Rabu, 23 Juni 2021

Ucapan Selamatan Dan Doa Atas Kelahiran Anak Ada Dalam Hadits Shahih

Setelah anak lahir, puncaknya ketika aqiqah anak di hari ketujuh, sanak saudara dan tetangga berdatangan. Mereka membawa ucapan selamat dan doa atas kelahiran anak. Semua berbahagia. Doa-doa mereka mengikis sedikit demi sedikit rasa sakit yang dialami oleh ibunda saat melahirkan anaknya dan berganti dengan keceriaan.

Ada kalimat ucapan selamat dan doa atas kelahiran anak yang sering diamalkan oleh kebanyakan masyarakat muslim di sekitar.

Kalimat ucapan selamat dan doa atas kelahiran anak tersebut diyakini oleh kebanyakan masyarakat sebagai ucapan selamat dan doa yang sudah sesuai lafalnya dengan contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Redaksi kalimat ucapan selamat dan doa atas kelahiran anak tersebut sebagai berikut. 

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي المَوهُوبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ

“Semoga Allah memberkahi anak yang dianugerahkan kepadamu, semoga kamu senantiasa bersyukur kepada Sang Pemberi (Allah), semoga cepat besar dan dewasa, dan engkau diberi rezeki dengan patuh-baktinya.”

Pertanyaan yang diajukan adalah, benarkah lafal di atas bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jika bukan dari Nabi, lantas dari mana sumber doa atas kelahiran anak yang populer di tengah masyarakat tersebut?

Kemudian, apa memang tidak ada sama sekali lafal doa atas kelahiran anak yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diriwayatkan dengan sanad yang shahih?

Semoga tulisan ini bisa menjelaskan tiga persoalan tersebut.


Dari Mana Sumber Lafal Doa Atas Kelahiran Anak yang Beredar di Masyarakat Selama Ini?

Ada beberapa bentuk teks doa atas kelahiran anak yang beredar populer di masyarakat. Beberapa di antaranya status riwayatnya dha’if dan bukan hadits marfu’ yang otentik berasal dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

BENTUK PERTAMA,

شَكَرْتَ الْوَاهِبَ وَبُوْرِكَ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ وَبَلَغَ أَشُدَّهُ وَرَزَقْتَ بِرَّهُ

“Semoga kamu senantiasa bersyukur kepada Sang Pemberi (Allah), dan diberkahi dengan anak yang dianugerahkan kepadamu, semoga cepat besar dan dewasa, dan engkau diberi rezeki dengan patuh-baktinya.”

Lafal doa atas kelahiran anak ini ternyata bukan berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lafal ini adalah perkataan al-Hasan al-Bashri. Dalam ilmu hadits, ini disebut dengan hadits maqthu’ (hadits yang sanadnya berhenti sampai pada tabi’in), bukan hadits marfu’ (hadits yang sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Redaksi utuh hadits maqthu’ yang memuat doa ini dapat dijumpai dalam kitab Musnad Ali Ibnu al-Ja’d (No. 3398, hlm. 488).

Ia menuliskan, “Al-Haitsam bin Jamaz telah mengabarkan kepadaku, ia berkata, seseorang berkata kepada al-Hasan,

يَهْنِيكَ الْفَارِسُ، فَقَالَ الْحَسَنُ وَمَا يَهْنِيكَ الْفَارِسُ؟ لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ بَقَّارًا أَوْ حَمَّارًا، وَلَكِنْ قُلْ: شَكَرْتَ الْوَاهِبَ، وَبُورِكَ لَكَ فِي الْمَوْهُوبِ، وَبَلَغَ أَشَدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ

Selamat atas hadirnya seorang penunggang kuda.” Al-Hasan berkata, “Apa itu selamat atas hadirnya seorang penunggang kudaMungkin saja ia akan menjadi penunggang sapi atau keledaiTapi katakanlah, ‘Syakarta al-Wahibu wa burika laka fil mauhubi wa balagha asyuddahu wa ruziqta birrahu.’”

Lafal doa ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi al-Jurjani dalam kitab Al-Kamil (7/101), Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab An-Nafawah ala Al-‘Iyal No. 201 (1/365). Kedua sumber ini sama-sama meriwayatkannya dari Al-Haitsam bin Jimaz al-Bashri al-Hanafi.

Periwayatan doa ini dinilai dha’if oleh sejumlah ulama ahli hadits. Karena dalam periwayatannya terdapat perawi yang bernama al-Haitsam bin Jimaz. Ibnu Adi al-Jurjani menyebutkan beberapa penilaian ulama ahli hadits terhadap perawi ini.

Yahya bin Ma’in menilai, “Al-Haitsam bin Jimaz al-Hanafi yang berasal dari Bashrah ini statusnya dha’if.” Imam Ahmad bin Hanbal menilai, “Ia adalah munkirul hadits yang telah ditinggalkan hadits-haditsnya.” An-Nasa’i menilai, “Dia matrukul hadits.” (Al-Kamil fi Dhu’afa’i ar-Rijal, Ibnu ‘Adi al-Jurjani, 8/395; Lisanul Mizan, 6/204)

Hadits maqthu’ di atas juga memiliki jalur periwayatan lain dari Said bin Nushair, Katsir bin Hisyam telah mengabarkan kepada kami, Kaltsum bin Jausyan telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, seorang lelaki datang kepada al-Hasan….dst.

Hadits tersebut juga dinilai dha’if oleh para ulama ahli hadits sebab di dalam mata rantai sanadnya terdapat perawi bernama Kaltsum bin Jausyan yang statusnya dha’if di mata para ulama ahli hadits.

Kaltsum bin Jausyan memiliki nama panjang Kaltsum bin Jausyan al-Qusyairi ar-Raqi. Yahya bin Main mengatakan ia berasal dari Qusyair. Ia adalah seorang imam masjid Bani Qusyair. (Tarikh Ibnu Ma’in, Yahya bin Ma’in al-Baghdadi, 4/106)

Abu Hatim ar-Razi menilai, “Kaltsum bin Jausyan haditsnya dha’if.” (Al-‘Ilal, Ibnu Abi Hatim, 3/642; Mizanul I’tidal, Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, 3/413)

Ibnu Hibban mengatakan, “Tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya.” (Al-Majruhin minal Muhadditsin wa adh-Dhu’afa’ wal Matrukin, Muhammad Ibnu HIbban al-Busti, No. 905, 2/230)

Abu Ubaid al-Ajuri pernah bertanya kepada Abu Daud tentang status Kultsum bin Jausyan al-Qusyairi. Beliau mengatakan, “Dia memunkarkan hadits.” (Tahdzibul Kamal fi Asma’ ar-Rijal, Yusuf bin Abdurrahman (Abul Hujjaj), 24/202; Al-Kasyif, Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, 2/149)

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

BENTUK KEDUA,

جَعَلَهُ اللَّهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Semoga Allah menjadikan berkah karunia yang diberikan kepadamu dan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Lafal doa atas kelahiran bayi bentuk ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dari jalur Khalid bin Khidasy dari Hammad bin Zaid, ia berkata, “Biasanya jika Ayyub memberi selamat atas kelahiran bayi ia berdoa,…(kemudian menyebutkan doa di atas). (An-Nafaqah ‘ala al-‘Iyal, Ibnu Abi ad-Dunya No. 202, 1/366)

Imam ath-Thabrani juga meriwayatkan dari jalur yang sama; Muhammad bin Ali bin Syu’aib as-Simsar telah mengabarkan kepada kami, Khalid bin Khidasy telah mengabarkan kepada kami, Hammad bin Zaid telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, “Biasanya jika Ayub memberi selamat atas kelahiran bayi ia berdoa,…(kemudian menyebutkan doa di atas).” (Ad-Du’a, Imam ath-Thabrani No. 946, hlm. 294)

Muhammad Sa’id bin Muhammad Hasan al-Bukhari menjelaskan, di dalam mata rantai sanadnya terdapat perawi bernama Khalid bin Khidasy. Ia diketahui sebagai perawi yang jujur tapi kadang-kasang keliru. Sanad ini hanya sampai pada Ayub. (Kitab ad-Du’a, Imam ath-Thabrani, tahqiq DR. Muhammad Sa’id bin Muhammad Hasan al-Bukhari, 1244)

Ayyub yang dimaksud dalam sanad hadits di atas adalah Ayyub as-Sikhtiyani. Ia adalah seorang tabi’in. Sehingga, teks ini bukanlah hadits yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits marfu’), namun ini adalah perkataan seorang tabi’in, Ayyub as-Sikhtiyani (hadits maqthu’)

Masih dalam kitab ad-Du’a, Imam ath-Thabarani juga meriwayatkan lafal doa yang sama namun dengan konteks dan jalur periwayatan yang berbeda.

Yahya bin Utsman bin Shalih telah mengabarkan kepada kami, Amru bin ar-Rabi’ bin Thariq telah mengabarkan kepada kami, as-Sariy bin Yahya telah mengabarkan kepada kami,

أَنَّ رَجُلًا مِمَّنْ كَانَ يُجَالِسُ الْحَسَنَ وُلِدَ لَهُ ابْنٌ فَهَنَّأَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: لِيَهْنِكَ الْفَارِسُ، فَقَالَ الْحَسَنُ: وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهُ فَارِسٌ لَعَلَّهُ نَجَّارٌ، لَعَلَّهُ خَيَّاطٌ قَالَ: فَكَيْفَ أَقُولُ؟ قَالَ: قُلْ جَعَلَهُ اللَّهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ada seseorang yang sedang bermajelis dengan al-Hasan yang dianugerahi dengan lahirnya seorang anak, salah seorang memberinya selamat dengan berkata, “Selamat atas hadirnya seorang penunggang kuda.

Al-Hasan berkata, “Apa engkau tahu bahwa anak itu seorang penunggang kuda, bisa jadi dia adalah tukang kayu, bisa jadi dia tukang jahit.”

Orang tadi berkata, “Lalu apa yang aku ucapkan?”

Al-Hasan menjawab, “Ucapkan: ‘Ja’alahullahu mubarakan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin shallallahu ‘alaihi wasallam.’” (Ad-Du’a, Imam ath-Thabrani No. 945, hlm. 294)

Muhammad Sa’id bin Muhammad Hasan al-Bukhari menjelaskan, lafal doa ini sanadnya hasan. Riwayatnya hanya sampai pada al-Hasan al-Bashri. Jadi ini bukan hadits Nabi. (Kitab ad-Du’a, Imam ath-Thabrani, tahqiq DR. Muhammad Sa’id bin Muhammad Hasan al-Bukhari, 1243)


 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

BENTUK KETIGA,

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ

Semoga Allah memberkahimu atas pemberiannya kepadamu, engkau layak bersyukur, (semoga) anakmu cepat dewasa dan engkau diberi rezeki berupa baktinya kepadamu.”

Lafal doa ini disebutkan oleh Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani rahimahullah dalam kitab beliau Hishnul Muslim Min Adzkar al-Kitab wa as-Sunnah (doa nomor 145).

Dalam catatan kakinya, beliau menyebutkan bahwa doa tersebut beliau nukil dari Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar (1/289).

يُسْتَحَبُّ تَهْنِئَةُ الْمَوْلُوْدِ لَهُ، قَالَ أَصْحَابُنَا: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُهَنَّأَ بِمَا جَاءَ عَنِ الْحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ عَلَّمَ إِنْسَاناً التَّهْنِئَةَ فَقَالَ: قُلْ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ.

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَرُدَّ عَلَى الْمُهَنِّئِ فَيَقُوْلُ: بَارَكَ اللهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَزَاكَ اللهُ خَيْراً، وَرَزَقَكَ اللهُ مِثْلَهُ، أَوْ أَجْزَلَ اللهُ ثَوَابَكَ، وَنَحْوُ هَذَا.

“Dianjurkan untuk memberi selamat kepada orang yang melahirkan. Sahabat kami berkata, ‘Dianjurkan untuk memberi selamat sebagaimana riwayat dari al-Husain radhiyallahu bahwasannya beliau mengajari seseorang ucapan selamat. Beliau berkata, Barakallahu laka fil Mauhubi laka wa syakartal wahib awa balagha asyuddahu wa ruziqta birrahu.’”

“Dan dianjurkan pula untuk membalas ucapan selamat tersebut dengan, ‘Barakallahu lak awa baraka ‘alaika, wa jazakallahu khairan, wa razaqakallahu mitslahu, atau Ajzalallahu tsaawabaka, dan semisalnya.’”

Namun sayang sekali imam an-Nawawi tidak menyebutkan mata rantai periwayatannya secara utuh.

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

Selain itu, ada perbedaan versi riwayat; sebagian riwayat menyebutkan orang yang mengajarkan doa itu adalah al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sebagian riwayat lain menyebutkan orang yang mengajarkan doa itu adalah al-Hasan al-Bashri rahimahullah, seorang ulama tabi’in.

Penisbatan lafal doa itu kepada al-Husain bin Ali hanya didapati dalam kitab-kitab ulama mazhab Syafi’i yang seluruhnya menukil dari imam an-Nawawi. Selain dari kitab-kitab ulama mazhab Syafi’i, menisbatkan pada al-Hasan al-Bashri. (Ittihaf al-Muslim bi Syarh Hishnil Muslim, Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, 922)

Namun, riwayat yang menyatakan orang yang mengajarkan doa itu adalah al-Hasan al-Bashri memiliki bukti yang lebih kuat. Sebab lafal doa tersebut memiliki jalur riwayat lain yang menunjuk kepada nama al-Hasan al-Bashri. (Wushul al-Amani bi Ushul at-Tahani, Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, tahqiq: Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuri, 36)

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

Selain itu, dalam riwayat yang disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir, di sana ada sebutan kunyah ‘Abu Sa’id’, ini adalah kunyah Al-Hasan al-Bashri, bukan kunyah al-Husain bin Ali. Al-Husain bin Ali tidak memiliki nama kunyah Abu Sa’id. (Min a’lam as-Salaf, Syaikh Ahmad Farid, 5/3)

Berikut ini teks lengkap yang disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir:

جَاءَ رَجُلٌ عِنْدَ الْحَسَنِ وَقَدْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَقِيْلَ لَهُ يُهَنِّئَكَ الْفَارِسُ فَقَالَ الْحَسَنُ وَمَا يُدْرِيْكَ أَفَارِسٌ هُوَ؟ قَالُوْا: كَيْفَ نَقُوْلُ يَا أَبَا سَعِيْدِ؟ قَالَ: تَقُوْلُ: بُوْرِكَ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ وَرُزِقْتَ بِرَّهُ وَبَلَغَ أَشُدَّهُ

“Seseorang datang kepada al-Hasan, dan baru saja ia dikaruniai seorang anak. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Selamat atas hadirnya seorang penunggang kuda’. Lalu al-Hasan berkata, ‘Dari mana engkau tahu ia akan menjadi seorang ahli penunggang kuda?’

Orang-orang pun bertanya, ‘Lalu, kami harus mengucapkan apa, wahai Abu Sa’id?’

Al-Hasan menjawab, ‘Burika laka fil mauhub, wa syakartal wahib, wa riziqta birrahu wa balagha asyuddahu.’” (Tarikh Damsyiq, Ibnu ‘Asakir, 59/276)

Doa Atas Kelahiran Anak dalam Hadits Shahih-dakwah.id

 

Apakah Ada Ucapan Selamat dan Doa Atas Kelahiran Anak yang Sanadnya Shahih?

Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan, ada satu lafal doa yang sanad periwayatannya berstatus hasan. Artinya, secara sanad tidak ada masalah. Namun, lafal tersebut hanya terhenti pada seorang tabi’in saja. yakni al-Hasan al-Bashri. Jadi, lafal doa atas kelahiran bayi tersebut bukanlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan hadits marfu’, tapi atsar tabi’in (hadits maqthu’).

Kemudian, jika ditelusuri dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dijumpai hadits yang kontennya berisi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang doa atas kelahiran anak.

Kecuali hanya satu riwayat saja, yakni kisah yang cukup panjang tentang Ummu Sulaim.

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

Waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada Abu Thalhah bahwa ia akan dikaruniai seorang anak laki-laki. Karena ia dan istrinya, Ummu Sulaim, telah bersabar atas meninggalnya anak mereka yang belum lama lahir.

Setelah anak laki-laki dalam kandungan Ummu Sulaim terlahir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Anas—putra Ummu Sulaim dari suaminya yang pertama, Malik—untuk menyampaikan pesan kepada Ibunya agar tidak memasukkan makanan apa pun ke mulut bayinya yang baru lahir itu sampai membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Anas datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara bayi laki-lakinya yang ia letakkan dalam dekapan lengannya, ia serahkan kepada beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambilkan tiga butir kurma Ajwa.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunyah kurma tersebut hingga lembut lalu dimasukkan ke mulut bayi laki-laki Abu Thalhah sembari bersabda, “Kabilah Anshar itu menyukai kurma.”

Lalu beliau bersabda, “Kembalilah kepada ibumu dan sampaikan doa,

بَارَكَ اللَّهُ لَكِ فِيهِ وَجَعَلَهُ بَرًّا تَقِيًّا

Semoga Allah memberkahimu pada bayi ini dan semoga Allah menjadikannya sebagai anak yang berbakti dan bertakwa.’”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bazzar. Redaksi panjangnya dapat dibaca secara lengkap dalam kitab Musnad al-Bazzar hadits nomor 7310 (13/495).

Abu al-Hasan Nuruddin al-Haitsami berkomentar, “Para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahih (Shahih al-Bukhari) selain Ahmad bin Manshur ar-Ramadi, dan ia adalah perawi yang tsiqah.” (Majma’ az-Zawa’id wa Ma.ba’ al-Fawa’id, Abu al-Hasan  Nuruddin al-Haitsami, hadits nomor 15421, 9/261).

