasaan haid yang stabil dan teratur. Patokannya bukan tiap tanggal berapa dia haid setiap bulannya, akan tetapi berapa hari lamanya mengalami haid setiap bulannya.


Setiap wanita Mu’tadah berbeda mengenai berapa lama kebiasaan haidnya, ada yang biasa mengalami haid 6 hari, ada yang terbiasa 7 hari, 8 hari, atau mungkin 10 hari di tiap bulannya. Biasanya, wanita akan tahu kebiasaannya apabila sudah mengalami 3 kali haid dan setiap haid itu durasinya selalu stabil dan teratur.


Seluruh ulama ahli Fiqih sepakat jika darah Mu’tadah sudah tidak keluar lagi sebelum kebiasaan masa haidnya berakhir, maka wanita ini sudah suci dan boleh menunaikan shalat. Jika wanita terbiasa mengalami haid selama 6 hari, sedangkan pada satu waktu haid darahnya sudah berhenti di hari ke-4 dan tidak keluar lagi, maka ia sudah masuk masa suci mulai sejak berhentinya darah.


Akan tetapi dalam kondisi demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya jima’ dengan suami. Menurut jumhur (mayoritas) ulama fiqih dari madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali ia sudah boleh berjima dengan suaminya, karena memang sudah suci. Walaupun ulama dari kalangan madzhab Hanafi belum membolehkan itu sampai berlalu masa kebiasaan haidnya untuk ihtiyath atau berhati-hati. (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jilid 18, hal. 304)



Wanita Dengan Siklus Haid Tidak Teratur


Bagaimana dengan para wanita yang siklus haidnya tidak teratur? Bisa jadi teratur di satu fase, tapi bisa jadi di waktu-waktu berikutnya tidak teratur lagi. Banyak yang mengalami berhentinya darah di tengah-tengah waktu kebiasaan, kemudian setelah bersuci ternyata keluar lagi. Adapula yang darahnya masih keluar padahal sudah melewati jumlah hari kebiasaan haid.


Berikut ini Penulis akan jelaskan pendapat para ulama Fiqih mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas:


a. Madzhab Hanafi


Madzhab hanafi sangat menggaris bawahi istilah Mu’tadah dan bukan Mu’tadah dalam menentukan darah haid dan istihadhah. Menurut madzhab ini, Mu’tadah yang darahnya keluar melewati masa kebiasaan haidnya maka dihukumi istihadhah. Misalnya, bila ada wanita terbiasa haid 7 hari pada tiap bulannya, kemudian pada satu masa haid ternyata darahnya tetap mengalir di hari selanjutnya, maka darah yang keluar melewati 7 hari itu dianggap istihadhah.


Begitupula bila wanita terbiasa haid selama 6 hari, kalau tiba-tiba darahnya masih belum berhenti di hari ke-7 maka darah yang keluar di hari ke-7 dan selanjutnya itu dihukumi sebagai darah istihadhah.


Namun jika pada tiap bulannya ia terbiasa keluar haid melebihi 10 hari (misalnya terbiasa mengalami haid 11 hari atau 13 hari), maka yang dihukumi sebagai haid adalah 10 hari pertama, dan darah yang keluar melewati 10 hari dianggap istihadhah. Sebab  menurut madzhab ini masa maksimal keluarnya darah haid adalah 10 hari 10 malam. Maka darah yang keluar melewati batas 10 hari dihukumi istihadhah.


Bila darah terputus di tengah-tengah masa haid


Madzhab Hanafi berpendapat bahwa wanita yang mengalami terputusnya darah haid, lalu beberapa hari kemudian darahnya keluar lagi, maka darah kedua ini dianggap darah haid juga. Dengan syarat darah kedua ini keluar di dalam masa rentang 10 hari (masa maksimal haid menurut madzhab ini)


Saat darah teputus, apakah wanita boleh shalat atau tidak?


