Kamis, 13 Agustus 2020

Hukum Boleh Dan  Haramnya Bejana Emas Dan Perak Menurut Syariat Islam

 Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan pernah lepas dari bejana. Bejana untuk media air atau makanan dan yang lainnya senantiasa ada bersama setiap orang dengan beragam jenis, bentuk dan bahan pembuatannya. Ada bejana yang terbuat dari plastik, kramik, besi, aluminium, stainless, bahkan ada yang terbuat dari emas dan perak.

HUKUM BEJANA

Pada asalnya hukum bejana adalah halal dan mubah dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. [Al-Baqarah/2:29]

Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan kepada manusia semua yang ada di muka bumi ini. Allâh Azza wa Jalla tidak akan menganugerahkan kecuali yang mubah. Karena tidak ada anugerah dalam larangan. Sehingga semua yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan di atas bumi ini adalah halal untuk kita kecuali ada larangan dari Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya.

Oleh karena itu semua bejana baik dari besi, tembaga, kuningan dan lain-lainnya halal dan mubah digunakan kecuali yang Allâh Azza wa Jalla larang. Ada bejana yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla penggunaannya untuk makan dan minum yaitu bejana yang terbuat dari emas dan perak. Disebutkan dalam hadits Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهِمَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

Janganlah kamu minum dengan gelas (yang terbuat) dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan pada piring yang terbuat dari emas dan perak, karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi].

Hadits yang mulia ini menunjukkan larangan menggunakan bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum. Para Ulama sepakat dalam mengharamkan makan dan minum menggunakan bejana emas dan perak, berdasarkan hadits ini, sedangkan untuk selain makan dan minum masih diperselisihkan oleh para Ulama pengharamannya.

SEBAB PELARANGAN



Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah di atas menjelaskan sebab pelarangannya yaitu pada sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi]

Pengertiannya adalah orang kafir, orang yang menggunakan bejana emas dan perak di dunia; karena mereka tidak memiliki agama yang melarang hal tersebut, sehingga kalian wahai kaum Muslimin dilarang meniru mereka dan hal itu untuk kalian di akhirat sebagai balasan karena kalian tidak menggunakannya di dunia. Bejana emas dan perak tidak diberikan pada mereka di akhirat sebagai balasan atas kemaksiatan mereka di dunia.

Ada juga beberapa hadits lain yang menjelaskan hal ini, diantaranya:

  • Hadits al-Bara` bin ‘Azib yang diriwayatkan imam Muslim yang berbunyi:

أَمَرَنَا َرسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ، وَمِنْهَا: وَعَنِ الشُرْبِ فِيْ الفِضَّةِ، فَإِنَّهُ مَنْ شَرِبَ فِيْهَا فِيْ الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْ فِيْهَا فِي الآخِرَةِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami melakukan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara: diantaranya dilarang minum dengan menggunakan bejana perak, karena siapa yang minum darinya di dunia tidak akan minum darinya di akhirat.

  • Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan imam an-Nasâ’i dan al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa sanadnya kuat (Isnaduhu Qawi). Dalam hadits itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَرِبَ فِيْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ فِي ْالدُّنْيَا لَم ْيَشْرَبْ فِيْهِمَا فِي الآخِرَةِ، وَآنِيَةُ أَهْلِ الْجَنَّةِ الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ

 Barangsiapa minum dari bejana perak dan emas di Dunia maka tidak minum dari keduanya di akhirat dan bejana ahli syurga adalah emas dan perak

Dengan alasan ini, kaum Muslimin dilarang menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa yang benar bahwa sebab pelarangan adalah semua bentuk dan keadaan yang bertentangan dengan ubudiyah secara jelas yang didapatkan kalbu dengan menggunakannya. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebab larangannya adalah bejana tersebut buat orang kafir didunia; karena mereka tidak memiliki bagian dari ubudiyah yang menjadi sebab mendapatkan kenikmatan di akherat. Sehingga penggunaannya tidak pas bagi hamba-hamba Allâh didunia. Yang menggunakannya hanyalah orang yang keluar dari sikap ubudiyah dan ridha dengan dunia serta mendahulukannya dari akherat. [Zaad al-Ma’ad 4/351].

