Sabtu, 27 Februari 2021

Kisah Nabi Yunus (1): Nabi yang Marah

 Yunus didatangi Jibril, “Pergilah ke orang-orang Niniwe dan peringatkan mereka bahwa hukuman sudah dekat.” Yunus kemudian berkata, “Aku akan mencari seekor hewan tunggangan.” Jibril membalas, “Perintah ini terlalu mendesak.”



Untuk memulai kisah tentang Nabi Yunus as, kita akan mengikuti alur cerita yang disampaikan oleh al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Sebelum mulai membaca kutipan dari al-Tabari, ada beberapa poin yang hendak disampaikan agar kita dapat lebih mudah memahaminya alur kisahnya.

Poin-poin di bawah ini mengikuti jalan berpikir al-Tabari:


Peristiwa diutusnya Yunus kepada kaumnya terjadi pada masa Persia kuno, yaitu ketika Dinasti Partia berkuasa. Al-Tabari menyebut dinasti ini berkuasa selama 266 tahun, namun dalam kajian sejarah modern, dinasti ini disebutkan berkuasa lebih lama, yaitu sekitar 247 SM-224 M.[1]
Alquran menyebutkan bahwa Yunus pergi dalam keadaan marah kepada Allah. Menurut al-Tabari, ada dua pendapat mengenai kapan Yunus marah kepada Allah: (1) Sebelum Yunus berdakwah kepada umatnya, dan (2) Setelah Yunus berdakwah kepada umatnya.
Sekarang mari kita simak apa yang ditulis oleh al-Tabari:

Pada periode para pangeran di daerah (muluk al-tawa’if)[2] terdapatlah kisah tentang Yunus, putra Amittai. Dia dikatakan berasal dari sebuah kota di wilayah Mosul, yang disebut Niniwe (sekarang di Irak).

Umatnya menyembah berhala, maka Allah mengutus Yunus kepada mereka dengan sebuah ketetapan yang melarang penyembahan ini dan perintah untuk bertobat, untuk kembali kepada Allah dari kekafiran mereka, dan untuk beriman hanya kepada satu Tuhan.

Apa yang terjadi kepadanya dan kepada siapa dia diutus diceritakan dalam Alquran:

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS Yunus [10]: 98)

Juga dikatakan:

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’.” (QS al-Anbiya [21]: 87)

Para ulama terdahulu, umat Nabi kita, Muhammad, memiliki perbedaan pendapat tentang bagaimana Yunus telah menentang Allah, berpikir bahwa Allah tidak akan memiliki kuasa atasnya, dan mengenai waktu kejadiannya.

Beberapa (ulama itu) bersikukuh bahwa rujukan itu (ayat Alquran di atas yang menceritakan Yunus pergi dalam keadaan marah) adalah pada waktu sebelum dia menyeru kepada umat di mana dia diutus, dan sebelum dia menyampaikan kepada mereka pesan dari Allah.

Intinya adalah (menurut pendapat pertama) bahwa Sang Nabi (yaitu Yunus) diperintahkan untuk melaksanakan (dakwahnya) kepada umat di mana dia diutus pada saat azab ilahi telah dipersiapkan untuk mereka, untuk menyampaikan kepada mereka bagaimana Tuhan telah menunda hukuman 

kepada mereka agar mereka dapat bertobat dari praktik buruk mereka yang penuh kebencian kepada Tuhan.

Sang Nabi meminta untuk dibebaskan dari misi ini tetapi Allah tidak mengabulkan sebuah jeda (untuk berdakwah), maka Sang Nabi menjadi marah kepada Allah karena mendesak dia untuk melaksanakan perintah-Nya, dan karena menolak permintaan jeda.

Mereka yang memegang pandangan ini (yaitu pendapat pertama):

Menurut al-Harits dari al-Hasan al-Ashyab dari Abu Hilal Muhammad bin Sulaim dari Shahr bin Hawshab:

Yunus dikunjungi oleh malaikat Jibril yang berkata kepadanya, “Pergilah ke orang-orang Niniwe dan peringatkan mereka bahwa hukuman sudah dekat.”