Madzhab Hanafi mewajibkan wanita untuk menunaikan shalat di saat darahnya sedang berhenti keluar. Misalnya, bila wanita haid di tanggal 1-4 lalu darahnya berhenti di tanggal 5-6, kemudian darah keluar lagi di tanggal 7-9. Pada kondisi ini, tanggal 1-4 dan tanggal 7-9 si wanita tidak boleh shalat karena sedang haid, sedangkan di tanggal 5-6 saat darah berhenti si wanita tetap wajib shalat.


 b. Madzhab Maliki


Apabila darah keluar di hari pertama, lalu terputus, kemudian keluar lagi. Maka darah yang pertama dan kedua dianggap satu fase darah haid. Dengan syarat bahwa darahnya tidak terputus atau tidak berhenti lebih dari 15 hari (yakni masa minimal suci menurut madzhab ini).


Pada masa terputusnya / berhentinya darah itu, ia wajib melaksanakan shalat krna ia dianggap suci. Dan saat darah haid keluar lagi (dalam rentang masa 15 hari tersebut), maka ia kembali dianggap haid dan tidak boleh menunaikan shalat.


Misalnya, bila seorang wanita keluar haid di tanggal 1-5, kemudian darahnya terputus atau berhenti di tanggal 6-8, kemudian ternyata keluar lagi darahnya di tanggal 9-10. Maka, tanggal 1-5 dan tanggal 9-10 ia berada dalam keadaan haid, sedangkan tanggal 6-8 dianggap suci dan wajib melaksanakan shalat.


Teori dari madzhab Hanafi dan Maliki mengenai terputusnya darah di tengah-tengah masa haid agaknya hampir sama, hanya saja dua madzhab ini berbeda dalam menetapkan masa minimal dan maksimal haid.


Menurut Madzhab Hanafi, masa minimal haid adalah 3 hari, sedangkan maksimalnya adalah 10 hari. Sedangkan menurut madzhab Maliki, masa minimal haid adalah beberapa tetes saja, sedangkan maksimalnya adalah 18 hari bagi Mu’tadah dan 15 hari bagi yang bukan Mu’tadah.


 c. Madzhab Syafi'i


 Ulama dari madzhab Syafi’i berpendapat bahwa darah yang berhenti kemudian keluar lagi dianggap seluruhnya satu 'paket' haid. Artinya, bahwa jika wanita haid mengalami masa terputusnya/berhentinya darah yang disusul keluarnya darah kedua, semua masa itu dianggap masa haid. Dengan syarat:


1. sejak pertama darah keluar hingga habisnya darah kedua itu tidak melebihi masa maksimal haid (15 hari).


2. darah yang berhenti itu ada di antara 2 masa keluarnya darah yang sempat terputus.


3. darah pertama yang belum sempat terputus sudah keluar minimal sehari semalam. (Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 119)


Misalnya: bila wanita mengalami haid pada tanggal 1-4, kemudian darah terputus dan tidak keluar di tanggal 5-7, lalu darah keluar lagi di tanggal 8-12, maka dari tanggal 1 hingga tanggal 12 dianggap seluruhnya dalam keadaan haid. Konsekwensinya, selama 12 hari itu ia dilarang menunaikan shalat.


Madzhab ini sepertinya lebih memudahkan para wanita untuk menghitung hari-hari haidnya. Apalagi bagi wanita yang siklus haidnya tidak teratur.


 d. Madzhab Hambali


Pendapat dar madzhab ini lebih sederhana, yakni apabila darah haid wanita berhenti, baik karena terputus atau tidak, maka ia dihukumi sebagaimana wanita yang suci. Dan jika darahnya keluar lagi pada rentang masa 'aadah atau kebiasaan haidnya, maka berarti ia kembali haid dan tidak boleh melaksanakan shalat. (al-Kaafi juz 1 hal. 186)


Demikian pendapat dari masing-masing madzhab muktamad. Mudah-mudahan dapat membantu para muslimah dalam menentukan haid dan tidaknya. Hal ini penting, sebab dengan mengetahuinya, para muslimah dapat mengerti kapan ia harus melaksanakan ibadah-ibadah tertentu seperti shalat dan puasa, dan kapan ia tidak boleh melaksanakannya.


