Kamis, 01 Oktober 2020

Benarkah Wanita Boleh Jadi Imam Bagi Laki-laki ?

 Dalam beberapa kitab masyhur seperti al-Majmu’ Syarhul Muhadzab yang ditulis oleh Imam an-Nawawi dan al-Mufashshal yang ditulis Dr. Abdullah Karim Zaidan, nama-nama besar seperti al-Muzani, Abu Tsaur dan Ibnu Jarir at-Thabariy disebut sebagai ulama yang membolehkan wanita mengimami laki-laki. Akan tetapi benarkah demikian?


Tuduhan atas al-Muzani, Abu Tsaur dan at-Tabariy merupakan syubhat yang dapat diluruskan dengan beberapa hujjah, sebagaimana dinyatakan oleh dua ulama besar seperti Abu Ya’qub Yusuf al-Buthiy dan Zufar.



Mengenai pendapat al-Muzani (pengikut madzhab Syafi’i):


Muhammad Sidqi Bin Ahmad Al-Burnu mengatakan bahwa syubhat mengenai al-Muzani yang (katanya) membolehkan wanita menjadi imam bagi laki-laki adalah tidak benar. Dalam kitab al-Mukhtasar, al-Muzani menuliskan sebagai berikut: 


 “Dapat diqiyas bahwa seseorang (laki-laki) yang shalat di belakang wanita, atau di belakang orang gila, atau orang kafir, akan tetap mendapat pahala apabila orang (laki-laki) itu tidak mengetahui tentang keadaan siapa mereka (yang diikutinya sebagai imam).”


Kutipan di atas di tulis oleh al-Muzani sebagai penjelasan dari kalimat Imam as-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm yang berbunyi:


“Karena sesungguhnya shalatnya seseorang yang shalat untuk dirinya sendiri tidak dapat dirusak oleh rusaknya shalat atas selain dirinya.”


Maka, tidak benar adanya apabila al-Muzani dikatakan membolehkan wanita mengimami laki-laki secara mutlak. Karena dalam penjelasannya di kitab al-Mukhtasar, al-Muzani mengatakan tetap berpahala (sah) bagi orang laki-laki yang shalat di belakang wanita atau di belakang orang gila sekalipun, dengan syarat orang laki-laki yang bermakmum itu tidak mengetahui kalau orang yang dijadikannya imam itu ternyata seorang wanita, atau ternyata orang gila. Kondisi ini mengandung unsur ketidak tahuan dan ketidak sengajaan yang dialami makmum laki-laki.   


Al-Muzani tetap menyatakan tidak sah pada orang laki-laki yang shalat dan bermakmum pada seorang wanita dalam keadaan ia (makmum laki-laki) itu sengaja dan tahu bahwa imam yang ada di depannya itu adalah seorang wanita. (Al-Mukhtasar Li-Muzani, berdasarkan catatan kaki kitab al-Umm lil-Imam as-Syafi’i, juz 1, hal. 145)


Mengenai Pendapat Abu Tsaur (240 H.):


Pernyataan dari Abu Tsaur yang mungkin ditafsirkan sebagai pembolehan wanita dalam mengimami laki-laki adalah pendapat beliau saat mengomentari penjelasan al-Muzani dalam kasus yang tertulis dalam al-Umm yang ditulis Imam as-Syafi’i sebagai berikut:


”apabila seorang wanita shalat, kemudian datang untuk shalat dibelakangnya: kaum wanita dan anak-anak laki-laki, maka shalatnya para makmum wanita diberi pahala (sah) sedangkan shalatnya para makmum dari anak-anak laki-laki tidak sah.”


Dalam hal ini Abu Tsaur mengomentari bahwa shalatnya para makmum yang terdiri dari anak-anak laki-laki tetap sah apabila mereka tidak tahu kalau imam yang ada didepannya adalah seorang wanita. (Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 1, hal. 227)


Maka, komentar Abu Tsaur ini tidak bisa dijeneralisir pada pembolehan wanita mengimami laki-laki secara mutlak. Karena kasus diatas ada dalam kondisi makmum anak laki-laki yang tanpa sengaja dan tidak tahu kalau ia bermakmum pada seorang imam wanita. Hal ini mirip dengan pendapat al-Muzani di poin sebelum ini.


Subki Abdul Wahhab Bin Taqiyuddin mengatakan: ”Dalam beberapa hal, Abu Tsaur memang berbeda pendapat dengan jumhur fuqaha’, beliau menyebutkan beberapa hal dimana beliau berbeda pendapat dengan mereka. Akan tetapi, Abu Tsaur tidak menyebutkan bahwa beliau membolehkan wanita menjadi imam bagi laki-laki.”


Mengenai Pendapat Abu Ja’far at-Thabariy (310 H.):


Muhammad Sidqi al-Burnu mengatakan tidak ada bukti valid yang mengatakan bahwa at-Thabariy menyatakan bolehnya wanita mengimami laki-laki, baik itu dari karya-karya tulisnya sendiri ataupun kesaksian dari ulama lain mengenai tuduhan ini.


Konklusi


Maka, tuduhan bahwa tiga ulama besar di atas, yakni Al-Muzani, Abu Tsaur dan Juga Abu Ja'far At-Thabari membolehkan wanita mengimami laki-laki adalah tidak benar adanya. Sebaliknya, mereka melarangnya. wallahu a'lam bishawab.

Jumat, 06 Maret 2020

Jika Makmum dan Imam Berbeda Niat Shalat


Dalam suatu kondisi mungkin akan kita temukan kejadian dimana seseorang menjadikan orang lain yang sedang shalat sebagai imamnya dengan menepuk pundaknya, jika ternyata imam tidak shalat seperti yang diniatkan makmum, apakah sah shalat si makmum?
Mengenai hal ini, ada sebuah nukilan dari pendapat madzhab syaf’i yang berpendapat tentang kebolehannya, sebagaimana tertulis dalam kitab Al Iqna’ yang ditulis oleh Al Khatib Asy-Syirbini:

من شروط الاقتداء توافق نظم صلاتيهما في الأفعال الظاهرة، فلا يصح الاقتداء مع اختلافه كمكتوبة وكسوف أو جنازة لتعذر المتابعة، ويصح الاقتداء لمؤدّ بقاض ومفترض بمتنفل، وفي طويلة بقصيرة كظهر بصبح وبالعكس ولا يضر اختلاف نية الإمام والمأموم

Di antara syarat Iqtida’ (mengikuti imam) adalah kesamaan rangkaian tatacara shalat keduanya (imam dan makmum) dalam gerakan yang signifikan, maka tidak sah bila makmum mengikuti imam dengan adanya perbedaan seperti makmum melakukan shalat fardlu sementara imam shalat gerhana atau shalat jenazah karena udzur mengikuti secara lengkap,  tapi dibenarkan iqtida untuk jenis shalat ada’ dan qadha’, shalat fardlu dan nafilah, dan jenis shalat yang panjang dengan shalat yang pendek seperti jika makmum niat Dzuhur dan imam niat subuh atau sebaliknya dan tidak bermasalah jika niat imam dan makmum berbeda dalam shalat[1].
          Maksudnya adalah, sangat diperbolehkan apabila dalam suatu kejadian ternyata seseorang menjadikan orang lain imam dalam shalatnya meskipun ternyata niat mereka berdua berbeda, sepanjang jenis tatacara shalatnya shalatnya adalah tatacara yang sama. Maka shalat gerhana sebagai contoh, yang tata caranya tidak sama dengan shalat lain pada umumnya jika dijadikan imam untuk yang shalat maghrib. Jadi jika imam niat shalat qashar, sementara makmum mengikutinya dengan mengira dia shalat ashar, maka sah masing-masing niat tiap orang tersebut.
Hal ini tentunya bukan semata-mata datang dari ijtihad para ulama saja, namun berlandaskan kepada hadist berikut:

أن معاذ بن جبل رضي الله عنه كان يصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عشاء الآخرة ثم يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة


Artinya: Muadz bin Jabal pernah shalat Isya berjamaah bersama Rasulullah lalu pulang ke kaumnya dan mengimami shalat Isya yang sama (HR Bukhari)
Dari segi pendalilannya , hadist di atas menunjukkan sahnya shalat orang yang mengerjakan shalat fardhu di belakang orang yang mengerjakan shalat sunnah. Karena Mu’adz bersama nabi SAW mengerjakan shalat wajib. Lantas ia kembali ke kaumnya untuk mengimami mereka dengan niatan shalat sunnah bagi Mu’adz, sedangkan kaumnya berniat shalat wajib.
Dari sini imam Nawawi juga memperkuat pendapatnya, dalam kitabnya Al Majmu beliau berkata:

تصح صلاة النفل خلف الفرض والفرض خلف النفل، وتصح صلاة فريضة خلف فريضة أخرى توافقها في العدد كظهر خلف عصر، وتصح فريضة خلف فريضة أقصر منها، وكل هذا جائز بلا خلاف عندنا


Sah shalat sunnah di belakang shalat wajib, dan sah shalat wajib di belakang shalat sunnah. Juga, sah shalat wajib di belakang shalat wajib lain yang sama dalam rakaatnya seperti shalat zhuhur di belakang shalat Ashar. Dan sah shalat wajib di belakang shalat wajib lain yang rakaatnya lebih pendek. Semua ini boleh tanpa perbedaan menurut kami (ulama madzhab Syafi'iyah)[2].
Kesimpulannya, untuk kasus makmum niat shalat Ashar dan Imam niat Qashar atau secara global, perbedaan niat antara imam dan makmum dalam shalat, maka sah niat dan shalat masing-masing sepanjang syarat sahnya juga terpenuhi.


[1] Lihat : Khatib Syirbini. Al Iqna’ fi Hilli alfadzi matan abi syuja’. 1/169
[2] Lihat: An Nawawi. Al Majmu Syarh Muhazzab. 4/168