Senin, 28 Juni 2021

Bolehkah Mencicil Mandi Janabah ?


 

Dalam Ilmu Fiqih ada istilah yang sangat familiar yakni 'al-Muwalah' yang berarti melakukan satu perbuatan atau lebih dalam waktu yang bersamaan, dan menyelesaikannya tanpa dijeda dengan durasi yang cukup lama. Sinonim dari al-Muwalah adalah al-Mutaba'ah.

Misalnya ketika seseorang melaksanakan wudhu dalam satu waktu, ia menyelesaikan wudhu-nya dari niat hingga mencuci kaki tanpa diselingi perbuatan lain. Disini, ia dikatakan telah melaksanakan wudhu dengan 'Muwalah' sebab melakukan semua rukun wudhu' tanpa dijeda dan diselingi dengan perbuatan lain.

Sedangka jika ia berniat wudhu lalu membasuh wajahnya, kemudian keluar kamar mandi menuju dapur untuk menyelesaikan rutinitas masak-memasak, beberepa saat kemudian ia kembali lagi ke kamar mandi untuk menyelesaikan wudhu'nya (membasuh tangan, kepala/rambut, dan kaki), maka dalam wudhu'nya ini tidak ada unsur al-Muwalah.

Mandi Janabah adalah konsekwensi yang harus dilakukan bagi mereka yang mengalami hadats besar, misalnya karena berhubungan suami isteri, atau sebab usai dari haid dan nifas. Menurut mayoritas ulama, rukun mandiri janabah hanya dua, yakni niat dan meratakan air pada seluruh tubuh. Adapun selain rukun, mandi janabah punya ritual lain yang hukumnya sunnah, seperti mencuci kemaluan sebelum mulai mengguyur air ke badan, berwudhu dahulu, mendahulukan anggota kanan sebelum yang kiri, dan sebagainya.

Bolehkah Mencicil Mandi Janabah ?

Lazimnya, orang tidak akan menyudahi mandinya sebelum seluruh tubuhnya basah dengan siraman air. Namun jika ada orang ingin 'mencicil' mandi janabahnya karena suatu hal, apakah dibolehkan? Misalnya, malam hari mencuci kepala dan rambut, lalu shubuh menyempurkan mandi dengan menyiram anggota tubuh yang lain

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mengatakan boleh, sebagian lagi tidak. Perbedaan ini didasari apakah al-muwalah dalam mandi janabah itu hukumnya wajib, ataukah sunnah. Jika wajib, maka tidak boleh mandi janabah sambil diselingi dengan hal yang lain dengan durasi yang cukup lama. Sedangkan bagi yang mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya sunnah, maka boleh.  Berikut pemaparan masing-masing:

a. Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Sunnah.

Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah, asy-Syafi'iah (qaul jadid) dan al-Hanabilah mengatakan bahwa al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah. Artinya, al-muwalah tidak menjadi parameter sah dan tidaknya mandi janabah, sebab ia bukan termasuk rukunnya. Jika seseorang mandi janabah misalnya, lalu niat dan membasahi sebagian tubuhnya, lalu keluar kamar mandi dan melakukan hal lain, kemudian kembali ke kamar mandi dan menyelesaikan siraman ke sisa tubuh yang lain, mandi janabahnya ini sah menurut ulama dari madzhab ini.

Al-Imam As-Sarakhsi (w.483), salah satu ulama dari madzhab Al-Hanafiyah dalam kitabnya Al-Mabsuth mengatakan :

وإن غسل بعض أعضائه، وترك البعض حتى جف ما قد غسل أجزأه؛ لأن الموالاة سنة عندنا

"Dan bahkan ketika ia membasuh sebagian tubuhnya, dan tidak membasuh sebagian yang lain hingga anggota tubuh yang tadi dibasuh menjadi kering, sebab al-muwalah dalam madzhab kami hukumnya sunnah[1]

Ibnu 'Abdin (w.1252) yang juga ulama dari madzhab Al-Hanafiyyah mengatakan :

سنن الغسل : (قوله: كسنن الوضوء) أي من البداءة بالنية والتسمية والسواك والتخليل والدلك والولاء

"Sunnah-sunnah mandi janabah sama dengan sunnah-sunnah di dalam wudhu', yakni dari awal dimulai dari niat, basmalah, bersiwak, dan menyela-nyelai, memijat, dan muwalah".[2]

Ibnu Najim dari madzhab Al-Hanafiyah sedikit menyempitkan bolehnya menjeda mandi janabah. Beliau mengatakan bahwa 'mencicil' mandi janabah hukumnya boleh jika ada udzur (alasan yang dibenarkan syariat). Misalnya karena minimnya ketersediaan air dimana airnya tidak cukup digunakan untuk mandi, lalu ia pergi mencari-cari air beberapa saat, lalu melanjutkan mandinya yang tadi belum selesai.[3]

Al-Imam An-Nawawi (w.676), ulama dari madzhab As-Syafi'iyyah menguatkan pendapat ulama dari madzhab Al-Hanafiyah bahwa al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah, sebagaimana yang beliau tulis dalam Al-Majmu' :

وأما موالاة الغسل فالمذهب أنها سنة

"Dan adapun muwalah dalam mandi janabah menurut madzhab ini (As-Syafi'i) hukumnya sunnah."[4]

Begitu juga ulama dari madzhab Hambali, mereka memiliki pendapat yang sama. Al-Imam Al-Mardawi (w.885) dari madzhab Al-Hanabilah mengatakan:

لا يشترط للغسل موالاة، على الصحيح من المذهب

"Muwalah tidak disyaratkan dalam mandi janabah menurut madzhab ini (Al-Hanabilah)."[5]

Ibnu Qudamah yang juga dari madzhab Al-Hanabilah menambahkan bahwa al-muwalah tidak masuk dalam rukun mandi janabah :

فعلى هذا تكون واجبات الغسل شيئين لا غير : النية، وغسل جميع البدن

"Dan oleh karena itu, hal-hal yang wajib dilakukan saat mandi janabah hanya dua saja, yakni : niat dan membasuh/menyiram seluruh tubuh"[6]

Ulama dari madzhab Al-Hanabilah dan salah satu pendapat dari madzhab Syafi'i mengatakan bahwa mandi janabah yang terpotong (dijeda oleh hal lain) hukumnya sah, asalkan ketika kembali menyelesaikan mandinya ia wajib memperbarui niat sebelum menyiramkan air pada sisa anggota tubuh lainnya. Sebab niatnya di awal terpotong dengan jeda waktu yang cukup lama.[7]

Akan tetapi sebagian ulama lain dari madzhab as-Syafi'iyah tidak mewajibkan untuk memperbarui niat saat ia kembali menyelesaikan siraman pada sisa anggota tubuh yang lain.[8]

b. Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Wajib

Ulama dari madzhab al-Malikiyyah mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya fardhu dalam mandi janabah. Dalam melakukan mandi janabah, seseorang harus menyelesaikan mandinya dalam satu waktu, tanpa harus disela-selai atau dipotong dengan hal yang lain.

Al-Qarafi (w.684), salah satu ulama dari madzhab ini mempertegas dalam kitabnya Adz-Dzakhirah :

لخامس : الموالاة فرض في الوضوء والغسل خلافا لأحمد بن حنبل

"(Rukun) kelima ; al-muwalah hukumnya fardhu dalam wudhu dan mandi janabah, pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Ahmad Bin Hambal."[9]

Ad-Dasuki dari madzhab ini mengatakan bahwa kedudukan al-muwalah dalam mandi janabah adalah wajib, selama ia tidak lupa dan tidak ada udzur. Maka, jika di tengah-tengah mandi janabah ia melakukan perbuatan lain dengan durasi yang cukup lama, kemudian ia melanjutkan mandinya, maka mandi janabahnya tidak sah. Akan tetapi, bagi yang punya udzur syar'i seperti ketersediaan air yang sangat minim, atau udzur syar'i lain, maka ia boleh menjeda mandi janabahnya tanpa harus memperbarui niat saat melanjutkan mandi dan menyiram pada sisa angota tubuh lainnya.[10]

Kesimpulan

Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah, asy-Syafi'iyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa al-muwalah hukumnya sunnah dalam mandi janabah, bukan rukun yang wajib dilakukan. Akan tetapi ulama dari madzhab al-Malikiyah mengatakan bahwa al-muwalah fardhu yang wajib dilakukan.

Pendapat mayoritas ulama menjadi angin segar bagi para pengantin baru yang notabene malu jika rambutnya terlihat basah di pagi hari. Terlebih jika masih tinggal di rumah mertuanya. Kedudukan al-muwalah yang sunnah, memberi keringanan bagi mereka untuk 'mencicil' mandi janabah.

Misalnya, jika di malam hari ia melakukan hubungan suami isteri dan enggan segera mandi karena udara masih terlalu dingin. Solusinya, bisa saja malam hari membasahi kepala (keramas) dulu tanpa menyiram badan, lalu esok saat hendak melaksanakan shalat shubuh, ia melanjutkan mandi dengan menyiram tubuh tanpa keramas.

