Selasa, 26 Januari 2021

Haramkah Bagi Istri Untuk Melayani Suami yang Telah Berzina?

Ujian dalam rumah tangga pasti selalu ada. Hanya saja, jika ujian tersebut bersifat duniawi, maka bagi orang beriman tidaklah terlalu berarti. Bahkan, itu ia jadikan sebagai lahan untuk memanen pahala dan ganjaran besar dari Allah Ta'ala. Sebaliknya, jika ujian menyangkut dien, di antara salah seorang pasangan terjerumus dalam dosa besar seperti zina, maka itu benar-benar menjadi beban dalam keluarga.



Zina adalah perbuatan buruk yang sangat dicela agama. Disebut sebagai fahisyah (perbuatan keji) dan jalan yang buruk untuk melampiaskan syahwat dan mendapatkan keturunan.


وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا


"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32)

Hukuman bagi pezina di dunia sangatlah berat. Bagi yang bujangan, dicambuk seratus kali dengan disaksikan orang banyak lalu diasingkan selama setahun. Sementara bagi yang sudah menikah, walaupun baru sekali seumur hidup, maka hukumannya adalah dirajam, yaitu dilempari batu hingga mati.


الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ


"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (QS. Al-Nuur: 2)

Para ulama berkata, "Ini adalah hukuman di dunia bagi pezina perempuan dan laki-laki yang masih bujang, belum menikah. Jika sudah menikah walau hanya sekali maka keduanya dirajam dengan batu hingga mati. Begitulah yang tertera dalam sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Jika belum ditegakkan qishah terhadap keduanya di dunia dan mati tanpa bertaubat maka keduanya disiksa di neraka dengan cambuk api." (Dinukil dari Al-Kabair, Imam al-Dzahabi)

Di dalam al-Kabair juga disebutkan, "Sebagaimana yang tertera dalam Zabur: Para pezina akan digantung pada kemaluan mereka di neraka dan akan disiksa dengan cambuk besi. Maka jika mereka menjerit kesakitan karena cambukan maka Malaikat al-Zabaniyah berkata, "Kemana suara ini saat engkau tertawa-tawa, bergembira, dan bersuka ria serta tidak merasa diawasi oleh Allah Ta'ala dan tidak malu kepada-Nya."

Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits mimpinya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam tidurnya yang berasal dari Samurah bin Jundub, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam didatangi Jibril dan Mikail 'Alaihimas Salam, beliau berkisah: Kami berangkat pergi sehingga sampai di suatu tempat semacam 'Tannur' (tungku api) yang atasnya sempit sedangkat bagian bawahnya luas. Di dalamnya terdengar suara gaduh dan jeritan-jeritan. Kami menengoknya ternyata di dalamnya terdapat banyak laki-laki dan perempuan telanjang. Jika mereka terjilat api dari bawahnya mereka melonglong oleh panasnya yang dahsyat. Aku bertanya, "Siapa mereka itu, wahai Jibril?" Ia menjawab, "Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan, beginilah adzab bagi mereka sampai tibanya hari kiamat." Kita memohon kepada Allah ampunan dan kesejahteraan.


Tentang tafsir bahwa Jahannam memiliki tujuh pintu dalam QS. Al-hijr: 44,


لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ لِكُلِّ بَابٍ مِنْهُمْ جُزْءٌ مَقْسُومٌ


"Jahanam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka." Atha' rahimahullah berkata, "Pintu yang paling hebat siksa, panas, dan jilatannya serta paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi pezina yang melakukan zina sesudah mengetahui keharamnnya.

Makhul al-Dimasyqi berkata, "Para penghuni neraka mencium bau busuk lalu mereka berkata: Kami tidak pernah mendapati bau yang lebih busuk dari bau ini. Kemudian dikatakan kepada mereka: ini adalah bau kemaluan para pezina."

Ibnu Zaid –salah seorang ulama tafsir- berkata, "Sesungguhnya bau busuk kemaluan pezina benar-benar menyiksa penghuni neraka."

Sesudah mengetahui buruknya kedudukan zina dan dahsyatnya siksa bagi pezina, apakah ada seorang muslim yang masih berani berzina?


Jika Suami Terjerumus ke Dalam Zina


Pezina muhshan (orang yang pernah menikah) diancam di dunia dengan hukuman yang lebih berat daripada yang bujangan. Hal ini karena kekufurannya terhadap nikmat Allah, masih memilih yang haram sesudah merasakan yang halal. Lalu apabila suami tejerumus ke dalam zina, apakah istrinya tidak boleh lagi melayaninya?

