Rabu, 30 Juni 2021

Wajibkah Melakukan Khitan Bagi Wanita? Apa Manfaatnya?

 


Khitan bagi anak perempuan tidak semasyhur khitan yang dilakukan pada anak laki-laki. Jika khitan pada anak laki-laki adalah menyunnat kulup dari batang dzakar (penis), maka tindakan khitan pada anak perempuan adalah menyunnat bagian 'clitoral hood'.

Menurut Wikipedia: "Clitoral Hood atau disebut juga preputium clitoridis and clitoral prepuce adalah lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungi clitoral glans [batang klitoris]. Berkembang sebagai bagian dari labia  [bibir]minora dan merupakan homolog dari kulup penis [biasa disebut preputium] pada kelamin laki-laki".

Dalil yang menjadi dasar pensyariatan khitan adalah sebagai berikut:

  1. Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus (QS. An-Nahl: 23).
  2. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW, "Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita." (HR. Ahmad dan Baihaqi)
  3. Dari Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Nabi Ibrahim as. Berkhitan saat berusia 80 tahun dengan qadur / kapak. (HR Bukhari dan muslim)
  4. Dari Aisyah ra, Rasulullah bersabda : “Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah” (HR. Muslim)

Dari dalil-dalil diatas, khitan bagi anak perempuan jelas disyariatkan. Namun jika ditinjau dari hukumnya, para ulama fiqih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang itu pemuliaan atas perempuan.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Madzhab ini sepakat bahwa berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan, mayoritas ulama dari madzhab ini tidak memandangnya dari kacamata hukum taklifi, namun sebagai kemuliaan bagi perempuan.

Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :

 

الختانان موضع القطع من الذّكر والفرج وهو سنّةٌ للرّجل مكرمةٌ لها

Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya Sunnah bagi laki-laki, dan bagi perempuan merupakan sebuah kemuliaan.

Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :

 

وختان المرأة ليس بسنة، وإنما هو مكرمة للرجال لأنه ألذ في الجماع

Tidaklah sunnah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki, karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami istri.[1]

 

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Qarafi (684 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :


كرهه مالك يوم الولادة ويوم السابع لأنه من فعل اليهود قال وحد الختان الأمر بالصلاة من سبع سنين إلى عشر قال ابن حبيب الختان سنة للرجال مكرمة للنساء


Makruh bagi imam Malik mengkhitan anak pada hari kelahiran ataupun hari ke tujuh, Karena itu perbuatannya orang-orang Yahudi. Dan membatasi usia khitan ketika anak berumur 7 tahun, sebagaimana diperintah untuk mereka shalat dari umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun. Ibnu Hubaib mengatakan, berkhitan bagi laki-laki sunnah, sedangkan bagi perempuan merupakan kemuliaan.[2]

Al-Hathab Ar-Ru'aini (954 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil sebagai berikut :

 

وأما الخفاض فقال ابن عرفة والخفاض في النساء الرسالة مكرمة وروى

Adapun khitan bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah mengatakan bahwa itu adalah syari’at yang mulia.[3]

3. Mazhab Asy-Syafi’i

Madzhab ini  memandang bahwa berkhitan bagi laki-laki dan perempuan itu hukumnya wajib. Sebagaimana penuturan di bawah ini:

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Minhaj At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiin fi Al-Fiqh menuliskan sebagai berikut :

 

ويجب ختان المرأة بجزء من اللحمة بأعلى الفرج والرجل بقطع ما يغطي حشفته بعد البلوغ ويندب تعجيله في سابعة

Wajib bagi perempuan berkhitan, dengan memotong sebagian daging kecil yang berada di bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki dengan menghilangkan sebagian kulit penutup bagian depan dari kemaluan, dan disunnahkan bagi laki-laki untuk menyegerakan khitan di umur tujuh tahun.[4]

Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.


