Jumat, 09 Juli 2021

Niat Puasa Sebelum Idul Adha, Lengkap dari Puasa Tanggal 1-7, Puasa Tarwiyah dan Arafah

Bulan dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang mulia, karena di dalamnya terdapat kewajiban menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa melaksanakan haji menjadi salah satu dari kelima rukun islam.


Namun bagi umat islam lain terutama yang belum bisa melaksanakannya tidak perlu khawatir, karena meskipun belum bisa berangkat haji namun amalan-amalan sunnah di awal bulan ini tidak kalah istimewanya.



Di antara amalan-amalan yang lebih di unggulkan pada sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah yaitu dengan melaksanakan puasa sunnah sebelum Idul Adha yaitu sejak tanggal 1 sampai 9 Dzulhiijjah. Namun yang lebih diutamakan biasanya yaitu pada tanggal 8 yang di sebut dengan puasa tarwiyah dan tanggal 9 yang disebut puasa Arafah.


Hal ini sebagaimana hadits riwayat dari Ibnu Abbas ra. ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda;


ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء


“Tidak ada hari di mana amal shaleh di dalamnya sangat dicintai oleh Allah melebihi 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para sahabat lantas bertanya “apakah amal itu dapat membandingi pahala jihad fi sabilillah?” bahkan amal pada 10 hari Dzulhijjah lebih baik dari pada jihad fi sabilillah kecuali jihadnya seorang lelaki yang mengorbankan dirinya, hartanya, dan dia kembali tanpa membawa semua itu (juga nyawanya) sehingga ia mati sahid. Tentu yang demikian itu (mati sahid) lebih baik. (HR Bukhari)


Maka dengan datangnya bulan dzulhijjah, ini menjadi sebuah kesempatan yang tak ternilai keutamaannya untuk dijadikan waktu bertaqarrub kepada Allah Swt, baik itu dengan beribadah haji atau melaksanakan puasa dari awal bulan, puasa tarwiyah hingga puasa arafah.


Keutamaan ini sebagaimana dalam sebuah hadits di jelaskan.


صوم يوم التروية كفارة سنة وصوم يوم عرفة كفارة سنتين


Artinya, “Puasa hari Tarwiyah dapat menghapus dosa setahun. Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun,” (HR Abus Syekh Al-Ishfahani dan Ibnun Najar).


Niat Puasa Sebelum Idul Adha


Berikut adalah bacaan niat puasa sebelum Idul Adha dari puasa tanggal 1-7, puasa Tarwiyah dan puasa Arafah lengkap.


Niat Puasa Sunah Tanggal 1 – 7 Dzulhijjah


نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ ذِي الْحِجَّةِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma syahri dhilhijjati sunnatan lillaahi ta’aala


Artinya : Saya niat puasa sunnah bulan Dzulhijjah karena Allah Ta’ala


Niat Puasa Sunnah Tarwiyah Tanggal 8


نَوَيْتُ صَوْمَ التَّرْوِيَةَ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma tarwiyata sunnatan lillaahi ta’aala


Artinya : Saya niat puasa sunnah tarwiyah karena Allah Ta’ala


Niat Puasa Sunnah Arafah Tanggal 9


نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma ‘arofata sunnatan lillaahi ta’aala


Artinya : Saya niat puasa sunnah arafah karena Allah Ta’ala


Niat puasa sunnah sebelum Idul Adha ini sebaiknya dibaca ketika malam hari agar tidak lupa. Meski demikian bagi yang terlupa bisa membaca niat tersebut pada siang harinya. Hal ini diperbolehkan, karena kewajiban niat di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib.


Sedangkan puasa sunnah, niatnya boleh dilakukan di siang hari selama yang bersangkutan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak subuh hingga gelincir matahari atau Dzuhur.


Bulan dzulhijjah hanya datang sekali dalam setahun, maka dari itu jangan sampai berlalu begitu saja tanpa di isi dengan amalan-amalan sunnah agar bisa mendapatkan keutamaan dan pahala untuk bekal di akhirat nanti. Wallahua’lam bisshawab.

Minggu, 16 Mei 2021

Puasa Ayyam al-Bidh Khusus Bulan Dzulhijjah



Ayyam al-Bidh artinya hari-hari putih. Puasa ayyam al-Bidh biasanya dilakukan 3 hari dalam tiap bulan ketika rembulan sedang purnama, yaitu tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan qamariyyah.