Walaupun hina perbuatan zina dan berat siksa bagi seorang muhshan yang sudah terjerumus ke dalamnya, tidak lantas istrinya haram baginya karena zina tersebut. Karena hukum asal, tidak diharamkan. Jika ingin mengeluarkan dari hukum asalnya, maka harus ada dalil lain yang menerangkan dengan tegas tentang keharamannya. Namun jika suami tersebut terus-menerus (kecanduan) zina, maka wajib bagi istrinya untuk menjauhinya dan meminta cerai kecuali ia benar-benar bertaubat. Karena Allah Ta'ala berfirman,


الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ


"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin." (QS. Al-Nuur: 3) wallahu Ta'ala a'lam.



Mari Bersedekah Seiklasnya

Selasa, 29 September 2020

Denda Berhubungan Seksual Saat Haid

 Ulama Fiqih sepakat bahwa berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar. Ulama dari kalangan madzhab Syafi'i berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing 1 dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid, atau 1/5 dinar jika dilakukan di pertengahan-akhir haid.


Pendapat diatas didukung oleh ulama dari madzhab Hanafi. Hanya saja, madzhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami saja, dan tidak pada istri. Karena larangan itu ditujukan pada suami saja.


Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadits berikut:


إذا وقع الرجل أهله وهى حائض إن كان دما أحمر فدينار وان كان اصفر فنصف دينار


"Seorang laki-laki menjima' istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda 1 dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, maka dendanya 1/5 dinar." (HR. Tirmidzi)


Sedangkan ulama dari madzhab Hambali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar, tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan atau di akhir masa haid.


Madzhab Maliki berpendapat tidak ada denda apapun dalam perbuatan itu, baik atas si suami atau si istri.


Apakah Dengan Membayar Denda, Lalu Dosa Terhapus?


Belum tentu. Berhubungan suami istri saat istri sedang haid adalah perbuatan dosa besar. Selama keduanya tidak bertaubat pada Allah, maka dosa tersebut akan tetap melekat pada diri mereka.


Yang harus dilakukan oleh keduanya tidak cukup hanya membayar denda sebagaimana tertulis di atas. Namun, juga harus disertai taubat yang melibatkan 3 hal:

- meminta ampun pada Allah,

- menyesali perbuatan dengan sebenar-benarnya,

- dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.


Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari perbuatan dosa, dan semoga Allah memberi ampunan bagi orang-orang yang bertaubat. Amin.


Wallahu A'lam Bishshawab.

Di Masa Iddah, Istri Masih Berhak Dinafkahi !

 Seringkali kita melihat adegan suami-istri bercerai di televisi, lalu kemudian istri segera angkat koper dan 'minggat' dari rumah suaminya. Adegan-adegan semacam itu tak jarang ditampilkan, baik dalam reality show atau di sinetron-sinetron yang bisa saja tayang di prime time.


Padahal, Ulama Fiqih sepakat bahwa wanita yang ditalak raj'i (talak 1 dan 2 ) dan sedang menjalani masa iddahnya masih berhak mendapat nafkah dari suaminya berupa tempat tinggal, pakaian, makan dan kebutuhan hidupnya yang lain. Baik saat ditalak itu ia sedang hamil atau tidak. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-kuwaitiyyah 29/353)



Maka, sebenci apapun suami pada istrinya pada saat perceraian itu terjadi, haram baginya mengusir istri yang sedang menjalani masa iddah dari rumahnya. Begitupula istri, ia tidak boleh serta merta 'kabur' dari rumah suaminya saat masih menjalani masa iddah, sekesal apapun dia pada suaminya.


Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an:


لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ


"Janganlah kamu keluarkan mereka (istri-istri yang dicerai) dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri." (at-Talaq : 1)


Adapun wanita yang ditalak ba'in (talak ke-3 kali) juga masih berhak atas nafkah diatas apabila saat ditalak oleh suaminya ia sedang mengandung janin dari suaminya.


Salah satu hikmah dari ketentuan ber-iddah ini adalah agar keduanya memikirkan kembali dengan matang tentang keputusan besar yang telah mereka buat. Sehingga jika diinginkan, maka suami dan istri dapat rujuk kembali di masa iddah itu tanpa harus mengulang ijab qabul pernikahan.


Beberapa hikmah pensyariatan iddah ini antara lain:

1) Istibra' ar-rahim. Wanita mu'taddah (wanita yang menjalani iddah) tidak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain sampai ia selesai menjalani iddah-nya. Tujuannya agar rahim terhindar dari percampuran sperma dari laki-laki yang berbeda. Maka jika ternyata ia hamil ditengah-tengah menjalani masa iddah, maka akan jelas siapa ayah kandungnya.


2) Menghormati kemuliaan pernikahan. Talaq dapat menodai kesucian pernikahan bila dilakukan tanpa ada alasan syar'i.


3) Memberi tenggat waktu untuk suami-istri, yakni menjaga hak rujuk yang ada di tangan suami, menjaga kemashlahatan untuk pihak istri, serta menjaga hak dan mashlahat anak-anak mereka yang bisa saja terdzalimi sebab perceraian orangtuanya.


Maka dalam masa itu hendaknya pasangan suami-istri yang baru saja mengalami perceraian ini diharuskan tetap tinggal bersama dalam satu rumah dalam masa tertentu (selama masa iddah) agar keduanya kembali berfikir dengan matang mengenai keputusan besar yang baru saja dibuatnya.


Dalam masa iddah, jika suami ternyata ingin kembali rujuk, misalnya "mulai hari ini, engkau aku rujuk". atau "hari ini engkau jadi istriku seperti sebelumnya",atau kalimat yang serupa, maka rujuk telah terjadi. Bahkan rujuk dengan mengajak istri untuk berhubungan intim-pun dibolehkan.


Hak untuk menjatuhkan Talak dan Rujuk diberikan oleh Allah SWT kepada pihak suami. Sehingga, saat suami menyatakan rujuk pada istrinya yang sedang menjalani masa iddah, maka rujuk telah terjadi, Dan istri hendaklah menyambut baik ajakan rujuk itu dengan penuh syukur dan ketaatan kepada suaminya.


Itulah diantara hikmah disyariatkannya iddah. Sesungguhnya Allah adalah hakim yang seadil-adilnya, dan Pembuat Hukum (syari') yang sebaik-baiknya.


Wallahu a'lam bishshawab.

Sabtu, 04 Juli 2020

Menikah Dalam Lingkungan Islam
Penulis: Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafrudin



Menikah, sebagaimana praktik ibadah lainnya dalam Islam, juga terkepung oleh pelbagai penyimpangan. Bagaimana sesungguhnya “menikah” dalam kacamata Islam?

‘Imran bin Hiththan bin Zhabyan, seorang tabiin. Sebelum badai fitnah menghantam, ia seorang yang masyhur dengan menuntut ilmu dan hadits. Lantas, petaka pun tiba. Berawal dari dorongan hasratnya untuk menyadarkan putri pamannya, Hamnah, dari kungkungan paham Khawarij yang menyelimutinya. Ia pun beranjak coba merajut angan. Ia melangkah, mengikat tali kasih dengan putri berparas ayu Kharijiyah. Namun, angan tinggal angan. Citanya semula yang hendak menyadarkan Hamnah dari pemahaman Khawarij, ternyata sirna. Dirinya terfitnah. Pemahaman Khawarij sang istri justru menggerus benaknya. Lunturlah pemahaman Ahlus Sunnah yang lekat padanya. Jadilah ia seorang Khawarij. Ibnu Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, semula termasuk orang yang dijuluki ‘mata para ulama’, akan tetapi kini ia berubah menjadi seorang tokoh papan atas Khawarij. (Lihat Siyar A’lamin Nubala`, Adz-Dzahabi, 4/114- 115, Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, 3/317-318)

Sesungguhnya hati manusia semuanya ada di antara dua jari jemari Ar-Rahman. Jika menghendaki, Allah Subhanahu wa Ta'ala bisa memalingkan setiap hati manusia sesuai yang Dia kehendaki. Hendaknya setiap manusia merasa dirinya tidak aman dari fitnah. Ketergelinciran hati manusia bisa disebabkan dari arah manapun. Inilah yang harus diwaspadai. Tak menutup kemungkinan pula ketergelinciran hati seseorang disebabkan karena pernikahan. Berapa banyak orang yang terjatuh pada kesyirikan, lantaran pernikahan dan prosesi yang menyertainya. Berapa banyak pula, disadari atau tidak, mereka terjatuh pada kemaksiatan. Menyadari hati yang bisa berubah-ubah, lemah, mudah terwarnai keadaan dan perlu tiang pancang nan kokoh, hendaknya seorang yang beriman kembali pada apa yang telah dituntunkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berdasar hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu 'anhuma, ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ قُلُوبَ بَـنـِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِـعِ الرَّحْمَنِ كَـقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَـشَاءُ. ثُمَّ قَـالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

“Sesungguhnya hati Bani Adam semuanya di antara dua jari dari jari jemari Ar- Rahman, seperti hati satu orang, Dia palingkan kemana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 2654)


Demikianlah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Memohon diberi ketetapan hati untuk senantiasa kokoh ada dalam ketaatan pada-Nya. Taat dalam setiap keadaan, termasuk saat menginjak ke pelaminan. Hingga dengan pernikahan tersebut, seseorang bisa menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk meraup keteguhan iman. Pernikahan tersebut benar-benar menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena, nikah itu adalah sepenggal bentuk ibadah, yang merupakan bentuk pengamalan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5063 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1401, penggalan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)

Becerminlah dari Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha, seorang shahabiyah yang mulia. Ia menjadikan pernikahannya mampu mengantarkan kebaikan bagi dirinya, suaminya, kehidupan rumah tangganya, dan dakwah secara umum. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bertutur:

تَزَوَّجَ أَبُو طَلْحَةَ أُمَّ سُلَيْمٍ، فَكَانَ صَدَاقُ مَا بَيْنَهُمَا الْإِسْلَامَ، أَسْلَمَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ قَبْلَ أَبِي طَلْحَةَ فَخَطَبَهَا فَقَالَتْ: إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ، فَإِنْ أَسْلَمْتَ نَكَحْتُكَ. فَأَسْلَمَ فَكَانَ صَدَاقَ مَا بَيْنَهُمَا

“Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Yang menjadi mahar bagi pernikahan keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim memeluk Islam sebelum Abu Thalhah. Maka, Abu Thalhah pun lantas melamar Ummu Sulaim. Kata Ummu Sulaim, ‘Sungguh aku telah memeluk Islam. Jika engkau hendak menikahiku, engkau harus memeluk Islam terlebih dulu.’ Kemudian Abu Thalhah pun memeluk Islam. Keislamannya itu menjadi mahar (dalam pernikahan) keduanya.” (HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya, no. 3340. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini)

Dalam riwayat lain dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: “Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim. Maka, Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang yang sepertimu, wahai Abu Thalhah, tidak layak ditolak. Tetapi engkau lelaki kafir, sedangkan aku seorang muslimah. Tak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika engkau mau memeluk Islam, maka (keislamanmu) itu sebagai maharku. Aku tidak meminta yang selainnya.’ Lantas Abu Thalhah pun memeluk Islam dan itulah yang menjadi maharnya.” Tsabit berkata: “Tidak pernah aku mendengar sama sekali tentang mahar yang lebih mulia dari yang diberikan kepada Ummu Sulaim, yakni Islam.” (Sunan An- Nasa`i, no. hadits 3341 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Asy-Syaikh Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari hafizhahullah (salah seorang ulama terkemuka di Yaman), terkait kisah hadits di atas, memberikan nasihat yang laik dicamkan benar-benar oleh kaum muslimin. Kata beliau hafizhahullah, “Begitulah yang semestinya diucapkan seorang muslimah. Dia tidak tertipu dengan harta kekayaan yang dimiliki pihak lelaki. Padahal, Abu Thalhah tergolong orang Anshar yang kaya harta. (Namun demikian) Ummu Sulaim tidak meminta harta kekayaan yang banyak dari Abu Thalhah. Tidak meminta perhiasan emas, tidak juga yang lainnya. Yang diminta hanyalah dia (Abu Thalhah) memeluk Islam karena Allah Rabbul ‘alamin, sekaligus dijadikan mahar baginya. Abu Thalhah pun memeluk Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikannya seorang laki-laki beriman, shalih dan membantu (perjuangan) agama hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mewafatkannya dalam Islam. Dengan (kecerdasan) akal seorang wanita beriman ini dan dengan keimanannya (Ummu Sulaim), ia menjadi pria tangguh, kokoh, dan berserah diri.” (Ni’matuz Zawaj wa Shalahuz Zaujaini, Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari, hal. 9)


Adapun larangan seorang muslimah dinikahkan dengan seorang laki-laki musyrik telah nyata dalilnya. Terkait masalah ini, Asy-Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili menyatakan bahwa pengharaman menikahkan muslimah dengan laki-laki musyrik, sama saja baik laki-laki tersebut mubtadi’ (melakukan bid’ah yang menjadikan dia musyrik, pen.) atau selainnya, maka hujjah dalam masalah ini jelas berdasar Al-Kitab dan ijma’ (kesepakatan) umat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا

“Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak pula halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)

Maka, sungguh telah nyata kedua ayat di atas mengharamkan pernikahan muslimah terhadap orang kafir dan musyrik secara mutlak. Sama saja, baik dia seorang ahli kitab atau paganis (penyembah berhala) yang tidak memiliki kitab (bukan ahli kitab), tetap haram.” (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 377)
Sedangkan pengharaman seorang muslim menikah dengan wanita kafir musyrikah, berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

“Dan janganlah kamu tetap berpegang kepada tali (pernikahan) dengan perempuan- perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10)

Dua ayat tersebut menjadi dalil atas pengharaman menikahi wanita musyrikah secara umum oleh kaum muslimin. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengecualikan yang demikian terhadap wanita-wanita ahli kitab, berdasar firman-Nya:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Ma`idah: 5)

Maka, selama Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan keringanan dalam masalah menikahi para wanita ahli kitab, hal itu menjadi boleh. Adapun selain mereka, dari kalangan wanita-wanita musyrikah, larangan menikahi mereka tetap berlaku berdasar keumumannya. Seperti, (larangan menikahi) wanita-wanita penyembah berhala, patung-patung, bintang-bintang, dan api. Termasuk dalam hal ini, menghukumi mereka dari kalangan wanita-wanita pelaku kesyirikan dari kalangan ahli bid’ah, dihukumi karena kekafiran mereka. Hal ini jika mengaitkan para wanita tersebut kepada Islam. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 374)

Diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah, atsar yang dinukil dari para imam salaf menunjukkan keharaman menikahi ahli bid’ah yang telah sampai batas ambang kekafiran. Seperti, Jahmiyah dan Qadariyah. Maka tidak boleh menikahkan mereka kepada para wanita Ahlus Sunnah disebabkan kekufurannya. Apabila telah telanjur menikahkannya, maka wajib fasakh (membatalkan) pernikahannya ketika itu juga.

Terkait Syiah Rafidhah, beliau hafizhahullah menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu (dalam Majmu’ Fatawa, 32/61) saat menjawab pertanyaan tentang hukum menikah dengan Rafidhi (penganut paham Rafidhah, ed.) dan orang yang mengatakan tidak wajib shalat lima waktu. Kata Syaikhul Islam: “Tidak boleh seseorang menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya kepada seorang Rafidhi dan yang meninggalkan shalat. (Bila) saat menikahkannya atas dasar (pengetahuan) sesungguhnya dia seorang Sunni, menunaikan shalat lima waktu, kemudian diketahui bahwa dia seorang Rafidhi dan meninggalkan shalat, maka mereka harus mem-fasakh pernikahan tersebut.” (Ibid, hal. 380)


Dalam masalah pernikahan, Syiah menganut pemahaman membolehkan nikah mut’ah. Terjadi nikah mut’ah manakala seorang lelaki menikahi wanita dalam jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tertentu itu habis, maka selesailah ikatan pernikahan tersebut. Tidak membutuhkan talak. Tidak ada nafkah bagi wanita itu. Tidak ada beban tanggung jawab pada laki-laki terhadap anak-anak yang dilahirkan wanita tersebut (karena hubungan keduanya). Tidak pula mewarisi (harta) dari laki-laki tersebut. Ini model pernikahan jahiliah. (Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, Asy- Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitabun Nikah, hal. 340)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkan mut’ah pada perang Khaibar, yaitu tahun ketujuh dari hijrah. Setelah perjanjian Hudaibiyyah, sebelum Fathu Makkah. Kemudian saat perang Authas (nama tempat dekat kota Tha`if), disebut juga perang Hunain, tahun kedelapan hijrah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan mut’ah selama tiga hari sebagai bentuk rukhshah (keringanan). At- Tarkhish (rukhshah) artinya dibolehkan sesuatu yang asalnya terlarang dengan disertai adanya sebab yang membahayakan. Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan ulama bahwa nikah mut’ah adalah batil. Dibolehkan saat diberlakukan rukhshah (pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pen.) dan setelah itu rukhshah itu dihapus. Yang masih memberlakukan nikah mut’ah ini hingga sekarang adalah Syiah Rafidhah.” (Tashilul Ilmam, hal. 340-341)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah secara tegas melarang nikah mut’ah. Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu 'anhu, berkata:

رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberi rukhshah (keringanan) pada tahun Authas dalam masalah mut’ah selama tiga hari, lalu melarangnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 1405)