(و) من (قطع شيءٍ من بظر المرأة) (الخفاض) أي اللّحمة الّتي في أعلى الفرج فوق مخرج البول تشبه عرف الدّيك، وتقليله أفضل


Dengan memotong sebagian daging kecil -yang berada di bagian atas farji, letaknya diatas tempat keluarnya urin, dan bentuknya menyerupai jengger ayam-, itu hukumnya afdhal (utama).[5]

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhafatu Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :


ويجب أيضًا (ختان) المرأة والرّجل

Diwajibkan juga berkhitan bagi perempuan dan laki-laki .[6]

Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :


(ويجب ختان المرأة بجزءٍ) أي قطعه

Diwajibkan berkhitan bagi perempuan, dengan menghilangkan sebagian daging kecil di atas kemaluannya.[7]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Adapun madzhab Al-Hanabilah, hukum berkhitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :


فأمّا الختان فواجبٌ على الرّجال، ومكرمةٌ في حقّ النّساء، وليس بواجبٍ عليهنّ

Diwajibkan bagi laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan hanya sebuah kemuliaan bagi yang mengerjakannya.[8]

Kesimpulan

Demikian pemaparan para ulama dari empat madzhab. Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib atas laki-laki maupun perempuan. Sedangkan madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan dari sisi afdhaliyyah (keutamaan). Ketiga madzhab tersebut mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.


Wallahu a’lam bishshawab


 



[1] Az-Zaila'i, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 1, hal 227

[2] Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah, jilid 4, hal 167

[3] Al-Hathab Ar-Ru'aini, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil, jilid 3, hal 258

[4] An-Nawawi, Minhajut Thalibin Wa Umdatul Muftiin, jilid 1, hal 306

[5] Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib, jilid 4, hal 164

[6] Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj, jilid 9, hal 198

[7] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj , jilid 5, hal 539

[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hal 64

Senin, 28 Juni 2021

Bolehkah Mencicil Mandi Janabah ?


 

Dalam Ilmu Fiqih ada istilah yang sangat familiar yakni 'al-Muwalah' yang berarti melakukan satu perbuatan atau lebih dalam waktu yang bersamaan, dan menyelesaikannya tanpa dijeda dengan durasi yang cukup lama. Sinonim dari al-Muwalah adalah al-Mutaba'ah.

Misalnya ketika seseorang melaksanakan wudhu dalam satu waktu, ia menyelesaikan wudhu-nya dari niat hingga mencuci kaki tanpa diselingi perbuatan lain. Disini, ia dikatakan telah melaksanakan wudhu dengan 'Muwalah' sebab melakukan semua rukun wudhu' tanpa dijeda dan diselingi dengan perbuatan lain.

Sedangka jika ia berniat wudhu lalu membasuh wajahnya, kemudian keluar kamar mandi menuju dapur untuk menyelesaikan rutinitas masak-memasak, beberepa saat kemudian ia kembali lagi ke kamar mandi untuk menyelesaikan wudhu'nya (membasuh tangan, kepala/rambut, dan kaki), maka dalam wudhu'nya ini tidak ada unsur al-Muwalah.

Mandi Janabah adalah konsekwensi yang harus dilakukan bagi mereka yang mengalami hadats besar, misalnya karena berhubungan suami isteri, atau sebab usai dari haid dan nifas. Menurut mayoritas ulama, rukun mandiri janabah hanya dua, yakni niat dan meratakan air pada seluruh tubuh. Adapun selain rukun, mandi janabah punya ritual lain yang hukumnya sunnah, seperti mencuci kemaluan sebelum mulai mengguyur air ke badan, berwudhu dahulu, mendahulukan anggota kanan sebelum yang kiri, dan sebagainya.

Bolehkah Mencicil Mandi Janabah ?

Lazimnya, orang tidak akan menyudahi mandinya sebelum seluruh tubuhnya basah dengan siraman air. Namun jika ada orang ingin 'mencicil' mandi janabahnya karena suatu hal, apakah dibolehkan? Misalnya, malam hari mencuci kepala dan rambut, lalu shubuh menyempurkan mandi dengan menyiram anggota tubuh yang lain

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mengatakan boleh, sebagian lagi tidak. Perbedaan ini didasari apakah al-muwalah dalam mandi janabah itu hukumnya wajib, ataukah sunnah. Jika wajib, maka tidak boleh mandi janabah sambil diselingi dengan hal yang lain dengan durasi yang cukup lama. Sedangkan bagi yang mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya sunnah, maka boleh.  Berikut pemaparan masing-masing:

a. Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Sunnah.

Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah, asy-Syafi'iah (qaul jadid) dan al-Hanabilah mengatakan bahwa al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah. Artinya, al-muwalah tidak menjadi parameter sah dan tidaknya mandi janabah, sebab ia bukan termasuk rukunnya. Jika seseorang mandi janabah misalnya, lalu niat dan membasahi sebagian tubuhnya, lalu keluar kamar mandi dan melakukan hal lain, kemudian kembali ke kamar mandi dan menyelesaikan siraman ke sisa tubuh yang lain, mandi janabahnya ini sah menurut ulama dari madzhab ini.

Al-Imam As-Sarakhsi (w.483), salah satu ulama dari madzhab Al-Hanafiyah dalam kitabnya Al-Mabsuth mengatakan :

وإن غسل بعض أعضائه، وترك البعض حتى جف ما قد غسل أجزأه؛ لأن الموالاة سنة عندنا

"Dan bahkan ketika ia membasuh sebagian tubuhnya, dan tidak membasuh sebagian yang lain hingga anggota tubuh yang tadi dibasuh menjadi kering, sebab al-muwalah dalam madzhab kami hukumnya sunnah[1]

Ibnu 'Abdin (w.1252) yang juga ulama dari madzhab Al-Hanafiyyah mengatakan :

سنن الغسل : (قوله: كسنن الوضوء) أي من البداءة بالنية والتسمية والسواك والتخليل والدلك والولاء

"Sunnah-sunnah mandi janabah sama dengan sunnah-sunnah di dalam wudhu', yakni dari awal dimulai dari niat, basmalah, bersiwak, dan menyela-nyelai, memijat, dan muwalah".[2]

Ibnu Najim dari madzhab Al-Hanafiyah sedikit menyempitkan bolehnya menjeda mandi janabah. Beliau mengatakan bahwa 'mencicil' mandi janabah hukumnya boleh jika ada udzur (alasan yang dibenarkan syariat). Misalnya karena minimnya ketersediaan air dimana airnya tidak cukup digunakan untuk mandi, lalu ia pergi mencari-cari air beberapa saat, lalu melanjutkan mandinya yang tadi belum selesai.[3]

Al-Imam An-Nawawi (w.676), ulama dari madzhab As-Syafi'iyyah menguatkan pendapat ulama dari madzhab Al-Hanafiyah bahwa al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah, sebagaimana yang beliau tulis dalam Al-Majmu' :

وأما موالاة الغسل فالمذهب أنها سنة

"Dan adapun muwalah dalam mandi janabah menurut madzhab ini (As-Syafi'i) hukumnya sunnah."[4]

Begitu juga ulama dari madzhab Hambali, mereka memiliki pendapat yang sama. Al-Imam Al-Mardawi (w.885) dari madzhab Al-Hanabilah mengatakan:

لا يشترط للغسل موالاة، على الصحيح من المذهب

"Muwalah tidak disyaratkan dalam mandi janabah menurut madzhab ini (Al-Hanabilah)."[5]

Ibnu Qudamah yang juga dari madzhab Al-Hanabilah menambahkan bahwa al-muwalah tidak masuk dalam rukun mandi janabah :

فعلى هذا تكون واجبات الغسل شيئين لا غير : النية، وغسل جميع البدن

"Dan oleh karena itu, hal-hal yang wajib dilakukan saat mandi janabah hanya dua saja, yakni : niat dan membasuh/menyiram seluruh tubuh"[6]

Ulama dari madzhab Al-Hanabilah dan salah satu pendapat dari madzhab Syafi'i mengatakan bahwa mandi janabah yang terpotong (dijeda oleh hal lain) hukumnya sah, asalkan ketika kembali menyelesaikan mandinya ia wajib memperbarui niat sebelum menyiramkan air pada sisa anggota tubuh lainnya. Sebab niatnya di awal terpotong dengan jeda waktu yang cukup lama.[7]

Akan tetapi sebagian ulama lain dari madzhab as-Syafi'iyah tidak mewajibkan untuk memperbarui niat saat ia kembali menyelesaikan siraman pada sisa anggota tubuh yang lain.[8]

b. Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Wajib

Ulama dari madzhab al-Malikiyyah mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya fardhu dalam mandi janabah. Dalam melakukan mandi janabah, seseorang harus menyelesaikan mandinya dalam satu waktu, tanpa harus disela-selai atau dipotong dengan hal yang lain.

Al-Qarafi (w.684), salah satu ulama dari madzhab ini mempertegas dalam kitabnya Adz-Dzakhirah :

لخامس : الموالاة فرض في الوضوء والغسل خلافا لأحمد بن حنبل

"(Rukun) kelima ; al-muwalah hukumnya fardhu dalam wudhu dan mandi janabah, pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Ahmad Bin Hambal."[9]

Ad-Dasuki dari madzhab ini mengatakan bahwa kedudukan al-muwalah dalam mandi janabah adalah wajib, selama ia tidak lupa dan tidak ada udzur. Maka, jika di tengah-tengah mandi janabah ia melakukan perbuatan lain dengan durasi yang cukup lama, kemudian ia melanjutkan mandinya, maka mandi janabahnya tidak sah. Akan tetapi, bagi yang punya udzur syar'i seperti ketersediaan air yang sangat minim, atau udzur syar'i lain, maka ia boleh menjeda mandi janabahnya tanpa harus memperbarui niat saat melanjutkan mandi dan menyiram pada sisa angota tubuh lainnya.[10]

Kesimpulan

Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah, asy-Syafi'iyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa al-muwalah hukumnya sunnah dalam mandi janabah, bukan rukun yang wajib dilakukan. Akan tetapi ulama dari madzhab al-Malikiyah mengatakan bahwa al-muwalah fardhu yang wajib dilakukan.

Pendapat mayoritas ulama menjadi angin segar bagi para pengantin baru yang notabene malu jika rambutnya terlihat basah di pagi hari. Terlebih jika masih tinggal di rumah mertuanya. Kedudukan al-muwalah yang sunnah, memberi keringanan bagi mereka untuk 'mencicil' mandi janabah.

Misalnya, jika di malam hari ia melakukan hubungan suami isteri dan enggan segera mandi karena udara masih terlalu dingin. Solusinya, bisa saja malam hari membasahi kepala (keramas) dulu tanpa menyiram badan, lalu esok saat hendak melaksanakan shalat shubuh, ia melanjutkan mandi dengan menyiram tubuh tanpa keramas.

Contoh di atas menjadi mandi janabah yang sah walaupun terkesan 'dicicil' karena mandinya tidak dilakukan dalam satu waktu sekaligus. Dengan syarat, saat keramas di malam hari ia harus meniatkannya untuk mandi janabah.

Wallahu A'lam Bishshowab.

 



[1] Al-Mabsuth jilid 1, hal. 58

[2] Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar, jilid 1, hal. 156

[3] (al-Bahru ar-Raiq jilid 1, hal. 28

[4] Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 2, hal. 184

[5] Al-Inshaf Fi Ma'rifati ar-Rajih Min al-Khilaf jilid 1, hal. 141

[6] Al-Mughni, jilid 1, hal. 162

[7] Raudhah at-Thalibin, jilid 1, hal. 64

[8] Al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, jilid1 , hal. 453

[9] Adz-Dzakhirah, jilid 1, hal. 273

[10] Hasyiyah ad-Dasuki, jilid 1, hal. 133

Minggu, 27 Juni 2021

Definisi, Syarat, Rukun, Dan Hukum Haji

 

(Ringkasan dari Al-Fiqh Al-Muyassar[1][2]

 

Definisi Haji

 

Secara bahasa, haji berarti maksud/keinginan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan definisi menurut syariat, haji adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik pada waktu dan tempat tertentu sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah RasuluLlah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Haji merupakan salah satu rukun islam dan wajib dilakukan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Di antara keutamaan haji adalah sebagaimana yang termuat dalam hadits berikut.

“Antara satu umrah dengan umrah lainnya menjadi penebus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur, tidak ada balasannya melainkan surga.”[3]

“Barangsiapa yang berhaji karena Allah, dan ia tidak berkata kotor dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali sebagaimana hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.”[4]

 

Syarat Haji

 

Miqat secara bahasa artinya adalah batas. Secara syariat adalah tempat atau waktu pelaksanaan ibadah. Di sini dikenal istilah miqat makani (tempat) dan miqat zamani (waktu). Waktu ibadah haji sudah ditentukan, yaitu bulan Syawal, Dzul-Qa’dah dan Dzul-Hijjah.

Sedangkan miqat makani, adalah batas di mana orang yang berhaji tidak boleh melewatinya kecuali dengan berihram. Batas tersebut adalah Dzul-Hulaifah (Bir Ali) bagi penduduk Madinah, Juhfah bagi penduduk Syam, Qarnul-Manazil bagi penduduk Najd dan Yalamlam bagi penduduk Yaman. Siapa saja yang melewati batas-batas tersebut tanpa ihram maka wajib baginya untuk kembali jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka ia harus membayar fidyah dengan satu ekor kambing yang disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah haram.