Sebagaimana hadits dari Abu Dzar, Rasulullah bersabda padanya,


يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ


“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi dan An an-Nasai. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan).


Dari Ibnu Milhan al-Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ. وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ


“Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu dan An Nasai)


Tetapi kesunnahan puasa ayyam al-bidh ini menjadi masalah ketika di bulan Dzulhijjah, dimana tanggal 13 bulan Dzulhijjah masih masuk hari tasyriq yang dilarang puasa.


Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,


لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ


“Pada hari tasyriq tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.” ( HR. Bukhari).


Lantas apakah puasanya cukup 2 hari saja, atau geser ke hari berikutnya?


Jika biasanya puasa ayyam al-bidh dilakukan tiap tanggal 13,14,15 tiap bulannya, maka pada bulan Dzulhijjah bisa dilakukan 14, 15, dan tanggal lainnya. Bisa tanggal 16 atau selain tanggal itu.


Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan dalam kitabnya al-Majmu' bahwa puasa 3 hari di setiap bulan itu tak harus tanggal 13, 14, 15. Tapi yang penting 3 hari. Beliau menyebutkan:


وثبتت أحاديث في الصحيح بصوم ثلاثة أيام من كل شهر من غير تعيين لوقتها وظاهرها أنه متى صامها حصلت الفضيلة  [1]


Hadis-hadis yang shahih menyebutkan bahwa puasa 3 hari tiap bulan tak dibatasi waktunya. Zahirnya jika sudah puasa 3 bulan, maka sudah hasil pahalanya.



Adapun hadis-hadis yang menunjukkan kesunnahan puasa 3 hari tiap bulan, tanpa disebutkan tanggal pastinya adalah sebagai berikut:


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ: صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ


“Kekasihku (yaitu Rasulullah ﷺ mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: 1- berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2- mengerjakan shalat Dhuha, 3- mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari)


Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah ﷺ bersabda,


صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ


“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari)


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ


“Rasulullah ﷺ biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An-Nasa'i).


 


 


[1] Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), al-Majmu', juz 6, hal. 384

Jumat, 14 Mei 2021

Bolehkah Hutang Puasa Diganti Dengan Memberi Makan


 Assalamu 'alaikum wr. wb.


Ketika seseorang meninggalkan kewajiban ibadah puasa, maka ada konsekuensi yang harus ia kerjakan. Konskuensi itu merupakan resiko yang harus ditanggung karena meninggalkan kewajiban puasa yang telah ditetapkan.


Adapun cara menggantinya ada dua macam, yaitu pertama adalah qadha‘ atau dengan mengganti berpuasa juga di hari lain. Yang kedua adalah dengan cara membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin.


Namun antara keduanya ini sifatnya bukan pilihan suka-suka. Masing-masing bentuk itu harus dikerjakan sesuai dengan alasan mengapa ia tidak berpuasa.


Kalau karena sakit atau musafir, maka tidak boleh menggantinya hanya dengan memberi makan fakir miskin. Sebab Al-Quran dengan tegas telah mengatur bahwa orang sakit dan musafir itu harus dengan cara berpuasa qadha' di hari lain.


فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, (boleh tidak puasa), namun wajib menggantinya  pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah : 184)


Sedangkan mengganti dengan cara membayar fidyah itu hanya apabila seseorang divonis tidak mampu berpuasa. Sebagaimana sambungan ayat di atas :


وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah : 184)


Terjemahan ayat di atas itu menggunakan diksi : berat menjalankannya. Dan bisa juga diartikan tidak mampu atau tidak kuat untuk berpuasa.


Sebenarnya orang sakit dan orang musafir pun juga berat menjalankannya, bukan?


Lalu apa bedanya?


Bedanya bahwa yang dimaksud dengan berat menjalankannya itu sifatnya terus menerus, abadi dan untuk selamanya. Sedangkan orang sakit itu sifatnya hanya sementara. Begitu sudah selesai dari sakit, maka sudah tidak berat lagi, bukan?


Maka dia wajib menggantinya dengan cara berpuasa, bukan dengan sekedar membayar fidyah.


