Jumat, 26 Juli 2019

Biografi Lengkap Abuya Muda Waly Al Khalidy

Abuya Muda Waly


Abuya Muda Waly memiliki nama lengkap Syekh H. Teungku Muhammad Waly Al-Khalidy adalah seorang ulama dari Aceh Selatan. Salah seorang istrinya pernah menuliskan namanya dengan Syekh Haji Muhammad WalyAsyafi'i Mazhaban, wal Asy'ari Aqidatan, wan Naqsyabandi Thariqatan.[1] Dia lahir pada tahun 1917 di Blang PorohLabuhan HajiAceh Selatan. Ayahnya bernama Syekh Haji Muhammad Salim bin Malim Palito, seorang dai asal BatusangkarSumatra Barat dan ibunya bernama Siti Janadat. Namanya ketika kecil adalah Muhammad Waly, sedangkan gelar "Muda Waly" didapatkannya ketika dalam masa belajar di Sumatra Barat.

Pendidikan

Pendidikan keagamaan pertama sekali didapatkan dari ayahnya, selain itu dia juga belajar di Volks-School (sekarang setingkat dengan sekolah dasar). Setelah lulus dia melanjutkan ke dayah Jami'ah Al-Khairiyyah yang dipimpin oleh Tengku Muhammad Ali atau Tengku Lampisang Aceh Besar, sambil dia menyambung ke sekolah umum Vervolg-School (sekolah sambungan).
Setelah dirasakan cukup, dia diantarkan oleh orang tuanya ke dayah Bustanul Huda di Ibu kota Kecamatan Blang Pidiedibawah pimpinan Syekh Mahmud Aceh Besar. Pada masa ini dia berkenalan dengan kitab-kitab klasik seperti I'anah Al-ThalibinTahrir dan Mahally dalam ilmu fikih serta Alfiyah dan Ibnu ‘Aqil dalam bahasa Arab.
Dayah Krueng Kalee yang dipimpin oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kale adalah tujuan belajar dia selanjutnya. Dayah ini berlokasi di Banda Aceh. Tetapi waktu belajar dia di sini hanya satu hari saja karena mempertimbangkan pengajian yang diberikan oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kale pada masa itu telah dia kuasai ilmunya. Walaupun demikian, dia tetap menganggap Teungku Haji Hasan Krueng Kale sebagai gurunya.
Pada masa itu selain dari Dayah Krueng Kalee juga ada satu dayah lainnya yang dipimpin oleh Syekh Hasballah Indrapuri di IndrapuriAceh Besar. Ilmu yang menonjol dari dayah ini adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran seperti qiraat dan tajwid. Karena suatu kejadian maka dia langsung diangkat menjadi pengajar di dayahtersebut hingga setahun lamanya.
Suatu ketika datang tawaran dari Teungku Hasan Geulumpang Payong, seorang pemuka masyarakat yang menghendaki adanya pembaharuan di kalangan para ulama Aceh, pengembangan ilmu keagamaan di Aceh dan umat Islam Aceh, untuk meningkatkan jenjang pendidikannya bahkan bila perlu hingga ke Al-AzharKairo. Sebagai langkah persiapan, Teungku Hasan Geulumpang Payong mengirimkan Abuya Muda Waly ke Normal Islam School di Sumatra Barat di bawah pimpinan Mahmud Yunus. Dia belajar di sini selama tiga bulan hingga akhirnya mengundurkan diri dengan hormat. Alasan dia keluar dari Normal Islam School, diantaranya karena perbandingan ilmu yang diajarkan tidak seimbang antara ilmu agama yang terlalu sedikit, sebaliknya pelajaran umum lebih banyak. Selain itu dia juga diperintahkan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan sekolah, diantaranya harus memakai dasi, celana panjang, dan berolah raga.
Atas saran dari Ismail Yaqub, orang Aceh yang telah lama tinggal di Sumatra Barat maka dia untuk tidak langsung pulang ke Aceh tetapi “jalan-jalan” dulu keliling Sumatra Barat. Pada suatu sore dia mampir di sebuah surau di Kampung Jao untuk sembahyang maghrib. Seperti biasanya, setelah sembahyang magrib berjamaah diadakan pengajian yang dipimpin oleh seorang ustaz. Tetapi ada beberapa bagian yang disyarahkan oleh ustaz tersebut kurang tepat sehingga dibetulkan oleh dia dan ustaz tersebut mengakui kesilapannya. Atas permintaan jamaah dan ustaz tersebut akhirnya dia setuju untuk datang ke surau itu setiap sore mengimami shalat dan mengajarkan ilmu agama.

Kehidupan keluarga

Dari hari ke hari, namanya semakin terkenal hingga pada suatu ketika salah seorang ulama besar, Syekh Haji Khatib Ali, tertarik dan menjodohkannya dengan salah seorang keluarganya, Rasimah. Dari pernikahan ini lahir dua orang anak: Muhibuddin Waly dan Halimah.
Pernikahan ini membuat dia semakin meluaskan pergaulannya hingga dia berkenalan dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan lain-lainnya. Pada awalnya Syekh Muhammad Jamil Jaho adalah guru dari Abuya Muda Waly namun karena tertarik dengan kualitas keilmuan Abuya Muda Waly maka dia menikahkan Abuya Muda Waly dengan salah seorang putrinya, yaitu Rabi’ah Jamil sehingga lahirlah Ahmad Waly dan Mawardy Waly.
Bersama istrinya yang kedua Abuya Muda Waly berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji selama tiga bulan. Selama di tanah suci dia berkesempatan untuk menimba ilmu dari ulama-ulama yang mengajar di Masjidil Haram dan berinteraksi dengan ulama-ulama Mesir yang sedang menunaikan ibadah haji.
Istri ketiga dia bernama Raudhatun Nur, salah satu keponakan dari Teuku Usman Paoh yang berasal dari Labuhan Haji, Aceh Selatan. Dari istri yang ketiga ini lahirlah Amran Waly yang dikemudian hari menjadi pemimpin dayah Darul Ihsan di Desa Paoh, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Istri keempat dia bernama Rasimah yang melahirkan putra bernama Muhammad Nasir Waly. Perkawinan yang keempat ini atas permintaan dari keluarga ibu kandung Abuya Muda Waly agar ada pertalian dengan ahli famili.
Setelah Abuya Muda Waly bercerai dengan istri keduanya (Rabi'ah Jamil), kemudian dia menikah dengan Ummi Aisyah dari TeunomAceh Jaya.[1]

Hubungan dengan Tariqat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah

Walaupun secara keilmuan Abuya Muda Waly telah diakui oleh masyarakat dan para ulama besar Minangkabau tetapi itu belum dapat menenangkan hati dia, sehingga akhirnya dia mengambil langkah untuk memasuki jalan tasawwuf melalui Tariqat Naqsyabandiyah[2] pada Syekh Haji Abdul Ghani Al-Kamfari di Batu Basurek, Kampar, Sumatra Barat[3] hingga diangkat menjadi Mursyid Tariqat ini. Setelah mendapatkan ijazah tariqat, dia kembali ke Padang, Sumatra Barat dan mendirikan sebuah pesantren bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk BagalungPadang.
Pada tahun 1939, dia mengakhiri perjalanannya dan kembali ke Aceh Selatan. Setelah kepulangan ke kampung halaman, dia mulai merintis sebuah dayah yang diberi nama Dayah Darussalam. Dayah ini menjadi tempat dia menjalin hubungan dengan masyarakat terutama untuk mengajar di bidang pendidikan keagamaan. Di dayah ini pula pada setiap Ramadan mulai sepuluh hari sebelum sebelum Ramadan hingga hari raya Idul Fitri selalu diadakan khalwat untuk murid-murid yang telah bergabung ke dalam Tariqat Naqsyabandiyah.

Reformasi pendidikan dayah

Dayah Darussalam adalah salah satu laboratorium Abuya Muda Waly untuk memformulasikan ulang sistem pendidikan pesantren di Aceh pada masa itu. Di dayah inilah pertama sekali diperkenalkan dua sistem yaitu sistem dayah tradisional dimana siswa yang mengikuti jalur ini diharuskan untuk belajar suatu kitab tertentu hingga tamat. Sistem kedua yang diterapkan di dayah ini adalah sistem madrasah, dimana para siswanya belajar dengan mengikuti pola tertentu dan menggunakan gedung yang telah ditentukan. Sistem ini juga tidak mengharuskan siswa untuk menamatkan suatu kitab tetapi harus aktif dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan di dalam kelas[3].

Perjuangan

Pada masa penjajahan Jepang terdapat dua kubu ulama di Aceh yaitu PUSA dan non-PUSA. PUSA adalah singkatan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh yang dipimpin oleh Teungku H. Daud Beureueh. Pada umumnya ulama yang tergabung di dalam PUSA disebut dengan golongan muda dan ulama yang tidak bergabung dengan PUSA disebut dengan golongan tua. Abuya Muda Waly sendiri tidak tergabung dengan PUSA tetapi dia dengan beberapa ulama lain turut menyerukan jihad fisabilillah dalam menghadapi penjajah.
Ketika meletus pemberontakan DI/TII, Abuya Muda Waly termasuk ke dalam golongan ulama yang menolak pemberontakan ini. Adapun beberapa ulama yang menolak DI/TII antara lain adalah Teungku H. Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdussalam Meuraxa, dan Teungku Saleh Meusigit Raya.[1]

Wafat

Abuya Muda Waly wafat pada 20 Maret 1961 atau bertepatan dengan 11 Syawal 1381H pukul 15:00. Jenazahnya disalatkan dan dimakamkan di Dayah Darussalam.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d Waly, Prof. Dr. H. Muhibuddin (1996). Ayah Kami, Syeikhul Islam Abuya Muhammad Waly Al-Khalidy, Bapak Pendidikan Aceh. Banda Aceh: Al-Waaliyah Publishing.
  2. ^ "Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir: Profil Singkat Syekh Muda Waly Al-Khalidy, Ulama Pembaharu Pesantren di Aceh (1)". Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir. Diakses tanggal 2018-09-10.
  3. ^ a b "Tarekat Naqsyabandiah (IV): Abuya Muda Waly Sosok Pelopor Naqsybandiah Aceh - PORTALSATU.com". Diakses tanggal 2018-09-11.
Berkas Abuya Muda Waly

 Berkas Abuya Muda Waly

Hasil gambar untuk abuya muda wali

Ringkasan

Abuya Muda Waly memiliki nama lengkap Syekh H. Teungku Muhammad Waly Al-Khalidy adalah seorang ulama dari Aceh Selatan. Salah seorang istri beliau juga pernah menuliskan namanya dengan Syekh Haji Muhammad Waly, Asyafi'i Mazhaban, wal Asy'ari Aqidatan, wan Naqsyabandi Thariqatan. Beliau lahir pada tahun 1917 di desa Blang Poroh, kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Ayah beliau bernama Syekh Haji Muhammad Salim bin Malim Palito, seorang da’i asal Batusangkar, Sumatera Barat dan ibu bernama Siti Janadat. Nama beliau ketika kecil adalah Muhammad Waly sedangkan gelar Muda Waly didapatkannya ketika dalam masa belajar di Sumatera Barat.
Sumber gambar: keluarga Abuya Muda Waly

Riwayat berkas

Klik pada tanggal/waktu untuk melihat berkas ini pada saat tersebut.
Tanggal/WaktuMiniaturDimensiPenggunaKomentar
terkini14 September 2018 11.54Miniatur untuk versi per 14 September 2018 11.54690 × 960 (44 KB)Dodolzk (bicara | kontrib)Abuya Muda Waly memiliki nama lengkap Syekh H. Teungku Muhammad Waly Al-Khalidy adalah seorang ulama dari Aceh Selatan. Salah seorang istri beliau juga pernah menuliskan namanya dengan Syekh Haji Muhammad Waly, Asyafi'i Mazhaban, wal Asy'ari Aqidatan, wan Naqsyabandi Thariqatan. Beliau lahir pada tahun 1917 di desa Blang Poroh, kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Ayah beliau bernama Syekh Haji Muhammad Salim bin Malim Palito, seorang da’i asal Batusangkar, Sumatera Barat dan ibu bernama Sit...
  • Anda tidak bisa menimpa berkas ini.
Biografi Abu Tu Min

Abu Tu Min

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Terkait Pergub Hukum Acara Jinayah, Abu Tumin: Mari Kita Menjaga Kesejukan
Abu Tu Min memiliki nama lengkap Abu H. Muhammad Amin juga dikenal dengan panggilan Abu Tumin Blang-Bladeh adalah seorang pimpinan Dayah Al Madinatuddiniyah Babussalam Blang-Bladeh di Bireuen. Dayah ini berdiri pada tahun 1890 oleh Tgk H. Imam Hanafiah yang merupakan kakek Abu Tu MinAbu Tu Min adalah salah satu murid Abuya Muda Waly dan Syeikh Muhammad Hasan Al-Asyi Al-Falaki atau yang lebih dikenal dengan Teungku Hasan Krueng Kalee. Abu Tu Min adalah seorang ahli fiqh mazhab Syafii dan ahli thariqat Al-Haddadiyah serta sangat menguasai kitab Syarah Al-Hikam karangan Syeikh 'Ataillah As-Sakandari.[1]

Kelahiran dan Pendidikan Masa Kecil

Keluarga Abu Tu Min dikenal sebagai keluarga yang paham akan agama Islam. Hal ini dibuktikan dari silsilah keluarganya dimana kakeknya yang bernama Abu Hanafiah adalah seorang pendiri sekaligus guru agama di desa Gampong Blang Dalam dan ayahnya yang bernama Teungku Muhammad Mahmud atau lebih dikenal dengan Teungku Muda Leube adalah salah seorang guru di dayah yang dibangun oleh Abu Hanafiah. Teungku Muhammad Mahmud sendiri semasa hidupnya pernah berguru kepada Teungku Hasan Krueng Kalee yang merupakan salah satu ulama besar pada masa itu.
Teungku Muhammad Amin memiliki tiga orang istri yaitu:
Nyak Ti
Tidak memiliki keturunan
Juwairiah
Halimah, Habsah, Syarifuddin, dan Jafar
Khadijah
Muhammad Amin (Abu Tu Min), Muhammad Ali, Nasruddin, Zainuddin, Mustafa, Hendon, Abdullah, Fatimah, dan Ilyas.
Abu Tu Min dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1932 di Gampong Kuala Jeumpa, Kecamatan Jeumpa, Bireuen. Ketika kecil dia lebih banyak mendapatkan pendidikan keagamaan daripada pendidikan umum. Pendidikan umumnya didapatkan dari Inlandsche Volkschool (sekolah dasar rakyat) hingga kelas tiga karena masuknya Jepang ke Aceh. Pendidikan agamanya didapatkan dari dayah yang didirikan oleh kakeknya, selain itu ia juga belajar di Dayah Pulo Reudeup, Kecamatan Jangka, Bireuen serta Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan. Setelah menempuh pendidikan selama tujuh tahun maka pada tahun 1959, Abu Tu Min kembali ke kampung halamannya dan mengajar di dayah yang didirikan oleh kakeknya.[1]

Pernikahan

Abu Tu Min menikah pada tahun 1964 dengan seorang wanita yang bernama Mujahidat. Mujahidat sendiri adalah putri dari pamannya yang bernama Teungku Husin. Pernikahan ini sendiri adalah hasil perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka.[1]

Pengaruh Di Dalam Masyarakat Aceh

Abu Tu Min adalah salah satu ulama paling berpengaruh di Aceh pada saat ini. Ia seringkali dimintai pendapat oleh pemerintah Aceh mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan pemerintah dan agama. Setiap pendapat yang dikeluarkannya tidak pernah dibantah oleh ulama-ulama lainnya dan bahkan itu menjadi sebuah fatwa yang disepakati.
Selain aktif di dayah yang didirikan oleh kakeknya, Abu Tu Min juga aktif di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh pada Majelis Syuyukh atau Dewan Penasehat bersama dengan beberapa ulama lainnya. Berkat para santrinya yang telah lulus dan mendirikan dayah di kampung halamannya sendiri maka pendapat-pendapat Abu Tu Min juga ikut tersebar luas di beberapa kabupaten di Aceh.
Tidak hanya di kalangan murid-muridnya, pendapat Abu Tu Min juga dijadikan sebagai rujukan untuk menyelesaikan konflik sosial. Ia sering dimintai pendapat oleh pihak-pihak yang bertikai ketika konflik Aceh berlangsung. Selain itu pada tahun 2009, ia juga terlibat untuk menyelesaikan konflik tapal batas gampong Cot Bada dan Teupok Baroh yang tidak dapat diselesaikan oleh unsur Muspida setempat pada masa itu.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d Muammar, Mawardi, Husaini (Juli 2018). "Abu Tumin: Biografi Ulama Dayah Aceh (1932-2017)"Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah3(Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah). Diakses tanggal 18 Oktober 2018.
Visi, Misi, Dan Tujuan Binaayatul Ilmi
Visi, Misi, Dan Tujuan Binaayatul Ilmi

Visi:
Menciptakan generasi umat yang bermoral, dan berakhlak mulia dari segi tata krama dan adat istiadat di seluruh Indonesia, khususnya Aceh.

Misi:
Menyalurkan ilmu agama yang kaffah di kalanyan masyarakat dan sesuai syar`i seperti yang ditentukan oleh para Ulama yang sesuai Aswaja. Penyebaran ilmu agama tersebut di salurkan melalui mendirikan acara seperti, Dakwah, Tabliq, Pesantren kilat, Tausiah, dan sebagainya.



Selasa, 16 Juli 2019

Kisah Putri Rasulullah, Fatimah Az- Zahra
Profil Dan Kisah Putri Rasulullah, Fatimah Az- Zahra Binti Muhammad SAW, Seorang Tauladan Bagi Wanita Muslimah Dan Menjadi Ratu Di Antara Semua Wanita Penghuni Syurga


Fatima  Az-Zahra  adalah seorang wanita yang cantik jelitadilahirkan  delapan  tahun  sebelum Hijrah di Mekkah dari Khadijah, istri Nabi yang pertama. Fatimah ialah anak yang keempat, sedang yang lainnya: Zainab, Ruqaya, dan Ummi Kalsum.
Fatima   dibesarkan   di   bawah   asuhan   ayahnya,   guru   dan dermawan yang terbesar bagi umat manusia. Tidak seperti anak- anak lainnya, Fatima mempunyai pembawaan yang tenang dan perangai  yang  agak  melankolis.  Badannya  yang  lemah,  dan kesehatannya yang buruk menyebabkan ia terpisah dari kumpulan dan permainan anak-anak. Ajaran, bimbingan, dan aspirasi ayahnya yang agung itu membawanya menjadi wanita berbudi tinggi, ramah-tamah, simpatik, dan tahu mana yang benar dan yang buruk.
Fatimah, yang sangat mirip dengan ayahnya, baik roman muka maupun dalam hal kebiasaan yang saleh, adalah seorang anak perempuan yang paling disayang ayahnya dan sangat berbakti terhadap  Nabi setelah  ibunya meninggal  dunia.  Dengan demikian,  dialah  yang  sangat  besar  jasanya  mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya.Pada suatu hari di Madinah, ketika Nabi Muhammad berada di masjid sedang dikelilingi para sahabat, tiba-tiba anaknya tercinta Fatimah,  yang  telah  menikah  dengan  Ali prajurit  utama  Islam yang terkenal datang pada Nabi. Dia meminta dengan sangat kepada ayahnya untuk dapat meminjam seorang pelayan yang dapat membantunya dalam melaksanakan tugas pekerjaan rumah. Dengan tubuhnya yang ceking dan kesehatannya yang buruk, dia tidak dapat melaksanakan tugas menggiling jagung dan mengambil air dari sumur yang jauh letaknya, di samping juga harus merawat anak-anaknya.
Nabi tampak terharu mendengar permohonan Fatimah, tapi sementara itu juga Beliau menjadi agak gugup. Tetapi dengan menekan perasaan, Beliau berkata kepada sang anak dengan sinis, “Anakku tersayang, aku tak dapat meluangkan seorang pun di antara mereka yang terlibat dalam pengabdian ‘Ashab- e Suffa. Sudah semestinya kau dapat menanggung segala hal yang berat  di  dunia  ini,  agar  kau  mendapat pahalanya  di  akhirat nanti.” Anak itu mengundurkan diri dengan rasa yang amat puas karena jawaban Nabi, dan selanjutnya tidak pernah lagi mencari pelayan selama hidupnya.
Pada beberapa kesempatan Nabi Muhammad SAW menunjukkan rasa sayang yang amat besar kepada Fatimah. Suatu saat Beliau berkata, “O… Fatima, Allah tidak suka orang yang membuat kau tidak senang, dan Allah akan senang orang yang kau senangi.”
Abu Bakar dan Umar keduanya berusaha agar dapat menikah denga Fatima, tapi Nabi diam saja. Ali yang telah dibesarkan oleh Nabi sendiri, seorang laki-laki yang padanya tergabung berbagai kebajikan  yang  langka,  bersifat  kesatria  dan  penuh keberanian,  kesalehan,  dan  kecerdasan.
Imam Ali Bin Abu Thalib mencari jalan untuk dapat meminang Fatimah. Karena dirinya begitu miskin. Tetapi akhirnya ia memberanikan diri meminang Fatimah, dan langsung diterima oleh Nabi. Ali menjual kwiras (pelindung dada dari kulit) miliknya yang bagus. Kwiras ini dimenangkannya pada waktu Perang Badar. Ia menerima 400 dirham sebagai hasil penjualan, dan dengan uang itu ia mempersiapkan upacara pernikahannya. Upacara yang amat sederhana. Agaknya, maksud utama yang mendasari perayaan itu dengan kesederhanaan, ialah untuk mencontohkan kepada para Musllim dan Musllimah perlunya merayakan pernikahan tanpa jor- joran dan serba pamer.
Fatimah hampir berumur delapan belas tahun ketika menikah dengan Ali. Sebagai mahar dari ayahnya yang terkenal itu, ia memperoleh  sebuah tempat air dari kulit, sebuah kendi dari tanah, sehelai tikar, dan sebuah batu gilingan jagung.
Kepada putrinya Nabi berkata,  “Anakku,  aku telah menikahkanmu dengan laki laki yang kepercayaannya lebih kuat dan lebih tinggi daripada yang lainnya, dan seorang yang menonjol dalam hal moral dan kebijaksanaan.”
Kehidupan perkawinan Fatimah berjalan lancar dalam bentuknya yang sangat  sederhana, gigih, dan tidak mengenal lelah. Ali bekerja keras tiap hari untuk mendapatkan nafkah, sedangkan istrinya bersikap rajin, hemat, dan berbakti.
Fatimah di rumah melaksanakan tugas-tugas rumah tangga; seperti menggiling jagung dan mengambil air dari sumur. Pasangan suami-istri ini terkenal saleh dan dermawan. Mereka tidak pernah membiarkan pengemis melangkah pintunya tanpa memberikan apa saja yang mereka punyai, meskipun mereka sendiri masih lapar.
Juga  Nabi dikabarkan  telah  berucap:  “Fatima  itu  anak  saya, siapa  yang  membuatnya  sedih,  berarti  membuat  aku  juga menjadi sedih, dan siapa yang menyenangkannya, berarti menyenangkan aku juga.”
Aisyah, istri Nabi tercinta pernah berkata, “Saya tidak pernah berjumpa dengan sosok pribadi yang lebih besar daripada Fatima, kecuali kepribadian ayahnya.”
Atas  suatu  pertanyaan,  Aisyah  menjawab,  “Fatimah-lah  yang paling disayang oleh Nabi.”
Sifat penuh perikemanusiaan dan murah hati yang terlekat pada keluarga Nabi tidak banyak tandingannya. Di dalam catatan sejarah manusia, Fatima Zahra terkenal karena kemurahan hatinya.
Pada suatu waktu, seorang dari suku bani Salim yang terkenal kampiun dalam praktek sihir datang kepada Nabi, melontarkan kata-kata makian. Tetapi Nabi menjawab dengan lemah-lembut. Ahli  sihir itu  begitu  heran  menghadapi  sikap  luar  biasa  ini, hingga ia  memeluk agama Islam karenanya. Nabi lalu bertanya: “Apakah Anda berbekal makanan?” Jawab orang itu: “Tidak.” Maka, Nabi menanyai Muslimin yang hadir kala itu: “Adakah orang yang mau menghadiahkan seekor unta tamu kita ini?” Mu’ad ibn Ibada menghadiahkan seekor unta. Nabi sangat berkenan hati dan melanjutkan: “Barangkali ada orang yang bisa memberikan selembar kain untuk penutup kepala saudara seagama Islam?” Kepala orang itu tidak memakai tutup sama sekali. Sayyidina Ali langsung melepas serbannya dan menaruh di atas kepala orang itu. Kemudian Nabi minta kepada Salman untuk membawa orang itu ke tempat seseorang saudara seagama Islam yang dapat memberinya makan, karena dia lapar.
Salman  membawa  orang  yang  baru  masuk  Islam itu mengunjungi beberapa rumah, tetapi tidak seorang pun yang dapat memberinya makan, karena waktu itu bukan waktu orang makan.
Akhirnya Salman pergi ke rumah Fatima, dan setelah mengetuk pintu, Salman memberi tahu maksud kunjungannya. Dengan air mata berlinang, putri Nabi ini ingin mengatakan bahwa di rumahnya tidak ada makanan sejak sudah tiga hari yang lalu. Namun putri Nabi itu enggan menolak seorang tamu, dan tuturnya: “Saya tidak dapat  menolak  seorang  tamu yang lapar   tanpa memberinya makan sampai kenyang.”
Fatimah lalu melepas kain kerudungnya, lalu memberikannya kepada Salman, dengan permintaan agar Salman membawanya barang itu ke Shamoon, seorang Yahudi, untuk ditukar dengan jagung.  Salman  dan  orang  yang  baru  saja  memeluk  agama Islam itu sangat terharu. Dan orang Yahudi itu pun sangat terkesan atas kemurahan hati putri Nabi, dan ia juga memeluk agama Islam dengan menyatakan  bahwa  Taurat  telah memberitahukan kepada golongannya tentang berita  akan lahirnya sebuah keluarga yang amat berbudi luhur.
Salman kembali ke rumah Fatima dengan membawa jagung. Dan dengan tangannya sendiri, Fatimah menggiling jagung itu, dan membakarnya menjadi roti. Salman menyarankan agar Fatimah menyisihkan beberapa buah roti untuk anak-anaknya yang kelaparan,  tapi dijawab bahwa  dirinya  tidak  berhak  untuk berbuat demikian, karena ia telah memberikan kain kerudungnya itu karena kepentingan untuk Allah.
Fatima dianugerahi lima orang anak, tiga putra: Hasan, Husein, dan Muhsin, dan dua putri: Zainab dan Umi Kalsum. Hasan lahir pada  tahun  ketiga  dan  Husein  pada  tahun  keempat Hijriah sedang Muhsin meninggal dunia waktu masih kecil.
Fatimah  merawat  luka  Nabi  sepulangnya  dari  Perang  Uhud. Fatima juga ikut bersama Nabi ketika merebut Mekkah, begitu juga ia ikut ketika Nabi melaksanakan ibadah Haji Waqad, pada akhir tahun 11 Hijrah.
Dalam perjalanan haji terakhir ini Nabi jatuh sakit. Fatima tetap mendampingi beliau di sisi tempat tidur. Ketika itu Nabi membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah yang membuat Fatimah menangis, dan kemudian Nabi membisikkan sesuatu lagi yang membuat  Fatimah tersenyum.    Setelah  nabi wafat, Fatima menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Ayahnya membisikkan berita kematianya, itulah yang menyebabkan Fatima menangis, tapi waktu Nabi mengatakan bahwa Fatimah-lah orang pertama yang akan berkumpul dengannya di alam baka, maka fatimah menjadi bahagia.
Tidak lama setelah Nabi wafat, Fatima meninggal dunia, dalam tahun itu juga, eman bulan setelah nabi wafat. Waktu itu Fatima berumur 28 tahun dan dimakamkan oleh Ali di Jaatul Baqih (Medina), diantar dengan dukacita masyarakat luas.
Fatimah telah menjadi simbol segala yang suci dalam diri wanita, dan pada konsepsi manusia yang paling mulia. Nabi sendiri menyatakan bahwa Fatima akan menjadi “Ratu segenap wanita yang berada di Surga.”
Ulama Aceh: Abu Hanafiah
Ulama Aceh: Abu Hanafiah




Sosok ulama Kharismatik Atjeh Abu Hanafiah atau Lagab dipanggil Abu Piah Puloe Rungkom Atjeh Utara usianya Telah melewati 100 Tahun yang masih disisakan oleh Allah di Bumi Atjeh serambi Mekkah, Beliau merupakan murid Langsung Syekhul Islam Abuya Muda Waly Al Khalidy Labuhan Haji Atjeh Selatan dan Abuya Jailani Musa Kuta Fajar kluet utara Atjeh Selatan, Sampai saat ini Abu masih Gigih merperjuangkan Aqidah Ahlussunnah Waljamaah..

Sabtu, 13 Juli 2019

Khutbah Jumat: Tidak Ada Kebahagiaan di Dunia Kecuali Dengan Berpegang Kepada Al-Qur’an dan Sunnah

Khutbah Jumat: Tidak Ada Kebahagiaan di Dunia Kecuali Dengan Berpegang Kepada Al-Qur’an dan Sunnah


KHUTBAH PERTAMA – KHUTBAH JUMAT: TIDAK ADA KEBAHAGIAAN DI DUNIA KECUALI DENGAN BERPEGANG KEPADA AL-QUR’AN DAN SUNNAH

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه
قال الله تعالى فى كتابه الكريم، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
وقال تعالى، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ، فإِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
Ummatal Islam,
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Islam sebagai kemuliaan bagi pemeluknya, mengutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memberikan kebahagiaan kepada mereka dunia dan akhiratnya. Allah juga menurunkan Al-Qur’an demikian pula wahyu berupa hadits sebagai bimbingan dalam kehidupan. Karena Allah telah memberikan manusia akal untuk berpikir, maka Allah menurunkan Al-Qur’an supaya mereka mentadabburinya. Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ﴿٢٤﴾
Tidakkah mereka mentadaburi Al-Qur’an ataukah di hati mereka ada kunci-kuncinya?” (QS. Muhammad[24]: 24)
Ummatal Islam,
Siapapun yang mempelajari Al-Qur’an, siapapun yang mempelajari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pasti Allah akan memuliakan ia di dunia dan akhirat. Tapi siapa yang berpaling dari Al-Qur’an dan hadits, ia pasti akan Allah hinakan di dunia dan akhirat. Maka tiada lain kewajiban setiap hamba adalah untuk senantiasa berpegang kepada dua perkara ini. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku tinggalkan sesuatu bersama kalian, jika kamu berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik)
Maka saudaraku, tidak ada kebahagiaan didunia ini kecuali dengan berpegang kepada dua perkara Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam sesuai dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan itulah jalan keselamatan. Siapapun yang ingin selamat tapi mencari jalan selain jalan Al-Qur’an dan hadits, maka ia pasti tersesat.
Sebaliknya, siapa yang ingin mencari kebahagiaan tapi ia mencari selain Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber kebahagiaan, ia tak akan pernah berbahagia selama-lamanya.
Ummatal Islam,
Untuk berpegang kepada Al-Qur’an dan hadits tidaklah mudah. Karena membutuhkan kepada kekuatan iman dan ketaqwaan, membutuhkan keyakinan yang kuat kepada Allah Jalla Jalaluhu. Berapa banyak orang yang membaca Al-Qur’an, membaca hadits, namun karena keyakinan ia yang kurang kepada Allah, disamping itu terdapat di hatinya penyakit-penyakit, sehingga akhirnya Al-Qur’an dan hadits tidak lagi menjadi obat buat dia. Akan tetapi menjadi sesuatu yang menyeretnya ia ke dalam api neraka.
Oleh karena itulah Allah Ta’ala mengkisahkan tentang orang-orang munafik yang mereka menyembunyikan kekafiran dan memperlihatkan keimanan. Allah berfirman:
وَإِذَا مَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَـٰذِهِ إِيمَانًا
Apabila diturunkan surat dari Al-Qur’an di antara orang-orang munafik itu ada yang berkata, ‘Siapa yang bertambah keimanannya dengan diturunkan surat tersebut?’” (QS. At-Taubah[9]: 124)
Maka Allah menjawab:
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ ﴿١٢٤﴾
Adapun orang yang beriman kepada Allah, yang yakin dan membenarkan Rasulullah dengan diturunkan surat Al-Qur’an, bertambahlah keimanan mereka dan hati mereka bergembira ketika diturunkan Al-Qur’an.” (QS. At-Taubah[9]: 124)
Lalu di ayat selanjutnya:
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَىٰ رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ ﴿١٢٥﴾
Orang-orang yang ada di hatinya penyakit kemunafikan, maka dengan Allah turunkan surat Al-Qur’an tersebut bertambahlah penyakit yang ada di hatinya di samping penyakit yang ada.” (QS. At-Taubah[9]: 125)
Maka celaka, saudaraku..
Seorang yang ternyata hatinya bertambah penyakitnya dengan Al-Qur’an. Hal ini karena kurangnya keyakinan kepada Allah, kurangnya keyakinan ia kepada hari akhirat dan kurangnya keyakinan akan kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka siapapun yang ingin mengikuti Al-Qur’an dan hadits, hendaklah yang ia lakukan pertama adalah ia bersihkan hatinya dari berbagai macam noda dan kotoran maksiat. Karena noda dan kotoran maksiat menyebabkan ia lemah untuk mengikuti Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Penyakit-penyakit cinta dunia, penyakit kesombongan, penyakit kedengkian, ini semua menyebabkan ia tidak bisa menerima hidayah dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Lihatlah Firaun yang sombong! Penyakit kesombongannya itu menghalangi ia beriman kepada Nabi Musa. Padahal Firaun yakin bahwa Nabi Musa benar. Allah berfirman:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
Mereka (Firaun dan kaumnya) mengingkari Risalah Nabi Musa padahal hati mereka yakin akan kebenarannya akibat daripada kesombongan mereka dan keangkuhan mereka.” (QS. An-Naml[27]: 14)
Penyakit hati ini apabila kita biarkan ia berada di hati akan menyebabkan Al-Qur’an tak lagi bermanfaat untuk hati kita. Lihatlah si Bal’am yang seringkali kita bacakan ayatnya. Dimana sering kali kita bacakan ayatnya. Allah telah ajarkan Taurat kepadanya, tapi ia memiliki dua penyakit hati yang mengerikan -yaitu cinta syahwat dan mengikuti hawa nafsu-. Akhirnya ayat-ayat yang Allah ajarkan kepadanya tak lagi bermanfaat bahkan menjadi bumerang dalam kehidupannya.
Maka siapapun yang ingin menjadi pengikut Al-Qur’an dan hadits, buanglah jauh-jauh cinta dunia yang berlebihan. Jangan sampai hati kita terpenuhi oleh hawa nafsu dan syahwat. Karena dua perkara ini menjadikan seseorang terseok-seok dalam mengikuti Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثِيرًا ﴿٢١﴾
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan kehidupan akhirat.” (QS. Al-Ahzab[33]: 21)
Sementara orang yang mengharapkan dunia jangan Anda sangka ia bisa mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena orang yang menginginkan dunia seringkali perintah Allah dan RasulNya tidak sesuai dengan kepentingan dunia.
Maka yaa Ummatal Islam,
Kita semua sudah tahu bahwa agama kita dasarnya Al-Qur’an dan hadits. Tapi secara kenyataannya banyak orang yang tidak mau mengikuti Al-Qur’an dan hadits. Hal ini karena ternyata hati mereka dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka lebih senang berbicara agama dengan pendapat dan ra’yu, lebih senang berbicara tentang agama dengan keinginan semata dan syahwat. Sehingga akhirnya menyebabkan orang-orang seperti ini tersesat dari jalan yang benar. Bahkan mereka menafsirkan Al-Qur’an, menafsirkan hadits sesuai dengan keinginan mereka. Dan menganggap orang-orang yang mengikuti Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan pemahaman Sahabat katanya kurang pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits.
أقول قولي هذا واستغفر الله لي ولكم

KHUTBAH KEDUA – KHUTBAH JUMAT: TIDAK ADA KEBAHAGIAAN DI DUNIA KECUALI DENGAN BERPEGANG KEPADA AL-QUR’AN DAN SUNNAH

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، نبينا محمد و آله وصحبه ومن والاه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أنَّ محمّداً عبده ورسولهُUmmatal Islam,
Oleh karena itulah Allah menyebutkan bahwa Al-Qur’an itu hidayah untuk manusia. Namun tidak semua manusia bisa mengikutinya. Yang mengikutinya hanyalah orang-orang yang bertakwa. Allah berfirman:
الم ﴿١﴾ ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾
Alif laam miim. Itulah Al-Qur’an yang tidak ada padanya keraguan sedikitpun sebagai hidayah untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 1-2)
Dalam ayat yang lain Allah menyebutkan, “hidayat untuk manusia”, tapi ternyata tidak semua manusia bisa mengikutinya. Hanya orang-orang yang bertakwa, yang beriman dan yakin kepada Allah dan RasulNya, yang betul-betul hatinya mengharapkan kehidupan akhirat, mereka yang bisa mengikuti Al-Qur’an dan hadits, mereka yang bisa melaksanakan perintah-perintah Al-Qur’an dan menjauhi larangan-laranganNya. Karena perintah-perintah Allah dan RasulNya sering kali tidak sesuai dengan syahwat manusia. Karena syahwat manusia seringkali menginginkan kemaksiatan. Sementara Allah dan RasulNya memanggil kita kepada kebaikan. Namun kebaikan seringkali berat dalam hawa nafsu kita.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
 اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ
اللهم تقبل صيامنا وقيامنا و جميعا عباره يا رب العالمين
اللهم اصلح ولاه امور المسلمين في هذا البلد وفي سائر بلاد المسلمين يا رب العالمين اللهم انصر المسلمين في كل مكان يا رب العالمين اللهم واتوب علينا انك انت التواب الرحيم
عباد الله:
إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
فَاذْكُرُوا الله العَظِيْمَ يَذْكُرْكُم، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُم، ولذِكرُ الله أكبَر.