 

 Baca juga: Perihal Penting Haji yang Sering Ditanyakan (Buku)

 

Rukun Haji Wajib Haji Sunnah Haji

1.      Islam

2.      Berakal

3.      Baligh, maka haji tidak wajib bagi bayi atau anak kecil. Namun seandainya mereka mengerjakannya maka hajinya sah. Wali-nya lah yang meniatkannya jika ia belum tamyiz. Dan kewajiban haji tidak gugur atas mereka. “Jika seorang anak kecil berhaji, kemudian ia baligh, maka baginya ada kewajiban haji yang lain.” [5]

4.      Merdeka, sehingga haji tidak wajib atas budak karena mereka itu dimiliki dan tidak memiliki sesuatu apapun. Jika mereka melaksanakannya dengan izin tuannya maka hajinya sah. Jika mereka melaksanakan haji dalam keadaan masih menjadi budak, kemudian merdeka, maka mereka tetap dikenai kewajiban haji lagi jika memiliki kemampuan. “Dan jika seorang budak berhaji kemudian ia merdeka, maka baginya ada kewajiban haji yang lain.”[6]

5.      Memiliki kemampuan: baik dari sisi harta, memiliki kelebihan harta yang mencukupi untuk menafkahi keluarganya jika digunakan untuk berhaji, memiliki kendaraan yang bisa mengantarkannya ke Mekkah dan kembali ke negeri asalnya. Begitupun dari sisi fisik / badan, bukan orang tua renta dan sakit yang tidak sanggup safar jauh. Dan jika perjalanannya tidak aman, seperti banyak perampok, wabah penyakit atau selainnya yang dapat membahayakan jiwa dan hartanya, maka orang tersebut tidak dikenai kewajiban berhaji. Khusus bagi wanita, termasuk syarat mampu adalah adanya mahram yang menemaninya.

Miqat Haji

1.      Ihram, yaitu niat dan bermaksud mengerjakan haji.

2.      Wuquf di ‘Arafah.

3.      Thawaf ziarah atau dinamakan juga dengan thawaf ifadhah dan thawaf fardhu. Dinamakan thawaf ifadhah karena ia dilaksanakan setelah ifadhah (bertolak) dari ‘Arafah.

4.      Sa’i antara Shafa dan Marwah.

Hal-hal di atas adalah rukun haji. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu hal di atas maka tidak sempurna hajinya sampai ia menunaikannya.

 

1.      Ihram dari miqat yang telah ditentukan oleh syariat.

2.      Wuquf di 'Arafah sampai malam bagi mereka yang memulainya sejak siang, karena Nabi shallaLlahu ‘alahi wa sallam wuquf sampai dengan terbenamnya matahari.

3.      Mabit di Muzdalifah pada malam tanggal 10 Dzul-Hijjah sampai pertengahan malam (bagi mereka yang sampai di Muzdalifah sebelum tengah malam).

4.      Mabit di Mina pada malam-malam hari tasyriq.

5.      Melempar jumrah secara tertib/urut.

6.      Menggundul atau mencukur rambut.

7.      Thawaf wada’ (sebelum meninggalkan tanah haram) bagi yang tidak haidh dan nifas.

Barangsiapa yang meninggalkan salah satu hal di atas dengan sengaja atau karena lupa maka ditebus dengan “dam”, dan hajinya sah.

 

1.      Mandi sebelum ihram dan memakai wewangian di badan (bukan di pakaian) kemudian mengenakan dua kain ihram berwarna putih. Perlu diingat, wewangian digunakan sebelum ihram. Setelah atau saat ihram maka tidak boleh lagi menggunakan wewangian.

2.      Memotong kuku, rambut, bulu ketiak dan kumis.

3.      Thawaf qudum (saat awal kedatangan) bagi yang melakukan haji ifrad dan qiran.

4.      Ramal (lari-lari kecil) pada tiga putaran pertama thawaf qudum. Lari-lari kecil hanya ada pada thawaf qudum.

5.      Idhtiba’ saat thawaf qudum, yaitu menjadikan bagian pertengahan rida’ (kain ihram bagian atas) ada di bawah pundak kanan, sedangkan ujung kainnya berada di atas pundak kiri (bagian pundak kanan terlihat, sedangkan pundak kiri tertutupi kain ihram). Hal ini juga hanya dilakukan pada saat thawaf qudum, adapun sebelum dan sesudah itu tidak dilakukan.

6.      Mabit di Mina pada malam hari ‘arafah.

7.      Talbiyah sejak awal ihram sampai melempar jumrah ‘aqabah.

8.      Menjama’ shalat maghrib dan ‘isya di Muzdalifah.

9.      Berdiam diri di Al-Masy’ar Al-Haram (Muzdalifah) dari sejak fajar sampai sesaat sebelum matahari terbit jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka semua tempat di Muzdalifah dapat digunakan.

 

 Baca juga: 7 Amalan Pahalanya Setara Ibadah Haji dan Umrah

 

Larangan saat Ihram

1.      Memakai pakaian berjahit, maksudnya adalah pakaian yang membentuk ukuran atau anggota badan, seperti celana, jubah atau selainnya. Yang dijadikan tolak ukur adalah membentuk anggota badan. Meskipun tidak berjahit tapi membentuk anggota badan maka itu tidak boleh. Sebaliknya, ada anggapan salah bahwa kain ihram tidak boleh dijahit ujung/tepinya, demikian pula jika robek maka tidak boleh dijahit. Anggapan seperti ini juga keliru, sebab yang dimaksud di sini adalah pakaian yang membentuk anggota badan. Dikecualikan jika ia tidak menemukan ‘izar (sarung / kain ihram) maka boleh baginya menggunakan celana. Larangan ini khusus untuk pria, sedangkan wanita boleh menggunakan pakaian apapun yang dia inginkan kecuali cadar dan sarung tangan.

2.      Menggunakan wewangian pada badan dan pakaiannya. Tidak boleh juga dengan sengaja mencium wewangian. Namun, diperbolehkan untuk mencium bau harum dari tumbuhan yang hidup di tanah, seperti bunga.

3.      Memotong rambut dan kuku, larangan ini berlaku untuk pria maupun wanita. Diperbolehkan baginya untuk mencuci kepala dengan lembut, agar rambut tidak rontok. Jika ada kuku yang patah, maka boleh baginya untuk memotong dan membuangnya.

4.      Menutupi kepala dengan sesuatu yang menempel, seperti topi dan kopiah. Jika tidak menempel, seperti bernaung di bawah pohon, maka itu boleh. Boleh juga bagi orag yang sedang ihram untuk menggunakan payung jika memang ada hajat/kebutuhan. Wanita dilarang untuk menutupi wajahnya dengan niqab atau burqa’, demikian pula ia dilarang untuk mengenakan sarung tangan. Ia bisa menutup wajahnya dengan khimar (kerudung) jika berjumpa dengan laki-laki asing. Jika seseorang menggunakan minyak wangi, menutup kepalanya atau menggunakan pakaian berjahit karena tidak tahu, lupa atau dipaksa maka ia dimaafkan.

5.      Menikah (diri sendiri) dan menikahkan (orang lain).

6.      Berhubungan badan suami-istri. Hal ini dapat merusak (membatalkan) haji jika dilakukan sebelum tahallul awal meskipun setelah wuquf di 'Arafah.

7.      Bercumbu bukan di kemaluan. Namun, hal ini tidak sampai merusak (membatalkan) manasiknya. Hal serupa juga berlaku untuk mencium, menyentuh dan memandang dengan penuh syahwat.

8.      Membunuh dan memburu binatang buruan darat. Terdapat pengecualian untuk membunuh hewan perusak seperti tikus, kalajengking, burung rajawali, ular dan anjing galak. Selain itu, maka tidak boleh dibunuh dan tidak boleh membantu untuk memburunya, baik itu hanya sekedar dengan isyarat atau selainnya, dan tidak boleh pula memakannya (bagi mereka yang memerintahkan atau membantu dalam memburunya).

9.      Memotong pohon atau tanaman di tanah haram dan tumbuhan segar lainnya yang tidak mengganggu. Namun, boleh memotong tumbuhan yang mengganggu jalan. Dikecualikan dari tanaman di tanah haram adalah pohon idzkhir (yang harum baunya) dan apa yang ditanam oleh manusia (maka boleh dipotong).



 

[1] Nukhbah minal-’Ulama, Al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau-i al-Kitab was-Sunnah. Darul-’Alamiyyah, 2011M / 1432H.

[2] Aris Munandar, “Al-Fiqh Al-Muyassar,” Kajian Rutin Ma'had Al-'Ilmi, Yogyakarta, 2013M / 1434H.

[3] HR Muslim No. 1349

[4] HR Bukhari No. 1521 dan Muslim No. 1350

[5] Syafi'i dalam Musnad-nya No. 743, Baihaqi 5/179, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa No. 986

[6] idem