Diriwayatkan dari Ali Radhiallahu'anhu, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang mut’ah pada hari Khaibar. Beliau juga melarang makan daging keledai jinak pada hari itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 4216, dan Muslim dalam Shahih-nya, no. 1407)
Sumber dari kitab:
  • Siyar A’lamin Nubala` : Imam Adz-Dzahabi
  • Shahih Bukhari : Imam Bukhari
  • Shahih Muslim : Imam Muslim
  • Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil marom : Syaikh Sholeh fauzan al-fauzan
  • Majmu` Fatawa : Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah
  • Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa` wal Bida’ : 
  • Ni’matuz Zawaj wa Shalahuz Zaujaini, Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari
  • Tafsir al-Jalalain : Imam Jalaluddin al-Mahalli
Mewujudkan Pernikahan Islami
Penulis: Redaksi Asy-Syariah



Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memaknakan dalam haditsnya, menikah adalah menyempurnakan setengah dari agamanya. Ungkapan ini menegaskan betapa pernikahan menduduki posisi yang mulia dalam Islam. Ia bukan sekadar lembaga untuk menghalalkan “aktivitas ranjang”. Namun lebih dari itu. Menikah merupakan babak baru dari seorang individu muslim menjadi sebentuk keluarga di mana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dst.

Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau coba-coba layaknya pacaran. Namun dilambari niatan yang tulus untuk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala diringi dengan kesiapan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur rasa malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.

Islam juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang menonjolkan nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhi adat, tidak pula kental dengan tradisi Barat. Walimah dalam Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sahibul hajat untuk menyelenggarakan di luar kemampuannya.

Walimah nikah juga tidaklah dimaknai sebagai acara jual beli yang memperhitungkan untung rugi atau minimalnya “balik modal”, sebagaimana hal ini tecermin dalam budaya amplop. Sehingga yang diundang tidak dibedakan antara yang “beramplop tebal”, “tipis”, atau bahkan yang “tidak beramplop sama sekali”. Alhasil, tidak berlaku kaidah “yang penting bukan orangnya yang datang (untuk mendoakan), namun amplopnya.” Bahkan sebagaimana disitir dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut makanan dari walimatul ‘urs yang hanya mengundang orang-orang kaya sebagai sejelek-jelek makanan.

Lebih-lebih jika itu semua dibumbui acara-acara yang tidak memiliki makna secara Islam seperti (dalam adat Jawa) siraman, ngerik, midodareni, jual dawet, panggih, balang suruh, nginjak telur, dan sebagainya. Atau yang sok kebarat-baratan (baca: latah) dengan standing party (pesta berdiri), tukar cincin, lempar bunga, berciuman di depan tamu undangan, dansa, atau yang sekadar menyuguhkan “hiburan” berupa musik (organ tunggal).




Namun demikian, soal kemungkaran dalam proses menikah ini tidak hanya terjadi dalam dunia awam. Di kalangan aktivis atau pergerakan Islam juga tak sepi dari kemungkaran. Dalam niat, tak sedikit dari mereka yang meniatkan menikah karena ingin lari dari ”masa lalu”, semata menghindari orangtua yang dianggap jauh dari nilai- nilai Islam, dan sebagainya. Dalam tataran praktik ada yang mengawali proses nikah dengan pacaran ”Islami”, saling tukar foto, biro jodoh ”Islami”, hingga menikah tanpa wali.

Sebaliknya, ada pula kelompok sempalan Islam yang justru mengajarkan untuk hidup membujang atau selibat sebagaimana ini telah dilakoni para pastor, frater, bruder, suster, biksu/biksuni, biarawan/biarawati, rahib, dan sejenisnya. Itulah salah satu inti ajaran Sufi. Membiaklah dari gaya hidup menyimpang ala “rohaniwan-rohaniwan” ini, beragam kelainan seperti homoseks, pedofilia, incest (hubungan seks sedarah), dan lainnya.

Tak kalah “kacau balau”, adalah apa yang menjadi amalan ibadahnya orang-orang Syiah Rafidhah, yakni nikah mut’ah. Model pernikahan yang umum disebut dengan kawin kontrak ini praktiknya justru menjadi pintu perzinaan yang dikemas legal. Tak heran, jika ada orang-orang yang diulamakan atau ditokohkan tertangkap basah melakukan perzinaan, alasan nikah mut’ah kerap mengemuka.

Begitulah ketika fitrah agama ini dilanggar. Perzinaan semakin subur, perilaku seksual menyimpang kian meluas, dan kerusakan masyarakat pun menjadi bom waktu. Maka sudah masanya bagi kita untuk menghidupkan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mewujudkan pernikahan Islami di tengah masyarakat kita!

