Selasa, 30 Juni 2020

Biografi Imam Jalaluddin Al-Mahalli




Al-Imam Jalaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Syihabuddin Ahmad bin Kamaluddin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim Al-`Abbasi Al-Anshari Al-Mahalli Al-Qahiri Asy-Syafi`i (bahasa Arabالإمام جلال الدين أبو عبدالله محمد بن شهاب الدين أحمد بن كمال الدين محمد بن إبراهيم بن أحمد بن هاشم العباسي الأنصاري المحلي القاهري الشافعي‎) lahir di KairoMesir pada awal Syawwal 791 H/September 1389 wafat pada Sabtu pagi, pertengahan Ramadhan 864 H/1459. Al-Mahalli dinisbatkan dengan daerah Al-Mahallah Al-Kubra yang sekarang ini masuk kedalam Kegubernuran Al GharbiyahMesir.

Guru-gurunya

Jalaluddin al-Mahalli memiliki banyak guru diantaranya:
  • Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhazmad bin Abdu ad-Da'im An-Nu`aimi Al-`Asqalani Al-Barmawi Al-Qahiri Asy-Syafi`i yang lebih dikenal dengan Syamsu al-Barmawi (763 - 831 H), dalam ilmu fikih, ushul fikih dan bahasa Arab, ia tinggal di Madrasah Al-Baibarsiyyah tempat Jalaluddin al-Mahalli belajar
  • Al-Imam Al-Faqih Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad Al-Baijuri, lebih dikenal dengan Burhan Al-Baijuri (825 - 750 H) dalam ilmu fikih
  • Al-Imam Al-Muhaddits Jalaluddin Abu al-Fadhl Abdurrahman bin Umar bin Ruslan Al-Kanani Al-`Asqalani Al-Bulqini Al-Mishri, lebih dikenal dengan Jalal Al-Bulqini (763 - 824 H) dalam bidang hadits
  • Al-Imam Al-Muhaddits Waliyuddin Abu Zur`ah Ahmad bin Al-Muhaddits Abdurrahim Al-`Iraqi (762 - 826 H) dalam bidang ilmu hadits
  • Al-Imam Al-Hafidz Qadhi al-Qudhat `Izuddin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Jama`ah Al-Kanani (694 - 767 H), dalam bidang hadits dan ushul fiqih
  • Asy-Syaikh Syihabuddin Al-`Ajimi, cucu Ibnu Hisyam, dalam bidang nahwu
  • Asy-Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Syihabuddin Ahmad bin Shalih bin Muhammad bin Abdullah bin Makki Asy-Syanuthi (Wafat 873 H) dalam bidang nahwu dan bahasa Arab
  • Al-Imam Nashiruddin Abu Abdillah Muhammad bin Anas bin Abu Bakr bin Yusuf Ath-Thanatada'i Al-Mishri Al-Hanafi (Wafat 809 H), dalam bidang ilmu waris dan ilmu hitung
  • Al-Imam Badruddin Mahmud bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad Al-Aqshara'i (Wafat 825 H), dalam bidang ilmu logika, ilmu debat, ilmu ma`ani, ilmu bayan, ilmu `arudh dan ushul fikih
  • Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Ath-Tha'i Al-Basathi Al-Maliki (670 - 842 H), dalam bidang tafsir, ushuluddin, dan lain-lain
  • Al-Imam `Ala'uddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Bukhari Al-Hanafi (799 - 841 H)
  • Asy-Syaikh Al-`Allamah Nizhamuddin Yahya bin Yusuf bin Muhammad bin Isa Ash-Shairami Al-Hanafi (777 - 833 H, dalam bidang fikih
  • Asy-Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr bin Khudhar bin Musa, lebih dikenal dengan Ibnu Ad-Dairi (788 - 862 H
  • Asy-Syaikh Majduddin Al-Barmawi Asy-Syafi`i
  • Asy-Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Khalil Al-Gharaqi Asy-Syafi`i (Wafat 816 H) dalam bidang fikih
  • Asy-Syaikh Syihabuddin Ahmad bin Abi Ahmad Muhammad bin Abdullah Al-Maghrawi Al-Maliki (Wafat 820 H
  • Asy-Syaikh Kamaluddin Abu Al-Baqa' Muhammad bin Musa bin Isa bin Ali Ad-Damiri (742 - 808 H), hadir dalam sebagian kajiannya
  • Asy-Syaikh Syihabuddin Abu al-`Abbas Ahmad bin `Imad bin yusuf bin Abdu an-Nabi al-Aqfahasi Al-Qahiri, lebih dikenal dengan Ibnu al-`Imad (750 - 808 H)
  • Asy-Syaikh Badruddin Muhammad bin Ali bin Umar bin Ali bin Ahmad Ath-Thanabadi
  • Syaikh al-Islam Al-Imam Syihabuddin Ibnu Hajar Al 'Asqalani (773 - 852 H) dalam bidang hadits dan ilmu hadits
  • Asy-Syaikh Jamaluddin Abdullah bin Fadhlullah, dalam bidang hadits
  • Al-Imam Al-Muhaddits Syarafuddin Abu Thahir Muhammad bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi`i, lebih dikenal dengan Ibnu Al-Kuwaik (737 - 821 H)
  • Al-Imam Al-`Allamah Syamsuddin Abu Al-Khair Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf bin Al-Jazari Asy-Syafi`i (752 - 833 H)
  • Asy-Syaikh Nashiruddin Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Nashiruddin Al-`Ajami As-Samnudi Asy-Syafi`i, lebih dikenal dengan Ibnu Mahmud (Wafat 855 H), Jalaluddin al-Mahalli menghafal al-Qur'an kepadanya ketika masih kecil

