Sabtu, 02 Mei 2020

Pengertian Al-Quran Menurut Bahasa dan Akar Kata
Ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang asal kata dari lafadz Al-Quran. Sebagian berpendapat bahwa lafadz Al-Quran itu merupakan bentukan dari kata dasar qara’a yaqra’u (قرأ - يقرأ) yang berarti bacaan. Kita sering menghubung-hubungkan lafadz Al-Quran dengan akar kata atau kata dasar qara’a yaqra’u (قرأ - يقرأ) atau dengan istilah lain bahwa lafadz Al-Quran itu mahmuz (مهموز).
Pandangan semacam ini wajar, karena memang banyak ulama yang berpendapat demikian. Namun sebagian ulama lain menolak bila disebut asal kata lafadz Al-Quran itu membaca, tetapi dari kata yang lain, bahkan ada juga yang berpendapat lafadz Al-Quran itu adalah lafadz asli yang bukan bentukan dari kata lain.

1. Pendapat Pertama
Pendapat pertama menyebutkan bahwa lafadz Al-Quran itu mahmuz, yaitu lafadz yang terbentuk dari akar kata yang lain. Namun mereka yang mengatakan demikian ternyata berbeda pendapat tentang akar katanya.
a. Al-Qar’u Yang Berarti Gabungan
Az-Zajjaj menegaskan bahwa lafadz Al-Quran itu terbentuk dari asalnya yaitu al-qar’u (القرء), yang bermakna al-jam’u (الجمع) atau berkumpul atau bergabung.
Wazannya adalah fu’la’ (فُعْلاَء) sebagaimana lafadz ghufran (غفران). Seperti orang Arab menyebut : (جمع الماء في الحوض) yaitu air telah berkumpul atau bergabung dalam telaga.
Al-Quran itu disebut demikian karena pada hakikatnya merupakan gabungan dari kitab-kitab samawi sebelumnya.[1]
b. Al-Qar’u Yang Berarti Membaca
Al-Lihyani punya pendapat mirip dengan Az-Zajjaj di atas, bahwa lafadz Al-Quran itu mahmuz dan merupakan bentukan dari kata dasar al-qar’u (القرء), namun maknanya menurut beliau adalah talaa (تلا) atau membaca.[2]
Pendapat inilah yang barangkali paling sering kita dengar dari banyak kalangan.
c. Al-Qarain Berarti Pembanding
Al-Farra’ berpendapat bahwa kata Al-Quran itu tidak terbentuk dari kata qara’a – yaqra’u (قرأ - يقرأ), tetapi merupakan bentukan dari kata  dasar al-qarain (القرائن) yang merupakan bentuk jama’ dari qarinah (قرينة).  Makna qarinah itu sebanding, karena tiap ayat  Al-Quran dengan ayat lainnya sebanding.[3]
d. Qarana Yang Berarti Menggabungkan
Demikian juga dengan Al-Asy’ari yang berpendapat agak mirip dengan Al-Farra’ di atas, bahwa lafadz Al-Quran   itu merupakan bentukan dari sebuah kata dasar,  yaitu qarana (قرن) yang berarti menggabungkan, sebagaimana kalimat qarana asy-syai’a bisy-syai’i (قرن الشيء بالشيء), maknanya menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.  Hal itu karena ayat dan surat di dalam Al-Quran  digabungkan satu dengan yang lain. [4]
2. Al-Quran Adalah Nama Asli
Sedangkan yang paling berbeda sendiri justru Al-Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) rahimahullah. Sebagaimana dikutip oleh Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, disebutkan bahwa Asy-Syafi’i berpendapat bahwa lafadz Al-Quran tidak dibentuk dari kata dasar qara’a – yaqra’u (قرأ - يقرأ). Sebab jika demikian, maka sebagai yang dibaca orang itu bisa disebut Al-Quran juga.
Menurut beliau lafadz Al-Quran itu adalah nama asli yang Allah SWT sematkan sebagaimana lafadz Taurat dan Injil yang merupakan nama asli. [5]

[1] Az-ZarkasyiAl-Burhan, jilid 1 hal. 278
[2] As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, hal. 87
[3] As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, hal. 87
[4] Az-ZarkasyiAl-Burhan, jilid 1 hal. 278
[5] Al-Khatib Al-BaghadiTarikh Baghdad, jilid 2 hal. 62
Pengertian Al-Quran Secara Istilah ( Bahasa )
Ada banyak definisi Al-Quran yang dituliskan para ulama, satu dengan yang lain sering saling menambahkan atau melengkapi. Salah satunya apa yang ditulis oleh Dr. Manna’ Al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum Al-Quran. Definisi Al-Quran yang Belai tulisan sebagai berikut :
كلام الله المنزل على محمد ص  المتعبد بتلاوته
Perkataan Allah yang turun kepada Nabi Muhammad SAW dimana membacanya menjadi ritual ibadah.[1]
Kadang ada juga tambahan dari para ulama, misalnya tentang periwayatannya yang mutawatir, atau tentang bahasanya yang merupakan bahasa Arab, bahkan juga termasuk disebutkan terkait bahwa Al-Quran itu diturunkan untuk menantang orang-orang Arab jahiliyah agar bisa membuat tandingannya.
Dari definisi di atas, maka kita bisa membedakan Al-Quran dari berbagai kitab suci yang lain.

