Rabu, 07 Oktober 2020

Belum Qadha' Puasa Tapi Sudah Datang Ramadhan Berikutnya

 Ada beberapa keadaan dimana seorang muslim/muslimah diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, antara lain karena sakit, bepergian, hamil, atau menyusui. Jika tidak berpuasa di bulan ramadhan, mereka diwajibkan untuk mengganti puasanya di luar ramadhan (qadha'). Akan tetapi, bagaimana jika 'hutang' puasanya itu belum juga ia laksanakan hingga bertemu bulan Ramadhan berikutnya?


Misalnya wanita yang dalam keadaan hamil di bulan Ramadhan, kemudian ia tidak berpuasa karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk berpuasa. Menurut jumhur ulama ia berkewajiban untuk meng-qadha' puasanya di hari lain. Namun, begitu Ramadhan berlalu, ia mengalami rentetan peristiwa yang memberatkan untuk meng-qadha' puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan lalu. Misalnya sebab melahirkan, nifas, dan program menyusui yang berlangsung berbulan-bulan. Hingga 'hutang' puasanya belum sempat ia tunaikan hingga bertemu bulan Ramadhan berikutnya. Lalu, bagaimana ia harus menyikapi keadaan ini?


Kasus diatas juga dapat terjadi pada orang sakit yang meninggalkan kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Menurut jumhur ulama ia berkewajiban untuk meng-qadha' puasa di hari lain. Akan tetapi setelah bulan Ramadhan berlalu, ia belum juga meng-qadha' puasanya sampai Ramadhan berikutnya tiba. Baik karena alasan lupa, lalai, atau sebab sakit yang tak kunjung sembuh. Bagaimana hukumnya?


Menunda Qadha’ Karena Udzur Syar’i


Seluruh fuqaha (ulama ahli Fiqih) sepakat bahwa orang yang punya hutang qadha’ puasa wajib (puasa Ramadhan), kemudian dia menunda qadha’ nya itu sampai bertemu Ramadhan berikutnya karena ada udzur syar’i, maka ia tidak berdosa dan boleh meng-qadha’ nya sampai tiba masanya ia mampu membayar qadha’ itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadhan dilaluinya. (lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah jilid 32, hal. 70)


Udzur Syar’i disini maksudnya adalah sebab yang dibenarkan dalam syariat untuk menunda qadha’ puasa Ramadhan. Misalnya, bila kondisi wanita hamil dan menyusui masih tidak juga memungkinkannya untuk berpuasa. Karena jika berpuasa, khawatir akan terjadi hal-hal buruk terhadap kesehatan diri dan bayi yang dikandung /disusuinya.


Misalnya, apabila ada wanita hamil di Ramadhan tahun 2012, kemudian kondisi memaksanya untuk meninggalkan puasa selama beberapa hari karena khawatir akan terjadi hal buruk pada kesehatan badannya, maka menurut para ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali wanita ini wajib mengganti puasanya dengan qadha’ usai Ramadhan nanti.


Akan tetapi bila sehabis Ramadhan ternyata kondisi wanita ini masih sangat payah sebab masih hamil atau sedang menyusui, dan tidak memungkinkannya untuk meng-qadha’ hingga akhirnya bertemu Ramadhan berikutnya (2013), maka wanita ini tidak berdosa dan boleh melaksanakan qadha’ puasanya yang terdahulu itu pada waktu ia sanggup untuk melaksanakannya. Ia juga TIDAK berkewajiban untuk membayar fidyah.


Menunda Qadha’ Tanpa Ada Udzhur Syar’i


Akan tetapi, bagaimana jika ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, baik itu karena hamil/ menyusui/ sakit/  musafir, kemudian ia tidak mengqadha’nya karena lalai hingga bertemu Ramadhan berikutnya?


Jumhur Fuqaha’ (mayoritas ulama) dari madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan beberapa shahabat Nabi SAW berpendapat bahwa orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam meng-qadha’ puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum di qadha’nya itu, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’nya.


Misalnya, bila ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, kemudian usai Ramadhan ia punya kesempatan meng-qadha’ hutang-hutang puasanya itu, tapi ia lalai dan menundanya sampai akhirnya bertemu Ramadhan selanjutnya. Maka menurut mayoritas ulama, ia wajib membayar fidyah atas hutang puasanya yang belum di qadha’, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’ itu sendiri.


Artinya, kewajiban qadha’ tetap harus ia lakukan usai Ramadhan yang kedua tadi, plus ditambah bayar fidyah karena ia telah lalai melakukan qadha’ sampai bertemu Ramadhan yang kedua.


Jika ia punya hutang puasa 5 hari, dan ia belum mengqadha’nya seharipun hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, maka selain tetap harus membayar qadha’ ia juga wajib membayar fidyah selama 5 hari itu. Akan tetapi bila sebelum Ramadhan kedua ia sempat meng-qadha’ puasanya selama 3 hari, sedangkan sisanya yang 2 hari ia tunda sampai bertemu Ramadhan yang kedua, maka ia harus membayar fidyah selama 2 hari saja.


Fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud/hari yang diberikan pada fakir miskin berupa makanan pokok yang lazim di konsumsi di negeri itu, kalau di Indonesia biasanya beras. Ukuran beras 1 mud kurang lebih ¼ dari ukuran zakat fitrah, yakni sekitar 0,875 liter atau 0,625 kg.


Wallahu a'lam.


Aini Aryani, Lc.

Senin, 05 Oktober 2020

Wanita Hamil & Wanita Menyusui : Qadha Atau Fidyah?

 Meski tidak secara tekstual tertulis dalam ayat Al-Quran dan hadits nabawi, para ulama membolehkan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Tentu jika memang kondisinya tidak memungkinkan atau memberatkan, baik bagi dirinya atau bagi bayi yang dikandungnya atau disusuinya.


Dan yang menjadi pertanyaan, kewajiban apa yang harus dilaksanakan oleh wanita hamil dan/atau menyusui apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Sebab tidak nash yang menyebutkan bagaimana cara penggantiannya.


Maka wajar bila dalam hal ini beberapa ulama berbeda pendapat. Sebagian mewajibkan qadha saja tanpa fidyah, sebagian ada yang mewajibkan qadha' plus fidyah juga. Bahkan ada juga yang mewajibkan fidyah saja tanpa qadha'.


Rincian pendapat itu dan siapa yang mengatakannya sebagai berikut: 


1. Pendapat Pertama : Qadha' Saja Tanpa Fidyah


Pendapat yang pertama ini menyerupakan wanita hamil dan menyusui seperti orang yang sakit. Apabila mereka (wanita hamil dan menyusui) tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka harus membayar Qadha’ (tidak perlu fidyah).


Sebagaimana yang diwajibkan atas orang sakit apabila meninggalkan puasa di bulan Ramadhan. Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid dan juga Abu Tsaur mendukung pendapat ini.


Pendapat ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:


 


أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ


Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (al-Baqarah: 184) 


 


2. Pendapat Kedua : Qadha' dan Fidyah


Imam Syafi’i mengatakan bahwa wanita hamil dan/atau menyusu serupa dengan orang sakit dan juga orang yang terbebani dalam melakukan puasa.


Apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka mereka harus membayar Qadha’ dan Fidyah juga. Pendapat ini menggabungkan dua dalil di poin 1 dan 2 di atas.


Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menambahkan bahwa wanita hamil atau menyusui, apabila ia tidak berpuasa sebab mengkhawatirkan kondisi bayinya, yang wajib ia lakukan adalah qadha sekaligus fidyah. Akan tetapi bila ia mengkhawatirkan dirinya saja, atau mengkhawatirkan dirinya dan juga bayinya, maka yang harus ia lakukan adalah membayar qadha’ tanpa fidyah. (Fiqhus Sunnah I, hal. 508) 


3. Pendapat Ketiga : Hamil = Qadha' Saja , Menyusui = Qadha' + Fidyah


Ulama dari madzhab Imam Maliki membedakan antara wanita hamil dan wanita yang menyusui. Wanita hamil diserupakan dengan hukum orang sakit, yang apabila meninggalkan puasa di bulan Ramadhan, ia wajib mengganti dengan qadha’.


Sedangkan wanita menyusui diserupakan dengan orang sakit sekaligus orang yang terbebani melakukan puasa. Apabila ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka ia wajib membayar qadha’ dan juga fidyah.


Penutup


Demikianlah pendapat dari para ulama dari 4 madzhab, dimana pilihan bagi wanita yang hamil dan menyusui dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan adalah qadha' atau qadha' plus fidyah.


Adapun mengenai pilihan fidyah tanpa qadha' bersumber dari 'atsar' yang konon berasal dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Beliau berdua menyerupakan wanita hamil dan/atau menyusui seperti orang yang tidak sanggup melaksanakan puasa, semisal orang lanjut usia. Jika mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha’ (Bidayatul Mujtahid I, hal. 63).


 


Pendapat ini mengambil dasar dalil firman Allah sebagai berikut:


وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ


Artinya: Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fid-yah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin. (al-Baqarah : 184)


Akan tetapi para ulama dari 4 madzhab tidak mengambil atsar ini sebagai landasan pengambilan hukum, sebab ada masalah dalam periwayatannya.


Maka, jika kita merujuk pada pendapat ulama fiqih dari 4 madzhab, kita akan menemukan 2 pilihan konsekuensi bagi wanita yang hamil dan/atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan :


1. Qadha' saja tanpa fidyah.


2. Qadha' dan Fidyah sekaligus.


Lepas dari perbedaan pendapat di atas, tentu membayar qadha’ sekaligus juga fidyah tentu akan menjadi sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath). Selain itu tentu akan menjadi kebaikan tersendiri bagi ibu dan anak, karena telah berbuat baik buat fakir miskin lewat fidyah.


 


 


Wallahu a’lam bishshawab.

Rabu, 19 Februari 2020

Hukum Qadha Shalat
by : Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA

Allah swt berfirman:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku” (QS. Thaha: 14)
Ada tiga pokok pembahasan pada ayat di atas:
[Pertama]
Ayat ini adalah penutup kisah tentang kerasulan nabi Musa as setelah sebelumnya Musa melarikan diri dari kejaran orang-orang yang akan membunuhnya hingga akhirnya sampai ke suatu negri yang bernama Madyan. Ibnu Katsir  dalam Qashash Al-Anbiya menuturkan[1], sembari duduk istirahat, Musa melihat ada dua orang perempuan yang sedang berusaha mengambil air, untuk minum ternaknya, namun terhalang karena mulut sumur tidak bisa diakses karena adanya batu besar yang menghalanginya.


Musa akhirnya membantu keduanya, mengangkat batu itu sendirian yang biasanya batu tersebut diangkat oleh sepuluh orang, dan setelah itu, tanpa bayak basa-basi Musa kembali duduk istirahat. Kejadian hari itu diceritakan kembali oleh kedua perempuan tadi dengan ayahnya yang itu tak lain adalah nabi Syuaib as[2]. Musa kemudian diminta untuk menemui ayah dari kedua peremuan tersebut untuk diberi upah atas budi baiknya. Namun nabi Musa memilih jalan lain, beliau dengan penuh kemuliaan akhirnya bersedia dirinya “disewa” untuk menjadi pengembala kambing milik nabi Syuaib, demi menjaga kehormatan dirinya dan perutnya.
Tawaran itu bermula dari ide yang dilontarkan oleh anak perempuan nabi Syuaib as, setelah sebelumnya mereka semua mendengar cerita Musa bahwa sesungguhnya keberadaan di negri Madyan itu karena lari dari kejaran Firaun, tanpa ada persiapan sama sekali, sehingga bekal pun tidak ada.
Salah satu dari kedua anak perempuan itu berkata:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(QS. Al-Qasash: 26)
Umar bin Khattab ra berkata, ini juga riwayat dari Ibnu Abbas ra, Syuraih, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin Ishaq, dan banyak lagi yang lainnya menceritakan bahwa ketika mendengar perkataan anaknya, nabi Syuaib as berkata: “Dari mana ananda mengetahui bahwa Musa adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya?” Lalu kemudian anaknya berkata: “Musa dengan sendirian berhasil mengangkat batu besar yang menutupi mulut sumur yang biasanya batu sebesar dan seberat itu diangkat oleh orang sepuluh, lalu ketika dalam perjalanan menuju ke rumah, awalnya saya yang berjalan didepan dan Musa mengikuti dari belakang, lalu Musa meminta agar beliau yang berjalan didepan dan saya dibelakang, jika beliau salah jalan cukup lempar saja batu kecil, tanpa saya harus berkata-kata”[3]
__________

Demikian kuat fisik yang digambarkan dengan mampu mengangkat batu besar sendirian, dan dapat dipercaya yang digambarkan dengan sikap yang sangat mulia, diawali dengan menjaga pandangan, dan menjaga pendengaran, yang bisa membuat jiwa terperosok kedalam dosa. Bahasa anak sekarang, kalau mata dan pendengaran saja bisa dijaga karena khawatir jiwa berdosa, apalagi hanya sebatas menjaga dan mengembala kambing, tidak mungkin rasanya Musa akan menipu mereka.
Akhirnya nabi Syuaib as menawarkan:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (QS. Al-Qasash: 27)
Musa mengiyakan:
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan" (QS. Al-Qasash: 28)
Dari semenjak saat itu hingga sepuluh tahun kedepan, menutut pendapat yang paling kuat, Musa bekerja dengan nabi Syuaib, menjadi pengembala kambing. “Para nabi dan Rasul itu jika berkata (berjanji) dia akan melakukannya/menetapinya”, demikian Imam Al-Bukhari meriwayatkan sabda Rasulullah saw.
[Kedua]
Setelah sepuluh tahun bekerja dengan nabi Syuaib as, dan menikah dengan salah satu anak perempun beliau yang umurnya paling muda, Musa meminta izin kepada nabi Syuaib as untuk kembali/pulang kampung ke Mesir, alasan sederhananya seperti yang diungkap oleh para ulama adalah kerinduan nabi Musa akan kampung halaman juga rindu dengan ibunya yang juga tidak diketahui apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di malam hari, malam jumat, musim dingin, bersama istrinya yang baru melahirkan, mereka tersesat jalan, ditengah kegelapan yang dingin itu, Musa melihat cahaya api dari kejauhan, Musa meminta istrinya untuk menetap sebentar, agar Musa bisa memastikan api yang beliua lihat, mudah-mudahan dari sana api bisa dibawa untuk memanaskan badan dan menerangi perjalanan.
Ternyata api tersebut berasal dari sebuah pohon, Musa kaget dan ta’jub melihat keindahan cahaya api yang berada dipohon tersebut, beliau mendekat, lalu tiba-tiba beliau mendengar suara:
إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci” (QS. Al-Qasash: 2)
Lalu kemudian dilanjutkan dengan dipilihnya Musa sebagai nabi dan rasul Allah swt:
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”(QS. Al-Qasash: 13-14)
Terkait dengan perintah melepas sandal/alas kaki bagi nabi Musa pada waktu itu, setidaknya ada lima pendapat, menurut Imam Al-Qurthubi:[4]
  1. Pada waktu nabi Musa diangkat menjadi rasul, beliau memakai pakaian; tutup kepala, baju (jubah), dan celana yang terbuat dari bulu domba, namun sandalnya terbuat dari kulit bangaki keledai, sehingga sandal itu dinilai najis, karena terbuat dari kulit hewan yang tidak disembelih, demikian pendapat Ka’ab, Ikrimah dan Qatadah.
  2. Ali bin Abi Thalib, juga Hasan dan Ibnu Juraij berependapat bahwa perintah itu dimaksudkan agar nabi Musa mendapat berkah dari tanah suci ditempat itu, sehingga kakinya langsung menempel dengan tanah tersebut.
  3. Ada juga yang berpendapat bahwa perintah itu dimaksudkan agar Musa lebih khsuyuk dan tawadu’ saat bermunajat kepada Allah swt, yang demikian juga sama halnya degan perilku generasi salaf (terdahulu) mereka juga melepas alas kaki saat melakukan  tawaf di ka’bah.
  4. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa melepas alas kaki itu dengan maksud sebagai penghormatan. Konon, Imam Malik, tidak menaikai kendaraan (onta) saat berada di Madinah sebagai perhormatan beliau terhadap tanah Madinah yang didalamnya banyak terdapat mayat orang-orang yang mulia. Inilah makna yang diperoleh dari perkataan Rasulullah saw kepada Basyir bin Khasashiyah ketika beliau berjalan diseputaran kuburan memakai sandal:
إِذَا كُنْتَ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَكَانِ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ
“Jika kamu, wahai Basyir, berada pada tempat semisal ini, maka lepaslah alas kakimu”
  1. Pendapat kelima ada yang mengungkap bahwa maksud melepas alas kaki itu sebagai isyarat agar nabi Musa bisa fokus menerima perintah Allah swt, dan semenara waktu “lupakan” sebentar istri dan anak ditinggal tadi.  
[Ketiga]
Dalam banyak refresensi fiqih kita akan menemukan bahwa ayat diatas (QS. Thaha: 14) pernah dibaca oleh nabi Muhammad saw dihadapan para sahabat dalam kaitannya dengan perhatian terhadap perkara shalat fardhu.
Lebih jelas, Imam Tirmidzi[5] dan Nasai[6] meriwayatkan sebuah cerita kepada kita semua, cerita Rasulullah saw “tertinggal” shalat pada waktunya, bukan karena males, bukan juga karena lesu, tapi karena kondisi peperangan yang sangat menyibukkan mereka dari menghadapi musuh-musuh Allah, yang pada waktu itu terjadi para perang khondaq. Bahkan tidak tanggung-tangung, hingga empat waktu shalat terlewatkan.
Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, dari Abdullah bin Masud, telah berkata Abdullah:
إِنَّ المُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ، حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ
”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah saw sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap.
فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan diteruskan iqamah, lalu Rasulullah saw mengerjakan shalat dzuhur, kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat ashar, kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat maghrib, dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.”
__________

Dan dalam kejadian yang lainnya, tepatnya pada perang Khaibar, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw dan para sahabat kesiangan, karena beratnya peperangan, sehingga mereka semua terlelap tidur dan sengatan matahari pada akhirnya yang membangunkan mereka.
Ssetelah berwudhu tentunya, Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk iqamah, lalu beliau bersama-sama melaksanakan shalat subuh berjamaah walaupun waktu shalat subuh sudah habis.
Akhir dari segala itu, akhirnya Rasulullah saw mengingatkan kita semua, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:[7]
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي}
 “Siapa saja diantara lupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia ingat, tidak ada tebusan selain dengan melaksanakan shalat tersebut”, kemudian Rasulullah saw membacakan potongan ayat Al-Quran yang berbunyi:
«وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لذِّكْري»
dirikanlah shalat untuk mengingatku” (QS. Thaha: 14)
Dalam riwayat lainnya, Imam Muslim meriwayatkan:[8]
إذا رقد أحدكم عن الصلاة، أو غفل عنها، فليصلها إذا ذكرها
“Jika diantara kalain ada yang tertidur dari melaksanakan shalat, atau lalai (lupa) darinya, maka hendaklah dia mengerjakan shalatnya ketika dia ingat”
Dalam khazah fiqih Islam kita mengenal bab meng-qadha/mengganti shalat yang tertinggal. Shalat jika dikerakan pada waktunya dia disebut dengan ada-an, jika dikerjakan bukan pada waktunya di dikenal dengan ist ilah qadha-an, jika shalat diulang dan dikerjakan pada waktunya maka dia disebut i'adatan.

Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meninggalkan shalat karena udzur syar’i; tertidur atau lupa, maka dia wajib meng-qodho/mengganti shalatnya ketika dia sudah bangun dari tidur, atau ketika dia sudah ingat kembali dari lupanya, berapun jumlah shalatnya.
Untuk kasus dimana seseorang “sengaja” meninggalkan shalat, bahkan bertahun-tahun, sehingga ribuan kali shalat dia tinggalkan, disini para ulama juga sepakat bahwa dia berdosa sejumlah shalat yang dia tinggalkan, namun perkara apakah dia “wajib” menggantinya atau tidak, maka disinilah letak perbedaan diatara para ulama.
Kalau mau jujur apa adanya dengan apa yang sudah dibahas oleh para ulama, maka mayoritas ulama menilai bahwa kewajiban mengganti shalat itu berlaku untuk siapa saja dan untuk alasan apapun, baik alasannya lupa/tertidur, atau karena alasan sengaja meninggalkannya. Baik jumlah yang ditnggalkan sedikit maupun banyak.
Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Hanafi menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut:
أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة
Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit.[9]
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama mazhab Maliki menuliskan di dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :
ومن نسي صلاة مكتوبة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فذلك وقتها
Orang yang lupa mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan shalat begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia.[10]
Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'i menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
ومن وجبت عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها
Orang yang wajib mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka wajiblah atasnya untuk mengqadhanya.[11]
Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Hanbali menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[12]
Memang ada semisal Imam Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri, juga Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah yang berpendapat bahwa bagi mereka yang “sengaja” meniggalkan shalat tidak wajb menggantinya, namun baginya cukup bertaubat dengan sebenar-benar taubat.[13]
Namun jika ingin lebih aman, tentunya kedua pendapat ini kita ambil dan kita amalkan:
Mula-mula mari bertaubat kepada Allah saw atas dosa besar meninggalkan shalat dengan sengaja yang mungkin selama ini kita lakukan, banyak beristighfar, menyesal dan berusaha untuk tidak meninggalkan shalat lagi apapun kondisinya, lalu kemudian kita cicil dengan cara perlahan sejumlah shalat yang kita tinggalkan, berapapun jumlahnya, semampunya, hingga kita merasa yakin bahwa semua sudah terbayarkan,  jikapun maut datang sebelum semunya lunas, setidaknya kita sudah  
Berat memang, tapi begitulah kehidupan didunia; penuh dengan beban. Hanya di surga tempat dimana kita bersenang-senang tanpa ada beban dan tanggung jawab lagi.
Wallahu A'lam Bisshawab
---------------------------------------
Referansi:
[1] Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 241
[2] Masih menurut Ibnu Katsir, memang terjadi perbedaan pendapat perihal siapa ayah dari kedua perempuan yang ada pada ayat diatas, akan tetapi pendapat terbanyak dan termasyhur menyebutkan bahwa dia adalah nabi Syuaib as, demikian pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan Malik bin Anas. (Lihat Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 242.
[3] Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya, hal. 243
[4] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid 11, hal. 172-
[5] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, jilid 1, hal. 337
[6] An-Nasai, as-Sunan as-Sughra Li an-Nasai, jilid 2, hal. 17
[7] Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid 1, hal. 122
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, hal. 477
[9] Ibnu Najim, Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 2, hal. 86
[10] Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1, hal. 223
[11] As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, hal. 106
[12] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hal. 439
[13] Lihat: Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jilid 2, hal. 10, Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah, jilid 1, hal. 404

Selasa, 06 Agustus 2019

Wanita Haid Wajib Qadha Shalat, Benarkah?

Wanita haid harus qadha’ shalat? Pernyataan itu bisa keliru, bisa benar. Ada beberapa model qadha’ shalat bagi wanita haid.

Haid Tidak Wajib Qadha’ Shalat
Wanita haid itu tidak boleh shalat. Hal itu didasari dari hadits Nabi:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي» صحيح البخاري (1/ 73)
Dari Aisyah r.a berkata, Nabi bersabda: Jika datang haid, maka tinggalkanlah shalat. Jika haidnya selesai, maka mandilah, bersihkan darahnya lalu shalatlah. (HR. Bukhari).
Secara mendasar, wanita haid selain dilarang shalat, mereka juga tidak diperintahkan mengganti shalatnya nanti saat suci. Hal itu didasari dari hadits Aisyah:
عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ» صحيح مسلم (1/ 265)
Aisyah berkata: Kita ketika haid, diperintahkan mengganti puasa tapi tidak diperintahkan mengganti shalat. (HR. Muslim).
Maka, wanita yang haid itu tak diwajibkan mengganti shalat yang telah ditinggalkan saat mereka haid.
Hanya saja memang ada beberapa model wanita yang haid, tapi dia tetap diperintahkan mengganti beberapa shalat yang ditinggalkan saat haid. Shalat itu adalah sebagai berikut:
Haid Wajib Qadha: Sudah Masuk Waktu, Belum Shalat Keburu Haid
Model pertama adalah wanita yang sudah melewati masuknya waktu shalat. Dia tidak segera shalat di awal waktu, malah datang haid duluan.
Maka, ketika haid dia tidak boleh shalat. Tetapi karena sudah masuk waktu shalat dan dia dalam keadaan masih suci, belum haid maka dia sudah mendapatkan kewajiban shalat.
Apakah dia berdosa karena tidak segera shalat? Tidak berdosa. Karena waktu shalat masih ada, dia boleh shalat baik di awal waktu maupun di akhir waktu. Dan haid itu bukan sesuatu yang bisa diprediksi dengan presisi kapan keluar darahnya. Meskipun sebaiknya tetap shalat itu di awal waktu. Apalagi kalo sudah masuk waktu biasanya wanita datang haid.
Nanti jika dia sudah suci, maka shalat yang ditinggalkan itu wajib diganti. Sebagai contoh, ada wanita sudah jam 1 siang, tapi belum shalat. Ternyata datang haid. Maka nanti waktu suci, dia wajib qadha’ shalat dzuhur dahulu. Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan:
وَنَصَّ فِيمَا إذَا أَدْرَكَتْ مِنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ قَدْرَ الْإِمْكَانِ ثُمَّ حَاضَتْ أَنَّهُ يَلْزَمُهَا الْقَضَاءُ. (المجموع شرح المهذب، للنووي، 4/ 368)
Nash dari Imam Syafii, bahwa perempuan jika mendapati awal waktu shalat dan dia bisa shalat seharusnya, lantas haid. Maka nanti jika suci dia wajib qadha’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 4/ 368)
Haid Wajib Qadha’: Suci di Waktu Isya’, Wajib Qadha’ Maghrib. Suci di Waktu Ashar, Wajib Qadha’ Dzuhur
Model kedua adalah wanita yang suci dari haid di waktu isya’ atau waktu ashar. Maka jika sucinya di waktu isya’ sampai sebelum shubuh, setelah mandi wajib dia wajib shalat maghrib sebagai qadha’ dahulu lalu shalat isya’. Atau jika sucinya di waktu ashar, maka setelah mandi dia wajib shalat dzuhur dulu sebagai qadha’ lalu shalat ashar.
Selain suci di dua waktu tadi, maka tidak wajib shalat qadha’. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari Shahabat, Tabiin, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Dari kalangan Malikiyyah, Ubaidullah bin al-Husain al-Milikiy (w. 378 H) menyebutkan:
وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها... وإن طهرت في الليل وقد بقي عليها قبل طلوع الفجر قدر أربع ركعات صلت المغرب والعشاء لإدراكها آخر وقتها (التفريع في فقه الإمام مالك بن أنس، عبيد الله بن الحسين بن الحسن أبو القاسم ابن الجَلَّاب المالكي (المتوفى: 378هـ)، 1/ 111)
Jika wanita haid itu suci, saat menjelang masuk waktu maghrib dia bisa shalat 5 rakaat, maka wajib bagi dia shalat dzuhur dan ashar. Karena dia telah mendapatkan waktu kedua shalat tadi... Jika dia sucinya di waktu malam menjelang masuk waktu shubuh, dia bisa shalat 4 rakaat, maka dia wajib shalat maghrib dan isya’. (Ubaidullah bin Husain, at-Tafri’ fi Fiqh al-Imam Malik, hal. 1/111)
Dari kalangan Syafi’iyyah, Imam Nawawi (w. 676 H) menyebutkan:
وإن كان ذلك (الطهر) في وقت العصر أو في وقت العشاء، قال في الجديد: يلزمه الظهر بما يلزم به العصر ويلزم المغرب بما يلزم به العشاء. (المجموع شرح المهذب 3/ 64)
Jika sucinya di waktu ashar atau waktu isya, maka Imam Syafii dalam qaul jadidnya mewajibkan perempuan untuk qadha’ dzuhur lantas shalat ashar, atau qadha’ maghrib lalu shalat isya’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 3/ 64)
Dari kalangan Hanbaliyyah, Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) menyebutkan:
مَسْأَلَةٌ: قَالَ: (وَإِذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَبَلَغَ الصَّبِيُّ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، صَلَّوْا الظُّهْرَ فَالْعَصْرَ، وَإِنْ بَلَغَ الصَّبِيُّ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَطَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ، صَلَّوْا الْمَغْرِبَ وَعِشَاءَ الْآخِرَةِ) وَرُوِيَ هَذَا الْقَوْلُ فِي الْحَائِضِ تَطْهُرُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَطَاوُسٍ، وَمُجَاهِدٍ، وَالنَّخَعِيِّ، وَالزُّهْرِيِّ، وَرَبِيعَةَ، وَمَالِكٍ، وَاللَّيْثِ، وَالشَّافِعِيِّ، وَإِسْحَاقَ، وَأَبِي ثَوْرٍ. قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ، إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ قَالَ: لَا تَجِبُ إلَّا الصَّلَاةُ الَّتِي طَهُرَتْ فِي وَقْتِهَا وَحْدَهَا. وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الْأُولَى خَرَجَ فِي حَالِ عُذْرِهَا، فَلَمْ تَجِبْ كَمَا لَوْ لَمْ يُدْرِكْ مِنْ وَقْتِ الثَّانِيَةِ شَيْئًا. (المغني لابن قدامة، 1/ 287)
(Masalah) Jika wanita haid suci, orang kafir masuk Islam, anak kecil balig sebelum matahari terbenam, maka dia wajib qadha’ dzuhur lalu shalat ashar. Jika sebelum fajar terbit, maka dia qadha’ maghrib lalu shalat isya’.
Ini adalah pendapat dari Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, Thawus, Mujahid, an-Nakhai, az-Zuhri, Rabiah, Malik, al-Laits, Syafii, Ishaq, Abu Tsaur.
Imam Ahmad berkata: Semua tabiin berpendapat seperti ini, kecuali Hasan saja. Dia tidak mewajibkan kecuali shalat yang di waktunya saja. Ini adalah pendapat at-Tsauri dan ashab ar-ra’yi. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 1/ 287).
Dalilnya apa? Pertama, ini adalah fatwa dari hampir semua shahabat dan tabiin dan juga ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah. Kedua, shalat dzuhur dan ashar, serta maghrib dan isya’ itu sebenarnya bagi orang yang punya udzur bisa dianggap satu waktu, karena bisa dijamak. Maka jika suci di waktu kedua, shalat di waktu pertama juga wajib diqadha’. Itulah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Semoga bermanfaat. Waallahua’lam bisshawab.