Begitu juga orang musafir, pada saat dia lagi safar memang terasa berat berpuasa. Tapi kalau sudah sampai di rumah, maka sudah tidak berat lagi. Maka dia pun juga wajib mengganti puasa dengan berpuasa di hari lain, bukan dengan membayar fidyah.


Terus yang boleh bayar fidyah saja itu yang bagaimana?


Membayar fidyah itu khusus hanya bagi mereka yang merasa berat untuk seterusnya seumur hidupnya. Bukan hanya untuk sementara waktu.


Lalu siapakah mereka? Siapakah yang dimaksud dengan orang yang berat atau tidak mampu berpuasa terus menerus?


1. Orang Sudah Meninggal Tapi Masih Punya Hutang Puasa


Bila seseorang meninggal dunia dengan membawa hutang puasa, maka tidak mungkin baginya untuk berpuasa.


Kenapa demikian?


Karena boleh jadi sebelum wafat dia mengalami sakit yang tidak sembuh-sembuh juga sampai akhir hayatnya.


Namun bila sakitnya cuma sementara saja, misalnya selama Ramadhan dia sakit, oke lah dia boleh tidak puasa. Tapi kalau nanti sembuh, barulah dia ganti puasanya.


Jadi selama masih ada harapan sembuh, maka belum boleh bayar fidyah dulu. Bayar fidyahnya nanti kalau sampai akhir hayatnya ternyata tidak sembuh-sembuh juga.


Secara logika, dia berhutang puasa. Namun untuk mengganti dengan cara berpuasa di hari lain pun tidak bisa, sebab dia masih sakit terus. Sampai akhirnya dia menutup mata.


Barulah pada saat itu ditetapkan bahwa semua hutang puasanya itu kudu dibayarkan dengan cara mengeluarkan fidyah kepada fakir miskin.


Dasarnya adalah firman Allah SWT :


وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj : 78)


Sedangkan orang sakit yang masih ada harapan sembuh, maka dia harus membayar hutang puasanya itu dengan puasa qadha’ di hari lain.


2. Orang Tua Renta


Contoh lain orang yang dibolehkan mengganti hutang puasa dengan membayar fidyah adalah orang tua renta atau orang sudah sangat lemah dan fisiknya sudah tidak kuat lagi untuk mengerjakan ibadah puasa.


Untuk puasa Ramadhan saja dia sudah tidak kuat, tentu untuk menggantinya juga pasti tidak kuat juga. Disitulah dia mengganti puasa dengan membayar fidyah.


Dasarnya adalah firman Allah SWT :


لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan keluasannya. (QS. Al-Baqarah : 286)


عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ: رُخِّصَ لِلشَّيْخِ اَلْكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata, ”Telah diberikan keringanan buat orang tua renta untuk berbuka puasa, namun dia wajib memberi makan untuk tiap hari yang ditinggalkannya satu orang miskin, tanpa harus membayar qadha’. (HR. Ad-Daruquthny dan Al-Hakim)


Wallahua'lm bishsawab, wassalamu 'alaikum wr. wb.

Rabu, 07 Oktober 2020

Belum Qadha' Puasa Tapi Sudah Datang Ramadhan Berikutnya

 Ada beberapa keadaan dimana seorang muslim/muslimah diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, antara lain karena sakit, bepergian, hamil, atau menyusui. Jika tidak berpuasa di bulan ramadhan, mereka diwajibkan untuk mengganti puasanya di luar ramadhan (qadha'). Akan tetapi, bagaimana jika 'hutang' puasanya itu belum juga ia laksanakan hingga bertemu bulan Ramadhan berikutnya?


Misalnya wanita yang dalam keadaan hamil di bulan Ramadhan, kemudian ia tidak berpuasa karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk berpuasa. Menurut jumhur ulama ia berkewajiban untuk meng-qadha' puasanya di hari lain. Namun, begitu Ramadhan berlalu, ia mengalami rentetan peristiwa yang memberatkan untuk meng-qadha' puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan lalu. Misalnya sebab melahirkan, nifas, dan program menyusui yang berlangsung berbulan-bulan. Hingga 'hutang' puasanya belum sempat ia tunaikan hingga bertemu bulan Ramadhan berikutnya. Lalu, bagaimana ia harus menyikapi keadaan ini?