1. Perkataan Allah
Al-Quran pada hakikatnya adalah perkataan Allah. Namun perkataan Allah kepada manusia tentu bukan hanya Al-Quran, tetapi ada banyak jenisnya. Karena itu tidak cukup untuk mendefinisikan Al-Quran hanya dengan perkataan Allah, harus ada pembatasan lainnya agar menjadi tepat.
Secara umum kalau manusia itu seorang Nabi atau rasul, perkataan itu  dinamakan wahyu. Tetapi kalau manusia itu bukan Nabi melainkan orang biasa, sering disebut ilham.
Contohnya Allah SWT pernah berkata kepada para pengikut Nabi Isa alaihissam, tentunya mereka bukan nabi. Maka hal itu disebut ilham.
وإِذ أوحيتُ إِلى الحوارِيِّين أن آمِنُوا بِي وبِرسُولِي قالُوا آمنّا واشهد بِأنّنا مُسلِمُون
Dan ketika Aku ilhamkan kepada hawariyin (pengikut Isa yang setia),"Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". Mereka menjawab,”Kami telah beriman dan saksikanlah  bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh ". (QS. Al-Maidah : 111)
Allah SWT juga pernah berbicara kepada ibunda Nabi Musa alaihissalam, yang tentunya juga bukan seorang nabi.
إِذ أوحينا إِلى أُمِّك ما يُوحى أنِ اقذِفِيهِ فِي التّابُوتِ فاقذِفِيهِ فِي اليمِّ
Ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan agar meletakkan bayi itu di dalam peti dan melemparkannya ke sungai. (QS. Thaha : 38-39)
Namun dari dua ayat di atas kita tahu bahwa tidak semua orang yang diajak bicara oleh Allah berarti dia menjadi Nabi atau rasul.
2. Diturunkan Kepada Nabi Muhammad SAW
Berbeda dengan kitab-kitab samawi sebelumnya yang sama-sama merupakan perkataaan Allah, Al-Quran ini hanya khusus diturunkan kepada Nabi hanyalah Nabi Muhammad SAW saja.
Sedangkan perkataan Allah kepada nabi-nabi yang lain, bisa saja merupakan perkataan Allah dan menjadi kitab suci, seperti Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan Shuhuf Musa. Tetapi tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka kitab-kitab itu bukan Al-Quran.
Namun tidak dipungkiri bahwa di dalam Al-Quran pun banyak kita temukan kisah para nabi terdahulu beserta kutipan-kutipan wahyu yang Allah SWT turunkan kepada mereka. Misalnya disebutkan :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah : 45)
Hukum qishash yang disampaikan dalam ayat ini sebenarnya diturunkan kepada Bani Israil di masa lalu, sebagaimana tertuang dalam kitab suci mereka.
Namun ketika Allah SWT ceritakan di dalam Al-Quran, maka terjadi dua hal sekaligus, yaitu hukum ini pun juga masuk ke dalam kategori Al-Quran, karena juga diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
3. Membacanya Merupakan Ibadah Mendatangkan Pahala
Selain diturunkan hanya kepada Nabi Muhammad SAW, identitas yang tidak kalah penting dari Al-Quran adalah ketika dibaca menjadi ibadah tersendiri, lepas apakah yang membacanya itu mengerti maknanya atau tidak.
Kriteria yang ketiga ini sebenarnya untuk membedakan antara Al-Quran dan Al-Hadits, khususnya Hadits Qudsi. Sebab Hadits Qudsi itu sebenarnya merupakan kalamullah juga, sama-sama firman dari Allah SWT.
Namun untuk membedakannya dengan Al-Quran, maka hadits qudsi itu tidak bernilai ibadah apabila sekedar dibaca atau diucapkan. Berbeda dengan Al-Quran, meski sama-sama firman atau perkataan Allah SWT juga, namun Al-Quran punya nilai tersendiri yang istimewa, yaitu bernilai sebagai ibadah mahdhah.
Oleh karena itulah maka di dalam shalat diwajibkan untuk membaca ayat-ayat Al-Quran, namun tidak boleh bahkan malah jadi membatalkan shalat apabila yang dibaca Hadits Qudsi.
Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa tiap huruf dari Al-Quran merupakan pahala tersendiri ketika dibaca. Bahkan ada kelipatan 10 kali lipat dari masing-masing huruf.
Sampai beliau SAW menegaskan bahwa bacaan alif lam mim itu bukan satu huruf tetapi tiga huruf yang berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan hadits tidak mendatangkan pahala kalau hanya sekedar dibaca, kecuali bila dipelajari dan dijalankan pesannya.
