Fatima Az-Zahra adalah seorang wanita yang cantik jelitadilahirkan delapan tahun sebelum Hijrah di Mekkah dari Khadijah, istri Nabi yang pertama. Fatimah ialah anak yang keempat, sedang yang lainnya: Zainab, Ruqaya, dan Ummi Kalsum.
Fatima dibesarkan di bawah asuhan ayahnya, guru dan dermawan yang terbesar bagi umat manusia. Tidak seperti anak- anak lainnya, Fatima mempunyai pembawaan yang tenang dan perangai yang agak melankolis. Badannya yang lemah, dan kesehatannya yang buruk menyebabkan ia terpisah dari kumpulan dan permainan anak-anak. Ajaran, bimbingan, dan aspirasi ayahnya yang agung itu membawanya menjadi wanita berbudi tinggi, ramah-tamah, simpatik, dan tahu mana yang benar dan yang buruk.
Fatimah, yang sangat mirip dengan ayahnya, baik roman muka maupun dalam hal kebiasaan yang saleh, adalah seorang anak perempuan yang paling disayang ayahnya dan sangat berbakti terhadap Nabi setelah ibunya meninggal dunia. Dengan demikian, dialah yang sangat besar jasanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya.Pada suatu hari di Madinah, ketika Nabi Muhammad berada di masjid sedang dikelilingi para sahabat, tiba-tiba anaknya tercinta Fatimah, yang telah menikah dengan Ali prajurit utama Islam yang terkenal datang pada Nabi. Dia meminta dengan sangat kepada ayahnya untuk dapat meminjam seorang pelayan yang dapat membantunya dalam melaksanakan tugas pekerjaan rumah. Dengan tubuhnya yang ceking dan kesehatannya yang buruk, dia tidak dapat melaksanakan tugas menggiling jagung dan mengambil air dari sumur yang jauh letaknya, di samping juga harus merawat anak-anaknya. Nabi tampak terharu mendengar permohonan Fatimah, tapi sementara itu juga Beliau menjadi agak gugup. Tetapi dengan menekan perasaan, Beliau berkata kepada sang anak dengan sinis, “Anakku tersayang, aku tak dapat meluangkan seorang pun di antara mereka yang terlibat dalam pengabdian ‘Ashab- e Suffa. Sudah semestinya kau dapat menanggung segala hal yang berat di dunia ini, agar kau mendapat pahalanya di akhirat nanti.” Anak itu mengundurkan diri dengan rasa yang amat puas karena jawaban Nabi, dan selanjutnya tidak pernah lagi mencari pelayan selama hidupnya. Pada beberapa kesempatan Nabi Muhammad SAW menunjukkan rasa sayang yang amat besar kepada Fatimah. Suatu saat Beliau berkata, “O… Fatima, Allah tidak suka orang yang membuat kau tidak senang, dan Allah akan senang orang yang kau senangi.”
Abu Bakar dan Umar keduanya berusaha agar dapat menikah denga Fatima, tapi Nabi diam saja. Ali yang telah dibesarkan oleh Nabi sendiri, seorang laki-laki yang padanya tergabung berbagai kebajikan yang langka, bersifat kesatria dan penuh keberanian, kesalehan, dan kecerdasan.
Imam Ali Bin Abu Thalib mencari jalan untuk dapat meminang Fatimah. Karena dirinya begitu miskin. Tetapi akhirnya ia memberanikan diri meminang Fatimah, dan langsung diterima oleh Nabi. Ali menjual kwiras (pelindung dada dari kulit) miliknya yang bagus. Kwiras ini dimenangkannya pada waktu Perang Badar. Ia menerima 400 dirham sebagai hasil penjualan, dan dengan uang itu ia mempersiapkan upacara pernikahannya. Upacara yang amat sederhana. Agaknya, maksud utama yang mendasari perayaan itu dengan kesederhanaan, ialah untuk mencontohkan kepada para Musllim dan Musllimah perlunya merayakan pernikahan tanpa jor- joran dan serba pamer.
Fatimah hampir berumur delapan belas tahun ketika menikah dengan Ali. Sebagai mahar dari ayahnya yang terkenal itu, ia memperoleh sebuah tempat air dari kulit, sebuah kendi dari tanah, sehelai tikar, dan sebuah batu gilingan jagung.
Kepada putrinya Nabi berkata, “Anakku, aku telah menikahkanmu dengan laki laki yang kepercayaannya lebih kuat dan lebih tinggi daripada yang lainnya, dan seorang yang menonjol dalam hal moral dan kebijaksanaan.”
Kehidupan perkawinan Fatimah berjalan lancar dalam bentuknya yang sangat sederhana, gigih, dan tidak mengenal lelah. Ali bekerja keras tiap hari untuk mendapatkan nafkah, sedangkan istrinya bersikap rajin, hemat, dan berbakti.
Fatimah di rumah melaksanakan tugas-tugas rumah tangga; seperti menggiling jagung dan mengambil air dari sumur. Pasangan suami-istri ini terkenal saleh dan dermawan. Mereka tidak pernah membiarkan pengemis melangkah pintunya tanpa memberikan apa saja yang mereka punyai, meskipun mereka sendiri masih lapar. Juga Nabi dikabarkan telah berucap: “Fatima itu anak saya, siapa yang membuatnya sedih, berarti membuat aku juga menjadi sedih, dan siapa yang menyenangkannya, berarti menyenangkan aku juga.”
Aisyah, istri Nabi tercinta pernah berkata, “Saya tidak pernah berjumpa dengan sosok pribadi yang lebih besar daripada Fatima, kecuali kepribadian ayahnya.”
Atas suatu pertanyaan, Aisyah menjawab, “Fatimah-lah yang paling disayang oleh Nabi.”
Sifat penuh perikemanusiaan dan murah hati yang terlekat pada keluarga Nabi tidak banyak tandingannya. Di dalam catatan sejarah manusia, Fatima Zahra terkenal karena kemurahan hatinya.
Pada suatu waktu, seorang dari suku bani Salim yang terkenal kampiun dalam praktek sihir datang kepada Nabi, melontarkan kata-kata makian. Tetapi Nabi menjawab dengan lemah-lembut. Ahli sihir itu begitu heran menghadapi sikap luar biasa ini, hingga ia memeluk agama Islam karenanya. Nabi lalu bertanya: “Apakah Anda berbekal makanan?” Jawab orang itu: “Tidak.” Maka, Nabi menanyai Muslimin yang hadir kala itu: “Adakah orang yang mau menghadiahkan seekor unta tamu kita ini?” Mu’ad ibn Ibada menghadiahkan seekor unta. Nabi sangat berkenan hati dan melanjutkan: “Barangkali ada orang yang bisa memberikan selembar kain untuk penutup kepala saudara seagama Islam?” Kepala orang itu tidak memakai tutup sama sekali. Sayyidina Ali langsung melepas serbannya dan menaruh di atas kepala orang itu. Kemudian Nabi minta kepada Salman untuk membawa orang itu ke tempat seseorang saudara seagama Islam yang dapat memberinya makan, karena dia lapar. Salman membawa orang yang baru masuk Islam itu mengunjungi beberapa rumah, tetapi tidak seorang pun yang dapat memberinya makan, karena waktu itu bukan waktu orang makan.
Akhirnya Salman pergi ke rumah Fatima, dan setelah mengetuk pintu, Salman memberi tahu maksud kunjungannya. Dengan air mata berlinang, putri Nabi ini ingin mengatakan bahwa di rumahnya tidak ada makanan sejak sudah tiga hari yang lalu. Namun putri Nabi itu enggan menolak seorang tamu, dan tuturnya: “Saya tidak dapat menolak seorang tamu yang lapar tanpa memberinya makan sampai kenyang.”
Fatimah lalu melepas kain kerudungnya, lalu memberikannya kepada Salman, dengan permintaan agar Salman membawanya barang itu ke Shamoon, seorang Yahudi, untuk ditukar dengan jagung. Salman dan orang yang baru saja memeluk agama Islam itu sangat terharu. Dan orang Yahudi itu pun sangat terkesan atas kemurahan hati putri Nabi, dan ia juga memeluk agama Islam dengan menyatakan bahwa Taurat telah memberitahukan kepada golongannya tentang berita akan lahirnya sebuah keluarga yang amat berbudi luhur.
Salman kembali ke rumah Fatima dengan membawa jagung. Dan dengan tangannya sendiri, Fatimah menggiling jagung itu, dan membakarnya menjadi roti. Salman menyarankan agar Fatimah menyisihkan beberapa buah roti untuk anak-anaknya yang kelaparan, tapi dijawab bahwa dirinya tidak berhak untuk berbuat demikian, karena ia telah memberikan kain kerudungnya itu karena kepentingan untuk Allah.
Fatima dianugerahi lima orang anak, tiga putra: Hasan, Husein, dan Muhsin, dan dua putri: Zainab dan Umi Kalsum. Hasan lahir pada tahun ketiga dan Husein pada tahun keempat Hijriah sedang Muhsin meninggal dunia waktu masih kecil.
Fatimah merawat luka Nabi sepulangnya dari Perang Uhud. Fatima juga ikut bersama Nabi ketika merebut Mekkah, begitu juga ia ikut ketika Nabi melaksanakan ibadah Haji Waqad, pada akhir tahun 11 Hijrah.
Dalam perjalanan haji terakhir ini Nabi jatuh sakit. Fatima tetap mendampingi beliau di sisi tempat tidur. Ketika itu Nabi membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah yang membuat Fatimah menangis, dan kemudian Nabi membisikkan sesuatu lagi yang membuat Fatimah tersenyum. Setelah nabi wafat, Fatima menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Ayahnya membisikkan berita kematianya, itulah yang menyebabkan Fatima menangis, tapi waktu Nabi mengatakan bahwa Fatimah-lah orang pertama yang akan berkumpul dengannya di alam baka, maka fatimah menjadi bahagia.
Tidak lama setelah Nabi wafat, Fatima meninggal dunia, dalam tahun itu juga, eman bulan setelah nabi wafat. Waktu itu Fatima berumur 28 tahun dan dimakamkan oleh Ali di Jaatul Baqih (Medina), diantar dengan dukacita masyarakat luas.
Fatimah telah menjadi simbol segala yang suci dalam diri wanita, dan pada konsepsi manusia yang paling mulia. Nabi sendiri menyatakan bahwa Fatima akan menjadi “Ratu segenap wanita yang berada di Surga.”