Karya-karyanya

  • Al-Badru ath-Thali` fi Halli Jam`i al-Jawami`, merupakan Syarh dari Jam`u al-Jawami` yang ditulis oleh Tajuddin As-Subuki, kitab dalam ilmu ushul fiqih, dan kitab ini memiliki banyak hasyiyah antara lain:
    • Hasyiyah Syaikh Al-Islam Kamaluddin bin Abi Syarif (Lahir pada tahun 905 H) kitab ini bernama Al-Badru Al-Lami`
    • Hasyiyah Syaikh Al-Islam Zakariya Al-Anshari (Wafat pada tahun 926 H) (Manuskrip terdapat di Perpustakaan Al-Azhar)
    • Hasyiyah Al-`Allamah Nashiruddin Al-Liqani, dicetak pada tahun 1332 H
    • Hasyiyah Asy-Syaikh As-Sanbathi Asy-Syafi`i (Manuskrip terdapat di Perpustakaan Al-Azhar)
    • Hasyiyah Asy-Syaikh Ali Al-Bukhari (Manuskrip terdapat di Perpustakaan Al-Azhar)
    • Hasyiyah Asy-Syaikh Syihabuddin Al-Barlusi, yang lebih dikenal dengan nama `Amirah
    • Hasyiyah Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Banani (Wafat pada tahun 1198 H) dicetak bersama Syarh Al-Imam Al-Mahalli di Bulaq pada tahun 1285 dan 1297 H dalam 2 jilid, dicetak di Percetakan Al-Khairiyyah pada tahun 1308 H, dicetak di Percetakan Al-Azhar pada tahun 1309 H serta dicetak di Percetakan Al-Maimuniyyah dan Percetakan Asy-Syarafiyyah pada tahun 1318 H.
    • Hasyiyah Al-Imam Al-`Allamah Hasan Al-`Aththar (Wafat pada tahun 1250 H, dicetak di Percetakan Al-`Ilmiyyah, Kairo pada tahun 1313, 1316 dan 1318 H
  • Syarh Al-Waraqat yang ditulis Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Syarh ini memiliki beberapa Hasyiyah antara lain:
    • Hasyiyah Asy-Syaikh Ahmad Ad-Dimyathi, dicetak bersama Syarh oleh Percetakan Al-Maimuniyyah pada tahun 1315 H dan Percetakan Daar al-Kutub Al-`Arabiyyah pada tahun 1338 H
    • Hasyiyah Asy-Syaikh Muhammad As-Sanbathi(Manuskrip terdapat di Perpustakaan Al-Azhar)
    • Hasyiyah Asy-Syaikh Muhammad Ash-Shafati (Manuskrip terdapat di Perpustakaan Al-Azhar)
    • Hasyiyah Asy-Syaikh Muhammad bin `Ibadah Al-`Adawi (Manuskrip terdapat di Perpustakaan Al-Azhar)
    • Hasyiyah Asy-Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi (Manuskrip terdapat di Perpustakaan Al-Azhar)
  • Kanzu ar-Raghibin fi Syarhi Minhaji ath-Thalibin Imam An-Nawawi
  • Ia melengkapi Tasfir yang belum diselesaikan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi, sehingga tafsir tersebut dinamai sebagai Tafsir Jalalain
  • Syarh Mukhtashar Burdah
  • Al-Anwar Al-Madhiyah
  • Al-Qaul Al-Mufid fi An-Nail As-Sa`id
  • Ath-Thib An-Nabawi
  • Kitab fi Al-Manasik
  • Kitab fi Al-Jihad
  • Syarh Al-Qawa`id Ibnu Hisyam, ia belum melengkapinya
  • Syarh At-Tashil Ibnu Malik
  • Hasyiyah `ala Jaami`i Al-Mukhtasharat, ia belum melengkapinya
  • Hasyiyah Jawahir Al-Isnawi, ia belum melengkapinya
  • Syarh Asy-Syamsiyyah fi Al-Manthiq, ia belum melengkapinya

