Minggu, 27 Juni 2021

Definisi, Syarat, Rukun, Dan Hukum Haji

 

(Ringkasan dari Al-Fiqh Al-Muyassar[1][2]

 

Definisi Haji

 

Secara bahasa, haji berarti maksud/keinginan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan definisi menurut syariat, haji adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik pada waktu dan tempat tertentu sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah RasuluLlah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Haji merupakan salah satu rukun islam dan wajib dilakukan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Di antara keutamaan haji adalah sebagaimana yang termuat dalam hadits berikut.

“Antara satu umrah dengan umrah lainnya menjadi penebus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur, tidak ada balasannya melainkan surga.”[3]

“Barangsiapa yang berhaji karena Allah, dan ia tidak berkata kotor dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali sebagaimana hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.”[4]

 

Syarat Haji

 

Miqat secara bahasa artinya adalah batas. Secara syariat adalah tempat atau waktu pelaksanaan ibadah. Di sini dikenal istilah miqat makani (tempat) dan miqat zamani (waktu). Waktu ibadah haji sudah ditentukan, yaitu bulan Syawal, Dzul-Qa’dah dan Dzul-Hijjah.

Sedangkan miqat makani, adalah batas di mana orang yang berhaji tidak boleh melewatinya kecuali dengan berihram. Batas tersebut adalah Dzul-Hulaifah (Bir Ali) bagi penduduk Madinah, Juhfah bagi penduduk Syam, Qarnul-Manazil bagi penduduk Najd dan Yalamlam bagi penduduk Yaman. Siapa saja yang melewati batas-batas tersebut tanpa ihram maka wajib baginya untuk kembali jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka ia harus membayar fidyah dengan satu ekor kambing yang disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah haram.

 

 Baca juga: Perihal Penting Haji yang Sering Ditanyakan (Buku)

 

Rukun Haji Wajib Haji Sunnah Haji

1.      Islam

2.      Berakal

3.      Baligh, maka haji tidak wajib bagi bayi atau anak kecil. Namun seandainya mereka mengerjakannya maka hajinya sah. Wali-nya lah yang meniatkannya jika ia belum tamyiz. Dan kewajiban haji tidak gugur atas mereka. “Jika seorang anak kecil berhaji, kemudian ia baligh, maka baginya ada kewajiban haji yang lain.” [5]

4.      Merdeka, sehingga haji tidak wajib atas budak karena mereka itu dimiliki dan tidak memiliki sesuatu apapun. Jika mereka melaksanakannya dengan izin tuannya maka hajinya sah. Jika mereka melaksanakan haji dalam keadaan masih menjadi budak, kemudian merdeka, maka mereka tetap dikenai kewajiban haji lagi jika memiliki kemampuan. “Dan jika seorang budak berhaji kemudian ia merdeka, maka baginya ada kewajiban haji yang lain.”[6]

5.      Memiliki kemampuan: baik dari sisi harta, memiliki kelebihan harta yang mencukupi untuk menafkahi keluarganya jika digunakan untuk berhaji, memiliki kendaraan yang bisa mengantarkannya ke Mekkah dan kembali ke negeri asalnya. Begitupun dari sisi fisik / badan, bukan orang tua renta dan sakit yang tidak sanggup safar jauh. Dan jika perjalanannya tidak aman, seperti banyak perampok, wabah penyakit atau selainnya yang dapat membahayakan jiwa dan hartanya, maka orang tersebut tidak dikenai kewajiban berhaji. Khusus bagi wanita, termasuk syarat mampu adalah adanya mahram yang menemaninya.

Miqat Haji

1.      Ihram, yaitu niat dan bermaksud mengerjakan haji.

2.      Wuquf di ‘Arafah.

3.      Thawaf ziarah atau dinamakan juga dengan thawaf ifadhah dan thawaf fardhu. Dinamakan thawaf ifadhah karena ia dilaksanakan setelah ifadhah (bertolak) dari ‘Arafah.

4.      Sa’i antara Shafa dan Marwah.

Hal-hal di atas adalah rukun haji. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu hal di atas maka tidak sempurna hajinya sampai ia menunaikannya.

 

1.      Ihram dari miqat yang telah ditentukan oleh syariat.

2.      Wuquf di 'Arafah sampai malam bagi mereka yang memulainya sejak siang, karena Nabi shallaLlahu ‘alahi wa sallam wuquf sampai dengan terbenamnya matahari.

3.      Mabit di Muzdalifah pada malam tanggal 10 Dzul-Hijjah sampai pertengahan malam (bagi mereka yang sampai di Muzdalifah sebelum tengah malam).

4.      Mabit di Mina pada malam-malam hari tasyriq.

5.      Melempar jumrah secara tertib/urut.

6.      Menggundul atau mencukur rambut.

7.      Thawaf wada’ (sebelum meninggalkan tanah haram) bagi yang tidak haidh dan nifas.

Barangsiapa yang meninggalkan salah satu hal di atas dengan sengaja atau karena lupa maka ditebus dengan “dam”, dan hajinya sah.

 

1.      Mandi sebelum ihram dan memakai wewangian di badan (bukan di pakaian) kemudian mengenakan dua kain ihram berwarna putih. Perlu diingat, wewangian digunakan sebelum ihram. Setelah atau saat ihram maka tidak boleh lagi menggunakan wewangian.

2.      Memotong kuku, rambut, bulu ketiak dan kumis.

3.      Thawaf qudum (saat awal kedatangan) bagi yang melakukan haji ifrad dan qiran.

4.      Ramal (lari-lari kecil) pada tiga putaran pertama thawaf qudum. Lari-lari kecil hanya ada pada thawaf qudum.

5.      Idhtiba’ saat thawaf qudum, yaitu menjadikan bagian pertengahan rida’ (kain ihram bagian atas) ada di bawah pundak kanan, sedangkan ujung kainnya berada di atas pundak kiri (bagian pundak kanan terlihat, sedangkan pundak kiri tertutupi kain ihram). Hal ini juga hanya dilakukan pada saat thawaf qudum, adapun sebelum dan sesudah itu tidak dilakukan.

6.      Mabit di Mina pada malam hari ‘arafah.

7.      Talbiyah sejak awal ihram sampai melempar jumrah ‘aqabah.

8.      Menjama’ shalat maghrib dan ‘isya di Muzdalifah.

9.      Berdiam diri di Al-Masy’ar Al-Haram (Muzdalifah) dari sejak fajar sampai sesaat sebelum matahari terbit jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka semua tempat di Muzdalifah dapat digunakan.

 

 Baca juga: 7 Amalan Pahalanya Setara Ibadah Haji dan Umrah

 

Larangan saat Ihram

1.      Memakai pakaian berjahit, maksudnya adalah pakaian yang membentuk ukuran atau anggota badan, seperti celana, jubah atau selainnya. Yang dijadikan tolak ukur adalah membentuk anggota badan. Meskipun tidak berjahit tapi membentuk anggota badan maka itu tidak boleh. Sebaliknya, ada anggapan salah bahwa kain ihram tidak boleh dijahit ujung/tepinya, demikian pula jika robek maka tidak boleh dijahit. Anggapan seperti ini juga keliru, sebab yang dimaksud di sini adalah pakaian yang membentuk anggota badan. Dikecualikan jika ia tidak menemukan ‘izar (sarung / kain ihram) maka boleh baginya menggunakan celana. Larangan ini khusus untuk pria, sedangkan wanita boleh menggunakan pakaian apapun yang dia inginkan kecuali cadar dan sarung tangan.

2.      Menggunakan wewangian pada badan dan pakaiannya. Tidak boleh juga dengan sengaja mencium wewangian. Namun, diperbolehkan untuk mencium bau harum dari tumbuhan yang hidup di tanah, seperti bunga.

3.      Memotong rambut dan kuku, larangan ini berlaku untuk pria maupun wanita. Diperbolehkan baginya untuk mencuci kepala dengan lembut, agar rambut tidak rontok. Jika ada kuku yang patah, maka boleh baginya untuk memotong dan membuangnya.

4.      Menutupi kepala dengan sesuatu yang menempel, seperti topi dan kopiah. Jika tidak menempel, seperti bernaung di bawah pohon, maka itu boleh. Boleh juga bagi orag yang sedang ihram untuk menggunakan payung jika memang ada hajat/kebutuhan. Wanita dilarang untuk menutupi wajahnya dengan niqab atau burqa’, demikian pula ia dilarang untuk mengenakan sarung tangan. Ia bisa menutup wajahnya dengan khimar (kerudung) jika berjumpa dengan laki-laki asing. Jika seseorang menggunakan minyak wangi, menutup kepalanya atau menggunakan pakaian berjahit karena tidak tahu, lupa atau dipaksa maka ia dimaafkan.

5.      Menikah (diri sendiri) dan menikahkan (orang lain).

6.      Berhubungan badan suami-istri. Hal ini dapat merusak (membatalkan) haji jika dilakukan sebelum tahallul awal meskipun setelah wuquf di 'Arafah.

7.      Bercumbu bukan di kemaluan. Namun, hal ini tidak sampai merusak (membatalkan) manasiknya. Hal serupa juga berlaku untuk mencium, menyentuh dan memandang dengan penuh syahwat.

8.      Membunuh dan memburu binatang buruan darat. Terdapat pengecualian untuk membunuh hewan perusak seperti tikus, kalajengking, burung rajawali, ular dan anjing galak. Selain itu, maka tidak boleh dibunuh dan tidak boleh membantu untuk memburunya, baik itu hanya sekedar dengan isyarat atau selainnya, dan tidak boleh pula memakannya (bagi mereka yang memerintahkan atau membantu dalam memburunya).

9.      Memotong pohon atau tanaman di tanah haram dan tumbuhan segar lainnya yang tidak mengganggu. Namun, boleh memotong tumbuhan yang mengganggu jalan. Dikecualikan dari tanaman di tanah haram adalah pohon idzkhir (yang harum baunya) dan apa yang ditanam oleh manusia (maka boleh dipotong).



 

[1] Nukhbah minal-’Ulama, Al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau-i al-Kitab was-Sunnah. Darul-’Alamiyyah, 2011M / 1432H.

[2] Aris Munandar, “Al-Fiqh Al-Muyassar,” Kajian Rutin Ma'had Al-'Ilmi, Yogyakarta, 2013M / 1434H.

[3] HR Muslim No. 1349

[4] HR Bukhari No. 1521 dan Muslim No. 1350

[5] Syafi'i dalam Musnad-nya No. 743, Baihaqi 5/179, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa No. 986

[6] idem

 


Minggu, 16 Mei 2021

7 Amalan Pahalanya Setara Ibadah Haji dan Umrah


Dalam sebuah hadits shahih, disebutkan bahwa janji pahala haji adalah surga. Sebagimana hadits:


عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ


Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).


Tahun ini, tidak semua orang bisa pergi haji. Meski demikian ternyata ada beberapa hadits yang menyebutkan bahwa amalan-amalan ini pahalanya setara dengan haji. Meski kadang secara kasat mata, amalan ini cukup sederhana.


Meski setara pahalanya dengan haji, bukan berarti menggugurkan syariat haji. Minimal jika belum bisa makan rendang, ya makan mie instan rasa rendang. 


Ada tujuh amalan yang jika diamalkan bisa berpahala haji. Amalan ini ada yang ringan bahkan kita bisa melakukannya setiap waktu. Walau ringan, namun pahalanya sangat luar biasa.


1. Umrah di bulan Ramadhan


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya pada seorang wanita,


مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّى مَعَنَا


“Apa alasanmu sehingga tidak ikut berhaji bersama kami?”


Wanita itu menjawab, “Aku punya tugas untuk memberi minum pada seekor unta di mana unta tersebut ditunggangi oleh ayah fulan dan anaknya –ditunggangi suami dan anaknya-. Ia meninggalkan unta tadi tanpa diberi minum, lantas kamilah yang bertugas membawakan air pada unta tersebut. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda,


فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ


“Jika Ramadhan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Dalam lafazh Muslim disebutkan:


فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً


“Umrah pada bulan Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Muslim)


Dalam lafazh Bukhari yang lain disebutkan,


فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِى حَجَّةً مَعِى


“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti berhaji bersamaku.” (HR. Bukhari).


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah umrah Ramadhan mendapati pahala seperti pahala haji. Namun bukan berarti umrah Ramadhan sama dengan haji secara keseluruhan. Sehingga jika seseorang punya kewajiban haji, lalu ia berumrah di bulan Ramadhan, maka umrah tersebut tidak bisa menggantikan haji tadi.” (Syarh Shahih Muslim, 9:2)


2. Berbakti Kepada Orang Tua


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


إِنِّي أَشْتَهِي الْجِهَادَ وَلا أَقْدِرُ عَلَيْهِ، قَالَ: هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ ؟ قَالَ: أُمِّي، قَالَ: فَأَبْلِ اللَّهَ فِي بِرِّهَا، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ، وَمُعْتَمِرٌ، وَمُجَاهِدٌ، فَإِذَا رَضِيَتْ عَنْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَبِرَّهَا


“Ada seseorang yang mendatangi Rasululah ﷺ dan ia sangat ingin pergi berjihad namun tidak mampu. Rasulullah ﷺ bertanya padanya apakah salah satu dari kedua orang tuanya masih hidup. Ia jawab, ibunya masih hidup.


Rasul pun berkata padanya, “Bertakwalah pada Allah dengan berbuat baik pada ibumu. Jika engkau berbuat baik padanya, maka statusnya adalah seperti berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 5/234/4463 dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman 6/179/7835)


3. Shalat Fardhu Jamaah di Masjid


Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,


مَنْ مَشَى إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ فِي الجَمَاعَةِ فَهِيَ كَحَجَّةٍ وَ مَنْ مَشَى إِلَى صَلاَةٍ تَطَوُّعٍ فَهِيَ كَعُمْرَةٍ نَافِلَةٍ


“Siapa yang berjalan menuju shalat wajib berjama’ah, maka ia seperti berhaji. Siapa yang berjalan menuju shalat sunnah, maka ia seperti melakukan umrah yang sunnah.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)


Dalam hadits lainnya, dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,


مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلاَةٌ عَلَى أَثَرِ صَلاَةٍ لاَ لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِى عِلِّيِّينَ


“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci menuju shalat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji. Barangsiapa keluar untuk shalat Sunnah Dhuha, yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah. Dan (melakukan) shalat setelah shalat lainnya, tidak melakukan perkara sia-sia antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘illiyyin (kitab catatan amal orang-orang shalih).” (HR. Abu Daud; Ahmad)


4. Melakukan Shalat Dhuha / Isyraq


Meski masih jadi perbedatan tentang nama dan pensyariatannya, tapi pahalanya jelas. Shalat 2 rakaat di waktu awal hari, dimulai dengan shalat shubuh berjamaah di masjid, tidak pulang ke rumah tapi duduk dzikir, sampai matahari benar-benar terbit maka pahalanya setara haji dan umrah dengan sempurna. Dalilnya adalah dari hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,


مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ


“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat Sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thabrani)


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,


مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ


“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi)


5. Menghadiri Majelis Ilmu di Masjid


Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,


مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حَجَّتُهُ


“Siapa yang berangkat ke masjid yang ia inginkan hanyalah untuk belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)


6. Membaca Tasbih, Tahmid dan Takbir Seteleh Shalat


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا ، وَيَعْتَمِرُونَ ، وَيُجَاهِدُونَ ، وَيَتَصَدَّقُونَ قَالَ « أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ » . فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا فَقَالَ بَعْضُنَا نُسَبِّحُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ . فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ « تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ.


“Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi ﷺ. Mereka berkata, orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah. Nabi ﷺ lantas bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya dapat terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.”


Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Nabi ﷺ bersabda, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.” (HR. Bukhari, no. 843).


Abu Shalih yang meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Hurairah berkata,


فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.


“Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin kembali menghadap Rasulullah ﷺ, mereka berkata, “Saudara-saudara kami yang punya harta (orang kaya) akhirnya mendengar apa yang kami lakukan. Lantas mereka pun melakukan semisal itu.” Rasulullah ﷺ kemudian mengatakan, “Inilah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang ia kehendaki.” (HR. Muslim).


7. Bertekad untuk Berhaji


Siapa yang memiliki uzur namun punya tekad kuat dan sudah ada usaha untuk melakukannya, maka dicatat seperti melakukannya. Contohnya, ada yang sudah mendaftarkan diri untuk berhaji, namun ia meninggal dunia sebelum keberangkatan, maka ia akan mendapatkan pahala haji.


Kenapa sampai yang punya uzur terhitung melakukan amalan?


عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزَاةٍ فَقَالَ: إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ.


Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena mendapatkan uzur sakit.” (HR. Muslim).


Dalam lafazh lain disebutkan,


إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِى الأَجْرِ


“Melainkan mereka yang terhalang sakit akan dicatat ikut serta bersama kalian dalam pahala.”


Juga ada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,


عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ فِى غَزَاةٍ فَقَالَ: إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ.


Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ dalam suatu peperangan berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari).


Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,


إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا


“Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (HR. Bukhari).


Maka, bagi para calon jamaah haji tahun ini yang sudah tinggal berangkat, persiapan sudah matang, sudah menggelar tasyakuran dan pamit kepada sanak family dan tetangga ternyata tahun 2020 haji dibatalkan karena covid 19, semoga saat ini sudah mendapatkan pahala haji dan umrah. Semoga tahun depan masih diberi usia dan kesempatan untuk pergi haji dengan sebaik-baiknya keadaan.