Contoh di atas menjadi mandi janabah yang sah walaupun terkesan 'dicicil' karena mandinya tidak dilakukan dalam satu waktu sekaligus. Dengan syarat, saat keramas di malam hari ia harus meniatkannya untuk mandi janabah.

Wallahu A'lam Bishshowab.

 



[1] Al-Mabsuth jilid 1, hal. 58

[2] Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar, jilid 1, hal. 156

[3] (al-Bahru ar-Raiq jilid 1, hal. 28

[4] Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 2, hal. 184

[5] Al-Inshaf Fi Ma'rifati ar-Rajih Min al-Khilaf jilid 1, hal. 141

[6] Al-Mughni, jilid 1, hal. 162

[7] Raudhah at-Thalibin, jilid 1, hal. 64

[8] Al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, jilid1 , hal. 453

[9] Adz-Dzakhirah, jilid 1, hal. 273

[10] Hasyiyah ad-Dasuki, jilid 1, hal. 133

Sabtu, 15 Mei 2021

Ayah Mertua Menikahi Ibu Kandung Menantu


Menurut hukum Islam, selama calon istri itu bukan termasuk wanita yang haram dinikahi, maka boleh dan sah untuk dinikahi. Wanita yang haram dinikahi biasanya disebut mahram. Meski wanita yang haram dinikahi tidak hanya karena mahram.


Dalam kasus seorang ayah mertua menikahi ibu kandung dari menantu, apakah boleh?


Jawabnya adalah sebuah pertanyaan, dari sudut pandang calon suami; apakah calon istrinya termasuk wanita yang haram dinikahi?


Jika tidak termasuk wanita yang haram dinikahi, maka pernikahannya sah menurut hukum Islam. Meski hukum sah dan tidak, tak selalu berbanding lurus dengan pantas atau tidak pantas. Karena kepantasan itu relatif.


Kita akan bahas lebih detail dahulu sebelum menjawab boleh atau tidak. Ada 3 jalur sebab seseorang menjadi mahram; karena nasab, persusuan, dan pernikahan.


Bahasa yang sering digunakan untuk larangan karena sebab pernikahan adalah mushaharah (مُصَاهَرَة). Mushaharah sendiri berasal dari kata as-shihru (الصهر) yang berarti kerabat karena pernikahan (Majma' al-Lughat al-Arabiyyah, al-Mu'jam al-Wasith, hal. 527).


Dalam Al-Qur'an disebutkan:


... وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ ...


… ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu, maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu... (QS. An-Nisa : 23).


Dalam ayat lain, Allah berfirman:


وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاء سَبِيلاً


Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisa' : 22)


Maka, mahram karena hubungan pernikahan itu adalah:


1. Ibu dari istri (mertua wanita).

Kemahraman ini meski istrinya telah meninggal dunia atau telah putus ikatan perkawinannya, misalnya karena cerai dan seterusnya, tetapi mantan ibu mertua adalah wanita yang menjadi mahram selama-lamanya.


2. Anak wanita dari istri (anak tiri).

Bila seorang laki-laki menikahi seorang janda beranak perawan, maka haram selamanya untuk suatu ketika menikahi anak tirinya itu. Keharamannya bersifat selama-lamanya, meski pun ibunya telah wafat atau bercerai.


Kecuali bila pernikahan dengan janda itu belum sampai terjadi hubungan jimak suami istri, lalu terjadi perceraian, maka anak perawan dari janda itu masih boleh untuk dinikahi. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala :


وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ


(dan haram menikahi) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (QS. An-Nisa' : 23)


3. Istri dari anak laki-laki (menantu).

Keharamannya berlaku untuk selama-lamanya, meski pun wanita itu barangkali sudah tidak lagi menjadi menantu.


4. Istri dari ayah (ibu tiri).

Para wanita yang telah dinikahi oleh ayah, maka haram bagi puteranya untuk menikahi janda-janda dari ayahnya sendiri, sebab kedudukan para wanita itu tidak lain adalah sebagai ibu, meski hanya ibu tiri.


Selain empat pihak ini, maka statusnya bukan mahram. Jika bukan mahram, maka hukumnya seperti orang lain pada umumnya.


Maka, bolehkah ayah mertua menikahi ibu kandung dari menantu? Jawabnya boleh. Karena bukan termasuk wanita yang haram dinikahi karena hubungan pernikahan. Pantas atau tidak? Sangat relatif.

Bahaya Takhbib Dalam Percintaan,Karena Dosa Besar Menanti



Takhbib, Secara istilah bermakna "menggoda istri orang lain" atau dapat juga di artikan "sebagai upaya mengoda wanita yang sudah ada jaminan jadi milik orang lain". Sedangkan dalam pandangan Islam, merusak rumah tangga seorang muslim disebut dengan takhbib. Hal ini merupakan dosa yang sangat besar, selain ada ancaman khusus, ia juga telah membantu Iblis untuk menyukseskan programnya menyesatkan manusia. Meski sekedar iseng, tapi ternyata ada bahaya besar mengancam. Menggoda istri orang lain, ternyata bukan hal yang remeh dalam agama Islam.


Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:


لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا


Bukan bagian dariku seseorang yang melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.” (HR. Abu Daud).


Dalam hadits lain riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,


وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا


Siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dariku.” (HR. Ahmad).


Melamar wanita yang sudah dilamar orang lain saja dilarang, apalagi menggoda wanita yang telah menjadi istri orang lain, apalagi dalam rangka agar bercerai dengan suami sahnya.


Ibnul Qoyim al-Jauziyyah (w. 752 H) menjelaskan tentang dosa takhbib:


وَقَدْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ وَتَبَرَّأَ مِنْهُ، وَهُوَ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ. وَإِذَا كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَدْ نَهَى أَنْ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَأَنْ يَسْتَامَ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ، فَكَيْفَ بِمَنْ يَسْعَى فِي التَّفْرِيقِ بَيْنَ رَجُلٍ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَأَمَتِهِ حَتَّى يَتَّصِلَ بِهِمَا؟ (الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي = الداء والدواء، ص: 216).[1]


"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat orang yang melakukan takhbib, dan beliau berlepas diri dari pelakunya. Takhbib termasuk salah satu dosa besar. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk meminang wanita yang telah dilamar oleh lelaki lain, dan melarang seseorang menawar barang yang sedang ditawar orang lain, maka bagaimana lagi dengan orang yang berusaha memisahkan antara seorang suami dengan istrinya atau budaknya, sehingga dia bisa menjalin hubungan dengannya."


Penjelasan Takhbib


Mula Ali al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan, takhbib secara bahasa artinya menipu dan merusak, yaitu dengan menyebut-nyebut kejelekan suami di hadapan istrinya atau kebaikan lelaki lain di depan wanita itu[2].


Al-Adzim Abadi menyebutkan pengertian takhbib:


مَنْ خَبَّب زوجة امرئ أي خدعها وأفسدها أو حسن إليها الطلاق ليتزوجها أو يزوجها لغيره أو غير ذلك[3]


"Siapa yang melakukan takhbib terhadap istri seseorang’ maknanya adalah siapa yang menipu wanita itu, merusak keluarganya atau memotivasinya agar cerai dengan suaminya, agar dia bisa menikah dengannya atau menikah dengan lelaki lain atau cara yang lainnya."


Ad-Dzahabi (w. 748 H) menyebutkan diantara dosa adalah takhbib:


وَمن ذَلِك إِفْسَاد قلب الْمَرْأَة على زَوجهَا. (الكبائر للذهبي (ص: 211)[4]


"Diantara hal yang dilarang adalah merusak hati wanita terhadap suaminya."


Pekerjaan Setan


Memisahkan antara suami dan istri termasuk pekerjaan setan. Dalam ayat Al-Qur'an disebutkan:


{فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ} [البقرة: 102]


Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. (Q.S. al-Baqarah: 102).


Terdapat hadits Nabi bahwa Iblis memuji setan yang berhasil menceraikan suami-istri, sedangkan setan lainya telah melakukan sesuatu tetapi Iblis tidak mengapresiasi hasilnya.


Dari Jabir radhiallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ bersabda,


إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُوْلُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ، وَيَقُوْلُ: نِعْمَ أَنْتَ.


“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut) kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR Muslim IV/2167 no 2813).




[1] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), ad-Da' wa ad-Dawa', hal. 216

[2] Mula Ali al-Qari (w. 1014 H), Mirqat al-Mafatih, hal. 5/ 2128. Lihat pula: Al-Adzim Abadi, Aun al-Ma'bud, hal. 6/ 159

[3] Al-Adzim Abadi, Aun al-Ma'bud, hal. 14/ 52

[4] Al-Hafidz adz-Dzahabi (w. 748 H), al-Kabair, hal. 211 

Jumat, 14 Mei 2021

Bolehkah Istri Menolak Berhubungan Karena Alasan Virus?


 Alaikum salam wr. wb.

Pada dasarnya kewajiban istri adalah melayani kebutuhan seksual suami, bahkan para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi'i mengatakan itulah satu-satunya kewajiban istri kepada suami.

Di dalam kitab hadits bertabur penjelasan Nabi SAW tentang hal itu.

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Bila seorang wanita melewati malamnya dengan menolak tidur dengan suaminya, maka malaikat melaknatnya sampai shubuh. (HR. Bukhari dan Muslim)

إِذَا دَعَا الرَّجُل امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Bila suami mengajak istrinya berjima' tetapi istrinya menolak untuk melakukannya, maka malaikat melaknatnya hingga shubuh (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun juga perlu diketahui bahwa kewajiban ini juga bukan hanya semata kewajiban istri, tetapi suami pun juga punya kewajiban yang sama.

وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Dan istrimu punya hak atas dirimu (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Ad-Darda’ untuk melakukannya dengan istrinya :

فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَصَل وَنَمْ وَائْتِ أَهْلَكَ

Puasalah tapi juga berbukalah. Lakukan shalat malam tapi juga tidur. Dan datangilah istrimu. (HR. Ad-Daruquthuny)

Bahkan melakukan 'azl pun dilarang kecuali dengan izin istri.

نَهَى رَسُول اللَّهِ عَنْ عَزْل الْحُرَّةِ إِلاَّ بِإِذْنِهَا

Rasulullah SAW melarang melakukan ‘azl atas istri yang merdeka, kecuali atas izinnya. (HR. Al-Baihaqi)

Dari Wajib Berubah Jadi Haram

Namun sesuai karakteristik syariat Islam, hukum-hukumnya sangat dinamis, sesuai dengan 'illatnya. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah :

الحكم تدور مع العلة وجوبا وعدما

Hukum itu akan berubah sesuai dengan 'illatnya, ada atau tidak adanya.

Maka suatu kewajiban bisa saja kemudian berubah menjadi keharaman, atau sebaliknya. Semua dikaitkan dengan 'illat yang berlaku pada tiap kasusnya.

Dalam kasus yang Anda tanyakan, kewajiban melayani suami untuk melakukan hubungan seksual berubah menjadi keharaman, karena ada 'illat yang membuatnya menjadi haram.

Keharamannya adalah apabila dikhawatirkan terjadi madharat, yaitu istri yang sakit berbahaya dan menularkan penyakitnya itu kepada suaminya. Atau juga berlaku sebaliknya.

Misalnya istri atau suami mengidap penyakit yang berbahaya. Kalau sampai berhubungan badan dengan pasangannya, khawatir pasangannya itu akan tertular penyakit yang berbahaya itu. 

Dalam hal ini istri atau suami itu justru berdosa kalau sengaja melakukan hubungan badan, apalagi dia tidak mengaku telah mengidap suatu penyakit. Dan pasangannya tidak tahu kalau dirinya beresiko menularkan penyakit yang berbahaya. Maka kesalahannya jadi berlipat.

Maka kita harus melihat kasus ini dengan lengkap, bila ada dua dalil yang saling bertabrakan, maka salah satunya lebih diutamakan. Dalam hal ini, kewajiban melayani suami dengan melakukan hubungan badan jadi gugur karena adanya madharat yang lebih besar, yaitu resiko menularkan penyakit.

Ada kaidah yang sering digunakan oleh para ulama, misalnya :

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menolak mafsadat lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan

الضرر يزال

Segala yang merusak itu dihilangkan

لا ضرر ولا ضرار

Tidak boleh memberi madharat atau menerima madharat

Catatan

Keharaman berhubungan badan antara suami istri hanya berlaku bila kekhawatiran itu berasalan kuat, dengan dasar kepastian dari dokter bahwa suami istri bisa saling menulari.

Namun manakala hanya berdasarkan asumsi saja, wajib atas keduanya untuk meminta kepastian dari pihak dokter. Sebab masalah semacam ini sangat peka, kalau pendekatannya kurang baik, bisa membuat rumah tangga jadi pecah.

Karena itu sebaiknya berpikir hati-hati, diskusikan dengan pasangan, dan tidak termakan gosip, hoaks atau pun sekedar latah ikut-ikutan informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya.

Semoga Allah SWT melindungi kita semua, Amin.

Wassalamu 'alaikum wr. wb.