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

Kesimpulannya, jika ditanya apakah ada lafal doa atas kelahiran bayi yang sanadnya shahih? Maka jawabannya adalah ada. Lafal doa yang bersanad shahih ada dua.

Lafal pertama bersumber dari atsar tabi’in. Ini hadits maqthu’, bukan hadits marfu’. Yaitu lafal yang bersumber dari al-Hasan al-Bashri:

جَعَلَهُ اللَّهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Semoga Allah menjadikan ia keberkahan bagimu dan bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Lafal yang kedua bersumber dari hadits. Yakni doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Sulaim atas kelahiran anak laki-lakinya:

بَارَكَ اللَّهُ لَكِ فِيهِ وَجَعَلَهُ بَرًّا تَقِيًّا

Semoga Allah memberkahimu pada bayi ini dan semoga Allah menjadikannya sebagai anak yang berbakti dan bertakwa.”

Selain dua lafal di atas, penulis belum menemukan lafal yang jalur periwayatannya shahih. Wallahu a’lam.

 

Mana yang Lebih Utama: Mengamalkan Doa dari Hadits Shahih atau Doa dari Hadits Dha’if tentang Doa Atas Kelahiran Anak?

Banyak ulama kontemporer yang berpendapat tidak ada hadits marfu’ yang menyebutkan doa atas kelahiran anak, di antaranya Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dan Syaikh Abu Abdil Mu’iz Muhammad Ali Farkus.

Kedua ulama ini juga menganggap bahwa doa atas kelahiran anak yang populer di masyarakat (barakallahu fil mauhub..dst) ini bukanlah hadits Nabi, melainkan perkataan atau atsar dari Al-Hasan al-Bashri rahimahullah. Keduanya juga sepakat bahwa sanad hadits tersebut dha’if.

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

Meski demikian, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid tetap membolehkan menggunakan lafal tersebut sebagai doa atas kelahiran anak dengan beberapa argumentasi:

Pertama, meskipun riwayat atsar tersebut statusnya dha’if, riwayat tersebut memiliki mutaba’ah mutaba’ah (meskipun riwayatnya menurut beliau juga dha’if) yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Damsyiq (59/276) dari jalur Muawiyah bin Muhammad al-Adzari, bahwa Muhammad bin Ibrahim bin Bakkar al-Qurasyi mengabarkan kepada mereka, Said bin Nashir telah mengabarkan kepada kami, Katsir bin Hisyam telah mengabarkan kepada kami, Kaltsum bin Jausyan telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, “Seseorang datang kepada al-Hasan….”dst.

Kedua, ketika hukum asal dalam lafal doa di luar ibadah itu adalah mutlak tanpa terikat, maka orang yang ingin berdoa mendapat peluang untuk memilih lafal doa mana pun yang menurutnya paling meyakinkan untuk terkabul, paling lengkap, dan paling sesuai dengan tujuan ia berdoa.

Ketiga, para ulama lebih suka mengamalkan doa yang sumber riwayatnya dari al-Hasan al-Bashri, sebagaimana disebutkan imam an-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ (8/443), Al-Adzkar (289) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (9/464). Juga lafal doa yang bersumber dari Ayyub as-Sikhtiyani (Ja’alallahu mubarakan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin shallallahu ‘alaihi wasallam) yang riwayatnya telah diurai sebelumnya.

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

Sementara Syaikh Abu Abdil Mu’iz Muhammad Ali Farkus juga berpendapat bahwa mengucapkan doa atas kelahiran anak dengan lafal yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi (barakallahu fil mauhub..dst) dihukumi mustahab (dianjurkan) oleh para ulama.

Menurut beliau, Kalimat doa yang dibawakan oleh al-Hasan al-Bashri tersebut—meskipun itu bukan hadits Nabi—merupakan bagian dari al-Kalimah ath-Thayyibah, perkataan yang baik. Sementara mengucapkan dan menyampaikan kalimat thayyibah kepada sesama muslim ada anjurannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana terdapat dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari Adi bin Hatim radhiyallahu anhu,

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

Jauhilah Neraka meski hanya sekedar dengan setangkai kurma. Bagi yang tidak memiliki, bisa dengan al-Kalimah ath-Thayyibah (perkataan yang baik).” (HR. Al-Bukhari No. 6540; HR. Muslim No. 1016)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga disebutkan,

وَالكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

Perkataan yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari No. 2989; HR. Muslim No. 1009)