Yunus kemudian berkata, “Aku akan mencari seekor hewan tunggangan.”

Jibril membalas, “Perintah ini terlalu mendesak.”

Sekarang Yunus berkata, “Aku akan mencari alas kaki.”

Jibril kembali membalas, “Perintah ini terlalu mendesak.”

Dengan marah Yunus melanjutkan ke perahu dan menaikinya, tetapi perahu itu terhenti, tidak bergerak maju atau pun mundur. Kemudian mereka menarik undian, dan undian jatuh ke Yunus. Ikan Paus (al-hut) datang dengan menggoyangkan ekornya.

Telah disampaikan secara ilahiah, “Paus, wahai Paus! Kami tidak akan menjadikan Yunus sebagai makananmu! Sebaliknya, Kami menjadikanmu sebagai tempat peristirahatan untuknya, tempat perlindungan.”

Paus itu menelan Yunus, dan melanjutkan perjalanan dari tempat itu ke Ubullah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Tigris, sampai memuntahkan Yunus di Niniwe.[3]

Demikianlah riwayat yang mendukung pendapat pertama, bahwa Nabi Yunus marah sebelum dia menyampaikan dakwah kepada umatnya. Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa Yunus marah setelah dia berdakwah kepada umatnya, akan diulas dalam artikel selanjutnya. (PH)

Pada artikel pertama, telah digambarkan bahwa Nabi Yunus as marah kepada Allah sebelum dia berdakwah kepada umatnya. Pada artikel kali ini kita akan membahas riwayat-riwayat yang mendukung pendapat bahwa Nabi Yunus marah justru setelah dia berdakwah kepada umatnya.

Jumhur ulama mendukung pendapat ini, bahwa Nabi Yunus pergi dalam keadaan marah setelah dia berdakwah kepada umatnya, meskipun ada perbedaan tafsir mengenai marahnya ini ditujukan kepada siapa.


Menurut al-Tabari, para sahabat yang mendukung pendapat ini adalah Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, sebagaimana riwayat dari mereka yang akan disampaikan kemudian. Sementara itu, ulama abad pertengahan yang mendukung pendapat ini adalah Ibnu Katsir. Pada masa kekinian, ulama yang mendukung pendapat ini di antaranya adalah Quraish Shihab.

Sebagai permulaan, kita akan memulai pemaparan dari Quraish Shihab. Menurut Quraish Shihab, Nabi Yunus bin Matta lahir di Gats Aifar, Palestina. Dia diutus Allah kepada penduduk Niniwe setelah kehancuran Bait al-Maqdis, sekitar abad ke-11 sebelum Hijrah, yakni sekitar awal abad ke-8 sebelum Masehi.

Dia dikuburkan di Jaljun, suatu desa yang terletak di antara Qudus di Palestina dan al-Khalil yang terletak di tepi barat Laut Mati.

Masyarakatnya menolak ajakannya, sehingga dia menuju ke Yafa, sebuah pelabuhan di Palestina, dan melaut menuju tempat yang disebut Tarsyisy, sebuah kota di sebelah barat Palestina atau kota lainnya. Lalu dia diturunkan di tengah laut sampai ditelan oleh ikan besar. Kisahnya disebut Alquran secara singkat dalam surat Nun.

Quraish Shihab menjelaskan, bahwa Nabi Yunus kesal terhadap umatnya karena enggan beriman, sehingga dia memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Nabi Yunus menyangka, bahwa pergi tanpa izin Allah tidak akan membuat dirinya kesulitan, karena menyangka bahwa Allah akan memperkenankan sikapnya yang demikian.


Namun dugaannya ternyata salah, karena dia kemudian ditelan oleh ikan besar, sehingga selama di dalam perutnya, dia hidup dalam kesempitan, bukan saja kesempitan ruang, tetapi lebih-lebih kesempitan dan kesesakan hati.

Selama di dalamnya Nabi Yunus menyangka bahwa Allah tidak akan menyelamatkan dirinya karena menurut kebiasaan pada umumnya, mustahil seseorang yang ditelan ikan dapat keluar dengan selamat.