Kasus diatas juga dapat terjadi pada orang sakit yang meninggalkan kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Menurut jumhur ulama ia berkewajiban untuk meng-qadha' puasa di hari lain. Akan tetapi setelah bulan Ramadhan berlalu, ia belum juga meng-qadha' puasanya sampai Ramadhan berikutnya tiba. Baik karena alasan lupa, lalai, atau sebab sakit yang tak kunjung sembuh. Bagaimana hukumnya?


Menunda Qadha’ Karena Udzur Syar’i


Seluruh fuqaha (ulama ahli Fiqih) sepakat bahwa orang yang punya hutang qadha’ puasa wajib (puasa Ramadhan), kemudian dia menunda qadha’ nya itu sampai bertemu Ramadhan berikutnya karena ada udzur syar’i, maka ia tidak berdosa dan boleh meng-qadha’ nya sampai tiba masanya ia mampu membayar qadha’ itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadhan dilaluinya. (lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah jilid 32, hal. 70)


Udzur Syar’i disini maksudnya adalah sebab yang dibenarkan dalam syariat untuk menunda qadha’ puasa Ramadhan. Misalnya, bila kondisi wanita hamil dan menyusui masih tidak juga memungkinkannya untuk berpuasa. Karena jika berpuasa, khawatir akan terjadi hal-hal buruk terhadap kesehatan diri dan bayi yang dikandung /disusuinya.


Misalnya, apabila ada wanita hamil di Ramadhan tahun 2012, kemudian kondisi memaksanya untuk meninggalkan puasa selama beberapa hari karena khawatir akan terjadi hal buruk pada kesehatan badannya, maka menurut para ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali wanita ini wajib mengganti puasanya dengan qadha’ usai Ramadhan nanti.


Akan tetapi bila sehabis Ramadhan ternyata kondisi wanita ini masih sangat payah sebab masih hamil atau sedang menyusui, dan tidak memungkinkannya untuk meng-qadha’ hingga akhirnya bertemu Ramadhan berikutnya (2013), maka wanita ini tidak berdosa dan boleh melaksanakan qadha’ puasanya yang terdahulu itu pada waktu ia sanggup untuk melaksanakannya. Ia juga TIDAK berkewajiban untuk membayar fidyah.


Menunda Qadha’ Tanpa Ada Udzhur Syar’i


Akan tetapi, bagaimana jika ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, baik itu karena hamil/ menyusui/ sakit/  musafir, kemudian ia tidak mengqadha’nya karena lalai hingga bertemu Ramadhan berikutnya?


Jumhur Fuqaha’ (mayoritas ulama) dari madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan beberapa shahabat Nabi SAW berpendapat bahwa orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam meng-qadha’ puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum di qadha’nya itu, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’nya.


Misalnya, bila ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, kemudian usai Ramadhan ia punya kesempatan meng-qadha’ hutang-hutang puasanya itu, tapi ia lalai dan menundanya sampai akhirnya bertemu Ramadhan selanjutnya. Maka menurut mayoritas ulama, ia wajib membayar fidyah atas hutang puasanya yang belum di qadha’, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’ itu sendiri.


Artinya, kewajiban qadha’ tetap harus ia lakukan usai Ramadhan yang kedua tadi, plus ditambah bayar fidyah karena ia telah lalai melakukan qadha’ sampai bertemu Ramadhan yang kedua.


Jika ia punya hutang puasa 5 hari, dan ia belum mengqadha’nya seharipun hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, maka selain tetap harus membayar qadha’ ia juga wajib membayar fidyah selama 5 hari itu. Akan tetapi bila sebelum Ramadhan kedua ia sempat meng-qadha’ puasanya selama 3 hari, sedangkan sisanya yang 2 hari ia tunda sampai bertemu Ramadhan yang kedua, maka ia harus membayar fidyah selama 2 hari saja.


Fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud/hari yang diberikan pada fakir miskin berupa makanan pokok yang lazim di konsumsi di negeri itu, kalau di Indonesia biasanya beras. Ukuran beras 1 mud kurang lebih ¼ dari ukuran zakat fitrah, yakni sekitar 0,875 liter atau 0,625 kg.


Wallahu a'lam.


Aini Aryani, Lc.

Senin, 05 Oktober 2020

Wanita Hamil & Wanita Menyusui : Qadha Atau Fidyah?

