Rabu, 25 Maret 2020

Darah Keluar Menjelang Persalinan

Darah Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, sebagaimana definisi dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.[1]
Ulama dari madzhab Maliki mengatakan bahwa Nifas adalah darah yang keluar akibat melahirkan dengan cara yang lazim, bukan karena penyakit, yang keluar setelah atau berbarengan dengan lahirnya bayi, bukan sebelum bayi lahir.[2]
Sedangkan ulama dari madzhab Hambali mengatakan bahwa darah yang keluar dari rahim wanita setelah melahirkan, atau bersamaan dengan lahirnya bayi, atau keluar dua hingga tiga hari sebelum melahirkan yang disertai nyeri tanda persalinan.[3]
Dalam kasus ini, kadangkala wanita mengalami perdarahan (bleeding) sebelum melahirkan bayinya, baik itu pada masa kehamilan, ataupun pada saat kontraksi jelang persalinan dimana mulut rahim mulai terbuka. Pertanyaannya, ini masuk dalam kategori darah apa? Ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Perbedaan pendapat berkisar pada 2 hal : [a] Apakah wanita hamil bisa mengalami haid? [b] Darah yang keluar beberapa hari jelang persalinan disebut nifas atau istihadah? Mengenai yang pertama, insya Allah akan kami bahas di artikel yang ini. Sedangkan pertanyaan yang kedua, berikut penjelasannya:
Darah yang keluar beberapa hari jelang persalinan; Nifas atau Istihadah?
Ulama Fiqih berbeda pendapat dalam hal ini :

1. Madzhab al-Hanafiyah dan as-Syafi’iyah

Ulama madzhab Hanafi dan Syafii sepakat bahwa nifas adalah darah keluar setelah bayi benar-benar keluar dari rahim. Sedangkan darah yang keluar berbarengan dengan bayi, maupun jelang persalinan tidaklah disebut nifas, melainkan istihadhah.
Hal ini ditegaskan olah Zakariya Al-Anshari, salah satu ulama dari madzhab Syafi’i:

و الدم الخارج مع الولد ودم الطلق ليس شيء منهما بحيض لأنه من آثار الولادة ولا نفاس لتقدمه على خروج الولد بل دم فساد

Darah yang keluar bersama janin dan pada saat kontraksi bukanlah darah haid, karena ia termasuk dari sisa melahirkan juga bukan nifas karena ia keluar lebih dulu dari keluarnya janin. Tapi ia darah fasid (istihadhah).”[4]
Al-Khatib As-Syirbini juga menegaskan:

والنفاس هو الدم الخارج بعد فراغ الرحم من الحمل، فخرج بما ذكر دم الطلق،والخارج مع الولد فليسا بحيض؛لأن ذلك من آثار الولادة، ولا نفاس لتقدمه على خروج الولد بل ذلك دم فساد

Nifas adalah darah yang keluar setelah rahim bersih dari janin. Sedangkan darah yang keluar bersama janin bukanlah darah haid karena itu termasuk darah sisa melahirkan, juga bukan nifas karena ia keluar sebelum keluarnya janin akan tetapi dia adalah darah fasid (istihadhah).”[5]
Ibnu Hajar al-Haitami menambahkan :

لو رأت الحامل يوما وليلة دما قبيل الطلق كان حيضا

"Jika wanita hamil melihat darah selama satu hari satu malam mendekati waktu persalinan maka itu adalah haid".[6]
Statemen dari Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa jika wanita keluar darah (mendekati waktu persalinan, sebelum melahirkan) selama sehari semalam berturut-turut, maka darah itu disebut darah haid. Sebab dalam madzhab ini durasi minimal haid adalah sehari semalam. Sedangkan jika tidak keluar berurutan selama sehari semalam, dan warnanya tidak seperti haid, maka disebut darah istihadhah.
Misalnya yang keluar adalah bercak dan flek, atau darah bercampur lendir yang keluarnya tidak konsisten. Jika darah semacam ini keluar sebelum bayi benar-benar keluar, maka disebut istihadah.

2. Madzhab al-Malikiyyah

Madzhab ini berpendapat bahwa nifas dimulai sejak adanya darah yang keluar berbarengan dengan keluarnya sebagian besar tubuh bayi. Adapun darah yang keluar sebelum itu, ataupun di masa kontraksi jelang persalinan bukanlah nifas, melainkan istihadhah.
Pendapat ini dijelaskan oleh Imam Az-Zaila’i sebagai berikut :

ولو خرج بعض الولد فإن خرج أكثره يكون نفاسا، وإلا فلا

Jika yang keluar adalah sebagian besar dari tubuh bayi maka darah yang keluar disebut nifas. Akan tetapi jika yang keluar hanya sebagian kecil dari tubuh bayi maka itu bukan nifas”.[7]
Ibnul Humam dalam Syarah Fathul Qadir juga menegaskan:

فصل في النفاس (النفاس هو الدم الخارج عقيب الولادة (والدم الذي تراه الحامل ابتداء أو حال ولادتها قبل خروج الولد استحاضة) وإن كان ممتدا

Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Sedangkan darah yang keluar dari wanita hamil pada awal atau saat ia melahirkan sebelum keluarnya janin dianggap istihadhoh, walaupun itu berlangsung lama.”[8]