Kamis, 20 Desember 2018

Nikah &i Masa Muda, Takut?!. Siap!

Nikah Muda, Siapa Takut?!


Oleh : Al-Ustadz Abdullah al-Jakarty

“Menikah di usia muda, siapa takut?” kata saya dengan bangga.

Tidak sedikit orang yang bertanya-tanya, untuk apa masih muda sudah menikah. Bahkan, tidak jarang mereka memandang aneh dan penuh tanda tanya kepada orang yang ingin menikah di usia muda.

Innalillahi wa inna ilahi rajiun. Wah, gawat. Pola pikir masyarakat telah berubah. Justru seharusnya kita yang merasa aneh dan bertanya-tanya, mengapa menunda menikah dengan alasan studi, karier, atau alasan lain yang tidak syar’i, walaupun dengan risiko terjatuh ke dalam maksiat!

Saya merasa bangga dan seakan-akan ingin mengatakan kepada semua orang, “Saya ingin menikah di usia muda!” Supaya semua orang tahu tidak ada yang salah atau aneh dengan nikah muda. Bahkan, menikah muda itulah yang bagus dan patut dibanggakan, bukan menyelesaikan kuliah dengan meraih gelar sarjana ditambah gelar MBA (married by accident; baca: menikah karena hamil duluan), atau memilih melajang dengan konsekuensi berlumuran maksiat…. Nggak deh!

Adalah wajar dan manusiawi ketika saya menyukai lawan jenis dan mempunyai syahwat/kebutuhan biologis yang harus saya tunaikan dengan cara yang benar dan halal, yaitu dengan menikah. Jadi, mengapa masalah ini mesti diherankan?

Maka dari itu, wajar pula ketika saya ingin menyalurkan kebutuhan biologis saya dengan memilih jalan yang aman lagi halal. Bahkan, itulah ciri laki-laki yang memiliki (baca: berpegang teguh pada) agama dan bertanggung jawab. Yang dipilih bukan menempuh jalan haram dengan berzina atau berseks ria dengan pacar, atau jalan yang tidak halal lainnya. Di samping itu, kekhawatiran terjatuh dalam maksiat, sebagaimana telah dialami banyak orang akibat menunda menikah, menjadi alasan terbesar saya untuk segera menikah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,


يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaknya ia menikah, karena nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa tidak/belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya (dari maksiat).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan menikah adalah dapat menjaga kemaluan seorang laki-laki dan kemaluan istrinya, dan menjaga pandangannya dan pandangan istrinya, kemudian—setelah keutamaan tersebut—memenuhi kebutuhan syahwatnya.” (asy-Syarh al-Mumti’, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin 12/10)

Al-‘Allamah asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa menikah mengandung kebaikan yang sangat banyak. Di antaranya adalah kesucian suami istri dan terjaganya mereka dari terjatuh ke dalam perbuatan maksiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaknya ia menikah, karena nikah lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.’ (al-Hadits)” (al-Khuthab al-Minbariyyah fil Munasabat al-‘Ashriyyah, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 242)

Udah deh…, cepetan nikah!

Bukankah kita sama-sama mengetahui realitas tersebarnya kemaksiatan (perzinaan, pornografi, onani), termasuk kemaksiatan yang dilakukan banyak wanita di negeri ini, yaitu pamer aurat? Siapa yang merasa aman dari maksiat sedahsyat ini, sedangkan Allah azza wa jalla berfirman,

وَٱلَّذِينَ لَا يَدۡعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقۡتُلُونَ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَلَا يَزۡنُونَۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ يَلۡقَ أَثَامٗا ٦٨

“… dan orang-orang yang tidak menyembah sembahan yang lain beserta Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (al-Furqan: 68)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah azza wa jalla menyebutkan ketiga dosa ini karena ketiganya termasuk dosa besar yang paling besar. Perbuatan syirik menyebabkan kerusakan agama, pembunuhan menyebabkan kerusakan badan, dan zina menyebabkan kerusakan kehormatan.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah ada sepeninggalku suatu ujian yang lebih berbahaya bagi kaum pria daripada godaan wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 7121)

Apalagi, ada tujuan lain saya ingin segera menikah, yaitu melaksanakan ketaatan kepada Allah dan menggapai ketenangan hidup. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ

           “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang.” (ar-Rum: 21)

Asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Firman Allah) ‘supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang’, yakni melalui sebab-sebab yang mendatangkan kasih sayang, yang hal ini merupakan manfaat seseorang menikah. Dengan mempunyai istri, seorang pria dapat bersenang-senang dengan istri, merasakan kenikmatan hubungan suami istri, dan mendapat manfaat berupa anak dan sekaligus mendidik mereka, serta merasa tenang dengan istrinya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Saya ingin segera membina rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah. Saya juga ingin mempunyai keturunan yang saleh yang akan bermanfaat untuk kedua orang tuanya. Ini menjadi tujuan tersendiri bagi saya. Simaklah hadits-hadits berikut sebagai pelajaran untuk kita.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Menikahlah karena sungguh aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari kiamat, dan janganlah kalian menyerupai para pendeta Nasrani (yang tidak menikah, -pent.).” (HR. al-Baihaqi, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah )

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

            “Jika seorang manusia telah meninggal, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara:

Sedekah jariyah,
Ilmu yang bermanfaat,
Anak saleh yang mendoakan kebaikan bagi kedua orang tuanya.” ( Muslim no. 4310)

Inilah di antara alasan saya ingin menikah di usia muda. Saya tahu, banyak tantangan yang harus saya hadapi. Namanya juga mau melaksanakan ketaatan dengan menikah untuk menjaga diri dari maksiat. Jelas setan tidak bakal ridha. Mulailah setan membisikkan waswas (keraguan), “Ntar loe kasih makan apa tuh bini loe…?”

“Wah, rugi, Brurr. Masih muda mau nikah…. Mumpung masih muda, buat senang-senang aja lagi, apalagi banyak cewek yang naksir loe tuh.”

Belum lagi kita harus berusaha memahamkan dengan baik orang-orang yang tidak sependapat dengan kita, baik keluarga kita, misalnya, maupun yang lainnya. Akan tetapi, menunda nikah dengan alasan-alasan yang tidak dibenarkan secara syar’i? Tidak deh, terlalu berisiko. Coba kita tengok berapa banyak kita dengar kasus perzinaan yang dilakukan sebagian anak remaja, atau kasus MBA. Banyak, bukan? Demikian pula kemaksiatan lain karena menunda nikah.

Wah, nggak deh kalau harus memilih menjomblo (tanpa istri) di usia muda. Apalagi, orang yang tahu bahwa dirinya tidak bisa selamat dari perbuatan maksiat onani, zina, dan yang lainnya, kecuali dengan menikah, wajib baginya menikah. Maka dari itulah, rahasia disebutkannya anjuran menikah bagi anak muda adalah karena memang pada usia muda, syahwat sedang berada pada puncaknya. Coba perhatikan hadits ini sekali lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,


يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaknya ia menikah. Pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa tidak/belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya (dari maksiat).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Al-‘Allamah asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran Nabi subhanahu wa ta’ala untuk para pemuda (agar menikah), khususnya para pemuda kaum muslimin. Syahwat para pemuda lebih kuat dan kebutuhan mereka untuk menikah lebih besar, sehingga dianjurkan bagi mereka menikah.” (Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, jilid 4 hlm. 304)

Wahai Sobat Muda, jangan khawatir. Kalau niat kita baik, bahwa kita menikah untuk menjaga diri dan kehormatan kita, Allah pasti menolong kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

ثَلَاثَةُ حَقٍّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَالْمُكَاتِبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ

“Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah:

Mujahid yang berjihad di jalan Allah,
Budak yang hendak menebus dirinya supaya merdeka,
Orang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” (HR. at-Tirmidzi 1655, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah )
Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam sebuah ayat,

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٣٢

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (untuk menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 32)

Asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Firman Allah) ‘jika mereka miskin’, yakni orang-orang yang menikah, ‘Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya’. Oleh karena itu, jangan sampai kalian dihalangi kekhawatiran bahwa jika seseorang menikah, dia akan jatuh miskin disebabkan banyaknya tanggungannya, dan semisalnya. Di dalam ayat ini terdapat anjuran untuk menikah dan janji Allah bagi orang yang menikah bahwa dia akan diberi kekayaan setelah sebelumnya miskin.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Sudah deh…, buruan yuk kita menikah. Mumpung masih muda…. Kalian sudah tahu ‘kan manfaat menikah? Dengan menikah, kita terjaga dari perbuatan maksiat, dapat menyalurkan kebutuhan biologis dengan cara yang aman dan halal, dan manfaat-manfaat lainnya. Buruan deh nikah…. Tapi jangan lupa, bekali diri dengan ilmu, ya.