Murid-muridnya

  • Al-Imam Nuruddin Abu Al-Hasan Ali bin Al-Qadhi Afifuddin Abdullah bin Aham, lebih dikenal dengan nama As-Samhudi, Ulama, Mufti, Pengajar dan Sejarawan di Madinah (Lahir pada bulan Shafar 844 H, wafat di Madinah pada tahun 911 H), ia mempelajari Syarh al-Minhaj, Jam`ul Jamami`, dan lain-lain.
  • Asy-Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad bin Abu Bakr bin Ali bin Mas`ud bin Ridhwan Al-Mari Al-Maqdisi lebih dikenal dengan nama Ibnu Abi Syarif (836 - 923 H) lahir di Yerusalem kemudian pergi ke Kairo dan mempelajari Syarh Jam`ul Jawami`
  • Asy-Syaikh Syihabuddin Abu Al-Fattah Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Musa Al-Absyaihi Al-Mahalli, ia mempelajari Syarh al-Minhaj dan Syarh Jam`ul Jamami`
  • Asy-Syaikh Khairuddin Abu Al-Khair Muhammad bin Muhammad bin Daud Ar-Rumi Al-Qahiri Al-Hanafi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Al-Farra' (814 - 897 H), ia mempelajari bidang fikih dan ushul fikih
  • Asy-Syaikh Kamaluddin Abu Al-Fadhl Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Bahadir Al-Maumani Ath-Tharablusi Al-Qahiri Asy-Syafi`i (Wafat 877 H, ia mempelajari Syarh al-Minhaj, Syarh Jam`ul Jamami`, Syarh Alfiyah Al-`Iraqi, dan lain-lain
  • Asy-Syaikh Shalahuddin Muhammad bin Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Khalaf bin Kamil Al-Manshuri Ad-Dimyathi, Qadhi di Dimyath, lebih dikenal dengan nama Ibnu Kamil (Wafat 887 H)
  • Asy-Syaikh Syamsuddin Abu Al-Barakay Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf bin Al-Baz Al-Asyhab Manshur bin Syibl Al-Ghiraqi (795 - 858 H)
  • Asy-Syaikh Najmuddin Muhammad bin Syarafuddin Muhammad bin Najmuddin Muhammad bin Sirajuddin Umar bin Ali bin Ahmad Al-Qurasyi Ath-Thanabadi Al-Qahiri Asy-Syafi`i, lebih dikenal dengan nama Ibnu `Arab, (Lahir pada bulan Rajab tahun 831 H
  • Asy-Syaikh Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Musa Asy-Syihab Al-Bairawati Al-Khanaki Asy-Syafi`i
  • Asy-Syaikh `Imaduddin Abu al-Fida' Ismail bin Ibrahim bin Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Ibrahim bin Sa`dulah bin Jama`ah (825 - 861 H, ia mempelajari Syaikh Jam`ul Jawami` dan lain-lain
  • Asy-Syaikh Hisamuddin Husain bin Muhammad bin Hasan Al-Ghazi Asy-Syafi`i atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Al-Harasy
  • Asy-Syaikh Syarafuddin Abdul Haq bin Syamsuddin Muhammad bin Abdul Haq bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul `Al As-Sanbathi, ia mempelajari beberapa kitab (Wafat 842 H
  • Asy-Syaikh Zainuddin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Syaraf bin Al-Lu'lu'i Ad-Dimasyqi bin Qadhi `Ajlun, (Lahir 839 H
  • Asy-Syaikh Zainuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Haji bin Fadhl As-Santawi, ia mempelajari fikih dan ushul fikih
  • Asy-Syaikh Abdullah bin Ahmad bin Abi Al-Hasan Ali bin Isa bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Isa Al-Jamal Al-Hasani As-Samhudi (Lahir 804 H) ia mempelajari bahasa Arab, Syarh Ibnu Aqil, fikih, ushul fikih, dan lain-lain
  • Asy-Syaikh Ali bin Daud bin Sulaiman bin Khalad bin `Audh bin Abdullah bin Muhammad bin Nuruddin Al-Jaujari, Khatib Masjid Raya Toulon, ia hadir di beberapa kajian Jalaluddin Al-Mahalli
  • Asy-Syaikh Nuruddin Ali bin Muhammad bin Isa bin Umar bin `Athif Al-`Adani Al-Yamani Asy-Syafi`i, lebih dikenal dengan nama Ibnu `Athif (Lahir 812 H
  • Asy-Syaikh Sirajuddin Umar bin Hasan bin Umar bin Abdul Aziz bin Umar An-Nawawi, ia mempelajari Syarh Al-Minhaj
  • Asy-Syaikh Najmuddin Muhammad bin Burhanuddin Ibrahim bin Jamaluddin Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman, lahir 833 H di Yerusalem, ia mempelajari Syarh Jam`ul Jawami`
  • Asy-Syaikh Syarafuddin Yahya bin Muhammad bin Sa`id bin Falah bin Umar Al-`Abasi Al-Qahiri Asy-Syafi`i, lebih dikenal dengan nama Al-Baqani, lahir pada tahun 827 H dan wafat pada tahun 900 H, ia mempelajari tafsir
  • Asy-Syaikh Abu Bakr bin Quraisy bin Ismail bin Muhammad Quraisy Azh-Zhahiri, lahir pada tahun 850 H
  • Asy-Syaikh Al-Imam Ali bin Muhammad bin Isa bin Yusuf bin Muhammad Al-Asymuni, lahir pada bulan Sya`ban 838 H dan wafat pada hari Sabtu, 17 Dzulhijjah 918 H
  • Asy-Syaikh Burhanuddin Abu Al-Hasan Ibrahim bin Umar bin Hasan bin Ali bin Abu Bakr Al-Buqa`i (809 - 885 H