Apakah larangan menggunakan bejana emas dan perak khusus untuk makan dan minum saja atau bersifat umum.?

Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Mereka terbagi menajdi dua pendapat:

Pendapat Pertama: mengharamkan semua penggunaan bejana emas dan perak. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.

Dengan alasan keumuman hadits Hudzaifah di atas dan pemahaman tentang sebab larangan yang mencakup itu semua. Adapun tentang pembedaan antara lelaki dan wanita, maka itu hanya berlaku pada penggunaan perhiasan emas. Imam al-Qurthubi dalam al-Mufhim Syarhu Shahîh Muslim menyatakan, “Hadits ini menyatakan haramnya penggunaan bejana-bejana emas dan perak untuk makan dan minum dan termasuk untuk perkara yang semakna dengannya, misalnya, untuk wewangian, alat bercelak dan sejenisnya. Pengharaman ini adalah pendapat mayoritas Ulama salaf dan khalaf . [Lihat al-Mufhim Syarhu Shahîh Muslim, 5/345]

Disebutan kata makan dan minum dalam hadits ini secara khusus karena untuk itulah biasanya bejana itu digunakan, bukan untuk membatasi (mengkhususkan) pada kedua penggunaan ini saja. Jika penggunaannya untuk makan dan minum dilarang, padahal itu menjadi kebutuhan terbesar, maka penggunaannya untuk selain itu yang kebutuhannya dibawah kebutuhan makan dan minum lebih layak untuk dilarang.

Mereka menyatakan bahwa penyebutan lafazh makan dan minum dalam hadits ini adalah karena biasanya penggunaan bejana emas dan perak untuk itu, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). [An-Nisâ’/4:10]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allâh supaya kamu mendapat keberuntungan. [Ali Imrân/3:130].

Dalam ayat-ayat di atas yang dilarang adalah lebih umum dari sekedar memakannya. Demikian juga pada penggunaan emas dan perak.

Hal ini dikuatkan dengan sebab pelarangan menurut pendapat ini tidak terbatas hanya dalam makan dan minum saja bahkan lebih dari itu, sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

Karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi].

Orang kafir menikmati penggunaan emas dan perak untuk makan dan minum serta yang lainnya, sebagaimana juga kaum Mukminin di surga akan menggunakan bejana emas dan perak untuk makan dan minum serta yang lainnya, tidak terbatas pada makan dan minum saja.

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah, Syaikh Abdulaziz bin Bâz rahimahllah dan Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Basâm rahimahullah dalam Taudhîh al-Ahkâm.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Semua bejana mubah kecuali bejana emas dan perak dan campurannya. [Minhajus Sâlikîn, hlm 34]

Beliaupun menyatakan dalam kitab al-Qawâ’id wal Furuq (hlm. 155), “Penggunaan emas dan perak ada tiga keadaan:

  1. digunakan untuk bejana dan sejenisnya maka ini diharamkan untuk lelaki dan wanita
  2. digunakan untuk dipakai perhiasan maka ini halal bagi wanita tanpa lelaki.
  3. Penggunaan pada pakaian perang dan alat senjatanya maka ini diperbolehkan sampai untuk lelaki juga.”

Syaikh al-Bassâm rahimahullah menyatakan, “Larangan penggunaan bejana-bejan emas dan perak dalam makan dan minum umum mencakup semua penggunaannya dalam semua pemanfaatan kecuali ada dalil yang mengizinkannya. [at-Taudhîh, 1/116]

Pendapat Kedua: Larangan ini khusus untuk makan dan minum saja. Adapun penggunaan diluar keduanya seperti untuk tempat wewangian, celak, wudhu dan mandi serta yang lainnya maka itu diperbolehkan. Inilah pendapat sebagian Ulama diantaranya imam asy-Syaukâni rahimahullah, ash-Shan’âni rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah. Pendapat ini mengambil makna tekstual dari hadits. Mereka menyatakan bahwa dalam hadits itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang dari sesuatu yang tertentu dan khusus yaitu makan dan minum menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak. Ini menunjukkan bahwa penggunaan untuk selain makan dan minum itu diperbolehkan. Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan larangan bersifat umum tentu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan tidak mengkhususkan hal itu dengan makan dan minum.

Mereka berargumen juga dengan membawakan hadits dari Utsman bin Abdillah bin Muhib yang menyatakan:

أَرْسَلَنِي أَهْلِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَجَاءَتْ بِجُلْجُلٍ مِنْ فِضَّةٍ فِيهِ شَعَرٌ مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ إِذَا أَصَابَ الإِنْسَانَ عَيْنٌ أَوْ شَيْءٌ بَعَثَ إِلَيْهَا مِخْضَبَهُ، فَاطَّلَعْتُ فِي الجُلْجُلِ، فَرَأَيْتُ شَعَرَاتٍ حُمْرًا

Keluargaku mengirimku kepada Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa segelas air. Lalu Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma membawa bejana dari perak berisi rambut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila ada orang yang terkena penyakit ‘ain atau sejenisnya maka ia mengirim bejananya kepada Ummu Salamah Radhiyallah anhuma. Lalu aku lihat dalam sejenis lonceng dan aku dapati rambut-rambut berwarna merah. [HR. Al-Bukhâri]

Hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan bejana perak untuk selain makan dan minum. Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma sendiri adalah perawi hadits larangan ini sebagaimana yang ada dalam riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma berkata bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

Orang yang minum dengan bejana perak sesunggunya hanya memasukkan ke dalam perutnya neraka jahannam. [Muttafaqun ‘Alahi]

Imam asy-Syaukani rahimahullah menyatakan:

Analogi seluruh penggunaan bejana kepada makan dan minum adalah qiyas (analogi) dengan disertai perbedaan (sehingga tertolak), karena illah (sebab) larangan dari makan dan minum adalah tasyabbuh (meniru) ahli surga yang dikelilingi dengan bejana perak. Ini adalah alasan mu’tabar secara syariat, sebagaiman ada dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang memakai cincin dari emas maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenapa aku melihat engkau memakai perhiasan ahli surga?” Hadits ini dikeluarkan oleh tiga imam (Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasâ’i) dari hadits Buraidah Radhiyallahu anhu. [Nailul Authâr, 1/83]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Boleh menggunakan bejana emas dan perak pada selain makan dan minum; karena larangannya hanya pada makan dan minum. Seandainya seorang menggunakan bejana emas dan perak untuk menyimpan obat-obatan atau nyimpan dirham (uang) atau kebutuhan lainnya selain makan dan minum, maka tidak mengapa. Hal itu karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling fashih, paling ikhlas dalam nasehat dan paling pandai (berilmu). Seandainya penggunaan emas dan perak pada selain makan dan minum dilarang tentu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya dengan jelas dan gamblang sehingga tidak menyisakan permasalahan. Apalagi pernyataan Hudzaifah Radhiyallahu anhu :

إِنِّي أُخْبِرُكُمْ أَنِّي قَدْ أَمَرْتُهُ أَنْ لَا يَسْقِيَنِي فِيهِ

Sesungguhnya aku beritahukan kepada kalian bahwa aku perintahkan untuknya agar tidak memberiku minum pada bejana tersebut.

Ini menunjukkan bahwa Hudzaifah Radhiyallahu anhu memiliki bejana tersebut namun tidak menggunakannya untuk makan dan minum. Ini sudah jelas. Kita tidak sepatutnya apabila pembuat syariat menyampaikan sesuatu secara khusus lalu kita jadikan memiliki pengertian umum. [Fathul Jalâl, 1/118].

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Yang benar adalah tidak haram kecuali pada makan dan minum.” [Fathul Jalâl, 1/120]

TARJIH

Dari keterangan diatas nampaknya yang rajih adalah pendapat kedua, karena dalil mereka kuat dalam masalah ini.

APAKAH DIPERBOLEHKAN MEMILIKI BEJANA EMAS DAN PERAK TANPA MENGGUNAKANNYA?

Terjadi perbedaan pendapat para Ulama dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pendapat Pertama : Melarang. Ini adalah pendapat madzhab Mâlik (Lihat al-Istidzkâr 26/270), Ahmad (Lihat Mathâlib Ulin-Nuhâ, 1/55) dan mayoritas Ulama Syâfi’iyah (Lihat al-Majmû 1/308) serta mayoritas Ulama.

Mereka beralasan, semua yang tidak boleh digunakan maka tidak boleh dimiliki, seperti alat-alat musik dan khamr (miras) dan selainnya. Juga karena memilikinya menjadi sarana untuk menggunakannya dan hukum memiliki sarana sama dengan hukum tujuan. Juga illah (sebab) hukum yang ada dalam pemakaian sesuatu sudah ada ketika sesuatu itu sudah ada dalam kepemilikan, bahkan lebih berat lagi; karena memiliki bejana tanpa menggunakannya sama sekali adalah membuang-buang harta.

Pendapat Kedua: Memperbolehkan kepemilikian bejana emas dan perak. Ini adalah pendapat Abu Hanifah (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 6/342), salah satu pendapat dalam madzhab Mâlikiyah (Lihat Hasyiyah ash-Shâwi ‘ala asy-Syarhul Shaghîr, 1/61) dan salah satu pendapat dari imam Syâfi’i (Lihat al-Majmû 1/308) dan satu riwayat dari Ahmad [Lihat al-Furû 1/97].

Mereka beralasan karena nash syariat hanya melarang penggunaannya dan tidak melarang kepemilikannya.

Inilah pendapat yang rajih insya Allâh Karena kuatnya dalil pengkhususan larangan hanya pada makan dan minum saja.

Selasa, 11 Agustus 2020

Bagaimana Maksud Air Yang Bercampur Najis


Ada dua pendapat sehubungan dengan air yang bercampur dengan najis ini.


1. Pendapat yang mengatakan bahwa : air menjadi najis karena tercampuri najis jika air itu sedikit, walaupun tidak merubah bau, rasa, atau warna air tersebut. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.


Masalah jumlah air yang sedikit tersebut, berapa batasannya..?! ada dua pendapat juga mengenai batasan jumlah air tersebut.


Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.


Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah. Ini sesuai hadits :


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)


Dalam riwayat lain disebutkan,


إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah” dan Ad Darimi)

Hadits tersebut memang ada yang memandang hadits mudhthorib (simpang siur/kacau) dari sisi sanad (perawi) maupun matan (materi). Tetapi ada pula yang mengatakan shahih. Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.


2. Pendapat yang mengatakan bahwa : jika air tidak merubah bau, rasa, atau warnanya, maka air tersebut tidak najis (suci).


Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakhai, Malik dan lain-lain.


Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi :


جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ

“Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” (HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)


Dari hadits di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa air yang sedikit tetapi bisa menghilangkan bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut bisa mensucikan.


Atau hadits :


وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ

Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.” (Baihaqi dalam Sunan Kubro (1/260) Daruqutni dalam Sunannya (1/28-29))


وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ

Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.


Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah.


Dalil-dalil tersebut menerangkan yang menjadikannya najis adalah jika air telah berubah bau, rasa atau warnanya oleh najis. jika tidak merubahnya maka air tersebut tetap suci.

Senin, 10 Agustus 2020

Bolehkah Bersuci Dengan Air Yang Bercampur Dengan Barang Yang Suci

Hukumnya suci dan bisa digunakan untuk bersuci, berdasarkan dalil :


عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ تُوُفِّيَتْ اِبْنَتُهُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِيْ الآخِِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ

Dari Ummu ‘Athiyyah Al-‘Anshoriyyah berkata: Rosululloh pernah masuk pada kami ketika putrinya meninggal dunia seraya bersabda: Bersihkanlah tiga kali atau lima kali atau lebih bila kalian memandang perlu dengan air dan daun bidara. Dan campurlah basuhan terakhir dengan kafur (minyak wangi). (HR. Bukhori no.1258 dan Muslim no.939).


عَنْ أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اغْتَسَلَ هُوَ وَمَيْمُوْنَةُ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِيْ قَصْعَةٍ فِيْهَا أَثَرُ الْعَجِيْنِ

Dari Ummu Hani’ berkata: “Saya melihat rasululloh pernah mandi bersama Maimunah dari satu bejana yang tercampur tepung. (HR. Ibnu Khuzaimah (240), Nasa’i (240), Ibnu Majah (378) Ibnu Hibban (227-Mawarid) dan Ahmad (6/342)


Kamis, 06 Agustus 2020

Apa Itu Air Mutlak Menurut Syar`i


 