Maka, substansi dan maqashid dari ucapan doa atas kelahiran anak sebenarnya adalah untuk menyisipkan rasa kebahagiaan dan ghibthah (keceriaan) dalam hati sesama muslim dalam rangka menguatkan tali ukhuwah, ikatan cinta (mahabbah), dan keakraban sesama muslim.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المُؤْمِنُ مَأْلَفٌ، وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَأْلَفُ وَلَا يُؤْلَفُ

Seorang mukmin adalah ma’laf (mudah akrab, sumber keakraban). Tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak mudah akrab (kepada orang laindan orang lain tidak mudah akrab kepadanya.” (HR. Ahmad No. 9198; HR. Al-Hakim No. 59. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah No. 426)

 Baca juga: Memberi Nama Janin yang Keguguran

Dengan landasan tersebut, maka seorang muslim dianjurkan untuk bersegera dalam memberikan rasa kebahagiaan dan menyampaikan kepadanya hal-hal yang membahagiakan. Dan caranya tidak hanya terbatas dengan ucapan selamat dan doa atas kelahiran baik kepada si bayi ataupun orang tuanya, bisa dengan cara-cara lain yang memiliki tujuan yang sama.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Qurrah, dia berkata:

لَمَّا وُلِدَ لِي إِيَاسٌ دَعَوْتُ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطْعَمْتُهُمْ فَدَعَوْا؛

فَقُلْتُ: إِنَّكُمْ قَدْ دَعَوْتُمْ فَبَارَكَ اللهُ لَكُمْ فِيمَا دَعَوْتُمْ، وَإِنِّي إِنْ أَدْعُو بِدُعَاءٍ فَأَمِّنُوا،

قَالَ: فَدَعَوْتُ لَهُ بدُعَاءٍ كَثِيرٍ -فِي دِينِهِ وَعَقْلِهِ وَكَذَا-. قَالَ: فَإِنِّي لَأَتَعَرَّفُ فِيهِ دُعَاءَ يومئذٍ.

Ketika aku diberi karunia dengan kelahiran ‘Iyas, aku mengundang sekelompok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku menghidangkan makanan untuk mereka lalu mereka mendoakanku.

Aku berkata, “Sungguh kalian telah mendoakanku, maka semoga Allah memberkahi kalian atas doa-doa kalian, dan sesungguhnya aku akan berdoa maka aminkanlah.”

Maka aku pun berdoa (untuk anakku) dengan doa yang banyak –tentang agamanya, akalnya, dan yang lainnya. Sungguh saat ini pun aku masih ingat doa yang kupanjatkan (untuk anakku) pada hari itu. (HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad no. 1255. Syaikh Al-Albani berkata, riwayat ini shahih dengan sanad maqthu’).

Namun, pendapat Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dan Syaikh Abu Abdil Mu’iz Muhammad Ali Farkus yang menyatakan bahwa di dalam al-Quran atau as-Sunnah tidak ada lafal doa atas kelahiran anak terbantahkan dengan ditemukannya teks hadits shahih riwayat al-Bazzar tentang kisah Ummu Sulaim sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Sehingga, lafal doa atas kelahiran anak yang lebih diutamakan untuk diamalkan adalah lafal yang terdapat dalam kisah Ummu Sulaim tersebut. Wallahu a’lam

Senin, 18 Januari 2021

LAFAL SHADAQALLAHUL-'ADZIM


Lafal shadaqa Allahul ‘Adzim, walau bukan persoalan baru namun masih ada saja yang bertanya tentangnya dalam mengakhir pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagi sebagian orang, persoalan ini dianggap sangat penting sehingga pantas untuk didiskusikan panjang lebar. Apakah termasuk ibadah atau bid’ah, berdosa atau tidak bila melaksanakannya.

Lafal Shadaqallahul- 'adzim mempunyai makna "telah benarlah Allah yang Maha Agung". Memang tidak dapat ditemukan adanya ayat Al-Qur'an atau Hadits yang menerangkan secara eksplisit (sharih) praktik atau perintah Nabi Muhammad saw untuk mengucapkan lafal tertentu sesudah membaca Al-Qur'an. Al-Qur'an hanya mengajarkan bahwa sebelum membacanya kita terlebih dahulu harus mengucapkan lafal ta'awudz. Dalam suratAn-Nahl ayat 98, Allah berfirman;


فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم


Artinya: "Apabila kamu membacaAl Qur'an, hendaklah kamu meminta perlin-dungan kepada Allah dari setan yang terkutuk".(Qs.an-Nahl[16]:98)


Meskipun tidak ditemukan dalam sumber naqli, praktek yang berlaku umum di tengah masyarakat adalah mengucapkan lafal "shadaqallahul-'azhim" setiap mengakhiri membaca Al-Qur’an. Dalam penelusuran kami, sesungguhnya penggunaan lafal tersebut bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Para mufasir dalam beberapa kesempatan setelah menerangkan tafsir sua­tu ayat, terkadang menimpali tafsirannya dengan ucapan "shadaqallahul-'azhim". Sebagai contoh adalah Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-Qurtubi dalam al-Jami'liAhkamil-Qur'an} Ibnu Ajibah da­lam Tafsir Ibnu Ajibah, asy-Syanqithi da­lam Adlwahul-Bayan dan Sayid Qutb dalam Fi Zhilalil-Qur'an. Menurut hemat kami, lafal ini digunakan sesungguhnya sebagai bentuk penghormatan (al-Qurtubi: I/27) dan penegasan (afirmasi) komitmen seorang Muslim akan kebenaran berita dan kandungan Al-Qur'an yang difirmankan Allah SwT.


Dalil implisit (ghairu sharih) yang umumnya dijadikan sandaran untuk ba-caan ini adalah Al-Qur'an surat Ali Imran ayat: 95 :


قل صدق الله فاتبعوا ملة إبراهيم حنيفا وما كان من المشركين


Artinya: "Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik." (Qs. Ali Imran [3]: 95)


Ayat ini jika dilihat dari konteksnya me­mang berbicara tentang Bani Israil. Melalui ayat tesebut, Nabi Muhammad saw di-perintahkan oleh Allah SwT untuk menegaskan kepada Bani Israil bahwa Al-Qur'an adalah benar (akurat) tentang kisah-kisah yang ia bawa mengenai Bani Israil di masa lalu. Namun, ber-istidlal (mengambil dalil) dari ayat ini bukannya sama sekali tidak dibenarkan. Dalam hukum tajwid dibolehkan membaca ayat ini dengan berhenti setelah lafal "Allah", atau bisa disebut waqf jaiz (tempat yang dibolehkan berhenti). Jika kita berhenti di sini, maka ayat ini dapat melahirkan makna yang independen dari ayat sebelumnya dan lafal sesudahnya. Sehingga makna umumnya adalah ucapan "shadaqallahu" tidak mesti diucapkan hanya di depan Bani Israil yang meragukan kebenaran Al-Qur'an, melainkan dapat dibaca kapanpun jika ia dibutuhkan. Adapun penambahan lafal 'al-'adzim' dalam shadaqallahul-'adzim adalah sebagai bentuk ta'dzim (pengagungan) terhadap Allah SwT.


Berangkat dari keterangan di atas, ma­ka pendapat yang dapat kita pegang adalah lafal "shadaqallahul-'adzim" boleh diucap­kan kapan pun, terutama setelah mendengar informasi yang berhubungan dengan kebenaran informasi yang dibawa Al-Qur'an. Demikian juga pengucapannya setelah membaca Al-Qur'an. la dapat diterima dan bukan merupakan bid'ah (meng-ada-ada) dalam urusan agama. Hanya saja, yang perlu dicatat di sini adalah pelafalan kalimat tersebut tidak boleh diiringi de­ngan keyakinan bahwa ia adalah Sunnah Nabi saw yang diajarkan secara khusus, apalagi menganggapnya sebagai kewa­jiban agama. Sehingga, orang yang meng-akhiri bacaan Al-Qur'an tidak harus mem­baca bacaan ini dan orang yang tidak mem­baca bacaan ini setelah membaca Al-Qur'an juga tidak menyalahi tuntunan aga­ma. Selain itu, catatan lainnya adalah hendaknya lafal ini tidak diucapkan setelah membaca ayat Al-Qur'an di dalam ibadah shalat, karena shalat adalah ibadah mahdlah yang kita hanya diperkenankan mengikuti petunjuk agama dalam pelaksanaannya.

 


1. Ucapan “Shadaqallahul Adzim” (Maha Benar Allah Yang Maha Agung) Seusai Setiap Membaca al-Qur’an

Mengucapkan “shadaqallahul azhim” (Maha Benar Allah Yang Maha Agung) seusai setiap membaca al-Qur’an merupakan perbuatan bid’ah, karena perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maupun para al-Khulafa’ur Rasyidun atau para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Juga tidak pernah dilakukan oleh para imam-imam salaf padahal mereka sangat sering membaca al-Qur’an, sangat memperhatikannya dan mengerti tentangnya. Dengan demikian ucapan tersebut dan pengharusan bacaannya setiap kali usai membaca al-Qur’an adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.

Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-ada dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia akan tertolak.” [1] (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam lafazh yang diriwayatkan Muslim disebutkan,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” [2][3]

Adapun apabila ucapan tersebut dilafazhkan seseorang sesekali saat mendengarkan suatu ayat atau memikirkannya kemudian ia mendapatkan suatu pengaruh yang nyata dalam dirinya, maka tidak mengapa baginya untuk mengucapkan “Mahabenar Allah Yang Mahaagung, telah terjadi begini dan begitu”. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah:"Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. 3:95)

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah.” (QS. 4:87)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda :

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah.” [4]

Maka boleh mengucapkan ucapan Shadaqallah dalam beberapa peristiwa yang menunjang ucapan tersebut, seperti bila melihat sesuatu yang terjadi, yang sebelumnya Allah Subhanahu wa ta'ala telah mengingatkannya.

Namun apabila kita menjadikan ucapan tersebut seakan-akan termasuk hukum bacaan, maka perbuatan itu tidak ada dasarnya dan mengharuskannya termasuk bid’ah. Yang ada dasarnya dalam hukum bacaan adalah memulai membaca dengan mengucapkan isti’adzah (doa mohon perlindungan), sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa ta'ala :

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. 16:98).

Rasulullah mengucapkan doa perlindungan dari setan saat memulai membaca al-Qur’an dan membaca basmalah setiap awal surat selain surat Bara’ah (at-Taubah). Adapun seusai membaca al-Qur’an, tidak ada pengharusan untuk mengucapkan dzikir khusus atau ucapan “shadaqallah”, atau lainnya. [5]

Minggu, 22 Maret 2020

Hadits Tentang Mencari Ilmu di Waktu Kecil

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ungkapan tersebut memang sangat populer di lidah manusia. Terutama di kalangan pesantren dan madrasah. Ungkapan ini menekankan pentingnya belajar, khususnya ilmu agama, di masa kecil.
Danpara peneliti perkembangan anak juga membenarkan hal itu. Mereka menegaskan bahwa sejak bayi otak manusia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan para bayi sejak kecil telah belajar banyak hal.
Glandoman mengatakan bahwa kalau Anda baru ingin mengajari anak berusia 4 tahun untuk membaca, maka sesungguhnya hal itu telah terlambat. Karena sebenarnya bayi usia beberapa bulan sudah bisa mulai diajarkan membaca bahkan matematika.
Dalam sejarah Islam, para ulama terbiasa menghafal 30 juz Al-Quran sejak usia 5 hingga 8 tahun. Al-Imam Asy-Syafi'i bahkan telah menghafal kitab tebal karya Imam Malik, Al-Muwaththa', ketika berusia 15 tahun. Sehingga wajar bila para ulama di masa lalu bukan hanya ahli di bidang tafsir, hadits, fiqih dan ushul, tetapi juga mereka ahli di bidang ilmu pengetahuan dan sain.
Memang belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Jadi ungkapan itu memang benar dan sudah dibuktikan oleh sejarah dan data.
Kedudukan Hadits
Namun kalau kita telusuri tentang sumber perkataan ini, ternyata lafadz ini bukan hadits nabi SAW. Tidak ada riwayat yang shahih yang menetapkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengucapkan hal itu.
Kalimat hikmah yang isinya memang mengandung kebenaran ini adalah kalimat dari seorang ulama besar di masa tabi'in. Di dalam kitab Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhailihi karya Ibnu Abdil Barr, jilid 1 halaman 357, disebutkan bahwa kalimat ini adalah perkataan Al-Hasan Al-Bashri. Lengkapnya:
Dari Ma'bad dari Hasan Al-Basri, beliau berkata."Mencari ilmu pada saat kecil seperti memahat di atas batu."
Hasan Al-Basri bernama lengkap Abu Said Al-Hasan bin Abil Hasan Yasar Al-ashri. Sebenarnya beliau tidak termasuk shahabat nabi, namun berada pada level tabi'in, karena beliau tidak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Namun beliau termasuk senior di kalangan tabi'in.
Pada diri beliau berkumpul segala kemuliaan, baik dari sisi keilmuan, kezuhudan, kewaraaan serta hikmah yang banyak. Dan ungkapan yang anda tanyakan di atas, hanyalah salah satu hikmah karya beliau.
Al-Hasan Al-Bashri sebenarnyalahir di Madinah, walaupun namanya dinishbahkan pada kota Bashrah. Beliau lahir pada akhir masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab ra. Ayahnya maula dari Zaid bin Tsabit Al-Anshari ra.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc