Diantara kewajiban isteri adalah tinggal pada rumah yang telah ditentukan oleh suaminya. Karena dengan tinggal bersama suaminya itulah yang menyebabkan seorang istri berhak mendapatkan nafkah. Hal ini dalam ilmu Fiqih disebut’tamkin’. Tamkin secara bahasa berarti menetap. Maksudnya, menetapnya istri dan tinggal bersama suaminya.
Kewajiban memberi nafkah baru berlaku ketika istri mulai tinggal menetap bersama suaminya usai akad nikah. Artinya, kewajiban suami memberi nafkah pada isteri belum berlaku bila sekedar baru akad nikah saja tapi belum tinggal bersama.
Pendapat ini merupakan fatwa dari jumhur (mayoritas) ulama fiqih dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Aisyah radhiyalalhuanha. Memang ada jeda waktu semenjak beliau SAW menikahi Aisyah hingga Aisyah tinggal bersama. Ada yang menyebutkan bahwa Aisyah dinikahi ketika masih berusia 6 tahun dan baru tinggal bersama Rasulullah SAW ketika berusia 9 tahun. Dan selama masa tidak serumah itu ternyata Rasulullah SAW belum memberinya nafkah.
أَنَّ النَّبِيَّ r عَقَدَ عَلَى عَائِشَةَ وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ
Bahwa Nabi SAW menikahi Aisyah ketika berusia enam tahun. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari kenyataan inilah maka jumhur ulama berpendapat bahwa nafkah baru berlaku ketika istri mulai tinggal bersama suami, bukan sejak terjadinya akad nikah. Dalam kitab Al-Kifayah 'Ala Al-Hidayah (4/192-193) disebutkan :
إِذَا لَمْ تُزَفَّ إِلَى بَيْتِ زَوْجِهَا لاَ تَسْتَحِقُّ النَّفَقَةَ
”Bila istri belum tinggal di rumah suaminya maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah.”
Ad-Dardir, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab al-Malikiyyah berpendapat serupa dengan menyebutkan dalam kitab Asyarhu Al-Kabir 2/508 sebagai berikut :
تَجِبُ النَّفَقَةُ لِمُمَكِّنَةٍ مِنْ نَفْسِهَا مُطِيقَةٍ لِلْوَطْءِ بِلاَ مَانِعٍ
“Wajib diberikan nafkah kepada istri yang sudah menetap bersama suaminya, serta dimungkinkan untuk diajak jima' tanpa halangan.”
Maka ketika suami mengajak istri tinggal bersama, namun ia menolak dan bersikeras hidup terpisah dari suami, maka kewajiban suami untuk memberi nafkah pun gugur dengan sendirinya. Penolakan untuk patuh pada ajakan suami dalam hal ini masuk dalam salah satu kriteria nusyuz yang mengugurkan hak nafkahnya. Nusyuz adalah tindakan atau sikap isteri yang mengindikasikan ketidakpatuhan pada suami, atau menolak memberikan atau melakukan apa yang menjadi hak suami atasnya.
LDR atas keridhaan bersama
Namun di tengah perjalanan rumah tangga, adakalanya pasangan suami-isteri memang terpaksa harus tinggal berjauhan. Entah karena suami mengalami mutasi kerja keluar kota untuk beberapa lama, atau karena menerima beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri, dan kondisi tidak memungkinkan untuk membawa isteri ikut serta bersamanya. Disinilah terjadi yang namanya LDR atau Long Distance Relationship.
Ketika hubungan jarak jauh terpaksa menjadi pilihan buat suami dan isteri, dan keduanya sama-sama ridha, tidak ada paksaan atau penolakan dari salah satunya, maka isteri tetap berhak mendapat nafkah, dan suami tetap wajib menafkahinya. Sebab tinggal berjauhan bukan keinginan isteri, dan tidak ada unsur penolakan darinya yang bisa dikategorikan nusyuz.
Ketika suami isteri tinggal berjauhan, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang isteri. Antara lain:
1. Meminta izin pada suami saat ia hendak bepergian dari rumah.
Di antara kewajiban istri atas suaminya adalah meminta izin untuk keluar rumah bila akan bepergian. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِيَّ t فَقَالَتْ: يَا رَسُول اللَّهِ مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى الزَّوْجَةِ؟ فَقَال: حَقُّهُ عَلَيْهَا أَلاَّ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا إِلاَّ بِإِذْنِهِ، فَإِنْ فَعَلَتْ لَعَنَتْهَا مَلاَئِكَةُ السَّمَاءِ وَمَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ حَتَّى تَرْجِعَ
Seorang wanita datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apa hak seorang suami atas istrinya?". Beliau SAW menjawab,"Haknya adalah istri tidak keluar rumah kecuali atas izinnya. Kalau istrinya nekat keluar juga, maka malaikat langit, malaikat kasih sayang dan malaikat adzab melaknatnya sampai dia pulang". (HR. Al-Bazzar)
Kewajiban meminta izin pada suami ini tentu bukan izin setiap detik dan setiap saat dia keluar rumah. Jika ia keluar rumah karena rutinitas yang sudah dimaklumi, dan suami memang sudah mengizinkannya, maka ia tidak perlu meminta izin pada suaminya setiap waktu. Misalnya, jika rutinitas isteri setiap pagi pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah tangga, dan suami memaklumi serta ridha, maka isteri tidak perlu lagi meminta izin setiap pagi pada suaminya.
Begitupula jika setiap hari isteri rutin berangkat kerja dimana suaminya sudah mengetahui jam kerja istri dan ridha atas rutinitas itu, maka isteri tak perlu meminta izin setiap hari untuk berngkat kerja. Sebab isteri sudah mengantongi izin dari suami berupa ‘boleh ke pasar atau berangkat kerja setiap pagi’.
Berbeda jika isteri ingin keluar rumah diluar rutinitas yang diketahui oleh suaminya. Misalnya saat isteri ingin keluar rumah untuk arisan, rekreasi bersama kawan-kawan, reuni dengan alumni almamater, dan lain sebagainya. Disini, isteri wajib menginfokan pada suami dan meminta izinnya. Dalam konteks LDR ini, menghubungi suaminya tentu via handphone, atau alat komunikasi jarak jauh lainnya.
2. Tidak Menerima Tamu lelaki.
Saat suami tidak di rumah dan tinggal berjauhan, seorang isteri tidak diperbolehkan menerima tamu laki-laki, apalagi dipersilakan masuk ke dalam rumah. Kecuali jika tamu tersebut adalah keluarga atau mahramnya sendiri, dan suami memaklumi serta meridhai. Hal yang mendasari hal ini adalah hadits berikut :
لاَ يَحِل لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sunnah padahal suaminya bersamanya, kecuali jika suaminya mengizinkan. Dan janganlah wanita itu mengizinkan seseorang masuk ke rumahnya kecuali atas izin suaminya juga. (HR. Bukhari Muslim)
فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ
Hak kalian atas isteri adalah bolehnya melarang isteri untuk mempersilakan orang yang kalian tidak suka untuk tidur di ranjang kalian (menginap) dan hendaknya isteri kalian tidak mengizinkan orang yang kalian tidak sukai untuk masuk ke dalam rumah kalian . (HR. Tirmizi)
3. Menjaga Kehormatan Diri.
Saat suami tak bersamanya, seorang isteri wajib menjaga kehormatan diri dari segala yang buruk, utamanya jika hal itu mendekati perzinaan. Termasuk dalam hal ini adalah larangan berhias yang berlebihan saat keluar rumah, bercanda berlebihan dengan kawan atau rekan kerja laki-laki, keluar rumah untuk tujuan yang tidak terlalu penting, apalagi di malam hari. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 34 :
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”
Al-Imam Ath-Thobari menjelaskan tafsir kata ‘حَافِظَاتٌ’ dalam ayat diatas sebagai:
يعني: حافظات لأنفسهن عند غيبة أزواجهن عنهن، في فروجهن وأموالهم، وللواجب عليهن من حق الله في ذلك وغيره
“Wanita-wanita yang menjaga diri mereka ketika suami mereka tidak bersama mereka, yakni menjaga kemaluan dan harta suami, serta menjaga hak Allah yang diwajibkan atas mereka dalam hal tersebut maupun selainnya.” [Tafsir Ath-Thobari, 8/295]
4. Menjaga Harta Suami
Selain menjaga kehormatan dirinya, saat tinggal berjauhan isteri juga wajib menjaga amanah suami berupa harta yang dititipkan kepadanya. Seorang isteri hendaknya membelanjakan harta suami dengan cara yang ma’ruf, dan tidak berlebihan atau diluar kebutuhan kecuali dengan seizin suaminya. Rasulullah bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " خَيْرُ النِّسَاءِ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي مَالِكَ وَنَفْسِهَا
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulllah SAW bersabda : “Sebaik-baik wanita ialah jika kau pandang ia menyenangkanmu, jika kau perintah ia mentaatimu, jika kau tinggalkan ia menjagamu dalam hal harta dan menjaga dirinya.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Sumber dari kitab:
1. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an : Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
2. Shahih Bukhari : Imam Bukhari
3. Shahih Muslim : Imam Muslim
4. `Uquudu Lujain Fii Bayaani Huquuquzzaujaini : Imam Nawawi Al Bantani
5. Tafsir al-Jalalain : Imam Jalaluddin al-Mahalli
Situs ini Memang baik, bisa jadi rekomender untuk cari bahan makalah dan deskripsi.
BalasHapuskarna tertera sumbernya dari mana.....
����������✔
Terbaik....
BalasHapus