3. Madzhab al-Hanabilah

Ulama dari kalangan madzhab Hambali berpendapat bahwa darah yang keluar sebelum bayi lahir bisa saja disebut darah nifas jika keluarnya 2 atau 3 hari jelang persalinan.
Artinya, jika wanita hamil merasakan nyeri (kontraksi) akibat adanya tanda persalinan, lalu 2 atau 3 hari jelang persalinan ada darah keluar dari kemaluannya, maka darah ini sudah bisa disebut darah nifas. Dan nifas ini bisa berlangsung hingga maksimal 40 hari.
Akan tetapi, jika keluarnya masih jauh-jauh hari sebelum persalinan, maka darah tersebut bukanlah darah nifas, tapi istihadhah. Begitu juga jika keluarnya tidak disertai tanda-tanda persalinan seperti nyeri dan kontraksi.
Ibnu Qudamah, salah ulama dari madzhab ini menjelaskan: dalam Al-Mughni 1/262:

ولنا: أنه دم خرج بسبب الولادة فكان نفاسا، كالخارج بعده وإنما يعلم خروجه بسبب الولادة إذا كان قريبا منها ويعلم ذلك برؤية أماراتها؛ من المخاض ونحوه في وقتهوأما إن رأت الدم من غير علامة على قرب الوضع، لم تترك له العبادة

Dalam mazhab kami (Hanabilah), darah yang keluar sebelum melahirkan adalah nifas. Disamakan dengan darah yang keluar sesudahnya (nifas). Dan hal itu diketahui jika darah yang keluar mendekati waktu melahirkan. Adapun jika darah yang keluar tidak diikuti dengan tanda-tanda melahirkan maka dia adalah darah fasid (istihadhah) dan wanita itu tidak boleh meninggalkan ibadah.” [9]

Kesimpulan

Seluruh ulama fiqih sepakat bahwa darah yang keluar dari rahim wanita setelah bayinya lahir disebut darah nifas. Akan tetapi sebagian wanita mengalami perdarahan sebelum bayinya lahir, yakni menjelang persalinan. Khususnya saat mulut rahimnya mengalami kontraksi dan mulai terbuka pada pembukaan 1 hingga 10. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Syafii sepakat bahwa darah yang keluar sebelum bayi lahir disebut darah istihadah. Madzhab Maliki menambahkan bahwa darah nifas bisa dihitung sejak sebagian besar tubuh bayi keluar dari rahim.
Namun Madzhab Hambali berpendapat berbeda. Menurut ulama madzhab ini darah yang keluar 2 atau 3 hari akibat kontraksi jelang persalinan disebut nifas, bukan istihadhah.
Wallahu A'lam Bishshawab.
Aini Aryani, Lc.

Bibliografi:
[1] Ar-Ramliy, Nihayatul Muhtaj, jilid 1 hal305.
[2] Ad-Dasuqi, Hasyiyah Ad-Dasuqi jilid 1 hal 174.
[3] Al-Buhuti, Kasysysaf al-Qinna’ jilid 1 hal 218.
[4] Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib jilid 1 hal 114.
[5] Al-Khatib As-Syirbini, Mughni al-Muhtaj jilid 1 hal 277.
[6] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj jilid 1 hal 385.
[7] Az-Zaila’i, Tabyin al-Haqa’iq jilid 1 hal 67.
[8] Ibn Al-Humam, Syarah Fathul Qadir jilid 1 hal 186.
[9] Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 1 hal 262
Darah Keluar Saat Hamil, Haid Atau Bukan?

Lazimnya, wanita hamil tidak mengalami haid. Namun ternyata sebagian wanita ada yang keluar darah selama kehamilannya. Ada yang mengalaminya beberapa hari di trimester tertentu, bahkan adapula yang mengalaminya secara konsisten tiap bulan hingga usia kehamilan mencapai 9 bulan. Apakah darah ini haid ataukah istihadhah?
Para ulama berbeda pendapat mengenai  hal ini:

a. Madzhab al-Hanafiyah dan al-Hanabilah.

Ulama dari madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa darah yang keluar selama kehamilan bukanlah darah haid, melainkan darah fasad yang hukumnya sama dengan istihadhah. Sebab wanita hamil tidak bisa mengalami haid. Maka, saat keluar darah wanita hamil ini tetap wajib melaksanakan shalat dan puasa sebagaimana saat ia suci.[1]
Sebagaimana yang disabdakan Nabi terhadap seorang lelaki yang hendak menikahi wanita hamil karena zina :
"Dan wanita hamil (sebab zina) tidak boleh dijima' sampai ia melahirkan, dan begitu pula yang tidak hamil sampai ia mengalami haid." (HR. Abu Dawud)
Dari hadits diatas diketahui bahwa haid menjadi suatu sebab atas kosongnya rahim dari janin. Dengan demikian, maka kedua hal itu (Hamil dan Haid) tidak bisa dialami dalam satu waktu.

Begitupula dalam hadits Rasulullah saat beliau melarang Ibnu Umar untuk menceraikan isterinya yang sedang dalam keadaan haid.
"Perintahkan padanya (Ibnu Umar) agar merujuk isterinya kembali, jika ia ingin menceraikannya maka ceraikan pada saat isterinya itu sedang dalam keadaan suci atau dalam keadaan hamil".(HR. Muslim)
Dalam hadits diatas diketahui bahwa kehamilan menjadi tanda ketiadaan haid.

Pendapat ini dijelaskan oleh As-Sarakhsi, salah satu ulama dari madzhab Hanafi dalam kitabnya Al-Mabsuth [2]

ومن الدماء الفاسدة ما تراه الحامل فقد ثبت لنا أن الحامل لا تحيض، وذلك مروي عن عائشة - رضي الله عنها - وعرف أنها إذا حبلت انسد فم رحمها فالدم المرئي ليس من الرحم فيكون فاسدا

"Salah satu jenis darah fasid adalah darah yang keluar saat hamil, dan telah jelas bagi kami (madzhab Hanafi) bahwa wanita hamil tidaklah mengalami haid. Hal itu sebagama yang diriwayatkan dari Aisyah RA 'Diketahui bahwa wanita jika hamil, maka tertutuplah mulut rahimnya, maka darah yang terlihat saat hamil itu bukanlah keluar dari dalam rahimnya, sehingga darah itu dihukumi sebagai darah fasid'.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Imam Az-Zaila'i yang juga dari madzhab Hanafi dalam kitabnya Tabyin al-Haqa'iq [3] :

عن ابن عباس - رضي الله عنهما - أنه قال: إن الله رفع الحيض عن الحبلى وجعل الدم رزقا للولد وقالت عائشة - رضي الله عنها - إن الحامل لا تحيض؛ ولأن فم الرحم ينسد بالحبل كذا العادة وفيما ذكر أنه ينفتح فمه بخروج الولد 

"Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya Allah telah mengangkat haid dari wanita hamil, dan menjadikan darah itu sebagi rizki untuk si janin. Dan Aisyah RA juga berkata: ”wanita hamil itu tidak haid”. Dan karena pada saat hamil mulut rahim tertutup dan dia akan membuka lagi saat si bayi itu keluar." 
Walau madzhab ulama Hambali mengatakan bahwa darah yang keluar pada saat hamil bukanlah darah haid, namun mereka tetap menganjurkan (mustahab) wanita hamil yang mengalaminya untuk mandi janabah setelah darah berhenti keluar, untuk tujuan ihtiyath (berhati-hati) dan khuruj 'anil khilaf (menghindari perbedaan pendapat ulama).[4]

b. Madzhab al-Malikiyah dan asy-Syafi'iyyah

Ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i berpendapat bahwa wanita hamil bisa saja mengalami haid jika memenuhi syarat, seperti durasinya, warnanya maupun gejalanya. Misalnya jika ada wanita hamil yang melihat darah keluar selama minimal sehari semalam dan warnanya kehitaman, maka darah itu adalah haid[5].
Ulama dari madzhab ini mengambil keumuman dalil dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Asiyah RA :
"Darah haid itu dikenal dengan warnanya yang kehitaman ".(HR. Abu Dawud)
Ada pula atsar dari Aisyah RA mengenai wanita hamil yang melihat keluarnya darah, Aisyah RA mengatakan : "sesungguhnya wanita ini harus meninggalkan shalat" Dan hal ini menjadi ijma' di kalangan penduduk Madinah[6].
Ibnu Abdil Barr, salah satu ulama dari madzhab Maliki mengatakan dalam kitabnya Al-Istidzkar[7] sebagai berikut :

ذكر مالك أنه سأل بن شهاب عن (المرأة) الحامل ترى الدم قال تكف عن الصلاة قال مالك وذلك الأمر عندنا ولم يختلف عن يحيى بن سعيد وربيعة أن الحامل إذا رأت دما فهو حيض تكف من أجله عن الصلاة

"Malik menyebutkan bahwasanya Ibnu Syihab bertanya tentang wanita hamil yang melihat darah keluar, ia menjawab: dia (wanita itu) tidak boleh shalat. Malik berkata: itu adalah pendapat mazhab kita. Dan tidak ada yang menyelisihi riwayat dari Yahya bin Said dan Robiah bahwasanya wanita hamil jika melihat darah maka itu adalah haid, oleh karena itu ia tidak boleh shalat."
Imam Nawawi, salah satu ulama dari madzhab Syafi'i juga berpendapat serupa. Dalam Kitab Raudhah at-Thalibin [8], beliau menyebutkan pendapat Imam as-Syafi'i mengenai hal ini :

القديم: أنه دم فساد. والجديد الأظهر: أنه حيض. وسواء ما تراه قبل الحمل وبعدها، على المذهب

"Dalam qoul qodimnya (Imam Syafi'i): bahwasanya itu darah fasid (istihadhoh). Dan dalam qoul jadidnya: itu darah haid, baik itu yang keluar sebelum hamil ataupun sesudahnya."
Pada kitab yang sama, di halaman berikutnya beliau menambahkan [9] :

ثم على القديم: هو حدث دائم، كسلس البول. وعلى الجديد: يحرم فيه الصوم والصلاة. وتثبت جميع أحكام الحيض

"Dalam qaul qadim: ia (darah itu) adalah hadats yang berlangsung lama, seperti halnya wasir. Dan dalam qaul jadid beliau (Imam Syafi'i) mengatakan: haram baginya melaksanakan shalat dan puasa (karena itu darah haidh), dan bagi wanita itu berlaku semua hukum terkait haidh."

Kesimpulan

Mayoritas wanita hamil tidak mengalami perdarahan yang berlangsung lama, jikapun ada flek atau bercak darah yang keluar, biasanya hanya keluar sedikit dan tidak lama. Namun sebagian dari mereka ada juga yang mengalami pedarahan yang lumayan lama dan berlangsung beberapa hari, bahkan sebagian yang lain juga ada yang mengalaminya setiap bulan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ulama dari madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa wanita hamil tidak mengalami haid. Maka, jika ada wanita hamil keluar darah selama kehamilannya, maka itu bukan haid, melainkan darah rusak (fasid). Bahkan jikapun darah yang keluar itu berlangsung selama berhari-hari dan kehitaman layaknya haid.
Darah fasid hukumnya sama dengan istihadhah, ia bukan hadats besar. Artinya, wanita ini tetap wajib melaksanakan semua kewajiban wanita suci, seperti shalat dan puasa Ramadhan. 
Sedangkan ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i mengatakan bahwa darah yang keluar dari wanita hamil bisa disebut darah haid jika memenuhi beberapa syarat, seperti durasi dan sifat-sifat darahnya. Maka, jika wanita hamil melihat darah keluar minimal sehari semalam secara konsisten, dan darahnya kehitaman, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah haid. Untuk itu berlaku baginya semua larangan wanita haid, seperti haramnya shalat dan thawaf, serta larangan berhubungan seksual dengan suaminya.
Adapun darah yang tidak memenuhi sifat-sifat darah haid, maka itu tidak dinamakan darah haid. Seperti darah yang keluarnya tidak konsisten dan hanya berupa flek dan bercak, atau tetesan darah yang warnanya merah segar bercampur lendir, ini semua tidak disebut dengan darah haid melainkan darah istihadhah. Begitu juga darah yang keluar setelah bayi lahir, darah ini bukanlah haid, melainkan darah nifas.
Wallahu A'lam Bishshawab.
Aini Aryani, Lc, LLB (Hons)
Bibliografi :
[1] Hasyiyah Ibn Abdin jilid 1 hal 189.
[2] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth jilid 3 hal 149.
[3] Az-Zaila'i, Tabyin al-Haqa'iq jilid 1 hal 67.
[4] Al-Buhutiy, Kasysyaf al-Qinna' jilid 1 hal 202.
[5] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj jilid 1 hal 118.
[6] Ibnu Abdin, Hasyiyah jilid 1 hal 189.
[7] Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar jilid 1 hal 327
[8] Imam Nawawi, Raudhah At-Thalibin jilid 1 hal 174
[9] Ibid, hal 175
Kaum Feminis Kurang Piknik

Banyak Kaum Feminis dan sering menggembar-gemborkan Gender Equality dan menuduh Islam memarjinalkan kaum wanita, terutama dari sisi hak finansial. Padahal sejatinya, Islam memposisikan seorang ibu sebagai ‘sekolah pertama’ bagi anak-anaknya, yang diberikan wewenang penuh untuk mendidik intelejensia anak-anak, sekaligus moral dan spiritualnya. Tak sekedar itu, kaum lelaki muslim diperintahkan untuk memperlakukan wanitanya dengan sebaik mungkin. Siapa yang perlakuannya paling baik, dialah yang dinobatkan sebagai "lelaki mukmin terbaik" versi Rasulullah.
Sebagaimana sabda baginda Rasulullah SAW:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah ia yang paling baik akhlaknya, dan orang terbaik diantara kalian adalah mereka yang paling baik akhlaknya terhadap isteri-isterinya”. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).


خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَاخَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik dalam memperlakukan keluargaku” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Soal mencari nafkah, syariat juga tidak mewajibkan wanita untuk menafkahi siapapun, bahkan dirinya sendiri. Sebab kebutuhan materinya ditanggung oleh orang lain. Jika masih gadis, ayahnya-lah yang wajib memenuhi kebutuhannya. Jika sudah menikah, suamilah yang wajib memenuhinya. Wanita dianjurkan mencari nafkah hanya dalam keadaan darurat dimana tak ada yang menanggung nafkah dirinya dan anak-anak.
Mungkin para feminis belum tau, bahwa syariat islam memberikan setidaknya tujuh hak finansial bagi perempuan muslim. Hal ini dikuatkan oleh para ulama 4 madzhab dalam kitab-kitabnya yang mu’tamad. Hak-hak tersebut berupa :
a. Mahar (المهر)
b. Nafkah (النفقة)
c. Gaji mengurus rumah (اجرة الخدمة)
d. Gaji menyusui anak (اجرة الرضاعة)
e. Gaji mengasuh dan mengurus anak ( اجرة الحضانة)
f. Mut’ah atau sejumlah harta yang diberikan pasca dicerai (المتعة)
g. Warisan (الميراث)
Jikapun para isteri tidak menuntut itu semua, itu karena mereka melepaskan semua haknya itu atas dasar cinta dan keikhlasan yang luar biasa. Ridha suami dan janji manis ‘jannah’ dari Allah menjadi pilihan yang tentu lebih menggiurkan.
Maka, jika masih ada kaum feminis yang menuding islam mengabaikan hak kaum perempuan, mungkin mereka kurang piknik :)

Senin, 23 Maret 2020

Metode Menyalurkan Ilmu Bagi Orang Terdogmatis

Memang sebaiknya ketika kita menemukan pemikiran yang menyimpang dari aqidah Islam yang lurus, kita dianjurkan untuk meluruskannya dengan cara baik-baik. Bukan hanya sekedar mengeluarkan fatwa sesat atau fatwa kafir belaka.
Para ulama wajib menemui tokoh aliran-aliran yang dianggap menyimpang untuk bisa melakukan tanya jawab secara langsung tentang kebenaran pendapat mereka. Upaya ini perlu ditempuh sebagai langkah awal sebelum memutuskan vonis sesat.
Sebab biasanya penyimpangan pemikiran itu memang diproduksi oleh masing-masing tokoh yang ada di dalam suatu aliran. Maka tokoh-tokoh inilah yang seharusnya diajak bicara panjang lebar. Sebab siapa tahu apa yang diisukan di tengah masyarakat tentang sesatnya suatu aliran, ternyata hanya tuduhan belaka. Maka pertemuan langsung antara tokoh utama suatu aliran dengan para ulama lainnya akan bisa dijadikan sebagai sarana tabayyun yang baik.
Namun kita akui juga bahwa para ulama acapkali kurang mendapatkan respon positif dari para pemuka aliran-aliran itu. Dan seringkali pula justru para pemuka aliran itu merahasiakan dirinya, bahkan menghindar dari dialog langsung baik yang bersifat terbuka maupun tertutup. Sehingga terkesan ada kucing-kucingan dalam tiap masalah.
Misalnya, di tengah masyarakat terjadi keresahan yang diakibatkan adanya pendapat yang aneh dan asing dari salah satu anggota sebuah aliran tertentu. Lalu hal ini direspon oleh para ulama dengan mengundang pimpinan aliran itu untuk tabayyun. Sayangnya, seringkali undangan ini tidak direspon dengan baik. Bahkan ada kesan menghindar dari tabayyun itu.
Padahal kalau memang mereka mengklaim bahwa ajaran yang mereka bawa itu benar dan bisa dipertanggung-jawabkan, seharusnya undangan itu ditanggapi dengan baik. Bahkan kalau perlu, para tokoh utama aliran itu mempresentasikan tesis-nya di depan majelis ulama. Tentu saja dengan dilengkapi argumentasi dalil yang kuat. Seandainya apa yang mereka sampaikan memang mengandung kebenaran, pastilah para ulama akan menerima dan merespon aliran itu dengan positif. Sebaliknya, kalau yang disampaikan justru berisi hal-hal yang merusak aqidah, tentu saja mereka harus bisa menjawab dengan jujur dan ksatria.
Barangkali justru pada bagian inilah yang sering kurang mampu dihadapi oleh berbagai tokoh aliran itu. Mereka seringkali tidak siap ketika tesis mereka diuji secara ilmiah di dalam forum terbuka pada ahli syariah dan aqidah. Secara psikologis memang lebih mudah mengajarkan doktrin-doktrin kepada pengikut yang sejak awal sudah menyatakan kesetiaan dengan bai'at atau sejenisnya ketimbang harus tampil mempertahankan doktrin itu di depan majelis ulama.
Maka cukup dengan melihat keciutan nyali saja, kita bisa dengan mudah membedakan, manakah pemikiran yang benar dan mana yang beraroma sesat. Dan apa yang mereka lakukan itu sangat berbeda dengan apa yang dilakukan para nabi dan rasul ketika mengajarkan agama. Semua nabi menyampaikan ajaran yang dibawanya dengan hujjah dan dalil yang kuat. Mereka tidak pernah merasa takut atau minder ketika harus menyampaikan ajarannya di depan majelis yang paling ilmiyah sekalipun.
Para pemuka Quraisy seringkali meminta Nabi Muhammad SAW untuk berdialog dan mempresentasikan ajaran yang dibawanya. Dan Rasulullah SAW pun meresponnya dengan positif. Argumen demi argumen, dalil demi dalil serta nalar demi nalar dengan rinci beliau jelaskan, hingga tak satu pun para pemuka bangsa Arab itu yang mampu menolak kebenaran ajaran beliau, kecuali semata-mata karena keras hati. Bahkan Kaisar Heraklius pun setelah mempelajari dengan seksama tentang ajaran yang dibawa nabi Muhammad SAW, beliau mengakui kebenaran ajaran itu, meski tidak masuk Islam.
Sedangkan para tokoh aliran itu nyaris tak satu pun yang berani tampil mempresentasikan ajaran yang didoktrinkannya. Mereka hanya jadi tokoh untuk internal mereka saja, di luar komunitas mereka, tokoh itu bukan apa-apa, unkown dan nobody. Tidak ada sesuatu yang berharga dan teruji secara ilmiyah yang bisa dibanggakan dari mereka.
Jalan Keluar
Bila kita sudah yakin tidak berhasil membuat tokoh alira itu berani keluar kandang, sementara pemikiran sesatnya terus saja menyerang organ-organ tubuh umat Islam yang sehat, maka perlu dipikirkan tindakan lain.Yang barangkali bisa dipikirkan adalah ibarat tindakan dokter untuk membasmi kuman penyakit pada tubuh. Yaitu dengan menyuntikkan serum yang dapat melemahkan ke dalam tubuh pasien.
Dalam hal ini posisi anda memang cukup strategis, sebab anda tidak dianggap unsur luar yang harus dimusuhi atau diperangi. Anda dianggap sebagai 'orang dalam', sehingga mereka merasa lebih aman dan percaya dengan keberadaan anda di dalam aliran itu.
Jadi secara perlahan tapi pasti, anda bisa memainkan peran yang sangatberarti untuk bisa mengembalikan pemikiran sesat yang ada di dalamnya. Jangan berpikir anda menjadi orang munafik, sebaliknya justru anda punya peran mulia bak seorang double agent yang sedang menjalankan misi rahasia.
Tidak ada salahnya bila anda berupaya akitf dan masuk ke dalam inner circle dalam komounitas itu, agar anda bisa punya pengaruh dulu. Sebelum kemudian anda bisa nantinya melakukan proses pembaharuan secara sitematis. Anda bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Malcom X ketika melakukan pembaharuan di dalam komutinas Black Moslem di bawah kekuasaan Elijah Muhammad.
Sedangkan contoh dari wajah buruknya, mungkin seperti peran para orientalis atau tokoh sekuleris yang kerjanya tiap hari melemparkan pemikiran yang merusak, tetapi dengan topeng ilmiyah dan pembaharuan. Hanya saja yang anda lakukan sebaliknya, yaitu dengan 'topeng pembaharuan', anda pelan-pelan membenahi pemikiran rusak yang ada di dalam aliran itu. Toh kita pun masih berprasangka baik bahwa tidak semua ajarannya buruk, pasti masih ada yang baik. Maka yang buruk dan menyimpang itu saja yang perlu diperbaiki secara sistematis.
Yakinlah bahwa peran anda di dalam aliran itu bagai serum yang mematikan bibit penyakit di tengah umat. Dan posisi anda ini sangat strategis, sebuah posisi yang barangkali para ulama sekalipun tidak mampu menggapainya.
Semoga Allah SWT memudahkan jalan anda dalam rangka memperbaiki umat ini dari ketersesatannya. Amien
Ahmad Sarwat, Lc.

Minggu, 22 Maret 2020

Hadits Tentang Mencari Ilmu di Waktu Kecil

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ungkapan tersebut memang sangat populer di lidah manusia. Terutama di kalangan pesantren dan madrasah. Ungkapan ini menekankan pentingnya belajar, khususnya ilmu agama, di masa kecil.
Danpara peneliti perkembangan anak juga membenarkan hal itu. Mereka menegaskan bahwa sejak bayi otak manusia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan para bayi sejak kecil telah belajar banyak hal.
Glandoman mengatakan bahwa kalau Anda baru ingin mengajari anak berusia 4 tahun untuk membaca, maka sesungguhnya hal itu telah terlambat. Karena sebenarnya bayi usia beberapa bulan sudah bisa mulai diajarkan membaca bahkan matematika.
Dalam sejarah Islam, para ulama terbiasa menghafal 30 juz Al-Quran sejak usia 5 hingga 8 tahun. Al-Imam Asy-Syafi'i bahkan telah menghafal kitab tebal karya Imam Malik, Al-Muwaththa', ketika berusia 15 tahun. Sehingga wajar bila para ulama di masa lalu bukan hanya ahli di bidang tafsir, hadits, fiqih dan ushul, tetapi juga mereka ahli di bidang ilmu pengetahuan dan sain.
Memang belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Jadi ungkapan itu memang benar dan sudah dibuktikan oleh sejarah dan data.
Kedudukan Hadits
Namun kalau kita telusuri tentang sumber perkataan ini, ternyata lafadz ini bukan hadits nabi SAW. Tidak ada riwayat yang shahih yang menetapkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengucapkan hal itu.
Kalimat hikmah yang isinya memang mengandung kebenaran ini adalah kalimat dari seorang ulama besar di masa tabi'in. Di dalam kitab Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhailihi karya Ibnu Abdil Barr, jilid 1 halaman 357, disebutkan bahwa kalimat ini adalah perkataan Al-Hasan Al-Bashri. Lengkapnya:
Dari Ma'bad dari Hasan Al-Basri, beliau berkata."Mencari ilmu pada saat kecil seperti memahat di atas batu."
Hasan Al-Basri bernama lengkap Abu Said Al-Hasan bin Abil Hasan Yasar Al-ashri. Sebenarnya beliau tidak termasuk shahabat nabi, namun berada pada level tabi'in, karena beliau tidak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Namun beliau termasuk senior di kalangan tabi'in.
Pada diri beliau berkumpul segala kemuliaan, baik dari sisi keilmuan, kezuhudan, kewaraaan serta hikmah yang banyak. Dan ungkapan yang anda tanyakan di atas, hanyalah salah satu hikmah karya beliau.
Al-Hasan Al-Bashri sebenarnyalahir di Madinah, walaupun namanya dinishbahkan pada kota Bashrah. Beliau lahir pada akhir masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab ra. Ayahnya maula dari Zaid bin Tsabit Al-Anshari ra.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Khasiat Ayat Pertama dari Lima Belas Ayat Dalam Al Quran
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
1. Mendaapat Ampunan Dosa
.لم.اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوم.


Alif laam miim, Allohu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum.

Artinya : “Alif laam miim, Allah – tidak ada Tuhan kecuali Dia. Yang hidup kekal dan teru-menerus mengurus makhluk-Nya. Yang menegakkan keadilan. Itulah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling ?” ( Ali Imran (3) : 1, 2, 18 dan Al An’aam (6) : 95).)


Khasiatnya : Apabla ayat ini dibacakan kepada orang sakit terus menerus, maka Allah ajan memberi ampunan.
Benarkah Bungan Bank Itu Haram

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Karena bank tidak terdapat di dalam Al-Quran, juga tidak terdapat dalam Sunnah, bahkan juga tidak kita temukan kajiannya di dalam kitab-kitab fiqih para ulama hingga abad ke-13 hijiryah, maka jelas bahwa kajian tentang bank ini masuk dalam kajian fiqih kontemporer.
Sebagai barang baru yang tidak pernah ada kajian ulama sebelumnya, maka pembahasan tentang bank ini berpotensi besar untuk jadi polemik dan titik perbedaan pendapat.
Nyatanya di tengah para ulama kontemporer dewasa ini berkembang dua pendapat yang berbeda.
Pertama, mereka yang menganggap bunga bank itu riba sehingga mereka mengharamkannya. Mereka kemudian cenderung mengharamkan bank dan melarang umat Islam bermuamalah dengan bank konvensional.
Kedua, mereka yang menganggap bunga bank itu bukan riba, sehingga mereka tidak mengharamkan bunga dan membolehkan bermuamalat dengan bank konvensional.
Di Mesir sebagai gudangnya para ulama dan ilmu syariah, ternyata para ulama senior pun tidak sepakat atas hukum bunga bank, ada yang mengharamkan dan ada yang tidak mengharamkan. Berikut ini kita paparkan siapa saja ulama kontemporer yang mengharamkan dan yang tidak mengharamkan :
1. Yang Mengharamkan
Di antara para ulama senior Mesir yang mengharamkan bunga bank adalah :
a. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Meski tidak merepresentasikan ulama Al-Azhar, namun nama Dr. Yusuf Al-Qaradawi dicatat termasuk salah satu tokoh yang secara mengharamkan bunga bank. Beliau adalah salah satu murid Syeikh Abu Zahrah. Dan posisi beliau sama dengan gurunya, yakin sekali bahwa bunga bank itu adalah riba yang diharamkan.
Khusus untuk tema ini Beliau menulis sebuah buku berjudul : Fawaid Al-Bunuk Hiya Ar-Riba Al-Muharram (فوائد البنوك هي الربا المحرمة).
Yang menarik, Al-Qaradawi mengklaim bahwa seluruh ulama sudah ijma' atas keharaman bunga bank. Walaupun sebenarnya klaim itu tumbang, karena ternyata banyak juga ulama kontemporer yang menghalalkannya.[1]
Maka jadilah Beliau sebagai salah satu icon di deretan ulama yang anti dengan dengan bunga bank bersama dengan beberapa ulama kontemporer lainnya.
b. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Dalam kitabnya yang terkenal, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Beliau sampai menulis kata haram tiga kali berturut-turut : haram haram haram. Maksudnya bahwa bunga bank itu hukumnya haram.
Namun sebelumnya beliau juga beberapa mengutip pendapat yang beliau tidak setujui, seperti Fahmi Huwaidi dan Sayid At-Thantawi.
c. Syeikh Bin Baz
Di kalangan ulama Saudi, pendapat yang mengharamkan bunga bank datang dari mufti resmi Kerajaan Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz bin Bas (w. 1999) rahimahullah.
Kalau kita lakukan pencarian di internet tentang hukum bunga bank, maka yang paling banyak muncul adalah fatwa keharamanya dan selalu muncul nama Syiekh Bin Baz. Sehingga terkesan seolah-olah yang berfatwa haramnya bunga bank banyak sekali jumlahnya, walaupun sesungguhnya semua kembali kepada satu tokoh saja.
Padahal sebenarnya banyak ulama di Saudi, termasuk lembaga fatwa semacam Lajjnah Daimah atau pun Hai’ah Kibar Ulama yang melakukan pengutipan secara masal. Boleh jadi kemudian para murid dan pengikutnya yang membanjiri media sosial dengan fatwa-fatwa Syeikh bin Baz.
d. Syeikh Abu Zahrah
Syeikh Abu Zahrah (w. 1974 M) semasa hidupnya pernah menjadi Syeikh Al-Azhar. Beliau termasuk salah satu pimpinan Al-Azhar yang punya pandangan bahwa bunga bank termasuk riba.
e. Syeikh Jadil Haq Ali Jadil Haq
Generasi penerusnya dari kalangan pimpinan Al-Azhar ada Syeikh Jadil Haq Ali Jadil Haq (w. 1996 M). Beliau tercatat sebagai ulama yang punya pandangan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan.
2. Yang Menghalalkan Bank
Di antara mereka yang berpendapat demikian di kalangan ulama kontemporer antara lain Dr. Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Rida, Abdul al-Wahab Khallaf dan juga Syeikh Mahmud Shaltut.[2]
a. Syeikh Dr. Ali Jum’ah
Beliau adalah mufti resmi Negara Mesir. Pendapat beliau tentang bunga bank yang pertama adalah bahwa para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat tentang kehalalan atau keharamannya. Maksudnya akan selalu ada pendapat yang mengharamkan sekaligus yang menghalalkan.
Nampaknya beliau ingin menampik klaim Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang menyebutkann bahwa keharaman bunga bank kitu sudah menjadi ijma’ jumhur ulama. Padahal dalam kenyataannya memang klaim itu kurang tepat. Sebab para ulama yang menghalalkannya ternyata cukup banyak, khususnya di kalangan para masyayikh Al-Azhar sendiri, sebagai tempat dulu Al-Qaradawi kuliah dan menimba ilmu.
Syeikh Dr. Ali Jum’ah sendiri cenderung kepada pendapat pendahulunya, yaitu Sayyid Tantawi dan juga fatwa resmi Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah di Al-Azhar yang memandang bahwa bunga bank itu bukan riba yang diharamkan. Beliau lebih cenderung memandang uang itu adalah share hasil keuntungan usaha.
Penetapan keuntungan yang harus diberikan oleh pihak peminjam kepada pemilik harta menurut beliau bukan riba, karena merupakan pembagian hasil usaha dan keuntungan yang sudah diawali dengan saling ridha.
b. Syeikh Dr. Ahmad Tayyib
Beliau saat ini masih menjabat sebagai Syaikhul Azhar di Mesir. Pendapat beliau tentang bunga bank ini ini sama dengan para pendahulunya, yaitu menganggapnya bukan sebagai riba.
c. Syeikh Dr.  Muhammad Sayyid Thanatawi
Syeikh Dr.  Muhammad Sayyid Thanatawi (w. 2010 M) di masa hidupnya menjadi Syaikhul Azhar, yaitu pemimpin tertinggi Al-Azhar, sekaligus menjadi pimpinan Majma’ Buhuts Islamiyah di Al-Azhar.
Dalam fatwanya beliau menyebutkan bahwa bunga dari hasil menabung di bank bukanlah riba yang haram, tetapi merupakan bagi hasil atas usaha bersama. Meski pembagian hasil itu sendiri sudah ditentukan nilainya di awal, namun menurut beliau, hal itu sah-sah saja karena sudah melewati proses saling ridha di antara kedua belah pihak.
Jadi fatwa beliau ini lebih spesifik lagi, bukan hanya yang menyimpan uangnya saja yang aman dari riba, bahkan ketika seorang meminjam uang dari bank (menjadi debitur), lalu dia bayar ‘bunga’ kepada bank, maka itu pun menurut beliau bukan riba, melainkan bagi hasil.
d. Fahmi Huaidi
Fahmi Huwaidi adalah salah satu pemikir muslim asal Mesir yang bermukim di Inggris.