4. Diriwayatkan Dengan Tawatur
Poin ketiga dari definisi Al-Quran adalah bahwa seluruh  Al-Quran itu diriwayatkan dengan sanad yang mutawatir.
Yang dimaksud dengan mutawatir adalah bahwa jumlah perawi itu sangat banyak dan tersebar luas dimana-mana, sehingga mustahil mereka kompak untuk berdusta.
Al-Imam As-Suyuthi menyebutkan minimal riwayat yang mutawatir itu adalah 10 perawi dalam setiap thabaqat (level).
Poin ini berfungsi membedakan Al-Quran dengan hadits, baik hadits itu merupakan hadits nabawi maupun hadits qudsi. Sebab hadits itu kadang ada yang diriwayatkan secara mutawatir, tetapi kebanyakannya ahad.
Yang dimaksud dengan riwayat ahad bukan berarti hanya ada satu perawi, melainkan jumlahnya bisa banyak tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
5. Berbahasa Arab
Al-Quran ketika diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, turun dalam bahasa Arab yang benar, sebagaimana bahasa yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
إِنّا أنزلناهُ قُرآنًا عربِيًّا لّعلّكُم تعقِلُون
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.(QS. Yusuf : 2)
وكذلِك أنزلناهُ حُكمًا عربِيًّا
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quraan itu sebagai peraturan   dalam bahasa Arab. (QS. Ar-Ra’d : 37)
وهـذا لِسانٌ عربِيٌّ مُّبِينٌ
Sedang Al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.(QS. An-Nahl : 103)
وكذلِك أنزلناهُ قُرآنًا عربِيًّا وصرّفنا فِيهِ مِن الوعِيدِ لعلّهُم يتّقُون أو يُحدِثُ لهُم ذِكرًا
Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau  Al-Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.(QS. Thaha : 113)
Yang disebut Al-Quran hanyalah apa yang Allah turunkan persis sebagaimana turunnya. Adapun bila ayat-ayat Al-Quran itu dijelaskan atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka penjelasan atau terjemahannya itu tidak termasuk Al-Quran. Maka kalau ada buku yang berisi hanya terjemahan Al-Quran, buku itu bukan Al-Quran.
Dengan kerangka logika seperti itu, maka injil yang ada di tangan umat Kristiani, seandainya memang benar diklaim asli sebagaimana yang diterima Nabi Isa alaihissalam dari Allah,  bagi umat Islam tetap saja bukan Injil. Mengapa?
Karena Injil itu tidak berbahasa asli sebagaimana waktu diturunkan kepada Nabi Isa alaihissalam. Para sejarawan menyebutkan bahwa Nabi Isa berbahasa Suryaniyah, dan hari ini tidak ada lagi Injil yang berbahasa Suryaniyah.
6. Menantang Orang Arab
Hadits Qudsi pada dasarnya juga perkataan Allah juga, namun untuk membedakan Al-Quran dengan hadis Qudsi secara mudah, maka kita sebut bahwa Al-Quran adalah mukjizat.
Letak kemukjizatan Al-Quran terletak pada keindahannya  dari segi sastra Arab. Hadits Qudsi yang walau pun merupakan perkataan Allah, tidak punya keistimewaan seperti Al-Quran.
Al-Quran dijadikan sebagai tantangan kepada orang Arab untuk menciptakan yang setara dengannya. Dan tantangan itu tidak pernah bisa terjawab. Karena tak satupun orang Arab yang mengklaim ahli di bidang sastra yang mampu menerima tandangan itu.
وإِن كُنتُم فِي ريبٍ مِمّا نزّلنا على عبدِنا فأتُوا بِسُورةٍ مِن مِثلِهِ وادعُوا شُهداءكُم مِن دُونِ اللّهِ إِن كُنتُم صادِقِين
Dan jika kamu  dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, buatlah  satu surat  yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah : 23)
أم يقُولُون افتراهُ قُل فأتُوا بِعشرِ سُورٍ مِثلِهِ مُفترياتٍ وادعُوا منِ استطعتُم مِن دُونِ اللّهِ إِن كُنتُم صادِقِين
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al-Quran  itu". Katakanlah,”Datangkan sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup  selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Hud : 13)

[1] Manna’ Al-QaththanMabahits fi Ulum Al-Quran, hal, 16