Adalah air yang suci, tidak tercampur apapun di dalamnya, sehingga bisa digunakan untuk mensucikan. Seluruh ulama sepakat, bahwa air mutlak bisa digunakan untuk bersuci. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Apa saja yang disebut air mutlak ini..?


a. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Taala:


وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.(Al-Anfal: 11)


Dan firman-Nya:


وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Dan Kami turunkan dan langit air yang suci lagi mensucikan. (Al-Furqan:48)


Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah katanya:


كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول:

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah membaca takbir di dalam sholat diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka saya tanyakan: Demi kedua orangtuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah? Rasulullah pun menjawab:


للَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ

Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau inenjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dan kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dan kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun. (HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 1353)


b. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah katanya:


سأل رجل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إنا نركب البحر وتحمل معنا القليل من الماء أفنتوضأ بماء البحر فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم

Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhuk, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah. kami berwudhuk dengan air laut? Berkatalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :


هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Laut itu airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya halal dimakan. (Diriwayatkan Malik dalam Al-Muwatho’ (1/22) Syafi’i dalam Al-Umm (1/16) Ahmad (2/237,361, 392) Abu Daud (83) Tirmidzi (69) Nasa’i (59) Ibnu Majah (386) Darimi (735) Ibnu Huzaimah (111) Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo’ (43) Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (505))


Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu shahih.


c. Air telaga, sumur dan sejenisnya karena apa yang diriwayatkan dan Ali : Artinya:


إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِسِجِلٍّ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta seember penuh dan air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudhuk. (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/76))


Atau hadits :

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةٍ وَهِيَ بِئْرُ يُطْرَحُ فِيْهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلاَبِ وَالنَّتْنُ

Dari Abu Said Al-Khudry berkata: Rosululloh pernah ditanya: Bolehkan kita bewudhu dari air Budho’ah yaitu sumur yang padanya terdapat kain darah haidh, kotoran dan daging anjing?

فَقَالَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Maka bersabdalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : Air itu suci lagi mensucikan, tak satu pun yang akan menajisinya. (Ahmad dalam Musnadnya (3/15, 31, 86) Abu Daud (96) Tirmidzi (66) Nasa’i (324) Daruqutni (1/30-32)).


Hadits tersebut disebut hadits Bi’ru Bidho’ah (Telaga Bidho’ah).


d. Air yang berobah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah Taala:


فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); (Al-Maidah: 6)

Macam-macam Jenis Air Dalam Islam


Pada artikel yang saya tulis di bawah ini akan membahas Bab Air, sehubungan air adalah alat untuk melakukan Thoharoh (bersuci) di dalam Islam. Air jenis apa saja yang bisa digunakan untuk bersuci, dan air jenis apa yg tidak bisa digunakan untuk bersuci.


Ada perbedaan pendapat di dalamnya, oleh karena itu akan saya kupas semua perbedaan pendapat yang ada.


Tujuannya adalah agar kita bisa saling memahami dan memaklumi adanya perbedaan pendapat tersebut, yang pada akhirnya bisa tetap menjaga ukhwah antar sesame muslim dan mebuang segala bentuk sinisme serta permusuhan yang bisa mengakibatkan hilangnya rasa persaudaraan kita.


Keep ukhuwah, kick permusuhan antar sesama muslim..


Macam-macam air :

I. Air Mutlak.


Adalah air yang suci, tidak tercampur apapun di dalamnya, sehingga bisa digunakan untuk mensucikan. Seluruh ulama sepakat, bahwa air mutlak bisa digunakan untuk bersuci. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Apa saja yang disebut air mutlak ini..?


a. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Taala:


وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.(Al-Anfal: 11)


Dan firman-Nya:


وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Dan Kami turunkan dan langit air yang suci lagi mensucikan. (Al-Furqan:48)


Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah katanya:


كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول:

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah membaca takbir di dalam sholat diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka saya tanyakan: Demi kedua orangtuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah? Rasulullah pun menjawab:


للَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ

Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau inenjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dan kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dan kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun. (HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 1353)


b. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah katanya:


سأل رجل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إنا نركب البحر وتحمل معنا القليل من الماء أفنتوضأ بماء البحر فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم

Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhuk, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah. kami berwudhuk dengan air laut? Berkatalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :


هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Laut itu airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya halal dimakan. (Diriwayatkan Malik dalam Al-Muwatho’ (1/22) Syafi’i dalam Al-Umm (1/16) Ahmad (2/237,361, 392) Abu Daud (83) Tirmidzi (69) Nasa’i (59) Ibnu Majah (386) Darimi (735) Ibnu Huzaimah (111) Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo’ (43) Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (505))


Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu shahih.


c. Air telaga, sumur dan sejenisnya karena apa yang diriwayatkan dan Ali : Artinya:


إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِسِجِلٍّ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta seember penuh dan air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudhuk. (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/76))


Atau hadits :

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةٍ وَهِيَ بِئْرُ يُطْرَحُ فِيْهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلاَبِ وَالنَّتْنُ

Dari Abu Said Al-Khudry berkata: Rosululloh pernah ditanya: Bolehkan kita bewudhu dari air Budho’ah yaitu sumur yang padanya terdapat kain darah haidh, kotoran dan daging anjing?

فَقَالَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Maka bersabdalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : Air itu suci lagi mensucikan, tak satu pun yang akan menajisinya. (Ahmad dalam Musnadnya (3/15, 31, 86) Abu Daud (96) Tirmidzi (66) Nasa’i (324) Daruqutni (1/30-32)).


Hadits tersebut disebut hadits Bi’ru Bidho’ah (Telaga Bidho’ah).


d. Air yang berobah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah Taala:


فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); (Al-Maidah: 6)

II. Air Musta’mal


Air musta’mal adalah air yang sudah dipakai/digunakan. Perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama terjadi saat menentukan apakah air musta’mal itu suci dan mensucikan ataukah suci tetapi tidak mensucikan (muthohhir).


Dan perbedaan ini terjadi dikarenakan sudut pandang yang berbeda mengenai dalil yang ada, dan dalil tersebut juga sama2 shahih. Jadi, tidak perlu diperdebatkan dan diperuncing masalah perbedaan yang ada, yang penting sekarang adalah, menyikapi perbedaan yang ada dengan sikap yang arif, seperti para Imam Madzhab yg muktabar terdahulu menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka.


Perbedaan pendapat (khilafiyah) yang ada mengenai “Air Musta’mal” adalah sebagai berikut :


a. Pendapat Yang Mengatakan Air Musta’mal adalah suci Tetapi Tidak Mensucikan.


Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا

Dari seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita (istri) mandi dengan air bekas mandi laki-laki (suami), atau laki-laki (suami) mandi dengan air bekas mandi wanita (istri), dan hendaknya mereka berdua menciduk air bersama-sama.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa-i, dan sanad-sanadnya shahih)


Dalil di atas dengan jelas menggambarkan bahwa air bekas digunakan dilarang untuk digunakan bersuci.


لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ

“Janganlah seseorang dari kalian mandi di air yang diam (tidak mengalir), sedang ia dalam keadaan junub.”(HR. Muslim no. 283).


Ketika orang2 menanyakan : “Wahai Abu Hurairoh, lantas bagaimana ia harus berbuat,”. Beliau menjawab : “Dengan menciduk”.


Dari hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa mandi mencebur dalam air dapat menghilangkan sifat mensucikannya air itu sendiri.


b. Pendapat Yang Mengatakan Air Musta’mal adalah Suci dan Mensucikan.


Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah radiyallahu ‘anha. (HR. Muslim no. 323).


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا – أَوْ يَغْتَسِلَ – فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى كُنْتُ جُنُبًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الْمَاءَ لاَ يَجْنُبُ ».

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi di satu wadah besar. Lalu datang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengambil air dari sisa mandi istrinya, atau beliau berkeinginan untuk mandi. Maka salah satu istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tadi junub (dan itu sisa mandiku, pen). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: Sesungguhnya air itu tidak terpengaruh oleh junub.” (HR. Abu Daud no. 68, Tirmidzi no. 65, dan Ibnu Majah no. 370)


كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا

“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.” (HR. Bukhari no. 193)


Hadits-hadits tersebut menerangkan tentang bolehnya menggunakan air musta’mal untuk bersuci. Bagaimana hubungannya dengan hadits larangan mandi di air yang tidak mengalir dan hadits larangan mandi air bekas mandi sebelumnya..?!