Daftar nama para ulama yang sepakat tidak memandang bunga bank sebagai riba yang haram cukup banyak kalau mau dibeberkan semua. Berikut sebagian kecil saya antara lain adalah :
  1. Dr. Abdurrahman Al-‘Adawi
  2. Dr. Muhammad Ar-Rawi
  3. Dr. Nashr Farid Washil
  4. Dr. Yasin Suwailim
  5. Dr. Abdul Azhim Barakah
  6. Dr. Muhammad Salam Madkur
  7. Dr. Muhammad Asy-Syahat Al-Jundi
  8. Dr. Ismail Ad-Daftar
Selain itu menurut Umar Chapra, ada Muhammad Asad dan juga Abdullah Yusuf Ali yang juga berpendapat bahwa bunga bank itu bukan termasuk riba yang diharamkan.[3]
e. Syeikh Dr. Muhammad Abduh
Syeikh Dr. Muhammad Abduh (w. 1905 M) adalah salah satu tokoh senior kebangkitan Islam masa modern, yang menjadi inspirator banyak gerakan pembaharuan Islam di berbagai negeri.
Di dalam kitab tafsirnya karyanya Al-Manar, Abduh memberi pembahasan khusus dalam masalah bunga bank, dimana beliau memandangnya bukan riba. Sebab uang yang disimpan di bank itu memberi manfaat kepada kedua-belah pihak, yaitu yang punya uang atau pun yang meminjam.[4]
f. Syeikh Abdul Wahab Khallaf
Syaikh Abdul Wahab Khallaf  (w. 1956 M) adalah seorang ulama ahli hadits, ahli ushul fiqih dan juga ahli fiqih dari Mesir dan Beliau juga pernah diangkat menjadi qadhi atau hakim di Mesir.
Dalam hal daftar ulama yang menghalalkan bunga bank, nama beliau bisa dianggap sebagai urutan terdepan.
Berikut adalah pandangannya :
إذا أعطى إنسان الف جنيه لتاجر او مقاول ليعمل بها في تجارته او أعماله على أن يتجر بها ويعمل فيها ويعطيه كل سنة خمسين جنيها أرى أن هذه مضاربة وشركة بين اثنين فأحدهما شريك بمال والآخر شريك بعمله او بعمله وماله
Bila seseorang memberikan uang 1.000 Junaih kepada seorang pengusaha atau kontraktor untuk dia jadikan modal usaha, dengan kesepakatan tiap tahun dia akan memberikan 50 Junaih, maka saya memandang ini adalah mudharabah dan syarikah antara keduanya. Pihak pertama menyertakan hartanya dan pihak kedua menyertakan amalnya, atau amal dan hartanya juga. 
g. Syeikh Mahmud Syaltut
Syeikh Syaltut (w. 1963 H) juga seorang pimpinan Al-Azhar di masa hidupnya. Beliau berpendapat bahwa menyimpan uang di bank bukanlah meminjamkan uang kepada bank. Tetapi pada hakikatnya adalah titipan kepada bank. Karena merasa tidak aman untuk menyimpan uang di rumah, juga karena tidak praktis.
Maka sejak awal tidak pernah ada akad pinjam uang. Dengan demikian pemberian bunga dari pihak bank kepada pemilik titipan itu tidak bisa disebut sebagai riba. Tetapi merupakan penghargaan dan penyemangat untuk bisa menitipkan uang di bank.
Bahkan dalam pandangan beliau, ketika uang titipannya di bank itu justru dipinjamkan lagi kepada pihak lain untuk usaha, maka ini termasuk amal kebaikan yang mendapatkan pahala. Tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini.
Pandangan dan ijtihad beliau ini kemudian dituliskan dalam karya ilmiyah dengan judul Al-Ashum wa As-Sanadat Dharuratu Al-Afrad wa Dharuratu Al-Ummah (الأسهم والسندات ضرورة الأفراد وضرورة الأمة).
Beliau juga menulis dalam kitab Fatawa sebagai berikut :
والذي نراه تطبيقًا للأحكام الشرعية والقواعد الفقهية السليمة أن أرباح صندوق التوفير حلال ولا حرمة فيها
Kami memandang sesuai dengan praktek hukum syariah dan qawaid fiqhiyah yang salimah bahwa keuntungan dari sunduq taufir (saving box) itu halal, tidak ada keharaman di dalamnya. [5]
[1] Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Fawaid Al-Bunuk Hiya Ar-Riba Al-Muharram
[2] Ab. Mumin Ab. Ghani & Fadillah Mansor (Penyunting), Dinamisme Kewangan Islam di Malaysia, 39. Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, 42-44.
[3] M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, h. 2001: 222-223.
[4] Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, jilid 3 hal. 97
[5] Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, hal. 323
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Jumat, 13 Maret 2020

Doa Minta Jodoh Yang Sholeh

1. Doa Minta Jodoh yang Pertama
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Allah ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami jodoh (istri-istri) kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa.” (QS Al-Furqaan 74)
2. Doa Minta Jodoh yang Kedua
رَبِّ لَا تَذَرْنِى فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْوَٰرِثِينَ
“Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.” (QS. Al-Anbiya’: 89)
3. Doa Minta Jodoh yang Ketiga
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (QS. Ali Imran: 38)
4. Doa Minta Jodoh yang Keempat
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ زَوْجًا طَيِّبًا أَخْطُبُهَ وَأَتَزَوَّجُ بِهِ وَيَكُوْنُ صَاحِبًا لِى فِى الدُنْيَا وَالْأَخِرَة
“Ya Rabb, berikanlah kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia & akhirat”.
Naahh bagi kalian kaum hawa yang meinginkan jodoh yang sholeh jangan lupa untuk mengamalkan do'a diatas, selain usaha untuk menjadi yang terbaik berdo'a adalah solusi yang tepat

Rabu, 11 Maret 2020

Do'a Ketika Bangun Dari Tidur

Artinya: Segala puji bagi Allah yang membangunkan kami setelah di tidurkan-Nya dan kepada-Nya lah kami dubangkitkan.




  • Sumber: 
  • Fathul Bari : 11/113
  • Muslim : 4/2083