Sumber dari kitab:
  • (Arab) Husnul Muhadharah fi Tarikh Mishr wa Al-Qahirah, Husnul Muhadharah fi Tarikh Mishr wa Al-Qahirah, Jilid 1, Halaman 252, Jalaluddin As-Suyuthi, 1967.
  • (Arab) Syadzarat adz-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab, Syadzarat adz-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab, Jilid 9, Halaman 447-448, Abu Al-Falah Abdul Hayy bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Imad Al-`Akari Al-Hanbali, 1987.
  • (Arab) Al-Khuthath At-Taufiqiyyah Al-Jadidah, Al-Khuthath At-Taufiqiyyah Al-Jadidah, Jilid 15, Halaman 21-22, Ali Mubarak, 1889.
  • (Arab) Shafaahat Lam Tunasyir min Bada`i'i az-Zuhur, Shafaahat Lam Tunasyir min Bada`i'i az-Zuhur, Halaman 68, ’Muhammad Mushthafa Ibnu Iyas, 1951.
  • (Arab) Adh-Dhau' Al-Lami` Li Ahli Al-Qarni At-Tasi`, Adh-Dhau' Al-Lami` Li Ahli Al-Qarni At-Tasi`, Jilid 7, Halaman 39-41, Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad As-Sakhawi, 1992.
  • (Arab) Adz-Dzail At-Tam `ala Duali al-Islam, Adz-Dzail At-Tam `ala Duali al-Islam, Jilid 2, Halaman 80-81, Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad As-Sakhawi, 1992.
  • (Arab) Al-A`lam Qamus Tarajim, Al-A`lam Qamus Tarajim, Jilid 5, Halaman 333, Khairuddin Az-Zirikli, 2002.
  • (Arab) Mu`jam Al-Mu'allifin, Mu'jam Al-Mu'allifin, Jilid 8, Halaman 311-312, Umar Ridha Kahalah, 1993.
Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani



Syekh Nawawi al-Bantani
Ulama Pejuang serta Sufi Asal Banten

Riwayat Hidup Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khaul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Ayah beliau bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
__________

Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah beliau kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayah beliau mengajar para santri.

Syekh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat.  Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian beliau memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impian beliau untuk mukim dan menetap di sana.

Di Mekkah Syekh Nawawi melanjutkan belajar pada guru-guru yang terkenal, pertama kali beliau mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, Syekh Nawawi belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Syekh Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.

Setelah  memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya beliau menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, beliau tercatat sebagai Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena beliau harus banyak menulis kitab.
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian kolegan beliau yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabat beliau yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karya Syekh Nawawi yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami orang awam.

Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain, Syekh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan. Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria.

Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Syekh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn al-RaM’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mulhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Syekh Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula beliau sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantu beliau. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada Syekh, agar proses pembelajaran dengan Syekh tidak mengalami kesulitan.

Bidang Teologi

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang beliau tulis ini dapat dijadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang menulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara konprehenshif-utuh.

Dalam beberapa tulisannya seringkali Syekh Nawawi mengaku  sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya:

  • Fath ai-Majid
  • Tijan al-Durari
  • Nur al Dzulam
  • al-Futuhat al-Madaniyah
  • al-Tsumar al-Yaniah
  • Bahjat al-Wasail
  • Kasyifat as-Suja dan
  • Mirqat al-Su’ud.

Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syekh Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Beliau membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mungkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan sifat mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mungkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.

Meskipun Syekh Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurut beliau harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.

Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Syekh Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Untuk hal ini dalam konteks Indonesia, sebenarnya Syekh Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme.

Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.

Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Syekh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.

Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqh beliau seperti:

Syarh Safinat a/-Naja,
Syarh Sullam a/-Taufiq,
Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan
Tasyrih a/a Fathul Qarib
sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Dan atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis beliau mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan.

Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundang karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.

Sufi Brilian

Sejauh itu dalam bidang tasawuf,  Syekh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan beliau bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini beliau memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Syekh Nawawi menunjukkan diri beliau seorang sufi brilian, beliau banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi.

Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu:

  1. Misbah al-Zulam,
  2. Qami’ al-Thugyan dan
  3. Salalim al Fudala.

Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat. Pandangan tasawuf beliau meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat.  Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu pengetahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru-guru beliau.

Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangan beliau terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini, Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat dan ma’rifat adalah hasil dari syariat dan tarikat.

Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-tema yang beliau gunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Syekh Nawawi  dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Beliau lebih Ghazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.

Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Syekh Nawawi bagai seorang sosok al-Ghazali di era modern. Beliau lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangan beliau tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.

Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).

Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Syekh Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika beliau diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Syekh Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Syekh Nawawi tahu bahwa di satu sisi beliau  memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.

Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.

Sebenarnya karya-karya Syekh Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional.

Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana.

Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Syekh Nawawi.

Penyebaran karya Syekh Nawawi tidak lepas dari peran murid-murid beliau. Di Indonesia murid-murid Syekh Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.

Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren.
Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya.

Karya-karya Syekh Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Syekh Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf.

Meskipun beliau senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik beliau tidak mau mengajarkannya pada santri dan lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Syekh Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya,  Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi.

Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, Syekh Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain.

Peranan Syekh, para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Syekh Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Syekh Nawawi.

Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa Syekh Nawawi banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain.

Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.[]

Tata Menata Hubungan Suami Isteri

Diantara kewajiban isteri adalah tinggal pada rumah yang telah ditentukan oleh suaminya. Karena dengan tinggal bersama suaminya itulah yang menyebabkan seorang istri berhak mendapatkan nafkah. Hal ini dalam ilmu Fiqih disebut’tamkin’. Tamkin secara bahasa berarti menetap. Maksudnya, menetapnya istri dan tinggal bersama suaminya.
Kewajiban memberi nafkah baru berlaku ketika istri mulai tinggal menetap bersama suaminya usai akad nikah. Artinya, kewajiban suami memberi nafkah pada isteri belum berlaku bila sekedar baru akad nikah saja tapi belum tinggal bersama.
Pendapat ini merupakan fatwa dari jumhur (mayoritas) ulama fiqih dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Aisyah radhiyalalhuanha. Memang ada jeda waktu semenjak beliau SAW menikahi Aisyah hingga Aisyah tinggal bersama. Ada yang menyebutkan bahwa Aisyah dinikahi ketika masih berusia 6 tahun dan baru tinggal bersama Rasulullah SAW ketika berusia 9 tahun. Dan selama masa tidak serumah itu ternyata Rasulullah SAW belum memberinya nafkah.
أَنَّ النَّبِيَّ r عَقَدَ عَلَى عَائِشَةَ  وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ
Bahwa Nabi SAW menikahi Aisyah ketika berusia enam tahun. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari kenyataan inilah maka jumhur ulama berpendapat bahwa nafkah baru berlaku ketika istri mulai tinggal bersama suami, bukan sejak terjadinya akad nikah. Dalam kitab Al-Kifayah 'Ala Al-Hidayah (4/192-193) disebutkan :
إِذَا لَمْ تُزَفَّ إِلَى بَيْتِ زَوْجِهَا لاَ تَسْتَحِقُّ النَّفَقَةَ
”Bila istri belum tinggal di rumah suaminya maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah.”
Ad-Dardir, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab al-Malikiyyah berpendapat serupa dengan menyebutkan dalam kitab Asyarhu Al-Kabir 2/508 sebagai berikut :
تَجِبُ النَّفَقَةُ لِمُمَكِّنَةٍ مِنْ نَفْسِهَا مُطِيقَةٍ لِلْوَطْءِ بِلاَ مَانِعٍ
“Wajib diberikan nafkah kepada istri yang sudah menetap bersama suaminya, serta dimungkinkan untuk diajak jima' tanpa halangan.”
Maka ketika suami mengajak istri tinggal bersama, namun ia menolak dan bersikeras hidup terpisah dari suami, maka kewajiban suami untuk memberi nafkah pun gugur dengan sendirinya. Penolakan untuk patuh pada ajakan suami dalam hal ini masuk dalam salah satu kriteria nusyuz yang mengugurkan hak nafkahnya. Nusyuz adalah tindakan atau sikap isteri yang mengindikasikan ketidakpatuhan pada suami, atau menolak memberikan atau melakukan apa yang menjadi hak suami atasnya.

LDR atas keridhaan bersama

Namun di tengah perjalanan rumah tangga, adakalanya pasangan suami-isteri memang terpaksa harus tinggal berjauhan. Entah karena suami mengalami mutasi kerja keluar kota untuk beberapa lama, atau karena menerima beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri, dan kondisi tidak memungkinkan untuk membawa isteri ikut serta bersamanya. Disinilah terjadi yang namanya LDR atau Long Distance Relationship.
Ketika hubungan jarak jauh terpaksa menjadi pilihan buat suami dan isteri, dan keduanya sama-sama ridha, tidak ada paksaan atau penolakan dari salah satunya, maka isteri tetap berhak mendapat nafkah, dan suami tetap wajib menafkahinya. Sebab tinggal berjauhan bukan keinginan isteri, dan tidak ada unsur penolakan darinya yang bisa dikategorikan nusyuz.
Ketika suami isteri tinggal berjauhan, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang isteri. Antara lain:

1.      Meminta izin pada suami saat ia hendak bepergian dari rumah.

Di antara kewajiban istri atas suaminya adalah meminta izin untuk keluar rumah bila akan bepergian. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِيَّ t فَقَالَتْ: يَا رَسُول اللَّهِ مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى الزَّوْجَةِ؟ فَقَال: حَقُّهُ عَلَيْهَا أَلاَّ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا إِلاَّ بِإِذْنِهِ، فَإِنْ فَعَلَتْ لَعَنَتْهَا مَلاَئِكَةُ السَّمَاءِ وَمَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ حَتَّى تَرْجِعَ
Seorang wanita datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apa hak seorang suami atas istrinya?". Beliau SAW menjawab,"Haknya adalah istri tidak keluar rumah kecuali atas izinnya. Kalau istrinya nekat keluar juga, maka malaikat langit, malaikat kasih sayang dan malaikat adzab melaknatnya sampai dia pulang". (HR. Al-Bazzar)
Kewajiban meminta izin pada suami ini tentu bukan izin setiap detik dan setiap saat dia keluar rumah. Jika ia keluar rumah karena rutinitas yang sudah dimaklumi, dan suami memang sudah mengizinkannya, maka ia tidak perlu meminta izin pada suaminya setiap waktu. Misalnya, jika rutinitas isteri setiap pagi pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah tangga, dan suami memaklumi serta ridha, maka isteri tidak perlu lagi meminta izin setiap pagi pada suaminya.
     Begitupula jika setiap hari isteri rutin berangkat kerja dimana suaminya sudah mengetahui jam kerja istri dan ridha atas rutinitas itu, maka isteri tak perlu meminta izin setiap hari untuk berngkat kerja. Sebab isteri sudah mengantongi izin dari suami berupa ‘boleh ke pasar atau berangkat kerja setiap pagi’.
Berbeda jika isteri ingin keluar rumah diluar rutinitas yang diketahui oleh suaminya. Misalnya saat isteri ingin keluar rumah untuk arisan, rekreasi bersama kawan-kawan, reuni dengan alumni almamater, dan lain sebagainya. Disini, isteri wajib menginfokan pada suami dan meminta izinnya. Dalam konteks LDR ini, menghubungi suaminya tentu via handphone, atau alat komunikasi jarak jauh lainnya.

2.      Tidak Menerima Tamu lelaki.

Saat suami tidak di rumah dan tinggal berjauhan, seorang isteri tidak diperbolehkan menerima tamu laki-laki, apalagi dipersilakan masuk ke dalam rumah. Kecuali jika tamu tersebut adalah keluarga atau mahramnya sendiri, dan suami memaklumi serta meridhai. Hal yang mendasari hal ini adalah hadits berikut :
لاَ يَحِل لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sunnah padahal suaminya bersamanya, kecuali jika suaminya mengizinkan. Dan janganlah wanita itu mengizinkan seseorang masuk ke rumahnya kecuali atas izin suaminya juga. (HR. Bukhari Muslim)
فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ
Hak kalian atas isteri adalah bolehnya melarang isteri untuk mempersilakan orang yang kalian tidak suka untuk tidur di ranjang kalian (menginap) dan hendaknya isteri kalian tidak mengizinkan orang yang kalian tidak sukai untuk masuk ke dalam rumah kalian . (HR. Tirmizi)

3.      Menjaga Kehormatan Diri.

Saat suami tak bersamanya, seorang isteri wajib menjaga kehormatan diri dari segala yang buruk, utamanya jika hal itu mendekati perzinaan. Termasuk dalam hal ini adalah larangan berhias yang berlebihan saat keluar rumah, bercanda berlebihan dengan kawan atau rekan kerja laki-laki, keluar rumah untuk tujuan yang tidak terlalu penting, apalagi di malam hari. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 34 :
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”
Al-Imam Ath-Thobari menjelaskan tafsir kata ‘حَافِظَاتٌ’ dalam ayat diatas sebagai:
يعني: حافظات لأنفسهن عند غيبة أزواجهن عنهن، في فروجهن وأموالهم، وللواجب عليهن من حق الله في ذلك وغيره
“Wanita-wanita yang menjaga diri mereka ketika suami mereka tidak bersama mereka, yakni menjaga kemaluan dan harta suami, serta menjaga hak Allah yang diwajibkan atas mereka dalam hal tersebut maupun selainnya.” [Tafsir Ath-Thobari, 8/295]

4.      Menjaga Harta Suami

Selain menjaga kehormatan dirinya, saat tinggal berjauhan isteri juga wajib menjaga amanah suami berupa harta yang dititipkan kepadanya. Seorang isteri hendaknya membelanjakan harta suami dengan cara yang ma’ruf, dan tidak berlebihan atau diluar kebutuhan kecuali dengan seizin suaminya. Rasulullah bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " خَيْرُ النِّسَاءِ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي مَالِكَ وَنَفْسِهَا
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulllah SAW bersabda : “Sebaik-baik wanita ialah jika kau pandang ia menyenangkanmu, jika kau perintah ia mentaatimu, jika kau tinggalkan ia menjagamu dalam hal harta dan menjaga dirinya.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).




Sumber dari kitab:
1. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an : Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
2. Shahih Bukhari : Imam Bukhari
3. Shahih Muslim : Imam Muslim
4. `Uquudu Lujain Fii Bayaani Huquuquzzaujaini : Imam Nawawi Al Bantani
5. Tafsir al-Jalalain : Imam Jalaluddin al-Mahalli

Rabu, 24 Juni 2020

Biografi Lengkap Imam Syafi`i


Imam Syafi’i – Umat Islam Indonesia tentu tidak asing dengan sosok Imam Syafii. Salah satu imam madzhab fikih yang menjadi rujukan terutama masyarakat Indonesia. Imam Syaf’i lebih dikenal sebagai sosok yang ahli fikih dibanding keilmuan lainnya, semisal tafsir. Ia adalah pendiri Madzhab Syafi’i. Mazhab ini cukup banyak dianut Islam di Indonesia, bahkan bisa dibilang mayoritas di Indonesia. 

Dalam menjelaskan biografi Imam Syafi’i perlu diketahui nama lengkapnya, yaitu Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al Muthalib bin Abdul Manaf bin Qusayy bin Kilab. Nama Syafi’i diambilkan dari nama kakeknya, Syafi’i dan Qusayy bin Kilab adalah juga kakek Nabi Muhammad SAW. 
__________

Pada Abdul Manaf nasab Asy-Syafi’i bertemu dengan Rasulullah SAW. Djazuli, Imu Fiqih 2005, h. 129. Jika dilihat dari namanya, ia masih tergolong kerabat dari Rasulullah saw. melalui klan Quraisy dari Bani Muthalib yang mana merupakan kakek Rasul. Imam Syafii dilahirkan pada tahun 150 H, di tengah – tengah keluarga miskin di Palestina sebuah perkampungan orang-orang Yaman. (M Alfatih Suryadilaga, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta, Teras, Cet. ke- 1, 2003, h. 86.) 

Pada usia dua tahun, ibunda Imam Syafi’i Fatimah binti Ubaidillah Al Azdiyah membawa pulang beliau ke tanah airnya. Imam Syafi’i adalah seorang anak yatim sejak masih di dalam kandungan. Di Mekkah, Imam Syafi’i dibesarkan oleh ibunya dengan sederhana dan bahkan serba kekurangan. Pengembaraan Ilmu Imam Syafi’i Imam Syafi’i dikenal rajin berkelana demi mencari ilmu. Imam Syafi’i banyak menghabiskan waktunya di Masjidil Haram untuk mempelajari bermacam ilmu agama (ulumuddin) seperti ilmu fikih, Alquran, Hadis, dan bahasa. 

Pada usia tujuh tahun, Imam Syafi’i dapat menghafal Alquran sebanyak 30 juz dengan lancar dan fasih. Setelah selesai mempelajari Al-qur’an dan hadits, asy-Syafi’i melengkapi ilmunya dengan mendalami bahasa dan sastra Arab. Untuk itu ia pergi ke pedesaan dan bergabung dengan Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah, asy-Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik. (Lahmuddin Nasution: 2001, 17). 

Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik. Dalam catatan biografi Imam Syafi’i, pada usia sepuluh tahun, ia telah mampu menghafal kitab Muwatha yang disusun oleh Imam Malik. Dari kecintaannya pada kitab tersebut kemudian melangkahkan kakinya ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik. Untuk meningkatkan keilmuannya, Imam Syafi’i memohon izin pada Imam Malik untuk menuntut ilmu kepada Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, dan ulama-ulama lainnya di Iraq. Tak hanya restu, Imam Malik bahkan mengantarnya hingga ke Baqi dan membekali uang Imam Syafi’i. 

Di usianya yang ke-15, keilmuan Imam Syafi’i sudah setaraf seorang mufti. Dalam catatan biografi Imam Syafi’i, ia telah menuntut ilmu ke berbagai daerah. Selain Mekkah, Madinah, dan Iraq. Selain itu juga ke Baghdad, Persia, Yaman, hingga Mesir. Setelah lima tahun tinggal di Mesir kemudian kondisi Imam Syafi’i mulai sakit-sakitan. Pada akhirnya imam besar Sunni itu wafat di usia 55 tahun (tahun 204H), yaitu hari kamis malam jum’at setelah shalat maghrib, pada bulan Rajab, bersamaan dengan tanggal 28 juni 819 H di Mesir (M .Bahri Ghazali dan Djumaris: 1992, 79). 

Khazanah Mazhab Fikih Syafi’i Peninggalan khazanah keilmuan Imam Syafi’i pada Islam Sunni yaitu adanya mazhab Syafi’i yang dasar-dasarnya meliputi lima hal: Alquran, Hadis, Ijmak, Qiyas, dan Istidlal. Mazhab Syafi’i juga dikenal dengan adanya pemahaman qaulul-qadim dan qaulul jadid.  Mudahnya, kitab-kitab karangan Imam Syafii di bidang fikih terdiri dari dua kategori: pertama, kitab yang memuat qaul qadim, untuk kitab ini yang mendokumentasikan tidak banyak. Hanya ada satu buah kitab saja yang terkenal dengan judul al-Hujjah. Kedua, kitab yang memuat qaul jadid.  Kitab ini banyak diabadikan pada empat karya besarnya: al-Umm, al-Buwaiti, al-Imla’, dan Mukhtashar Muzani. Empat kitab ini merupakan kitab induk yang memuat nas dan kaidah-kaidah pokok Imam Syafi’i yang disajikan sebagai pedoman di dalam memahami, mengkaji, dan mengembangkan mazhab. 
Menurut Nurcholis Madjid, Imam Syafi’i (w. 204 H/819 M), menjadi perumus pertama Prinsip-prinsip Yurisprudensi (ushūl al-fi qh)  di bidang Hukum (syariat). Kehadiran Imam Syafii menjadi tuntunan berpikir rasional dan sistematis pada ilmu agama Islam. Imam Syafii juga melahirkan kitab al-Risalah dan al-Umm. Menurut Muhammad Misbah, Imam Syafi’i telah menafsirkan banyak ayat-ayat al-Quran meskipun tidak utuh 30 juz. Penafsirannya lebih banyak pada ayat-ayat hukum, sebagaimana kapasitasnya sebagai ahli fikih. Dalam menafsirkan al-Quran, imam Syafi’i banyak mengunakan al-Quran, Sunnah, perkataan para sahabat dan para imam. Selain itu, beliau juga banyak menafsirkan ayat dengan qiyas dan syair-syair Arab.. See