Di dalamnya Nabi Yunus kemudian berdoa, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir,  “Dengan nama Allah yang bila didoakan dengannya dan bila dimohonkan kepada-Nya niscaya dikabulkan adalah doa Yunus bin Matta.”

Sa’id bin Abi Waqqash, perawi hadis ini, bertanya kepada Nabi saw,  “Apakah itu khusus buat Yunus, atau umum mencakup kaum Mukminin?”

Nabi menjawab,  “Ia secara khusus buat Yunus dan secara umum buat kaum mukminin, apabila mereka berdoa dengannya. Tidakkah engkau mendengar firman Allah: (lalu beliau membaca ayat 87-88 surat al-Anbiya)?”

Dan bersabda,  “Ini merupakan syarat dari Allah bagi yang berdoa dengannya.”

Pada ayat lain, Allah berfirman:

 “Maka kalau sekiranya dia (Nabi Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS as-Saffat [37]: 143-144)

Demikianlah rangkuman pemaparan dari Quraish Shihab dalam menjelaskan tafsir Alquran surat al-Anbiya ayat 87-88.[1]

Sekarang mari kita simak riwayat dari Ibnu Abbas:

Misi (dakwah) Yunus terjadi setelah ikan paus mengeluarkannya (mengacu kepada riwayat sebelumnya yang pernah kita sampaikan dalam artikel pertama). Yang lain mengatakan bahwa itu terjadi setelah dia menyeru kepada mereka di mana dia diutus untuk mengikuti instruksi ilahi, dan setelah dia menyampaikan kepada mereka pesan Tuhan.

Dia memperingatkan mereka bahwa hukuman ilahi akan dimulai pada waktu yang ditentukan (jika mereka tidak bertobat); tetapi dia (Yunus) pergi karena mereka tidak bertobat, mereka juga bahkan (sama sekali) tidak mempertimbangkan untuk menaati Allah dan beriman kepada-Nya.

Namun ketika hukuman ilahi membayangi orang-orang itu, ia menyelimuti mereka seperti yang dijelaskan dalam Alquran. Kemudian mereka bertobat, dan berpaling kepada Allah; dan Allah mencabut hukuman itu.

Yunus mendengar tentang pembebasan mereka, dan pencabutan hukuman yang telah dia peringatkan kepada mereka. Marah karenanya, dia berkata,  “Aku memperingatkan mereka tetapi peringataanku ditolak.”

Dia pergi, dengan marah kepada Allah, dan menolak untuk kembali kepada mereka, karena mereka telah mencela dia sebagai pendusta.[2]

Jika kita menyimak dua pemaparan di atas, meskipun keduanya memiliki kronologi yang sama, yaitu Nabi Yunus marah setelah dia berdakwah, namun ada perbedaan mengenai marahnya itu ditujukan kepada siapa.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa Nabi Yunus marah kepada umatnya, dan dia pergi meninggalkan mereka tanpa seizin Allah. Sementara Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Nabi Yunus marah baik kepada umatnya maupun kepada Allah juga. (PH)



Catatan kaki:

[1] Encyclopaedia Britannica, “Parthia”, dari laman https://www.britannica.com/place/Parthia, diakses 15 Januari 2021.

[2] Maksudnya mengacu kepada Kekaisaran Partia, sebuah dinasti Persia kuno. Pada masa sebelumnya, ketika Aleksander Agung berkuasa di Persia, dia membagi-bagi wilayah Persia, dan pada masing-masing wilayah tersebut ditempatkan para pangeran yang memerintah. Oleh karena itulah al-Tabari menyebutnya periode “para pangeran di daerah”. Lebih jelas mengenai hal ini lihat Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume IV, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Moshe Perlmann (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 129.

[3] Al-Tabari, Ibid., hlm 160-161.

[4] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 8 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 498-499.

[5] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume IV, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Moshe Perlmann (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 161-162.


Previous Post
Next Post

post written by:

0 Post a Comment: