Senin, 24 Agustus 2020

KH.Sirajuddin Abbas Sang Ulama Kharismatik Padang

 KH.Sirajuddin Abbas lahir di kampung Bengkawas, Kabupaten Agam, Bukit tinggi, Sumatra barat, pada tanggal 20 Mei 1905. Sebagai anak laki-laki sulung Syekh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladang lawas, seorang qadhi, ibu beliau bernama Ramalat binti Jai Bengkawas.Beliau dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat.


Pada mulanya beliau belajar Al quran pada ibu hingga berusia 13 tahun. Setelah itu beliau belajar kitab-kitab arab pada ayah beliau selama tiga tahun. Selama enam tahun berikutnya, beliau belajar kepada para ulama di Bukittinggi dan sekitarnya. Seperti syekh Husen Pekan Senayan Kabupaten Agam, Tuanku Imran limbukan Payakumbuh limapuluh kota, Syekh H.Qasem Simabur Batu Sangkar Tanah Datar, Syekh Muhammad Zein di Simabua, Batu Sangkar, Syekh H.Abdul Malik di Gobah, ladang Laweh.

Tahun 1927 beliau belajar di tanah suci. Disana beliau berguru kepada beberapa ulama di Masjidil haram seperti:
  1. Syekh Muhammad Said Yamani (mufti Mazhab Syafii) mempelajari ilmu fiqh dalam mazhab Syafii dari kitab Al Mahally.
  2. Syekh Husen Al Hanafi (mufti mazhab Hanafi) mempelajari ilmu hadis dari kitab Shahih Bukhary.
  3. Syekh Ali Al maliki (mufti mazhab maliki) mempelajari ilmu usul fiqh dari kitab Al furuq. 
  4. Syekh Umar hamdan, darinya beliau mempelajari kitab Al Muwatha` karangan Imam Malik.

KH.Sirajuddin AbbasBeliau tinggal disana sampai tahun 1933. Tahun 1930 beliau diangkat menjadi staf sekretariat pada konsultan Nedherland di Arab Saudi. Pengetahuan agamanya yang sangat luas dan penguasaannya terhadap bahasa arab yang fasih mengantarkannya kejenjang nasional dan internasional di ranah politik perjuangan bangsa Indonesia. Sekembali dari Makkah tahun 1933 beliau mengambil dan menerima macam-macam ilmu pengetahuan agama dari syekh Sulaiman Ar rasuli Cadung Bukit tinggi.

Selain itu beliau juga belajar bahasa inggris kepada seorang guru yang berasal dari Tapanuli yaitu Ali Basya. Tiga tahun pertama di kampung ia dikenal sebagai muballigh muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama senior yang bergabung dalam persatuan Tarbiyah Indonesia, organisasi keagamaan satu satunya yang ada di Bukitinggi. Ketika berlangsung kongres ketiga organisasi tersebut di Bukit tinggi tahun 1936 tak ayal lagi beliau pun terpilih sebagai ketua umum Tarbiyah.

Ternyata pilihan itu tidak salah, ditangan beliau Tarbiyah kian berkembang. Dan yang lebih penting mulai merambah bidang politik. Tahun 1940 Tarbiyah mulai mengajukan usul kepada pemerintah colonial agar Indonesia bisa berparlemen. Usul tersebut diajukan melalui komisi Visman yang dibuka pemerintah kolonial untuk menjaring suara-suara kalangan bawah.

KH.Sirajuddin Abbas
Syekh Sulaiman Ar rasuli
Sepak terjang beliau mulai didengar oleh Bung karno. Pada saat ia ditahan oleh pemerintah Kolonial di Bengkulu dan dipersiapkan untuk dibuang ke Australia (1942). Namun entah mengapa, kapal yang digunakan untuk membawa Bung Karno terbakar. Bung Karno memanfaatkan sistuasi tersebut untuk melarikan diri hingga sampai ke Muko-muko. Dari Muko-muko ia melarikan diri ke Bukit tinggi dengan menggunakan sepeda motor yang diberikan seorang penduduk yang simpati padanya. Di Bukit tinggi ia segera menemui KH.Sirajuddin Abbas. Tentu saja KH.Sirajuddin kaget, tidak menduga akan kedatangan tokoh yang namanya sedang meroket ditengah tengah masyarakat kala itu.

Bung Karno berpesan pada KH Sirajuddin Abbas agar Tarbiyah lebih berhati-hati karena Jepang akan menjajah Indonesia.” Jepang lebih berbahaya dari pada Belanda.” 12.000 personel Lasmi Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang dibacakan Bung Karno segera sampai ketelinga KH.Sirajuddin lewat radio bawah tanah. Segera saja ia menyebarkan berita tersebut lewat selebaran setensilan hingga ke Pekanbaru.” Indonesia sudah merdeka, kita sudah berdaulat. Mari kita berjuang mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan.” Tulisnya dalam selebaran itu.

