Jumat, 09 Juli 2021

Niat Puasa Sebelum Idul Adha, Lengkap dari Puasa Tanggal 1-7, Puasa Tarwiyah dan Arafah

Bulan dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang mulia, karena di dalamnya terdapat kewajiban menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa melaksanakan haji menjadi salah satu dari kelima rukun islam.


Namun bagi umat islam lain terutama yang belum bisa melaksanakannya tidak perlu khawatir, karena meskipun belum bisa berangkat haji namun amalan-amalan sunnah di awal bulan ini tidak kalah istimewanya.



Di antara amalan-amalan yang lebih di unggulkan pada sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah yaitu dengan melaksanakan puasa sunnah sebelum Idul Adha yaitu sejak tanggal 1 sampai 9 Dzulhiijjah. Namun yang lebih diutamakan biasanya yaitu pada tanggal 8 yang di sebut dengan puasa tarwiyah dan tanggal 9 yang disebut puasa Arafah.


Hal ini sebagaimana hadits riwayat dari Ibnu Abbas ra. ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda;


ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء


“Tidak ada hari di mana amal shaleh di dalamnya sangat dicintai oleh Allah melebihi 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para sahabat lantas bertanya “apakah amal itu dapat membandingi pahala jihad fi sabilillah?” bahkan amal pada 10 hari Dzulhijjah lebih baik dari pada jihad fi sabilillah kecuali jihadnya seorang lelaki yang mengorbankan dirinya, hartanya, dan dia kembali tanpa membawa semua itu (juga nyawanya) sehingga ia mati sahid. Tentu yang demikian itu (mati sahid) lebih baik. (HR Bukhari)


Maka dengan datangnya bulan dzulhijjah, ini menjadi sebuah kesempatan yang tak ternilai keutamaannya untuk dijadikan waktu bertaqarrub kepada Allah Swt, baik itu dengan beribadah haji atau melaksanakan puasa dari awal bulan, puasa tarwiyah hingga puasa arafah.


Keutamaan ini sebagaimana dalam sebuah hadits di jelaskan.


صوم يوم التروية كفارة سنة وصوم يوم عرفة كفارة سنتين


Artinya, “Puasa hari Tarwiyah dapat menghapus dosa setahun. Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun,” (HR Abus Syekh Al-Ishfahani dan Ibnun Najar).


Niat Puasa Sebelum Idul Adha


Berikut adalah bacaan niat puasa sebelum Idul Adha dari puasa tanggal 1-7, puasa Tarwiyah dan puasa Arafah lengkap.


Niat Puasa Sunah Tanggal 1 – 7 Dzulhijjah


نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ ذِي الْحِجَّةِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma syahri dhilhijjati sunnatan lillaahi ta’aala


Artinya : Saya niat puasa sunnah bulan Dzulhijjah karena Allah Ta’ala


Niat Puasa Sunnah Tarwiyah Tanggal 8


نَوَيْتُ صَوْمَ التَّرْوِيَةَ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma tarwiyata sunnatan lillaahi ta’aala


Artinya : Saya niat puasa sunnah tarwiyah karena Allah Ta’ala


Niat Puasa Sunnah Arafah Tanggal 9


نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Nawaitu shauma ‘arofata sunnatan lillaahi ta’aala


Artinya : Saya niat puasa sunnah arafah karena Allah Ta’ala


Niat puasa sunnah sebelum Idul Adha ini sebaiknya dibaca ketika malam hari agar tidak lupa. Meski demikian bagi yang terlupa bisa membaca niat tersebut pada siang harinya. Hal ini diperbolehkan, karena kewajiban niat di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib.


Sedangkan puasa sunnah, niatnya boleh dilakukan di siang hari selama yang bersangkutan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak subuh hingga gelincir matahari atau Dzuhur.


Bulan dzulhijjah hanya datang sekali dalam setahun, maka dari itu jangan sampai berlalu begitu saja tanpa di isi dengan amalan-amalan sunnah agar bisa mendapatkan keutamaan dan pahala untuk bekal di akhirat nanti. Wallahua’lam bisshawab.

Jumat, 06 Maret 2020

Jika Makmum dan Imam Berbeda Niat Shalat


Dalam suatu kondisi mungkin akan kita temukan kejadian dimana seseorang menjadikan orang lain yang sedang shalat sebagai imamnya dengan menepuk pundaknya, jika ternyata imam tidak shalat seperti yang diniatkan makmum, apakah sah shalat si makmum?
Mengenai hal ini, ada sebuah nukilan dari pendapat madzhab syaf’i yang berpendapat tentang kebolehannya, sebagaimana tertulis dalam kitab Al Iqna’ yang ditulis oleh Al Khatib Asy-Syirbini:

من شروط الاقتداء توافق نظم صلاتيهما في الأفعال الظاهرة، فلا يصح الاقتداء مع اختلافه كمكتوبة وكسوف أو جنازة لتعذر المتابعة، ويصح الاقتداء لمؤدّ بقاض ومفترض بمتنفل، وفي طويلة بقصيرة كظهر بصبح وبالعكس ولا يضر اختلاف نية الإمام والمأموم

Di antara syarat Iqtida’ (mengikuti imam) adalah kesamaan rangkaian tatacara shalat keduanya (imam dan makmum) dalam gerakan yang signifikan, maka tidak sah bila makmum mengikuti imam dengan adanya perbedaan seperti makmum melakukan shalat fardlu sementara imam shalat gerhana atau shalat jenazah karena udzur mengikuti secara lengkap,  tapi dibenarkan iqtida untuk jenis shalat ada’ dan qadha’, shalat fardlu dan nafilah, dan jenis shalat yang panjang dengan shalat yang pendek seperti jika makmum niat Dzuhur dan imam niat subuh atau sebaliknya dan tidak bermasalah jika niat imam dan makmum berbeda dalam shalat[1].
          Maksudnya adalah, sangat diperbolehkan apabila dalam suatu kejadian ternyata seseorang menjadikan orang lain imam dalam shalatnya meskipun ternyata niat mereka berdua berbeda, sepanjang jenis tatacara shalatnya shalatnya adalah tatacara yang sama. Maka shalat gerhana sebagai contoh, yang tata caranya tidak sama dengan shalat lain pada umumnya jika dijadikan imam untuk yang shalat maghrib. Jadi jika imam niat shalat qashar, sementara makmum mengikutinya dengan mengira dia shalat ashar, maka sah masing-masing niat tiap orang tersebut.
Hal ini tentunya bukan semata-mata datang dari ijtihad para ulama saja, namun berlandaskan kepada hadist berikut:

أن معاذ بن جبل رضي الله عنه كان يصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عشاء الآخرة ثم يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة


Artinya: Muadz bin Jabal pernah shalat Isya berjamaah bersama Rasulullah lalu pulang ke kaumnya dan mengimami shalat Isya yang sama (HR Bukhari)
Dari segi pendalilannya , hadist di atas menunjukkan sahnya shalat orang yang mengerjakan shalat fardhu di belakang orang yang mengerjakan shalat sunnah. Karena Mu’adz bersama nabi SAW mengerjakan shalat wajib. Lantas ia kembali ke kaumnya untuk mengimami mereka dengan niatan shalat sunnah bagi Mu’adz, sedangkan kaumnya berniat shalat wajib.
Dari sini imam Nawawi juga memperkuat pendapatnya, dalam kitabnya Al Majmu beliau berkata:

تصح صلاة النفل خلف الفرض والفرض خلف النفل، وتصح صلاة فريضة خلف فريضة أخرى توافقها في العدد كظهر خلف عصر، وتصح فريضة خلف فريضة أقصر منها، وكل هذا جائز بلا خلاف عندنا


Sah shalat sunnah di belakang shalat wajib, dan sah shalat wajib di belakang shalat sunnah. Juga, sah shalat wajib di belakang shalat wajib lain yang sama dalam rakaatnya seperti shalat zhuhur di belakang shalat Ashar. Dan sah shalat wajib di belakang shalat wajib lain yang rakaatnya lebih pendek. Semua ini boleh tanpa perbedaan menurut kami (ulama madzhab Syafi'iyah)[2].
Kesimpulannya, untuk kasus makmum niat shalat Ashar dan Imam niat Qashar atau secara global, perbedaan niat antara imam dan makmum dalam shalat, maka sah niat dan shalat masing-masing sepanjang syarat sahnya juga terpenuhi.


[1] Lihat : Khatib Syirbini. Al Iqna’ fi Hilli alfadzi matan abi syuja’. 1/169
[2] Lihat: An Nawawi. Al Majmu Syarh Muhazzab. 4/168