Untuk melakukan kompromi atas hadits-hadits tersebut di atas, maka ulama yang mendukung pendapat air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci mengatakan bahwa “larangan” pada hadits yg berbicara tentang larangan mandi menggunakan air bekas mandi di atas adalah larangan tanzih (makruh), tidak sampai hukum “haram”. Karena hadits-hadits di atas mengenai larangan dan kebolehannya untuk bersuci sama-sama shahih, maka harus dikompromikan.


Berarti mandi dengan air bekas mandi sebaiknya tidak dilakukan jika masih bisa ditemukan air yang jauh lebih bersih. Tetapi, jika kondisi tidak memungkinkan, maka air bekas boleh digunakan untuk bersuci dan bisa mensucikan. Menurut ilmu kedokteran/kesehatan pun hal ini dilarang.


Selain itu larangan tersebut juga mengandung hikmah di dalamnya, yaitu kebersihan lebih diutamakan dalam melakukan thoharoh (bersuci).


Hadits-hadits lain yang dianggap mendukung pendapat “air musta’mal” bisa digunakan untuk bersuci” adalah sebagai berikut :


أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”( HR. Abu Daud no. 130, hadits hasan, yang menerangkan tentang cara wudhu’ Rasulullah)


Abu Juhaifah menceritakan:

وَرَأَيْتُ بِلَالًا أَخْرَجَ وَضُوءًا فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُونَ ذَلِكَ الْوَضُوءَ فَمَنْ أَصَابَ مِنْهُ شَيْئًا تَمَسَّحَ بِهِ وَمَنْ لَمْ يُصِبْ مِنْهُ أَخَذَ مِنْ بَلَلِ يَدِ صَاحِبِهِ

“Aku melihat Bilal mengeluarkan air wudhu’, lalu aku melihat orang-orang bersegera mendatangi air wudhu’ tersebut. Maka siapa yang mendapat sedikit darinya, ia pun berwudhu’ dengannya, dan sesiapa yang tidak mendapatnya maka mereka mengambil air tersebut dari basahan tangan sahabatnya yang lain.” (Hadis Riwayat Muslim no. 778)


Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap (anggota wudhu).” (HR. Bukhari no. 187)


Imam Ibnu al-Mundzir rahimahullah ulama dari madzhab Asy-Syafi’i menyatakan:

وروى عن علي وابن عمر وأبي امامه وعطاء والحسن ومكحول والنخعي انهم قالوا فيمن نسى مسح رأسه فوجد في لحيته بللا يكفيه مسحه بذلك البلل: قال ابن المنذر وهذا يدل على أنهم يرون المستعمل مطهرا قال وبه أقول

Diriwayatkan daripada ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, ‘Atha’, al-Hasan, Makhul, dan an-Nakha’i, bahawasannya mereka berkata:

“Sesiapa yang lupa membasuh kepalanya (ketika berwudhu’) kemudian ia mendapati ada air yang membasahi janggutnya, maka cukuplah ia membasuh kepalanya dengan air tersebut.” Beliau (Ibnu al-Mundzir) berkata lagi:

“Ini menunjukkan bahwa mereka menetapkan air musta’mal itu adalah menyucikan. Dan dengan pendapat inilah aku berpegang.” (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 1/153)


Sebagai tambahan tentang air musta’mal bisa disimak dari hadits tentang adab-adab wudhu yang diajarkan Utsman bin Affan, dari Humran maula Ustman bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu:


عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي اللهُ عنهما : أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ , فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إنَائِهِ , فَغَسَلَهُمَا ثَلاثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ , ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاثاً , وَيَدَيْهِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاثًا , ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ , ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاثًا , ثُمَّ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ، وَقَالَ : مَنْ تَوَضّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا , ثُم صَلَّى رَكْعَتَيْنِ , لا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Lalu dia menuangkan air dari bejana ke kedua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia (Utsman) berkata, “Saya melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- berwudhu seperti wudhu yang saya lakukan ini.” (Bukhori no.159,Muslim no.423).


Menurut hadits di atas, cara wudhu Rasulullah adalah memasukkan tangan ke dalam bejana, yang menurut keterangan isi bejana tersebut 1 mud saja, kemungkinan besar air bekas wudhu beliau masuk ke dalam bejana tersebut mengikuti tangan beliau yang masuk lagi ke dalam bejana. Bukan dengan cara air dialirkan, tetapi tangan beliau masuk lagi ke dalam bejana.


Karena saat memasukkan tangan itu air bekas wudhu bisa lagi masuk ke dalam bejana, maka air dalam bejana tersebut bisa disebut air musta’mal. Ternyata air tersebut bisa digunakan untuk berwudhu.

III. Air Yang Bercampur Dengan Barang Yang Suci


Hukumnya suci dan bisa digunakan untuk bersuci, berdasarkan dalil :


عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ تُوُفِّيَتْ اِبْنَتُهُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِيْ الآخِِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ

Dari Ummu ‘Athiyyah Al-‘Anshoriyyah berkata: Rosululloh pernah masuk pada kami ketika putrinya meninggal dunia seraya bersabda: Bersihkanlah tiga kali atau lima kali atau lebih bila kalian memandang perlu dengan air dan daun bidara. Dan campurlah basuhan terakhir dengan kafur (minyak wangi). (HR. Bukhori no.1258 dan Muslim no.939).


عَنْ أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اغْتَسَلَ هُوَ وَمَيْمُوْنَةُ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِيْ قَصْعَةٍ فِيْهَا أَثَرُ الْعَجِيْنِ

Dari Ummu Hani’ berkata: “Saya melihat rasululloh pernah mandi bersama Maimunah dari satu bejana yang tercampur tepung. (HR. Ibnu Khuzaimah (240), Nasa’i (240), Ibnu Majah (378) Ibnu Hibban (227-Mawarid) dan Ahmad (6/342)


 


IV. Air Yang Bercampur Najis


Ada dua pendapat sehubungan dengan air yang bercampur dengan najis ini.


1.Pendapat yang mengatakan bahwa : air menjadi najis karena tercampuri najis jika air itu sedikit, walaupun tidak merubah bau, rasa, atau warna air tersebut. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.


Masalah jumlah air yang sedikit tersebut, berapa batasannya..?! ada dua pendapat juga mengenai batasan jumlah air tersebut.


Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.


Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah. Ini sesuai hadits :


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)


Dalam riwayat lain disebutkan,


إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah” dan Ad Darimi)


Hadits tersebut memang ada yang memandang hadits mudhthorib (simpang siur/kacau) dari sisi sanad (perawi) maupun matan (materi). Tetapi ada pula yang mengatakan shahih. Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.


2. Pendapat yang mengatakan bahwa : jika air tidak merubah bau, rasa, atau warnanya, maka air tersebut tidak najis (suci).


Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakhai, Malik dan lain-lain.


Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi :


جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ

“Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” (HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)


Dari hadits di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa air yang sedikit tetapi bisa menghilangkan bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut bisa mensucikan.


Atau hadits :


وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ

Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.” (Baihaqi dalam Sunan Kubro (1/260) Daruqutni dalam Sunannya (1/28-29))


وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ

Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.


Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah.


Dalil-dalil tersebut menerangkan yang menjadikannya najis adalah jika air telah berubah bau, rasa atau warnanya oleh najis. jika tidak merubahnya maka air tersebut tetap suci.


________________________________________________________________

Setelah kita mengetahui jalan pengambilan pendapat (istinbath) para ulama di atas, maka kita akan mengetahui bahwa perbedaan yang ada itu muncul dari perbedaan sudut pandang para Imam Madzhab atas dalil yang ada. Selama dalil tersebut adalah shahih, maka tidak masalah perbedaan itu terjadi. Dan di atas telah disajikan bagaimana perbedaan yang ada ternyata masing-masing pihak juga sama-sama mengambil dari dalil yang shahih.


Jadi, jangan lagi kita mempermasalahkan perbedaan (khilafiyah) yang ada. Tetapi marilah kita mulai memperbaiki cara pandang kita terhadap perbedaan yang ada.


Dari cara pandang yang sinis dan tidak suka terhadap pendapat yang berbeda dengan kita, menjadi cara pandang yang bijaksana yang diliputi kasih sayang dan kecintaan terhadap sesama muslim.