Pada saat wakil presiden Mohd.Hatta mengeluarkan Maklumat No.X/1945 pada bulan November, yang isinya mendorong agar rakyat bergabung dalam partai politik dan dianjurkan membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi. Hal ini mendorong KH.Sirajuddin untuk membuat partai yang berbasis Tarbiyah. Maka ia sebagai ketua Tarbiyah segera meminta izin kepada para pendiri dan sesepuh untuk mewujudkan niat beliau tersebut. Gayung bersambut, mereka setuju. Dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokok yaitu pendidikan, dakwah, kegiatan social keagamaan dan keummatan.

Maka pada bulan Desember tahun 1945 ketika berlangsung kongres Tarbiyah keempat di Bungkit tinggi, diputuskan bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah membuat satu partai dengan nama Partai Islam Tarbiyah Islamiyah disingkat PI Perti dan mengangkat KH.Sirajuddin sebagai ketua umumnya. Sejak itulah kiprah beliau dibidang politik kian terbuka lebar. Badan Legislatif pun memberinya tempat. Mulai dari DPRD,DPR RIS, DPRS, dan DPR GR. Hal ini memaksa beliau hijrah ke Jakarta pada tahun 1950.

Di Bukit tinggi beliau meninggalkan Lasykar Muslimin dan Muslimat Indonesia (Lasmi) yang digagasnya pada tahun 1948 guna memobilisir kekutan rakyat Sumatra barat untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahkan peresmianya dilakukan oleh Muhd.Nasir, seorang tokoh nasional yang berasal dari Sumatra barat yang kala itu menjabat sebagai mentri penerangan. Maka pada ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk oleh Syafruddin Prawiranegara di Padang lantaran presiden dan wakil presiden telah ditangkap, Perti pun ikut mendukung dengan mengerahkan kekuatan Lasmi yang beranggotakan 12.000 personel, untuk mengamankan dan melindungi kegiatan PDRI yang harus mobile karena kejaran Belanda. Ketika Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk, maka beliau pun tercatat sebagai salah satu anggotanya.

Isu palestina
Tahun 1951 tersebar isu bahwa kaum Zionis yahudi mengusir raykyat Palestina dari negerinya. KH.Sirajuddin Abbas sebagi anggota mengangkat isu tersebut kepermukaan, karena sejauh itu pemerintah tidak mengeluarkan statemen atau komentar apapun. “Partai Islam Perti mendukung perjuangan rakyat palestina”. Orasinya di depan sidang parlemen. “rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia sebaiknya juga mendukung perjuangan rakyat palestina”. Esoknya, hal itu menjadi berita utama di Koran Koran ibukota.

Seminggu kemudian para ulama mendatangi beliau dan menyatakan simpatinya kepada Partai Islam Perti, sehingga partai yang belum lama hijrah keibukota ini menjadi dikenal oleh masyarakat luas. Sekian lama hidup di tanah Arab memberi wawasan tentang palestina dan perjuangan rakyatnya dari ancaman kaum yahudi. Maka begitu terbetik berita pengusiran penduduk palestina oleh kaum yahudi, beliau memanfaatkan moment tersebut untuk membuka mata bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat palestina. Sejak pidato itu ia mendapat simpati dari kalangan para ulama dan media selalu menyediakan halamannya untuk menampung berita tentang Palestina. Berkahnya, PI Perti berkembang pesat di pulau jawa. Sehingga pada pemilu tahun 1955 PI Perti menduduki tempat kedelapan dari seluruh partai yang ikut pemilu.

Sebelumnya, pada tahun 1954 KH.sirajuddin diangkat menjadi mentri kesejahteraan rakyat kabinet Ali sastroamijojo I. Beliaulah yang menyampaikan gagasan kepada presiden Soekarno untuk menggelar Organisasi setiakawan rakyat Asia Afrika (OSRA). Bung Karno yang ketika itu sedang bersemangat dengan ide-ide menjungkalkan imperialisme dan kolonialisme menyambut baik ide tersebut dan memberikan fasilitas. Sebagai pemakarsa beliau ditugasi untuk menghubungi dan mencari dukungan Negara-negara di Afrika. Pada kesempatan inilah beliau berkenalan dengan Anwar sadat yang pada saat itu menjabat sebagai ketua organisasi buruh Mesir. Maka pada bulan September tahun 1954 diadakanlah Konferensi OSRAA di Bandung dan terpilih sebagai ketua umum utusan dari Mesir.

Pada tahun 1958 beliau kembali meraih peluang emas. Kala itu, karena kehadiran Pemerintah revosional republic Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan oleh Ahmad Husen di Padang. Menyadari bahwa PRRI menempatkan dirinya bersebrangan dengan pemerintah maka beliaupun menegaskan kepada presiden bahwa PI perti tidak setuju dengan PRRI. Ketika Ahmad Yani ditunjuk untuk menumpas PRRI ia meminta nasehat Kh.Sirajuddin agar sesampainya di Padang supaya menemui Buya Sulaiman Ar Rasuli, ulama yang sangat dihormati masyarakat Sumatra barat. Berbekal saran dari ulama senior tersebut Ahmad Yani berhasil melaksanakan tugasnya.

Tahun 1959 tersiar berita bahwa belanda mengirim kapal induk karel Doorman keindonesia untuk membantu mempertahankan Irian barat. untuk bisa mencapai Indonesia dalam waktu singkat kapal itu harus melewati terusan suez di Mesir. Untuk mengantisipasi hal itu Presiden Sukarno mengutus KH Sirajuddin Abbas ke Mesir untuk membicarakan hal itu dengan presiden Gamal Abdul Naser agar melarang Belanda melewati terusan Suez. Setibanya di Mesir beliau langsung menemui kawan lamanya Anwar sadat yang menjadi pemimpin organisasi buruh. Namun Anwar Sadat tidak dapat memberikan jalan. Namun ia mempersilahkan KH Sirajuddin untuk membicarakannya dengan Presiden Gamal Abdul Naser, untuk menemui sang kepala Negara Annwar dapat mengusahakannya.

Namun ternyata presiden Gamal Abdul Naser juga tidak dapat memberikan solusi. Masalahnya,kata presiden, terusan Suez berada dalam zone internasional. Yang bisa melarang kapal asing untuyk melewati terusan tersebut hanyalah para buruh di Suez yang bermarkas di Port Said. Dengan nada pesimis, KH Sirajuddin mengutarakan hal tersebut kepada Anwar Sadat. Ternyata Anwar justru melihat celah yang sangat baik dengan ide presidennya itu. Ia mendukung saran tersebut dan ikut menbantu merealisasikannya.

Singkat ceritanya, KH.Sirajuddin dapat bertemu dengan pemimpin organisasi buruh pelabuhan dan terusan itu dan dapat menyampaikan tugas yang beliau emban. Dihadapan buruh Terusan Suez beliau berpidato meminta dukungan agar mereka melarang lewatnya kapal induk Kareel Doorman yang akan berlayar menuju Indonesia melalui terusan tersebut. ‘’Indonesia sedang berjuang mengembalikan Irian Barat dari tangan penjajah belanda “ kata KH.Sirajuddin dengan bahasa arab yang fasih. “apalagi Karel Doorman bisa sampai ke Indonesia dalam waktu singkat, perjuangan bangsa Indonesia menjadi berat. “Sebagai Negara yang bersahabat, apalagi Mesir merupakan Negara yang pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, bantuan yang diharapakan kali ini akan bermakna positif bagi perjuangan bangsa Indonesia”. Demikian orasi kiai asal Bukit Tinggi itu dengan semangat tinggi. Ternyata sambutan mereka sangat positif, maka Karel Doorman pun dilarang melewati terusan tersebut. Dengan adanya sikap kaum buruh terusan suez itu, Presiden Gamal Abdul Naser tanpa berpikir panjang lagi segera memberikan dukungan.

Tahun penuh fitnah.

Semakin tinggi satu pohon semakin kencang anginnya yang menerpanya. Ibarat itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisi KH.Sirajuddin Abbas pada sekitar tahun 1965. Ketika dewan revolusi yang memotori kudeta G 30 S, memperkenalkan diri melalui corong RRI, nama KH.Sirajuddin tercantum sebagai anggota. Padahal kala itu beliau sedang berobat dirumah sakit Soci, ditepi laut Hitam yang masuk dalam wilayah Uni Soviyet. Kehadiran beliau di negri tersebut adalah atas bantuan Anwar Sadat. Kala itu persahabatan Mesir dengan Uni Sovyet sedang erat-eratnya, begitu pula dengan Indonesia.

Alhasil beliaupun dicap sebagi PKI. Bantahan yang dikeluarkan oleh Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi) yang merupakan organisasi sayap mahasiswa PERTI, bahwa KH.Sirajuddin Abbas tidak tahu menahu tentang hal tersebut nyaris tidak berfaedah, karena tertelan oleh hiruk piruk Nasakom yang sedang dikibarkan oleh Bung Karno.
Fitnah berikutnya adalah adanya “Dokumen Cianjur” yang menyebutkan bahwa bila terjadi clash antara ABRI dengan PKI maka seluruh jajaran PERTI harus membantu PKI. Akibatnya KH.Sirajuddin diciduk dan ditahan di markas Kodam V Jaya selama 40 hari. Tidak hanya itu juga ditemukan seribu setel pakaian loreng dan uang sekian puluh juta rupiah dirumah Sofyan siraj (anak sulung KH.Sirajuddin) di Jln.Dempo, Matraman. Sama seperti yang ditemukan di rumah D.N Aidit, ketua umum PKI. Penemuan ini dianggap sebagai petunjuk adanya kerjasama antara KH.Sirajuddin dengan Aidit.

Meski kemudian dapat dibuktikan bahwa dokumen Cianjur itu palsu dan nama baik KH.Sirajuddin direhabilitasi oleh pemerintah yang ditandatangani oleh Amir Mahmud (Laksuda Jaya), kurang begitu berpengaruh, karena koran-koran tidak ada yang bersedia memuatnya. Tudingan miring itu melekat pada beliau hingga ketika buku beliau yang berjudul I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah terbit muncul komentar “ ini orang PKI kok menulis buku agama”. Dalam kasus Dokumen Cianjur, dua orang pengurus PERTI cabang Cianjur Zainuddin dan Yaqub juga kena getahnya. Kepada interrogator Laksusda setempat kedua bersikukuh bahwa dokumen itu palsu dan bersedia ditembak untuk mempertahankan pendiriannya. Mereka minta agar sebelum dieksekusi mereka diizinkan mengumandangkan azan dan tembakan itu tepat dilepaskan ketika sampai pada kalimat “Hayya `alal falah”. Namun ketika azan selesai mereka berdua merasakan suasana yang hening dan sunyi.

Beberapa detik kemudian ketika mereka memberanikan diri mereka membuka penutup mata, ternyata para penembak itu telah pingsan, SubhanALLAH Mereka kemudian melarikan diri kearah Cianjur dan ketika sampai dikantor PERTI, hal itu mereka utarakan kepada KH.Sirajuddin. “ Masya ALLAh, semoga Allah memberkahi kalian berdua”, Komentar KH.Sirajuddin. Tahun 1965 merupakan batas kiprah beliau memimpin PERI. Atas saran anak – anak muda PERTI, Buya Siraj, begitu beliau akrab dipanggil, lebih mencurahkan perhatian beliau dalam penulisan-penulisan buku agama. Anak-anak muda Perti yang merasa kuarang memahami soal Ahlussunnah waljamaah meminta beliau untu menulis sebuah buku yang biasa menjadi pegangan bagi mereka. KH. Sirajuddin Abbas yang kala itu sudah berumur 60 tahun memenuhi permintaan itu. Dua tahun kemudian terbitlah buku I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah dan sejarah Keagungan Mazhab Imam Syafii. Untuk modal menerbitkan buku tersebut beliau rela menjual rumahnya di Jln.Dempo, dan pindah ke Jln.Tebet Barat kecil. Ternyata buku tersebut laris manis. Departemen agama pun memesan untuk keperluan IAIN. Walau demikian sebagian besar justru beliau bagikan secara gratis. NU menjadikan buku itu senbagi pedoman.

Beberapa tahun kemudian terbitlah buku 40 masalah agama sebanyak 4 jilid besar. Untuk kali ini beliau pun rela menjual rumahnya untuk modal penerbitan buku tersebut. Terakhir beliau menempati rumah di Jln.Melati Utara (kini Tebet Barat). Buya Siraj wafat tanggal 23 ramadhan 1400 H atau 5 agustus 1980 setelah beberapa hari dirawat di RS Cipto Mangunkusumo lantaran serangan jantung.
Saat pemakaman tampak perhatian warga Tarbiyah begitu besar. Jasad beliau dimakamkan dipemakman Tanah Kusir Jakarta Selatan Hadir pula wakil presiden Adam Malik. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua anak Sofyan (almarhum) dan Fuadi. Selain sebagi kutua umum Tarbiyah beliau juga merupakan pendiri organisasi politi “Liga Muslim Indonesia” bersama sama KH.Wahid Hasyem (wakil dari NU), Abikusno Cokrosuyono (wakil dari PSII).

Karangan KH.Sirajuddin Abbas

  1. I`tiqad Ahlussunnah wal jamaah. Sebuah buku yang berisi tentang faham Ahlussunnah dan beberapa firqah-firqah lainnya.
  2. 40 Masalah Agama Sebuah buku yang terdiri dari empat jilid menjelaskan 40 macam masalah agama yang sedang berkembang dewasa itu. Dalam buku ini beliau juga menerangkan tentang gerakan modernisasi agama oleh orang-orang yang ingin memperbarui Islam dengan paham mereka. Beberapa tokoh yang beliau masukkan kedalam golongan ini antara lain Ibnu TaymiyahMuhammad AbduhMuhammad bin Abdul Wahab (pendiri wahaby), Mirza Ghulam AhmadMustafa kemal At Taruk dan juga presiden RI pertama Soekarno.
  3. Kumpulan soal-jawab keaagamaan (sebuah buku berisi jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan seputar agama)
  4. Thabaqatusy Syafi`iyah (Ulama Syafii dan kitabnya dari abad kea bad)
  5. kitab fiqh ringkas
  6. Sorotan atas terjemahan Al Quran oleh HB.Jassin
  7. Sirajur Munir (Fiqh 2 jilid)
  8. Bidayatul Balaghah (Bayan)
  9. Khulasah Tarikh Islam.
  10. Ilmul Insya` 1jilid.
  11. Sirajul bayan fi Fahrasatil Ayatil Al quran.
  12. Ilmun Nafs 1 jilid.
Tulisan beliau nomor 7-12 adalah karangan beliau dalam bahasa arab.
Ditulis oleh Mursyid A.Rahman Aly Langsa.
dikutip dari majalah Al kisah No.19/tahunVI/8-21 september 2008 dan sumber lainnya.


Sumber buku bacaan
  • Sirajuddin Abbas, K.H (2011). Ulama Syafi'i dan kitab-kitabnya dari abad ke abad. Jakarta, Indonesia: Pustaka Tarbiyah Baru. ISBN 978-979-26-4317-6.

Selasa, 18 Agustus 2020

Terjemahan Kitab Matan Taqrib Karya K.H. Sirajuddin Abbas



Judul

: Terjemahan Kitab Matan Taqrib

Penulis

K.H. Sirajuddin Abbas

Penerbit

Halaman

: 191

Harga

: Rp. 0,-

Kategori

: pdf

Ukuran

: 221 MB

Download

Google Drive | Zippyshare | AceFile | SafefileKu 


Note :

  1. Buku pdf ini diformat untuk nyaman dibaca pakai HP, meski tetap bisa dengan laptop, desktop atau tablet.
  2. Untuk nyamannya disarankan hp android diinstall sidebooks
  3. Buku ini waqaf dari pengarangnya. Doakan agar beliau-beliau selalu mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Amin.
  4. Silahkan share link ini disini biar Anda pun ikut kebagian pahala menyebarkan ilmu agama .


Salah satu ulama Ahlus sunnah wal jamaah Nusantara yang gigih mempertahankan aqidah Ahlus sunnah wal jamaah adalah K.H. Sirajuddin Abbas, seorang ulama asal Padang yang juga ahli dalam politik. 

Beliau banyak meninggalkan karya yang bermanfaat. Beberapa karya beliau sangat di minati hingga ke Malaysia, Brunei, Thailan dan Singapure, seperti buku I’tiqad Ahlus sunnah wal Jamaah, 40 Masalah agama, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii dll. Sebaliknya buku-buku beliau sangat di benci oleh kaum wahabi pengikut Ibnu Abdul Wahab dan Ibnu Taimiyah, karena beliau menguraikan kesesatan firqah wahabi dan kedua tokoh panutan mereka ini dengan panjang lebar dalam beberapa buku beliau.

Salah satu buku beliau yang langka di temukan di pasaran adalah Terjemahan Kitab Matan Taqrib karangan Abu Suja’. Selain menerjemahkan beliau juga memberikan sedikit uraian. Alhamdulillah, beberapa waktu lalu dari salah satu kawan kami temukan buku ini dalam kondisi yang bagus, hanya kurang satu halaman terakhir. Kemudian kami scan buku tersebut supaya bisa di miliki oleh kawan-kawan lain yang mencintai karya-karya K.H. Sirajuddin Abbas.


Kamis, 13 Agustus 2020

Hukum Boleh Dan  Haramnya Bejana Emas Dan Perak Menurut Syariat Islam

 Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan pernah lepas dari bejana. Bejana untuk media air atau makanan dan yang lainnya senantiasa ada bersama setiap orang dengan beragam jenis, bentuk dan bahan pembuatannya. Ada bejana yang terbuat dari plastik, kramik, besi, aluminium, stainless, bahkan ada yang terbuat dari emas dan perak.

HUKUM BEJANA

Pada asalnya hukum bejana adalah halal dan mubah dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. [Al-Baqarah/2:29]

Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan kepada manusia semua yang ada di muka bumi ini. Allâh Azza wa Jalla tidak akan menganugerahkan kecuali yang mubah. Karena tidak ada anugerah dalam larangan. Sehingga semua yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan di atas bumi ini adalah halal untuk kita kecuali ada larangan dari Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya.

Oleh karena itu semua bejana baik dari besi, tembaga, kuningan dan lain-lainnya halal dan mubah digunakan kecuali yang Allâh Azza wa Jalla larang. Ada bejana yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla penggunaannya untuk makan dan minum yaitu bejana yang terbuat dari emas dan perak. Disebutkan dalam hadits Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهِمَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

Janganlah kamu minum dengan gelas (yang terbuat) dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan pada piring yang terbuat dari emas dan perak, karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi].

Hadits yang mulia ini menunjukkan larangan menggunakan bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum. Para Ulama sepakat dalam mengharamkan makan dan minum menggunakan bejana emas dan perak, berdasarkan hadits ini, sedangkan untuk selain makan dan minum masih diperselisihkan oleh para Ulama pengharamannya.

SEBAB PELARANGAN



Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah di atas menjelaskan sebab pelarangannya yaitu pada sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi]

Pengertiannya adalah orang kafir, orang yang menggunakan bejana emas dan perak di dunia; karena mereka tidak memiliki agama yang melarang hal tersebut, sehingga kalian wahai kaum Muslimin dilarang meniru mereka dan hal itu untuk kalian di akhirat sebagai balasan karena kalian tidak menggunakannya di dunia. Bejana emas dan perak tidak diberikan pada mereka di akhirat sebagai balasan atas kemaksiatan mereka di dunia.

Ada juga beberapa hadits lain yang menjelaskan hal ini, diantaranya:

  • Hadits al-Bara` bin ‘Azib yang diriwayatkan imam Muslim yang berbunyi:

أَمَرَنَا َرسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ، وَمِنْهَا: وَعَنِ الشُرْبِ فِيْ الفِضَّةِ، فَإِنَّهُ مَنْ شَرِبَ فِيْهَا فِيْ الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْ فِيْهَا فِي الآخِرَةِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami melakukan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara: diantaranya dilarang minum dengan menggunakan bejana perak, karena siapa yang minum darinya di dunia tidak akan minum darinya di akhirat.

  • Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan imam an-Nasâ’i dan al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa sanadnya kuat (Isnaduhu Qawi). Dalam hadits itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَرِبَ فِيْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ فِي ْالدُّنْيَا لَم ْيَشْرَبْ فِيْهِمَا فِي الآخِرَةِ، وَآنِيَةُ أَهْلِ الْجَنَّةِ الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ

 Barangsiapa minum dari bejana perak dan emas di Dunia maka tidak minum dari keduanya di akhirat dan bejana ahli syurga adalah emas dan perak

Dengan alasan ini, kaum Muslimin dilarang menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa yang benar bahwa sebab pelarangan adalah semua bentuk dan keadaan yang bertentangan dengan ubudiyah secara jelas yang didapatkan kalbu dengan menggunakannya. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebab larangannya adalah bejana tersebut buat orang kafir didunia; karena mereka tidak memiliki bagian dari ubudiyah yang menjadi sebab mendapatkan kenikmatan di akherat. Sehingga penggunaannya tidak pas bagi hamba-hamba Allâh didunia. Yang menggunakannya hanyalah orang yang keluar dari sikap ubudiyah dan ridha dengan dunia serta mendahulukannya dari akherat. [Zaad al-Ma’ad 4/351].

Apakah larangan menggunakan bejana emas dan perak khusus untuk makan dan minum saja atau bersifat umum.?

Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Mereka terbagi menajdi dua pendapat:

Pendapat Pertama: mengharamkan semua penggunaan bejana emas dan perak. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.

Dengan alasan keumuman hadits Hudzaifah di atas dan pemahaman tentang sebab larangan yang mencakup itu semua. Adapun tentang pembedaan antara lelaki dan wanita, maka itu hanya berlaku pada penggunaan perhiasan emas. Imam al-Qurthubi dalam al-Mufhim Syarhu Shahîh Muslim menyatakan, “Hadits ini menyatakan haramnya penggunaan bejana-bejana emas dan perak untuk makan dan minum dan termasuk untuk perkara yang semakna dengannya, misalnya, untuk wewangian, alat bercelak dan sejenisnya. Pengharaman ini adalah pendapat mayoritas Ulama salaf dan khalaf . [Lihat al-Mufhim Syarhu Shahîh Muslim, 5/345]

Disebutan kata makan dan minum dalam hadits ini secara khusus karena untuk itulah biasanya bejana itu digunakan, bukan untuk membatasi (mengkhususkan) pada kedua penggunaan ini saja. Jika penggunaannya untuk makan dan minum dilarang, padahal itu menjadi kebutuhan terbesar, maka penggunaannya untuk selain itu yang kebutuhannya dibawah kebutuhan makan dan minum lebih layak untuk dilarang.

Mereka menyatakan bahwa penyebutan lafazh makan dan minum dalam hadits ini adalah karena biasanya penggunaan bejana emas dan perak untuk itu, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). [An-Nisâ’/4:10]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allâh supaya kamu mendapat keberuntungan. [Ali Imrân/3:130].

