Kamis, 01 Oktober 2020

Siklus Darah Haid Terputus-putus; Antara Haid & Istihadlah

 Banyak wanita mengeluh karena siklus haid yang kadang tidak teratur. Tak jarang ada yang mengalami haid beberapa hari, kemudian berhenti darahnya, lalu selang beberapa hari keluar lagi, padahal masih dalam satu fase haid dan di bulan yang sama.


Ada pula wanita yang sudah terbiasa haid teratur dan stabil tapi tiba-tiba berubah menjadi tidak teratur karena sebab tertentu, misalnya habis melahirkan, atau sedang memakai alat kontrasepsi.


Wanita Dengan Siklus Haid Teratur


Dalam ilmu Fiqih ada istilah Mu’taadah, artinya: Wanita yang punya kebiasaan haid yang stabil dan teratur. Patokannya bukan tiap tanggal berapa dia haid setiap bulannya, akan tetapi berapa hari lamanya mengalami haid setiap bulannya.


Setiap wanita Mu’tadah berbeda mengenai berapa lama kebiasaan haidnya, ada yang biasa mengalami haid 6 hari, ada yang terbiasa 7 hari, 8 hari, atau mungkin 10 hari di tiap bulannya. Biasanya, wanita akan tahu kebiasaannya apabila sudah mengalami 3 kali haid dan setiap haid itu durasinya selalu stabil dan teratur.


Seluruh ulama ahli Fiqih sepakat jika darah Mu’tadah sudah tidak keluar lagi sebelum kebiasaan masa haidnya berakhir, maka wanita ini sudah suci dan boleh menunaikan shalat. Jika wanita terbiasa mengalami haid selama 6 hari, sedangkan pada satu waktu haid darahnya sudah berhenti di hari ke-4 dan tidak keluar lagi, maka ia sudah masuk masa suci mulai sejak berhentinya darah.


Akan tetapi dalam kondisi demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya jima’ dengan suami. Menurut jumhur (mayoritas) ulama fiqih dari madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali ia sudah boleh berjima dengan suaminya, karena memang sudah suci. Walaupun ulama dari kalangan madzhab Hanafi belum membolehkan itu sampai berlalu masa kebiasaan haidnya untuk ihtiyath atau berhati-hati. (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jilid 18, hal. 304)



Wanita Dengan Siklus Haid Tidak Teratur


Bagaimana dengan para wanita yang siklus haidnya tidak teratur? Bisa jadi teratur di satu fase, tapi bisa jadi di waktu-waktu berikutnya tidak teratur lagi. Banyak yang mengalami berhentinya darah di tengah-tengah waktu kebiasaan, kemudian setelah bersuci ternyata keluar lagi. Adapula yang darahnya masih keluar padahal sudah melewati jumlah hari kebiasaan haid.


Berikut ini Penulis akan jelaskan pendapat para ulama Fiqih mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas:


a. Madzhab Hanafi


Madzhab hanafi sangat menggaris bawahi istilah Mu’tadah dan bukan Mu’tadah dalam menentukan darah haid dan istihadhah. Menurut madzhab ini, Mu’tadah yang darahnya keluar melewati masa kebiasaan haidnya maka dihukumi istihadhah. Misalnya, bila ada wanita terbiasa haid 7 hari pada tiap bulannya, kemudian pada satu masa haid ternyata darahnya tetap mengalir di hari selanjutnya, maka darah yang keluar melewati 7 hari itu dianggap istihadhah.


Begitupula bila wanita terbiasa haid selama 6 hari, kalau tiba-tiba darahnya masih belum berhenti di hari ke-7 maka darah yang keluar di hari ke-7 dan selanjutnya itu dihukumi sebagai darah istihadhah.


Namun jika pada tiap bulannya ia terbiasa keluar haid melebihi 10 hari (misalnya terbiasa mengalami haid 11 hari atau 13 hari), maka yang dihukumi sebagai haid adalah 10 hari pertama, dan darah yang keluar melewati 10 hari dianggap istihadhah. Sebab  menurut madzhab ini masa maksimal keluarnya darah haid adalah 10 hari 10 malam. Maka darah yang keluar melewati batas 10 hari dihukumi istihadhah.


Bila darah terputus di tengah-tengah masa haid


Madzhab Hanafi berpendapat bahwa wanita yang mengalami terputusnya darah haid, lalu beberapa hari kemudian darahnya keluar lagi, maka darah kedua ini dianggap darah haid juga. Dengan syarat darah kedua ini keluar di dalam masa rentang 10 hari (masa maksimal haid menurut madzhab ini)


Saat darah teputus, apakah wanita boleh shalat atau tidak?


Madzhab Hanafi mewajibkan wanita untuk menunaikan shalat di saat darahnya sedang berhenti keluar. Misalnya, bila wanita haid di tanggal 1-4 lalu darahnya berhenti di tanggal 5-6, kemudian darah keluar lagi di tanggal 7-9. Pada kondisi ini, tanggal 1-4 dan tanggal 7-9 si wanita tidak boleh shalat karena sedang haid, sedangkan di tanggal 5-6 saat darah berhenti si wanita tetap wajib shalat.


 b. Madzhab Maliki


Apabila darah keluar di hari pertama, lalu terputus, kemudian keluar lagi. Maka darah yang pertama dan kedua dianggap satu fase darah haid. Dengan syarat bahwa darahnya tidak terputus atau tidak berhenti lebih dari 15 hari (yakni masa minimal suci menurut madzhab ini).


Pada masa terputusnya / berhentinya darah itu, ia wajib melaksanakan shalat krna ia dianggap suci. Dan saat darah haid keluar lagi (dalam rentang masa 15 hari tersebut), maka ia kembali dianggap haid dan tidak boleh menunaikan shalat.


Misalnya, bila seorang wanita keluar haid di tanggal 1-5, kemudian darahnya terputus atau berhenti di tanggal 6-8, kemudian ternyata keluar lagi darahnya di tanggal 9-10. Maka, tanggal 1-5 dan tanggal 9-10 ia berada dalam keadaan haid, sedangkan tanggal 6-8 dianggap suci dan wajib melaksanakan shalat.


Teori dari madzhab Hanafi dan Maliki mengenai terputusnya darah di tengah-tengah masa haid agaknya hampir sama, hanya saja dua madzhab ini berbeda dalam menetapkan masa minimal dan maksimal haid.


Menurut Madzhab Hanafi, masa minimal haid adalah 3 hari, sedangkan maksimalnya adalah 10 hari. Sedangkan menurut madzhab Maliki, masa minimal haid adalah beberapa tetes saja, sedangkan maksimalnya adalah 18 hari bagi Mu’tadah dan 15 hari bagi yang bukan Mu’tadah.


 c. Madzhab Syafi'i


 Ulama dari madzhab Syafi’i berpendapat bahwa darah yang berhenti kemudian keluar lagi dianggap seluruhnya satu 'paket' haid. Artinya, bahwa jika wanita haid mengalami masa terputusnya/berhentinya darah yang disusul keluarnya darah kedua, semua masa itu dianggap masa haid. Dengan syarat:


1. sejak pertama darah keluar hingga habisnya darah kedua itu tidak melebihi masa maksimal haid (15 hari).


2. darah yang berhenti itu ada di antara 2 masa keluarnya darah yang sempat terputus.


3. darah pertama yang belum sempat terputus sudah keluar minimal sehari semalam. (Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 119)


Misalnya: bila wanita mengalami haid pada tanggal 1-4, kemudian darah terputus dan tidak keluar di tanggal 5-7, lalu darah keluar lagi di tanggal 8-12, maka dari tanggal 1 hingga tanggal 12 dianggap seluruhnya dalam keadaan haid. Konsekwensinya, selama 12 hari itu ia dilarang menunaikan shalat.


Madzhab ini sepertinya lebih memudahkan para wanita untuk menghitung hari-hari haidnya. Apalagi bagi wanita yang siklus haidnya tidak teratur.


 d. Madzhab Hambali


Pendapat dar madzhab ini lebih sederhana, yakni apabila darah haid wanita berhenti, baik karena terputus atau tidak, maka ia dihukumi sebagaimana wanita yang suci. Dan jika darahnya keluar lagi pada rentang masa 'aadah atau kebiasaan haidnya, maka berarti ia kembali haid dan tidak boleh melaksanakan shalat. (al-Kaafi juz 1 hal. 186)


Demikian pendapat dari masing-masing madzhab muktamad. Mudah-mudahan dapat membantu para muslimah dalam menentukan haid dan tidaknya. Hal ini penting, sebab dengan mengetahuinya, para muslimah dapat mengerti kapan ia harus melaksanakan ibadah-ibadah tertentu seperti shalat dan puasa, dan kapan ia tidak boleh melaksanakannya.


Wallahu A’lam Bisshawab.


Rabu, 25 Maret 2020

Darah Keluar Saat Hamil, Haid Atau Bukan?

Lazimnya, wanita hamil tidak mengalami haid. Namun ternyata sebagian wanita ada yang keluar darah selama kehamilannya. Ada yang mengalaminya beberapa hari di trimester tertentu, bahkan adapula yang mengalaminya secara konsisten tiap bulan hingga usia kehamilan mencapai 9 bulan. Apakah darah ini haid ataukah istihadhah?
Para ulama berbeda pendapat mengenai  hal ini:

a. Madzhab al-Hanafiyah dan al-Hanabilah.

Ulama dari madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa darah yang keluar selama kehamilan bukanlah darah haid, melainkan darah fasad yang hukumnya sama dengan istihadhah. Sebab wanita hamil tidak bisa mengalami haid. Maka, saat keluar darah wanita hamil ini tetap wajib melaksanakan shalat dan puasa sebagaimana saat ia suci.[1]
Sebagaimana yang disabdakan Nabi terhadap seorang lelaki yang hendak menikahi wanita hamil karena zina :
"Dan wanita hamil (sebab zina) tidak boleh dijima' sampai ia melahirkan, dan begitu pula yang tidak hamil sampai ia mengalami haid." (HR. Abu Dawud)
Dari hadits diatas diketahui bahwa haid menjadi suatu sebab atas kosongnya rahim dari janin. Dengan demikian, maka kedua hal itu (Hamil dan Haid) tidak bisa dialami dalam satu waktu.

Begitupula dalam hadits Rasulullah saat beliau melarang Ibnu Umar untuk menceraikan isterinya yang sedang dalam keadaan haid.
"Perintahkan padanya (Ibnu Umar) agar merujuk isterinya kembali, jika ia ingin menceraikannya maka ceraikan pada saat isterinya itu sedang dalam keadaan suci atau dalam keadaan hamil".(HR. Muslim)
Dalam hadits diatas diketahui bahwa kehamilan menjadi tanda ketiadaan haid.

Pendapat ini dijelaskan oleh As-Sarakhsi, salah satu ulama dari madzhab Hanafi dalam kitabnya Al-Mabsuth [2]

ومن الدماء الفاسدة ما تراه الحامل فقد ثبت لنا أن الحامل لا تحيض، وذلك مروي عن عائشة - رضي الله عنها - وعرف أنها إذا حبلت انسد فم رحمها فالدم المرئي ليس من الرحم فيكون فاسدا

"Salah satu jenis darah fasid adalah darah yang keluar saat hamil, dan telah jelas bagi kami (madzhab Hanafi) bahwa wanita hamil tidaklah mengalami haid. Hal itu sebagama yang diriwayatkan dari Aisyah RA 'Diketahui bahwa wanita jika hamil, maka tertutuplah mulut rahimnya, maka darah yang terlihat saat hamil itu bukanlah keluar dari dalam rahimnya, sehingga darah itu dihukumi sebagai darah fasid'.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Imam Az-Zaila'i yang juga dari madzhab Hanafi dalam kitabnya Tabyin al-Haqa'iq [3] :

عن ابن عباس - رضي الله عنهما - أنه قال: إن الله رفع الحيض عن الحبلى وجعل الدم رزقا للولد وقالت عائشة - رضي الله عنها - إن الحامل لا تحيض؛ ولأن فم الرحم ينسد بالحبل كذا العادة وفيما ذكر أنه ينفتح فمه بخروج الولد 

"Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya Allah telah mengangkat haid dari wanita hamil, dan menjadikan darah itu sebagi rizki untuk si janin. Dan Aisyah RA juga berkata: ”wanita hamil itu tidak haid”. Dan karena pada saat hamil mulut rahim tertutup dan dia akan membuka lagi saat si bayi itu keluar." 
Walau madzhab ulama Hambali mengatakan bahwa darah yang keluar pada saat hamil bukanlah darah haid, namun mereka tetap menganjurkan (mustahab) wanita hamil yang mengalaminya untuk mandi janabah setelah darah berhenti keluar, untuk tujuan ihtiyath (berhati-hati) dan khuruj 'anil khilaf (menghindari perbedaan pendapat ulama).[4]

b. Madzhab al-Malikiyah dan asy-Syafi'iyyah

Ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i berpendapat bahwa wanita hamil bisa saja mengalami haid jika memenuhi syarat, seperti durasinya, warnanya maupun gejalanya. Misalnya jika ada wanita hamil yang melihat darah keluar selama minimal sehari semalam dan warnanya kehitaman, maka darah itu adalah haid[5].
Ulama dari madzhab ini mengambil keumuman dalil dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Asiyah RA :
"Darah haid itu dikenal dengan warnanya yang kehitaman ".(HR. Abu Dawud)
Ada pula atsar dari Aisyah RA mengenai wanita hamil yang melihat keluarnya darah, Aisyah RA mengatakan : "sesungguhnya wanita ini harus meninggalkan shalat" Dan hal ini menjadi ijma' di kalangan penduduk Madinah[6].
Ibnu Abdil Barr, salah satu ulama dari madzhab Maliki mengatakan dalam kitabnya Al-Istidzkar[7] sebagai berikut :

ذكر مالك أنه سأل بن شهاب عن (المرأة) الحامل ترى الدم قال تكف عن الصلاة قال مالك وذلك الأمر عندنا ولم يختلف عن يحيى بن سعيد وربيعة أن الحامل إذا رأت دما فهو حيض تكف من أجله عن الصلاة

"Malik menyebutkan bahwasanya Ibnu Syihab bertanya tentang wanita hamil yang melihat darah keluar, ia menjawab: dia (wanita itu) tidak boleh shalat. Malik berkata: itu adalah pendapat mazhab kita. Dan tidak ada yang menyelisihi riwayat dari Yahya bin Said dan Robiah bahwasanya wanita hamil jika melihat darah maka itu adalah haid, oleh karena itu ia tidak boleh shalat."
Imam Nawawi, salah satu ulama dari madzhab Syafi'i juga berpendapat serupa. Dalam Kitab Raudhah at-Thalibin [8], beliau menyebutkan pendapat Imam as-Syafi'i mengenai hal ini :

القديم: أنه دم فساد. والجديد الأظهر: أنه حيض. وسواء ما تراه قبل الحمل وبعدها، على المذهب

"Dalam qoul qodimnya (Imam Syafi'i): bahwasanya itu darah fasid (istihadhoh). Dan dalam qoul jadidnya: itu darah haid, baik itu yang keluar sebelum hamil ataupun sesudahnya."
Pada kitab yang sama, di halaman berikutnya beliau menambahkan [9] :

ثم على القديم: هو حدث دائم، كسلس البول. وعلى الجديد: يحرم فيه الصوم والصلاة. وتثبت جميع أحكام الحيض

"Dalam qaul qadim: ia (darah itu) adalah hadats yang berlangsung lama, seperti halnya wasir. Dan dalam qaul jadid beliau (Imam Syafi'i) mengatakan: haram baginya melaksanakan shalat dan puasa (karena itu darah haidh), dan bagi wanita itu berlaku semua hukum terkait haidh."

Kesimpulan

Mayoritas wanita hamil tidak mengalami perdarahan yang berlangsung lama, jikapun ada flek atau bercak darah yang keluar, biasanya hanya keluar sedikit dan tidak lama. Namun sebagian dari mereka ada juga yang mengalami pedarahan yang lumayan lama dan berlangsung beberapa hari, bahkan sebagian yang lain juga ada yang mengalaminya setiap bulan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ulama dari madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa wanita hamil tidak mengalami haid. Maka, jika ada wanita hamil keluar darah selama kehamilannya, maka itu bukan haid, melainkan darah rusak (fasid). Bahkan jikapun darah yang keluar itu berlangsung selama berhari-hari dan kehitaman layaknya haid.
Darah fasid hukumnya sama dengan istihadhah, ia bukan hadats besar. Artinya, wanita ini tetap wajib melaksanakan semua kewajiban wanita suci, seperti shalat dan puasa Ramadhan. 
Sedangkan ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i mengatakan bahwa darah yang keluar dari wanita hamil bisa disebut darah haid jika memenuhi beberapa syarat, seperti durasi dan sifat-sifat darahnya. Maka, jika wanita hamil melihat darah keluar minimal sehari semalam secara konsisten, dan darahnya kehitaman, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah haid. Untuk itu berlaku baginya semua larangan wanita haid, seperti haramnya shalat dan thawaf, serta larangan berhubungan seksual dengan suaminya.
Adapun darah yang tidak memenuhi sifat-sifat darah haid, maka itu tidak dinamakan darah haid. Seperti darah yang keluarnya tidak konsisten dan hanya berupa flek dan bercak, atau tetesan darah yang warnanya merah segar bercampur lendir, ini semua tidak disebut dengan darah haid melainkan darah istihadhah. Begitu juga darah yang keluar setelah bayi lahir, darah ini bukanlah haid, melainkan darah nifas.
Wallahu A'lam Bishshawab.
Aini Aryani, Lc, LLB (Hons)
Bibliografi :
[1] Hasyiyah Ibn Abdin jilid 1 hal 189.
[2] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth jilid 3 hal 149.
[3] Az-Zaila'i, Tabyin al-Haqa'iq jilid 1 hal 67.
[4] Al-Buhutiy, Kasysyaf al-Qinna' jilid 1 hal 202.
[5] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj jilid 1 hal 118.
[6] Ibnu Abdin, Hasyiyah jilid 1 hal 189.
[7] Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar jilid 1 hal 327
[8] Imam Nawawi, Raudhah At-Thalibin jilid 1 hal 174
[9] Ibid, hal 175