Wallahu A’lam Bisshawab.


Selasa, 29 September 2020

Denda Berhubungan Seksual Saat Haid

 Ulama Fiqih sepakat bahwa berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar. Ulama dari kalangan madzhab Syafi'i berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing 1 dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid, atau 1/5 dinar jika dilakukan di pertengahan-akhir haid.


Pendapat diatas didukung oleh ulama dari madzhab Hanafi. Hanya saja, madzhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami saja, dan tidak pada istri. Karena larangan itu ditujukan pada suami saja.


Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadits berikut:


إذا وقع الرجل أهله وهى حائض إن كان دما أحمر فدينار وان كان اصفر فنصف دينار


"Seorang laki-laki menjima' istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda 1 dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, maka dendanya 1/5 dinar." (HR. Tirmidzi)


Sedangkan ulama dari madzhab Hambali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar, tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan atau di akhir masa haid.


Madzhab Maliki berpendapat tidak ada denda apapun dalam perbuatan itu, baik atas si suami atau si istri.


Apakah Dengan Membayar Denda, Lalu Dosa Terhapus?


Belum tentu. Berhubungan suami istri saat istri sedang haid adalah perbuatan dosa besar. Selama keduanya tidak bertaubat pada Allah, maka dosa tersebut akan tetap melekat pada diri mereka.


Yang harus dilakukan oleh keduanya tidak cukup hanya membayar denda sebagaimana tertulis di atas. Namun, juga harus disertai taubat yang melibatkan 3 hal:

- meminta ampun pada Allah,

- menyesali perbuatan dengan sebenar-benarnya,

- dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.


Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari perbuatan dosa, dan semoga Allah memberi ampunan bagi orang-orang yang bertaubat. Amin.


Wallahu A'lam Bishshawab.

Rabu, 25 Maret 2020

Darah Keluar Saat Hamil, Haid Atau Bukan?

Lazimnya, wanita hamil tidak mengalami haid. Namun ternyata sebagian wanita ada yang keluar darah selama kehamilannya. Ada yang mengalaminya beberapa hari di trimester tertentu, bahkan adapula yang mengalaminya secara konsisten tiap bulan hingga usia kehamilan mencapai 9 bulan. Apakah darah ini haid ataukah istihadhah?
Para ulama berbeda pendapat mengenai  hal ini:

a. Madzhab al-Hanafiyah dan al-Hanabilah.

Ulama dari madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa darah yang keluar selama kehamilan bukanlah darah haid, melainkan darah fasad yang hukumnya sama dengan istihadhah. Sebab wanita hamil tidak bisa mengalami haid. Maka, saat keluar darah wanita hamil ini tetap wajib melaksanakan shalat dan puasa sebagaimana saat ia suci.[1]
Sebagaimana yang disabdakan Nabi terhadap seorang lelaki yang hendak menikahi wanita hamil karena zina :
"Dan wanita hamil (sebab zina) tidak boleh dijima' sampai ia melahirkan, dan begitu pula yang tidak hamil sampai ia mengalami haid." (HR. Abu Dawud)
Dari hadits diatas diketahui bahwa haid menjadi suatu sebab atas kosongnya rahim dari janin. Dengan demikian, maka kedua hal itu (Hamil dan Haid) tidak bisa dialami dalam satu waktu.

Begitupula dalam hadits Rasulullah saat beliau melarang Ibnu Umar untuk menceraikan isterinya yang sedang dalam keadaan haid.
"Perintahkan padanya (Ibnu Umar) agar merujuk isterinya kembali, jika ia ingin menceraikannya maka ceraikan pada saat isterinya itu sedang dalam keadaan suci atau dalam keadaan hamil".(HR. Muslim)
Dalam hadits diatas diketahui bahwa kehamilan menjadi tanda ketiadaan haid.

Pendapat ini dijelaskan oleh As-Sarakhsi, salah satu ulama dari madzhab Hanafi dalam kitabnya Al-Mabsuth [2]

ومن الدماء الفاسدة ما تراه الحامل فقد ثبت لنا أن الحامل لا تحيض، وذلك مروي عن عائشة - رضي الله عنها - وعرف أنها إذا حبلت انسد فم رحمها فالدم المرئي ليس من الرحم فيكون فاسدا

"Salah satu jenis darah fasid adalah darah yang keluar saat hamil, dan telah jelas bagi kami (madzhab Hanafi) bahwa wanita hamil tidaklah mengalami haid. Hal itu sebagama yang diriwayatkan dari Aisyah RA 'Diketahui bahwa wanita jika hamil, maka tertutuplah mulut rahimnya, maka darah yang terlihat saat hamil itu bukanlah keluar dari dalam rahimnya, sehingga darah itu dihukumi sebagai darah fasid'.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Imam Az-Zaila'i yang juga dari madzhab Hanafi dalam kitabnya Tabyin al-Haqa'iq [3] :

عن ابن عباس - رضي الله عنهما - أنه قال: إن الله رفع الحيض عن الحبلى وجعل الدم رزقا للولد وقالت عائشة - رضي الله عنها - إن الحامل لا تحيض؛ ولأن فم الرحم ينسد بالحبل كذا العادة وفيما ذكر أنه ينفتح فمه بخروج الولد 

"Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya Allah telah mengangkat haid dari wanita hamil, dan menjadikan darah itu sebagi rizki untuk si janin. Dan Aisyah RA juga berkata: ”wanita hamil itu tidak haid”. Dan karena pada saat hamil mulut rahim tertutup dan dia akan membuka lagi saat si bayi itu keluar." 
Walau madzhab ulama Hambali mengatakan bahwa darah yang keluar pada saat hamil bukanlah darah haid, namun mereka tetap menganjurkan (mustahab) wanita hamil yang mengalaminya untuk mandi janabah setelah darah berhenti keluar, untuk tujuan ihtiyath (berhati-hati) dan khuruj 'anil khilaf (menghindari perbedaan pendapat ulama).[4]

b. Madzhab al-Malikiyah dan asy-Syafi'iyyah

Ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i berpendapat bahwa wanita hamil bisa saja mengalami haid jika memenuhi syarat, seperti durasinya, warnanya maupun gejalanya. Misalnya jika ada wanita hamil yang melihat darah keluar selama minimal sehari semalam dan warnanya kehitaman, maka darah itu adalah haid[5].
Ulama dari madzhab ini mengambil keumuman dalil dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Asiyah RA :
"Darah haid itu dikenal dengan warnanya yang kehitaman ".(HR. Abu Dawud)
Ada pula atsar dari Aisyah RA mengenai wanita hamil yang melihat keluarnya darah, Aisyah RA mengatakan : "sesungguhnya wanita ini harus meninggalkan shalat" Dan hal ini menjadi ijma' di kalangan penduduk Madinah[6].
Ibnu Abdil Barr, salah satu ulama dari madzhab Maliki mengatakan dalam kitabnya Al-Istidzkar[7] sebagai berikut :

ذكر مالك أنه سأل بن شهاب عن (المرأة) الحامل ترى الدم قال تكف عن الصلاة قال مالك وذلك الأمر عندنا ولم يختلف عن يحيى بن سعيد وربيعة أن الحامل إذا رأت دما فهو حيض تكف من أجله عن الصلاة

"Malik menyebutkan bahwasanya Ibnu Syihab bertanya tentang wanita hamil yang melihat darah keluar, ia menjawab: dia (wanita itu) tidak boleh shalat. Malik berkata: itu adalah pendapat mazhab kita. Dan tidak ada yang menyelisihi riwayat dari Yahya bin Said dan Robiah bahwasanya wanita hamil jika melihat darah maka itu adalah haid, oleh karena itu ia tidak boleh shalat."
Imam Nawawi, salah satu ulama dari madzhab Syafi'i juga berpendapat serupa. Dalam Kitab Raudhah at-Thalibin [8], beliau menyebutkan pendapat Imam as-Syafi'i mengenai hal ini :

القديم: أنه دم فساد. والجديد الأظهر: أنه حيض. وسواء ما تراه قبل الحمل وبعدها، على المذهب

"Dalam qoul qodimnya (Imam Syafi'i): bahwasanya itu darah fasid (istihadhoh). Dan dalam qoul jadidnya: itu darah haid, baik itu yang keluar sebelum hamil ataupun sesudahnya."
Pada kitab yang sama, di halaman berikutnya beliau menambahkan [9] :

ثم على القديم: هو حدث دائم، كسلس البول. وعلى الجديد: يحرم فيه الصوم والصلاة. وتثبت جميع أحكام الحيض

"Dalam qaul qadim: ia (darah itu) adalah hadats yang berlangsung lama, seperti halnya wasir. Dan dalam qaul jadid beliau (Imam Syafi'i) mengatakan: haram baginya melaksanakan shalat dan puasa (karena itu darah haidh), dan bagi wanita itu berlaku semua hukum terkait haidh."

Kesimpulan

Mayoritas wanita hamil tidak mengalami perdarahan yang berlangsung lama, jikapun ada flek atau bercak darah yang keluar, biasanya hanya keluar sedikit dan tidak lama. Namun sebagian dari mereka ada juga yang mengalami pedarahan yang lumayan lama dan berlangsung beberapa hari, bahkan sebagian yang lain juga ada yang mengalaminya setiap bulan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ulama dari madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa wanita hamil tidak mengalami haid. Maka, jika ada wanita hamil keluar darah selama kehamilannya, maka itu bukan haid, melainkan darah rusak (fasid). Bahkan jikapun darah yang keluar itu berlangsung selama berhari-hari dan kehitaman layaknya haid.
Darah fasid hukumnya sama dengan istihadhah, ia bukan hadats besar. Artinya, wanita ini tetap wajib melaksanakan semua kewajiban wanita suci, seperti shalat dan puasa Ramadhan. 
Sedangkan ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i mengatakan bahwa darah yang keluar dari wanita hamil bisa disebut darah haid jika memenuhi beberapa syarat, seperti durasi dan sifat-sifat darahnya. Maka, jika wanita hamil melihat darah keluar minimal sehari semalam secara konsisten, dan darahnya kehitaman, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah haid. Untuk itu berlaku baginya semua larangan wanita haid, seperti haramnya shalat dan thawaf, serta larangan berhubungan seksual dengan suaminya.
Adapun darah yang tidak memenuhi sifat-sifat darah haid, maka itu tidak dinamakan darah haid. Seperti darah yang keluarnya tidak konsisten dan hanya berupa flek dan bercak, atau tetesan darah yang warnanya merah segar bercampur lendir, ini semua tidak disebut dengan darah haid melainkan darah istihadhah. Begitu juga darah yang keluar setelah bayi lahir, darah ini bukanlah haid, melainkan darah nifas.
Wallahu A'lam Bishshawab.
Aini Aryani, Lc, LLB (Hons)
Bibliografi :
[1] Hasyiyah Ibn Abdin jilid 1 hal 189.
[2] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth jilid 3 hal 149.
[3] Az-Zaila'i, Tabyin al-Haqa'iq jilid 1 hal 67.
[4] Al-Buhutiy, Kasysyaf al-Qinna' jilid 1 hal 202.
[5] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj jilid 1 hal 118.
[6] Ibnu Abdin, Hasyiyah jilid 1 hal 189.
[7] Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar jilid 1 hal 327
[8] Imam Nawawi, Raudhah At-Thalibin jilid 1 hal 174
[9] Ibid, hal 175

Selasa, 06 Agustus 2019

Wanita Haid Wajib Qadha Shalat, Benarkah?

Wanita haid harus qadha’ shalat? Pernyataan itu bisa keliru, bisa benar. Ada beberapa model qadha’ shalat bagi wanita haid.

Haid Tidak Wajib Qadha’ Shalat
Wanita haid itu tidak boleh shalat. Hal itu didasari dari hadits Nabi:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي» صحيح البخاري (1/ 73)
Dari Aisyah r.a berkata, Nabi bersabda: Jika datang haid, maka tinggalkanlah shalat. Jika haidnya selesai, maka mandilah, bersihkan darahnya lalu shalatlah. (HR. Bukhari).
Secara mendasar, wanita haid selain dilarang shalat, mereka juga tidak diperintahkan mengganti shalatnya nanti saat suci. Hal itu didasari dari hadits Aisyah:
عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ» صحيح مسلم (1/ 265)
Aisyah berkata: Kita ketika haid, diperintahkan mengganti puasa tapi tidak diperintahkan mengganti shalat. (HR. Muslim).
Maka, wanita yang haid itu tak diwajibkan mengganti shalat yang telah ditinggalkan saat mereka haid.
Hanya saja memang ada beberapa model wanita yang haid, tapi dia tetap diperintahkan mengganti beberapa shalat yang ditinggalkan saat haid. Shalat itu adalah sebagai berikut:
Haid Wajib Qadha: Sudah Masuk Waktu, Belum Shalat Keburu Haid
Model pertama adalah wanita yang sudah melewati masuknya waktu shalat. Dia tidak segera shalat di awal waktu, malah datang haid duluan.
Maka, ketika haid dia tidak boleh shalat. Tetapi karena sudah masuk waktu shalat dan dia dalam keadaan masih suci, belum haid maka dia sudah mendapatkan kewajiban shalat.
Apakah dia berdosa karena tidak segera shalat? Tidak berdosa. Karena waktu shalat masih ada, dia boleh shalat baik di awal waktu maupun di akhir waktu. Dan haid itu bukan sesuatu yang bisa diprediksi dengan presisi kapan keluar darahnya. Meskipun sebaiknya tetap shalat itu di awal waktu. Apalagi kalo sudah masuk waktu biasanya wanita datang haid.
Nanti jika dia sudah suci, maka shalat yang ditinggalkan itu wajib diganti. Sebagai contoh, ada wanita sudah jam 1 siang, tapi belum shalat. Ternyata datang haid. Maka nanti waktu suci, dia wajib qadha’ shalat dzuhur dahulu. Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan:
وَنَصَّ فِيمَا إذَا أَدْرَكَتْ مِنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ قَدْرَ الْإِمْكَانِ ثُمَّ حَاضَتْ أَنَّهُ يَلْزَمُهَا الْقَضَاءُ. (المجموع شرح المهذب، للنووي، 4/ 368)
Nash dari Imam Syafii, bahwa perempuan jika mendapati awal waktu shalat dan dia bisa shalat seharusnya, lantas haid. Maka nanti jika suci dia wajib qadha’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 4/ 368)
Haid Wajib Qadha’: Suci di Waktu Isya’, Wajib Qadha’ Maghrib. Suci di Waktu Ashar, Wajib Qadha’ Dzuhur
Model kedua adalah wanita yang suci dari haid di waktu isya’ atau waktu ashar. Maka jika sucinya di waktu isya’ sampai sebelum shubuh, setelah mandi wajib dia wajib shalat maghrib sebagai qadha’ dahulu lalu shalat isya’. Atau jika sucinya di waktu ashar, maka setelah mandi dia wajib shalat dzuhur dulu sebagai qadha’ lalu shalat ashar.
Selain suci di dua waktu tadi, maka tidak wajib shalat qadha’. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari Shahabat, Tabiin, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Dari kalangan Malikiyyah, Ubaidullah bin al-Husain al-Milikiy (w. 378 H) menyebutkan:
وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها... وإن طهرت في الليل وقد بقي عليها قبل طلوع الفجر قدر أربع ركعات صلت المغرب والعشاء لإدراكها آخر وقتها (التفريع في فقه الإمام مالك بن أنس، عبيد الله بن الحسين بن الحسن أبو القاسم ابن الجَلَّاب المالكي (المتوفى: 378هـ)، 1/ 111)
Jika wanita haid itu suci, saat menjelang masuk waktu maghrib dia bisa shalat 5 rakaat, maka wajib bagi dia shalat dzuhur dan ashar. Karena dia telah mendapatkan waktu kedua shalat tadi... Jika dia sucinya di waktu malam menjelang masuk waktu shubuh, dia bisa shalat 4 rakaat, maka dia wajib shalat maghrib dan isya’. (Ubaidullah bin Husain, at-Tafri’ fi Fiqh al-Imam Malik, hal. 1/111)
Dari kalangan Syafi’iyyah, Imam Nawawi (w. 676 H) menyebutkan:
وإن كان ذلك (الطهر) في وقت العصر أو في وقت العشاء، قال في الجديد: يلزمه الظهر بما يلزم به العصر ويلزم المغرب بما يلزم به العشاء. (المجموع شرح المهذب 3/ 64)
Jika sucinya di waktu ashar atau waktu isya, maka Imam Syafii dalam qaul jadidnya mewajibkan perempuan untuk qadha’ dzuhur lantas shalat ashar, atau qadha’ maghrib lalu shalat isya’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 3/ 64)
Dari kalangan Hanbaliyyah, Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) menyebutkan:
مَسْأَلَةٌ: قَالَ: (وَإِذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَبَلَغَ الصَّبِيُّ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، صَلَّوْا الظُّهْرَ فَالْعَصْرَ، وَإِنْ بَلَغَ الصَّبِيُّ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَطَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ، صَلَّوْا الْمَغْرِبَ وَعِشَاءَ الْآخِرَةِ) وَرُوِيَ هَذَا الْقَوْلُ فِي الْحَائِضِ تَطْهُرُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَطَاوُسٍ، وَمُجَاهِدٍ، وَالنَّخَعِيِّ، وَالزُّهْرِيِّ، وَرَبِيعَةَ، وَمَالِكٍ، وَاللَّيْثِ، وَالشَّافِعِيِّ، وَإِسْحَاقَ، وَأَبِي ثَوْرٍ. قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ، إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ قَالَ: لَا تَجِبُ إلَّا الصَّلَاةُ الَّتِي طَهُرَتْ فِي وَقْتِهَا وَحْدَهَا. وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الْأُولَى خَرَجَ فِي حَالِ عُذْرِهَا، فَلَمْ تَجِبْ كَمَا لَوْ لَمْ يُدْرِكْ مِنْ وَقْتِ الثَّانِيَةِ شَيْئًا. (المغني لابن قدامة، 1/ 287)
(Masalah) Jika wanita haid suci, orang kafir masuk Islam, anak kecil balig sebelum matahari terbenam, maka dia wajib qadha’ dzuhur lalu shalat ashar. Jika sebelum fajar terbit, maka dia qadha’ maghrib lalu shalat isya’.
Ini adalah pendapat dari Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, Thawus, Mujahid, an-Nakhai, az-Zuhri, Rabiah, Malik, al-Laits, Syafii, Ishaq, Abu Tsaur.
Imam Ahmad berkata: Semua tabiin berpendapat seperti ini, kecuali Hasan saja. Dia tidak mewajibkan kecuali shalat yang di waktunya saja. Ini adalah pendapat at-Tsauri dan ashab ar-ra’yi. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 1/ 287).
Dalilnya apa? Pertama, ini adalah fatwa dari hampir semua shahabat dan tabiin dan juga ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah. Kedua, shalat dzuhur dan ashar, serta maghrib dan isya’ itu sebenarnya bagi orang yang punya udzur bisa dianggap satu waktu, karena bisa dijamak. Maka jika suci di waktu kedua, shalat di waktu pertama juga wajib diqadha’. Itulah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Semoga bermanfaat. Waallahua’lam bisshawab.