Dalam ayat-ayat di atas yang dilarang adalah lebih umum dari sekedar memakannya. Demikian juga pada penggunaan emas dan perak.

Hal ini dikuatkan dengan sebab pelarangan menurut pendapat ini tidak terbatas hanya dalam makan dan minum saja bahkan lebih dari itu, sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

Karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat. [Muttafaq ‘alaihi].

Orang kafir menikmati penggunaan emas dan perak untuk makan dan minum serta yang lainnya, sebagaimana juga kaum Mukminin di surga akan menggunakan bejana emas dan perak untuk makan dan minum serta yang lainnya, tidak terbatas pada makan dan minum saja.

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah, Syaikh Abdulaziz bin Bâz rahimahllah dan Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Basâm rahimahullah dalam Taudhîh al-Ahkâm.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Semua bejana mubah kecuali bejana emas dan perak dan campurannya. [Minhajus Sâlikîn, hlm 34]

Beliaupun menyatakan dalam kitab al-Qawâ’id wal Furuq (hlm. 155), “Penggunaan emas dan perak ada tiga keadaan:

  1. digunakan untuk bejana dan sejenisnya maka ini diharamkan untuk lelaki dan wanita
  2. digunakan untuk dipakai perhiasan maka ini halal bagi wanita tanpa lelaki.
  3. Penggunaan pada pakaian perang dan alat senjatanya maka ini diperbolehkan sampai untuk lelaki juga.”

Syaikh al-Bassâm rahimahullah menyatakan, “Larangan penggunaan bejana-bejan emas dan perak dalam makan dan minum umum mencakup semua penggunaannya dalam semua pemanfaatan kecuali ada dalil yang mengizinkannya. [at-Taudhîh, 1/116]

Pendapat Kedua: Larangan ini khusus untuk makan dan minum saja. Adapun penggunaan diluar keduanya seperti untuk tempat wewangian, celak, wudhu dan mandi serta yang lainnya maka itu diperbolehkan. Inilah pendapat sebagian Ulama diantaranya imam asy-Syaukâni rahimahullah, ash-Shan’âni rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah. Pendapat ini mengambil makna tekstual dari hadits. Mereka menyatakan bahwa dalam hadits itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang dari sesuatu yang tertentu dan khusus yaitu makan dan minum menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak. Ini menunjukkan bahwa penggunaan untuk selain makan dan minum itu diperbolehkan. Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan larangan bersifat umum tentu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan tidak mengkhususkan hal itu dengan makan dan minum.

Mereka berargumen juga dengan membawakan hadits dari Utsman bin Abdillah bin Muhib yang menyatakan:

أَرْسَلَنِي أَهْلِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَجَاءَتْ بِجُلْجُلٍ مِنْ فِضَّةٍ فِيهِ شَعَرٌ مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ إِذَا أَصَابَ الإِنْسَانَ عَيْنٌ أَوْ شَيْءٌ بَعَثَ إِلَيْهَا مِخْضَبَهُ، فَاطَّلَعْتُ فِي الجُلْجُلِ، فَرَأَيْتُ شَعَرَاتٍ حُمْرًا

Keluargaku mengirimku kepada Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa segelas air. Lalu Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma membawa bejana dari perak berisi rambut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila ada orang yang terkena penyakit ‘ain atau sejenisnya maka ia mengirim bejananya kepada Ummu Salamah Radhiyallah anhuma. Lalu aku lihat dalam sejenis lonceng dan aku dapati rambut-rambut berwarna merah. [HR. Al-Bukhâri]

Hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan bejana perak untuk selain makan dan minum. Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma sendiri adalah perawi hadits larangan ini sebagaimana yang ada dalam riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma berkata bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

Orang yang minum dengan bejana perak sesunggunya hanya memasukkan ke dalam perutnya neraka jahannam. [Muttafaqun ‘Alahi]

Imam asy-Syaukani rahimahullah menyatakan:

Analogi seluruh penggunaan bejana kepada makan dan minum adalah qiyas (analogi) dengan disertai perbedaan (sehingga tertolak), karena illah (sebab) larangan dari makan dan minum adalah tasyabbuh (meniru) ahli surga yang dikelilingi dengan bejana perak. Ini adalah alasan mu’tabar secara syariat, sebagaiman ada dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang memakai cincin dari emas maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenapa aku melihat engkau memakai perhiasan ahli surga?” Hadits ini dikeluarkan oleh tiga imam (Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasâ’i) dari hadits Buraidah Radhiyallahu anhu. [Nailul Authâr, 1/83]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Boleh menggunakan bejana emas dan perak pada selain makan dan minum; karena larangannya hanya pada makan dan minum. Seandainya seorang menggunakan bejana emas dan perak untuk menyimpan obat-obatan atau nyimpan dirham (uang) atau kebutuhan lainnya selain makan dan minum, maka tidak mengapa. Hal itu karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling fashih, paling ikhlas dalam nasehat dan paling pandai (berilmu). Seandainya penggunaan emas dan perak pada selain makan dan minum dilarang tentu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya dengan jelas dan gamblang sehingga tidak menyisakan permasalahan. Apalagi pernyataan Hudzaifah Radhiyallahu anhu :

إِنِّي أُخْبِرُكُمْ أَنِّي قَدْ أَمَرْتُهُ أَنْ لَا يَسْقِيَنِي فِيهِ

Sesungguhnya aku beritahukan kepada kalian bahwa aku perintahkan untuknya agar tidak memberiku minum pada bejana tersebut.

Ini menunjukkan bahwa Hudzaifah Radhiyallahu anhu memiliki bejana tersebut namun tidak menggunakannya untuk makan dan minum. Ini sudah jelas. Kita tidak sepatutnya apabila pembuat syariat menyampaikan sesuatu secara khusus lalu kita jadikan memiliki pengertian umum. [Fathul Jalâl, 1/118].

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Yang benar adalah tidak haram kecuali pada makan dan minum.” [Fathul Jalâl, 1/120]

TARJIH

Dari keterangan diatas nampaknya yang rajih adalah pendapat kedua, karena dalil mereka kuat dalam masalah ini.

APAKAH DIPERBOLEHKAN MEMILIKI BEJANA EMAS DAN PERAK TANPA MENGGUNAKANNYA?

Terjadi perbedaan pendapat para Ulama dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pendapat Pertama : Melarang. Ini adalah pendapat madzhab Mâlik (Lihat al-Istidzkâr 26/270), Ahmad (Lihat Mathâlib Ulin-Nuhâ, 1/55) dan mayoritas Ulama Syâfi’iyah (Lihat al-Majmû 1/308) serta mayoritas Ulama.

Mereka beralasan, semua yang tidak boleh digunakan maka tidak boleh dimiliki, seperti alat-alat musik dan khamr (miras) dan selainnya. Juga karena memilikinya menjadi sarana untuk menggunakannya dan hukum memiliki sarana sama dengan hukum tujuan. Juga illah (sebab) hukum yang ada dalam pemakaian sesuatu sudah ada ketika sesuatu itu sudah ada dalam kepemilikan, bahkan lebih berat lagi; karena memiliki bejana tanpa menggunakannya sama sekali adalah membuang-buang harta.

Pendapat Kedua: Memperbolehkan kepemilikian bejana emas dan perak. Ini adalah pendapat Abu Hanifah (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 6/342), salah satu pendapat dalam madzhab Mâlikiyah (Lihat Hasyiyah ash-Shâwi ‘ala asy-Syarhul Shaghîr, 1/61) dan salah satu pendapat dari imam Syâfi’i (Lihat al-Majmû 1/308) dan satu riwayat dari Ahmad [Lihat al-Furû 1/97].

Mereka beralasan karena nash syariat hanya melarang penggunaannya dan tidak melarang kepemilikannya.

Inilah pendapat yang rajih insya Allâh Karena kuatnya dalil pengkhususan larangan hanya pada makan dan minum saja.

Selasa, 11 Agustus 2020

Bagaimana Maksud Air Yang Bercampur Najis


Ada dua pendapat sehubungan dengan air yang bercampur dengan najis ini.


1. Pendapat yang mengatakan bahwa : air menjadi najis karena tercampuri najis jika air itu sedikit, walaupun tidak merubah bau, rasa, atau warna air tersebut. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.


Masalah jumlah air yang sedikit tersebut, berapa batasannya..?! ada dua pendapat juga mengenai batasan jumlah air tersebut.


Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.


Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah. Ini sesuai hadits :


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)


Dalam riwayat lain disebutkan,


إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah” dan Ad Darimi)

Hadits tersebut memang ada yang memandang hadits mudhthorib (simpang siur/kacau) dari sisi sanad (perawi) maupun matan (materi). Tetapi ada pula yang mengatakan shahih. Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.


2. Pendapat yang mengatakan bahwa : jika air tidak merubah bau, rasa, atau warnanya, maka air tersebut tidak najis (suci).


Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakhai, Malik dan lain-lain.


Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi :


جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ

“Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” (HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)


Dari hadits di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa air yang sedikit tetapi bisa menghilangkan bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut bisa mensucikan.


Atau hadits :


وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ

Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.” (Baihaqi dalam Sunan Kubro (1/260) Daruqutni dalam Sunannya (1/28-29))


وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ

Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.


Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah.


Dalil-dalil tersebut menerangkan yang menjadikannya najis adalah jika air telah berubah bau, rasa atau warnanya oleh najis. jika tidak merubahnya maka air tersebut tetap suci.