 Meski tidak secara tekstual tertulis dalam ayat Al-Quran dan hadits nabawi, para ulama membolehkan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Tentu jika memang kondisinya tidak memungkinkan atau memberatkan, baik bagi dirinya atau bagi bayi yang dikandungnya atau disusuinya.


Dan yang menjadi pertanyaan, kewajiban apa yang harus dilaksanakan oleh wanita hamil dan/atau menyusui apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Sebab tidak nash yang menyebutkan bagaimana cara penggantiannya.


Maka wajar bila dalam hal ini beberapa ulama berbeda pendapat. Sebagian mewajibkan qadha saja tanpa fidyah, sebagian ada yang mewajibkan qadha' plus fidyah juga. Bahkan ada juga yang mewajibkan fidyah saja tanpa qadha'.


Rincian pendapat itu dan siapa yang mengatakannya sebagai berikut: 


1. Pendapat Pertama : Qadha' Saja Tanpa Fidyah


Pendapat yang pertama ini menyerupakan wanita hamil dan menyusui seperti orang yang sakit. Apabila mereka (wanita hamil dan menyusui) tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka harus membayar Qadha’ (tidak perlu fidyah).


Sebagaimana yang diwajibkan atas orang sakit apabila meninggalkan puasa di bulan Ramadhan. Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid dan juga Abu Tsaur mendukung pendapat ini.


Pendapat ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:


 


أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ


Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (al-Baqarah: 184) 


 


2. Pendapat Kedua : Qadha' dan Fidyah


Imam Syafi’i mengatakan bahwa wanita hamil dan/atau menyusu serupa dengan orang sakit dan juga orang yang terbebani dalam melakukan puasa.


Apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka mereka harus membayar Qadha’ dan Fidyah juga. Pendapat ini menggabungkan dua dalil di poin 1 dan 2 di atas.


Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menambahkan bahwa wanita hamil atau menyusui, apabila ia tidak berpuasa sebab mengkhawatirkan kondisi bayinya, yang wajib ia lakukan adalah qadha sekaligus fidyah. Akan tetapi bila ia mengkhawatirkan dirinya saja, atau mengkhawatirkan dirinya dan juga bayinya, maka yang harus ia lakukan adalah membayar qadha’ tanpa fidyah. (Fiqhus Sunnah I, hal. 508) 


3. Pendapat Ketiga : Hamil = Qadha' Saja , Menyusui = Qadha' + Fidyah


Ulama dari madzhab Imam Maliki membedakan antara wanita hamil dan wanita yang menyusui. Wanita hamil diserupakan dengan hukum orang sakit, yang apabila meninggalkan puasa di bulan Ramadhan, ia wajib mengganti dengan qadha’.


Sedangkan wanita menyusui diserupakan dengan orang sakit sekaligus orang yang terbebani melakukan puasa. Apabila ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka ia wajib membayar qadha’ dan juga fidyah.


Penutup


Demikianlah pendapat dari para ulama dari 4 madzhab, dimana pilihan bagi wanita yang hamil dan menyusui dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan adalah qadha' atau qadha' plus fidyah.


Adapun mengenai pilihan fidyah tanpa qadha' bersumber dari 'atsar' yang konon berasal dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Beliau berdua menyerupakan wanita hamil dan/atau menyusui seperti orang yang tidak sanggup melaksanakan puasa, semisal orang lanjut usia. Jika mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha’ (Bidayatul Mujtahid I, hal. 63).


 


Pendapat ini mengambil dasar dalil firman Allah sebagai berikut:


وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ


Artinya: Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fid-yah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin. (al-Baqarah : 184)


Akan tetapi para ulama dari 4 madzhab tidak mengambil atsar ini sebagai landasan pengambilan hukum, sebab ada masalah dalam periwayatannya.


Maka, jika kita merujuk pada pendapat ulama fiqih dari 4 madzhab, kita akan menemukan 2 pilihan konsekuensi bagi wanita yang hamil dan/atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan :


1. Qadha' saja tanpa fidyah.


2. Qadha' dan Fidyah sekaligus.


Lepas dari perbedaan pendapat di atas, tentu membayar qadha’ sekaligus juga fidyah tentu akan menjadi sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath). Selain itu tentu akan menjadi kebaikan tersendiri bagi ibu dan anak, karena telah berbuat baik buat fakir miskin lewat fidyah.


 


 


Wallahu a’lam bishshawab.