Jumat, 28 Mei 2021

Abu Amr ad-Dani; Salah Satu Syaikhani dalam Ilmu Rasm

 




Dalam ilmu penulisan Al-Qur'an dikenal sebuah cabang ilmu yaitu ilmu rasm. Dalam ilmu rasm, dikenal 2 tokoh ulama yang disebut Syaikhani atau 2 syeikh. Kedua orang itu adalah Abu ‘Amr ad-Dani yang telah menulis buku berjudul Al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar, dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah yang telah menulis buku Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil.

Rasm adalah tatacara penulisan, atau disebut juga pola tulis kalimat. Secara umum, dalam penulisan huruf Arab ada tiga jenis rasm, yaitu:

1. Rasm qiyasi/imlai, pola penulisan sesuai dengan cara pengucapannya.

2. Rasm Utsmani, pola penulisan sesuai dengan cara penulisan yang ditetapkan shahabat Usman bin Affan RA.

3. Rasm Arudi, pola penulisan sesuai dengan wazan dalam syair-syair Arab.

Dalam penulisan mushaf Al-Quran, hanya dipakai dua rasm, yaitu Rasm Qiyasi dan Rasm Utsmani. Yang paling populer hingga saat ini adalah mushaf Al-Quran yang ditulis menggunakan Rasm Utsmani.

Meski selain dua nama di atas, terdapat imam-imam rasm lain yang juga sering dijadikan rujukan. Seperti al-Balansi (w. 564 H) dalam kitabnya al-Munsif, asy-Syatibi (w. 590 H) dalam karyanya Al-Aqilat Al-Atraf, As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Wasilah ila Kasyf al-‘Aqilah, dan lain-lain.

Mereka memberikan tambahan terhadap hal-hal yang tidak dibahas oleh Syaikhani di atas. Bahkan terkadang juga memberikan koreksi terhadap pandangan keduanya. Sayangnya, nama-nama para imam selain Syaikhani tersebut kurang popular di masyarakat. Atau bahkan di masyarakat, nama Syaikhan dalam ilmu rasm juga tak begitu terkenal.

Bahkan muncul pemahaman di kalangan masyarakat bahwa mushaf rasm Utsmani itu satu macam, yang diterbitkan oleh, misalnya, penerbit mushaf Madinah saja. Selain terbitan Madinah, dianggap bukan rasm Utsmani.

Padahal, dalam mushaf cetakan Madinah pun terdapat pembaruan dan penyesuaian yang didasarkan pada pendapat imam-imam rasm selain As-Syaikhani. Misalnya halaman akhir Mushaf Madinah (Ta’rif bi-hadza al-Mushaf) terbitan Mujamma’ al-Malik Fahd tahun 1407 H/1986 M, terdapat keterangan:

“Pola penulisan rasm pada mushaf ini adalah sesuai dengan  riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani).”

Namun setelah diteliti ulang, ternyata tidak sepenuhnya penulisan mushaf tersebut konsisten pada Madzhab Abu Dawud. Karenanya, pada cetakan tahun 1426 H/2004 M, redaksi pada halaman Ta’rif bi-hadza al-Mushaf ditambah keterangan:

“Pola penulisan rasm pada mushaf ini adalah sesuai dengan  riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani) pada umumnya, dan terkadang dirujuk dari ulama selain keduanya.”

Dengan redaksi di atas, Mushaf Madinah tidak membatasi acuannya hanya pendapat Asy-Syakhani saja, namun menampung juga pendapat dari luar keduanya, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa versi Rasm Usmani.

Apakah Mushaf terbitan Indonesia berbeda dengan terbitan Arab Saudi? Apakah juga memakai rasm utsmani?

Mushaf Indonesia tidak berafiliasi secara tegas kepada salah satu mazhab rasm, namun kalau dilihat secara lebih rinci lebih banyak mengadopsi pandangan Abu ‘Amr Ad-Dani. Ini bisa dilihat dalam isbat (penetapan) Alif dalam banyak penulisan kata.

Dengan demikian, anggapan bahwa rasm usmani hanya satu macam adalah anggapan yang kurang pas dan cenderung keliru. Mushaf Standar Indonesia juga menggunakan Rasm Usmani, seperti halnya Mushaf Madinah, dan Mushaf Jamahiriyyah Libya.

Maka mushaf Rasm Utsmani itu bukan hanya mushaf yang hari ini dicetak oleh Pemerintah Arab Saudi (mushaf Madinah) saja. Mushaf versi Indonesia yang ditashih oleh Kemenag RI juga menggunakan Rasm Utsmani.

Meski sama-sama menggunakan Rasm Utsmani, terdapat perbedaan di antara keduanya karena memang dalam Rasm Utsmani itu sendiri terdapat beberapa pendapat tentang penulisan lafal-lafal tertentu. Bukan hanya pendapat tunggal.

a. Nasab Abu Amr ad-Dani

Abu ‘Amr ad-Dani nama lengkapnya adalah Usman Bin Said Bin Usman Bin Amr Abu Amr ad-Dani[1]. Sebutan ad-Dani yang melekat pada dirinya merupakan nisbat kepada tanah kelahirannya, yaitu sebuah kota kecil di Andalusia (Spanyol bagian selatan) bernama al-Danniyyah, dibawah kekhalifahan Daulah Umayyah di Cordoba saat itu atau sekitar tahun (371-444 H/ 981-1053 M). Jika melihat tahunnya, maka ad-Dani hidup sekitar Daulah Umayyah dari Hisyam II Sampai Hisyam III.

Selain terkenal dengan sebutan ad-Dani, menurut al-Dzahabi, beliau juga lebih dikenal pada masa itu dengan sebutan Ibn al-Shairafi, sedangkan pada masa sekarang lebih masyhur sebagai al-Dani. Namanya selalu dikait-kaitkan dengan ilmu qiro’at sebagaimana ikatan antara Imam Syibawaih dengan ilmu nahwu, serta ikatan antara Imam Bukhari dengan ilmu hadits.[2]

Ibnu al-Jazary dalam Thabaqah al-Qurra’-nya menjelaskan bahwasannya al-Dani termasuk seorang yang terkemuka dan menjadi rujukan para qari dan perawi qiraat. Dikisahkan dari gurunya al-Hafizh ‘Abdullah Muhammad ibn Khalil bahwa kesaksian sebagian ahli qiraat pada masa itu, tidak dijumpai seorang yang melebihi al-Dani dalam hal hafalannya serta kedalaman penguasaannya terhadap ilmu qiraah.

Imam Ad-Dani hidup dalam Masa abad 4-5 Hijriyah (seperempat akhir masa waktu abad ke empat dan masuk abad ke-5), dimana saat itu masa bergejolaknya politik islam dari barat sampai timur Arab. Pada masa itu dari sisi keilmuan merupakan masa keemasan perkembangan ilmu pengetahuan (Masa Daulah Ummayah).

Perjalanan keilmuannya dimulai pada tahun 386 H, dan menjelajah ke daerah timur atau semenanjung arab dan sekitarnya pada tahun 397 H. hingga memutuskan untuk tinggal di Mesir selama satu tahun. Pada tahun 399 H, beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah. Selama rentang waktu beberapa tahun berada di daerah timur, beliau maksimalkan dengan berguru dan mengambil sanad keilmuan kepada para ulama.

Al-Dani pun kembali ke Andalus pasca menunaikan ibadah haji. Beliau tercatat tinggal selama kurun waktu 45 tahun di Andalus dan menjadi imam qiraah disana. Al-Dani wafat pada hari Senin pertengahan bulan Syawwal tahun 444 H. dan dikebumikan di Daniyah[3]. Lautan manusia tampak tatkala proses dikebumikannya al-Dani, menggambarkan betapa kehilangan seorang ulama besar. Secara fiqih beliau bermazhab Malikiyyah, sebagaimana kebanyakan ulama dari Andalusia saat itu[4].

b. Sanad Keilmuan Al-Dani

Di dalam kitabnya al-Arjuzah al-Munabbahah, al-Dani memaparkan bahwa ia telah mengambil beragam cabang keilmuan islam dari beberapa guru. Bahkan disebutkan jumlah guru yang telah ia ambil ibroh nya tidak kurang dari 70 orang ahli, pada riwayat lain disebut juga berjumlah 90 orang.[5]

Diantara guru Abu Amr ad-Dani yang paling masyhur di kalangan masyarakat Andalusia adalah Abu Marwan ‘Ubaidillah ibn Salamah dan Muhammad Yusuf al-Qurthubi atau yang dikenal sebagai al-Najjad (w. 386 H), al-Najjad merupakan paman dari al-Dani. Dari keduanya itu al-Dani mengambil sanad riwayat Nafi’, dan dari Ibn Salamah ia mengambil riwayat Ibn ‘Amir, namun kedua gurunya tersebut tidak termaktub dalam al-Arjuzah nya. Sedangkan, guru tertua beliau adalah Abu Muslim Muhammad bin Ahmad al-Katib (w. 403 H)[6].

Diantara sekian banyak ulama ahli qiraat lain yang menjadi guru dari al-Dani ialah:[7]

  1. Abu al-Fath Faris ibn Ahmad al-Dlarir
  2. Abu al-Qasim Abd al-Aziz ibn Ja’far al-Farisy (w. 413)
  3. Abu Muslim Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Ali al-Katib (w. 403)
  4. Khalaf ibn Ibrahim ibn Ja’far al-Khaqani al-Masry (w. 402)
  5. Abu al-Hasan Thahir ibn Ghalbut (w. 399)
  6. Abu Muhammad Abdullah al-Mashahifi
  7. Ahmad ibn ‘Umar al-Qhadli al-Jiziy
  8. Abu Muhammad Abd al-Rahman ibn ‘Umar al-Mu’dil
  9. Muhammad ibn Abd al-Wahid al-Baghdadi
  10. Muhammad ibn Abu ‘Amr al-Baghandi

c. Murid-Murid Abu Amr ad-Dani

Selain banyaknya guru yang menjadi sumber keilmuan beliau, banyak pula tokoh-tokoh islam terkemuka yang lahir dari majelis ilmu pimpinan beliau. Oleh karenanya, Abu ‘Amr al-Dani disebut juga sebagai ka’bahnya para santri, dan juga imamnya para imam pada masa itu.

Jika menilik pada keluasan ilmunya, para ulama menjadikan al-Dani sebagi sumber rujukan apabila menemukan perbedaan. Dari sekian banyak muridnya yang terkenal adalah Abu Sulaiman ibn Najah yang telah mengarang sebuah buku dalam cabang ilmu rasm ‘Utsmani dengan judul al-Tanzil fi al-Rasm. Abu Sulaiman ibn Najah mempunyai seorang murid bernama ‘Ali ibn Hudzail yang darinya belajar seseorang yang nantinya menjadi ahli qiraat terkemuka pula, ia adalah al-Qasim al-Syathibi.

Murid-murid al-Dani lainnya yang tidak kalah terkenal antara lain, ibnu al-Bayyaz dan Ahmad Abd al-Malik ibn Abi Hamzah yang mana merupakan sosok terakhir perawi kitab al-Taisir sebelum al-Dani wafat. Tercatat pula tokoh lain yang sempat menimba ilmu kepada al-Dani diantaranya, Khalaf ibn Ibrahim al-Thalithi, Abdullah ibn Sahal al-Anshari, al-‘Ash ibn Khalaf Abu Bakar al-Isybili pengarang kitab al-Tadzkirah wa al-Tahdzib, Muhammad ibn ‘Isa ibn al-Farg al-Maghami, juga Muhammad ibn Ibrahim ibn Ilyas yang lebih dikenal dengan ibn Syu’aib.

d. Karya-Karya Abu Amr ad-Dani

ad-Dzahabi (w. 748 H) menyebutkan banyak kitab yang telah ditulis oleh Abu Amr ad-Dani; kitab itu antara lain[8]:

  1. Jami’ al-Bayan fi as-Sab’i
  2. at-Taisir
  3. al-Iqtishad fi as-Sab’i
  4. Ijaz al-Bayan fi Qiraat Warasy
  5. At-Talkhish
  6. Al-Muqni’ fi ar-Rasm
  7. Al-Muhtawa fi Qira’at as-Syawadz
  8. Thabaqat al-Qurra’
  9. Al-Arjuzah fi Ushul ad-Diyanah
  10. Al-Waqf wa al-Ibtida’
  11. Al-‘Adad
  12. At-Tamhid fi Harf an-Nafi’
  13. Al-Lamat wa ar-Ra’at
  14. Al-Fitan al-Kainah
  15. Al-Hamzatain
  16. Al-Ya’at
  17. Al-Imalah dan masih banyak lagi

 


[1] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', (Baerut: Muasisah ar-Risalah, 1982 M), juz 18, hal 77

[2] Syamsuddin Abi al-Khair Muhammad ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ali ibnu al-Jazary al-Dimasyqi al-Syafii, 2006. Ghayatun Nihayah fi Thabaqaatil Qurra’. h. 447

[3] Abdul Fattah bin Sayyid Ajmi al-Mishri (w. 1409 H), Hidayat al-Qari ila Tajwid Kalam al-Bari, (Madinah: Maktabah Thaibah, t.t), juz 2, hal. 672

[4] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', juz 18, hal 78

[5] Abu ‘Amar ‘Utsman ibn Sa’id ibn ‘Utsman ibn Sa’id al-Dani al-Andalusi. Al-Arjuzah al-Munabbahah ‘ala Asmai al-Qurra’ wa al-Ruwaat (Riyadh: Daar al-Mughni), hal. 19

[6] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', juz 18, hal 78

[7] Muhammad Mukhtar, Tarikh al-Qira’at fi al-Masyriq wa al-Maghrib, (Rabat: Isesco Iznan, 2001), h. 121

[8] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', juz 18, hal 81

 

Senin, 10 Mei 2021

Mengenal Siti Maryam dan Siti Aminah: Dua Wanita Mulia

 Setiap ibu berperan penting dalam kehidupan anak-anak mereka. Mereka mengasihi, melindungi, mendidik, dan menjaga anak-anak mereka.


Ada beberapa ibu yang dimuliakan karena mereka melahirkan orang yang sangat istimewa. Bagaimana dengan ibunda Nabi Isa dan Muhammad? Mengapa Siti Maryam diberi gelar sebagai wanita utama di dunia?



Siti Aminah, Ibu Muhammad

Siti Aminah, isteri Abdullah, adalah wanita yang melahirkan Muhammad. Tidak cukup banyak cerita yang mengisahkan tentang kehidupan Siti Aminah.


Al-Quran sendiri tidak mengabadikan namanya sebagai nama salah satu surat Al-Quran. Bukankah Siti Aminah adalah ibu dari Nabi Besar umat Islam yaitu Muhammad? Mengapa Al-Quran tidak menyebut namanya?


Seorang wanita tersenyum memandangi bayi dalam gendongannya, Siti Maryam, Ibu Isa Al-Masih

Siti Maryam adalah wanita yang melahirkan Isa Al-Masih. Maryam belum memiliki suami saat dia mengandung. Walaupun masih dalam keadaan perawan, tetapi dengan kuasa dari Allah dia dapat hamil dan mengandung bayi Isa Al-Masih.


قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا (19) قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا (20)  قَالَ كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِنَّا  وَكَانَ أَمْرًا مَقْضِيًّا (21)   فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22)

Allah Berfirman: “Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci".(19) Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"(20) Jibril berkata: "Demikianlah". Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan".(21) Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. (22)” (Qs Maryam).


Baik Injil maupun Al-Quran menulis bahwa Maryam adalah wanita yang taat dan soleh. Seorang Pakar Islam Mesir mengatakan Siti Maryam adalah wanita utama di dunia. Apakah Anda setuju dengan pernyataan ini?


Ada satu surat yang bernama Surat Maryam di Al-Quran. Justru ibu Isa Al-Masihlah sering disebut dalam Al-Quran dan mendapat predikat sebagai wanita utama di dunia. Mengapa demikian?


Maryam Diutamakan Karena Melahirkan Isa Al-Masih

Mengacu pada penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Maryam lebih mulia daripada Siti Aminah. Kelihatan demikian walaupun mereka berdua sama-sama melahirkan orang-orang yang sangat berpengaruh dalam dunia keagamaan.


Yang terutama, Maryam adalah satu-satunya ibu di sejarah dunia yang dilebihkan di atas semua wanita lain di dunia. Mengapa? Karena ia melahirkan Kalimah Allah, Isa Al-Masih.


Demikian Kitab Suci Injil, Rasul Lukas 1:42, 48 berbunyi dengan wahyu Allah: “Diberkatilah engkau [Maryam] di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu [yaitu Isa Al-Masih] . . .” Dan nyanyian pujian Maryam: “Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia.”


Ampunan dari Dosa Melalui Kalimat Allah

Buah rahim Maryam adalah Kalimat Allah, Juruselamat Dunia. Kalimat Allah, yang kekal adanya, menjelma masuk dunia melalui rahim Maryam. Inilah satu-satunya alasan mengapa Maryam diberi gelar sebagai wanita utama di dunia.


Isa sudah menjanjikan ampunan dari setiap dosa untuk orang-orang yang beriman kepada-Nya. Dan kita bisa hidup bersama Ia selama-lamanya di surga

Sabtu, 27 Februari 2021

Kisah Nabi Yunus (4): Dimuntahkan Paus

 Yunus dilemparkan ke pantai, dan Allah membuat pohon labu tumbuh. Konon pohon labu itu adalah yang labunya meneteskan susu sampai kekuatannya kembali kepadanya.

Sekarang mari kita simak riwayat dari al-Rabi, sebagaimana dikutip oleh al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk:


Aku mendengar dari seseorang yang hafal Alquran pada masa Umar bin Khattab (menjadi khalifah). Dia menceritakan tentang umat Yunus dan bagaimana Yunus memperingatkan umatnya dan (dia) tidak dipercaya.

(Menurut dia) Yunus memberi tahu mereka bahwa azab akan mendatangi mereka, dan (kemudian Yunus) meninggalkan mereka.

Ketika mereka melihat ini dan (memahami bahwa) azab itu sudah menyelimuti mereka, mereka meninggalkan tempat tinggal mereka dan naik ke tempat yang tinggi.

Mereka berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, menyeru-Nya dalam permohonan yang tulus, agar Dia dapat menangguhkan azab dari mereka dan mengembalikan kepada mereka Nabi mereka (yaitu Yunus).


Itulah mengapa dikatakan:


فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS Yunus [10]: 98)


Tidak ada satu pun kota yang dijatuhi azab namun azabnya dibatalkan, kecuali dalam peristiwa umat Yunus. Namun Yunus tidak melihatnya seperti itu, dia menaruh kekesalan kepada Tuhan dan pergi dengan marah. Berpikir bahwa Tuhan tidak akan dapat mencapainya, Yunus naik ke perahu.

Orang-orang yang naik perahu itu dilanda badai angin yang menggebu-gebu dan berkata, “Ini karena dosa salah satu dari kalian.”

Yunus menyadari bahwa ini karena kesalahannya, berkata, “Ini adalah dosaku, lempar aku ke laut.” Mereka menolak, sampai mereka menarik undian, dan Yunus “ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian.” (QS as-Saffat [37]: 141)

Dia memberi tahu mereka, “Aku sudah memberi tahu kalian bahwa ini adalah kesalahanku.”

Tetapi mereka menolak untuk melemparnya ke laut sampai mereka menarik undian untuk ketiga kalinya. Dia kalah (dalam undian) lagi. Ketika dia melihat itu, dia menceburkan dirinya ke laut, pada malam hari.

فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ ...

Ikan paus menelannya, “Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’.” (QS al-Anbiya [21]: 87)


Dia telah melakukan pekerjaan yang benar sebelumnya, dan Allah berfirman tentang dia, “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS as-Saffat [37]: 143-144)


Intinya adalah bahwa perbuatan yang benar menyelamatkan manusia ketika dia melakukan kesalahan. (Sebagaimana tertulis:) “Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang dia dalam keadaan sakit.” (QS as-Saffat [37]: 145)


Yunus dilemparkan ke pantai, dan Allah membuat pohon labu tumbuh. Konon pohon labu itu adalah yang labunya meneteskan susu sampai kekuatannya kembali kepadanya. Kemudian suatu hari dia kembali ke pohon itu, dan menemukannya telah mengering. Dia berduka dan menangis karenanya.

Tetapi dia ditegur dan diberi tahu, “Engkau berduka dan menangisi sebatang pohon, tetapi engkau tidak berduka terhadap seratus ribu orang atau lebih yang kematiannya telah engkau minta.”

Kemudian Allah melepaskan dia dari kesalahan, dan menjadikannya salah satu orang yang benar. Yunus 

Kisah Nabi Yunus (3): Melompat ke Laut

 Ibnu Katsir menjelaskan, “Tiga lapis kegelapan menyelimuti dirinya (Yunus), satu di atas yang lainnya: kegelapan perut paus, kegelapan dasar laut, dan kegelapan malam.”

Sekarang mari kita lanjutkan kembali riwayat dari Ibnu Katsir dalam Qisas Al-Anbiya:


Yunus Melompat ke Laut


Kapten memberi perintah, “Kami akan mengadakan undian dengan semua nama penumpang. Yang namanya muncul akan dibuang ke laut.”

Yunus mengetahui bahwa hal ini adalah salah satu tradisi pelaut saat menghadapi badai. Ini adalah tradisi penyembah berhala yang aneh, tetapi dipraktikkan pada saat itu. Penderitaan dan krisis Yunus dimulai.

Inilah Sang Nabi, tunduk pada aturan penyembah berhala yang menganggap laut dan angin memiliki tuhan-tuhan yang mendatangkan bencana. Sang Kapten harus membuat senang tuhan-tuhan ini. Yunus dengan enggan ikut serta, dan namanya dimasukkan ke dalam daftar penumpang bersama yang lainnya.

Pengundian dimulai dan nama “Yunus” muncul. Karena mereka tahu dia adalah yang paling terhormat di antara mereka, mereka tidak ingin melemparkannya ke laut yang marah. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menarik undian kedua. Sekali lagi nama Yunus muncul. Mereka memberinya kesempatan terakhir dan menarik undian ketiga. Malang bagi Yunus, namanya muncul lagi.

Yunus menyadari bahwa Tangan Allah ada di balik semua ini, karena dia telah meninggalkan dakwahnya tanpa seizin Allah. Masalahnya sudah selesai, dan telah diputuskan bahwa Yunus harus melemparkan dirinya ke dalam air.

Yunus berdiri di tepi perahu memandangi lautan yang mengamuk. Saat itu malam dan tidak ada bulan. Bintang-bintang tersembunyi di balik kabut hitam. Namun sebelum dia melompat ke laut, Yunus terus menyebut nama Allah seraya melompat ke laut yang mengamuk dan menghilang di bawah ombak besar.


Paus Menelan Yunus


Paus menemukan Yunus mengapung di atas ombak di depannya. Ia menelan Yunus ke dalam perutnya yang ganas dan menutup gigi putihnya, seolah-olah itu adalah jeruji putih yang mengunci pintu penjaranya. Paus itu menyelam ke dasar laut, lautan yang mengalir di jurang kegelapan.

Tiga lapis kegelapan menyelimuti dirinya, satu di atas yang lainnya: kegelapan perut paus, kegelapan dasar laut, dan kegelapan malam.

Yunus membayangkan bahwa dirinya akan mati, tapi indranya menjadi waspada ketika dia tahu dia bisa bergerak. Dia tahu bahwa dia masih hidup dan terkurung di bawah tiga lapisan kegelapan. Hatinya tergerak dengan mengingat Allah.

Lidahnya dapat bergerak, segera setelahnya dia berkata:


فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ ....

“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS al-Anbiya [21]: 87)


Yunus terus berdoa kepada Allah, mengulangi doa ini. Ikan-ikan, rumput laut, dan semua makhluk yang hidup di laut mendengar suara Yunus berdoa, mendengar perhelatan puji-pujian yang keluar dari perut paus.

Semua makhluk ini berkumpul di sekitar paus dan pada gilirannya mereka mulai membacakan puji-pujian kepada Allah, masing-masing dengan caranya sendiri dan dalam bahasanya sendiri.

Paus itu (yang menelan Yunus) juga ikut membacakan puji-pujian kepada Allah dan memahami bahwa ia telah menelan seorang nabi. Karena itu ia merasa takut, tetapi bagaimanapun, ia berkata pada dirinya sendiri, “Mengapa aku harus takut? Allah memerintahkanku untuk menelannya.”


Allah mengampuni Yunus


Allah SWT melihat pertobatan Yunus yang tulus dan mendengar seruannya di dalam perut ikan paus. Allah memerintahkan paus untuk muncul ke permukaan dan mengeluarkan Yunus ke sebuah pulau.

Paus itu patuh dan berenang ke sisi terjauh samudera. Allah memerintahkannya untuk naik menuju ke tempat yang mataharinya hangat dan menyegarkan, dan wilayahnya nyaman.

Paus itu memuntahkan Yunus di sebuah pulau terpencil. Tubuhnya meradang karena asam di dalam perut paus. Dia sakit, dan ketika matahari terbit, sinarnya membakar tubuhnya yang meradang sehingga dia hampir berteriak karena kesakitan. Namun, dia menahan rasa sakit itu dan terus mengulangi seruannya kepada Allah.

Allah Yang Mahakuasa membuat pohon yang merambat tumbuh cukup lebat di atasnya untuk perlindungan. Kemudian Allah SWT membuat Yunus pulih dan memaafkannya. Allah memberi tahu Yunus bahwa jika bukan karena dia berdoa kepada-Nya, dia akan tetap berada di perut paus sampai Hari Kebangkitan.


Rangkuman dari Kisah Yunus


Allah SWT berfirman:


“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian dia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka dia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang dia dalam keadaan sakit. Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu. Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih. Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.” (QS as-Saffat [37]: 139-148)


Umat Yunus Berubah


Perlahan-lahan dia mendapatkan kembali kekuatannya dan menemukan jalan ke kampung halamannya, Niniwe. Dia sangat terkejut melihat perubahan yang telah terjadi di sana. Seluruh penduduk ternyata menyambutnya. Mereka memberitahunya bahwa mereka telah berbalik untuk beriman kepada Allah. Bersama-sama mereka mengadakan doa syukur kepada Tuhan mereka yang Maha Penyayang.[1]

Demikianlah riwayat dari Ibnu Katsir. Ke depan kita masih akan melihat riwayat-riwayat dari sejarawan lainnya sebagai bahan perbandingan. (PH)

Kisah Nabi Yunus (2): Pergi ke Lautan

Ibnu Katsir mengisahkan, “Gelombang naik setinggi gunung lalu terjun ke bawah bagaikan lembah, menghantam perahu dan menyapu dek. Di belakang perahu, seekor paus besar membelah air dan membuka mulutnya.”

 

Ibnu Abbas meriwayatkan:


Allah mengutus Yunus kepada orang-orang di kotanya, tetapi mereka menolak seruannya dan mengabaikannya. Ketika mereka bertindak demikian, Allah berfirman kepadanya, “Aku akan mendatangkan hukuman kepada mereka pada hari ini dan itu, jadi tinggalkanlah mereka kemudian.”

Yunus memberi tahu umatnya bahwa hukuman ilahi telah disiapkan untuk mereka. Mereka berkata, “Amati dia, jika dia meninggalkan kalian, maka demi Allah, ancamannya akan menjadi kenyataan.”

Pada malam penghukuman, orang-orang pergi secara diam-diam tanpa sepengetahuan Yunus. Mereka meninggalkan kota untuk mencari tempat terbuka dan memisahkan hewan-hewan dari anak-anaknya. Kemudian mereka berseru kepada Allah untuk meminta pertolongan. Mereka memohon kepada-Nya untuk membatalkan keputusan-Nya, dan Dia mengabulkan pemintaan pembatalan itu.

Yunus menunggu-nunggu berita tentang kota dan penduduknya. Seorang pejalan kaki memberi tahu dia apa yang telah dilakukan orang-orang di kota itu. “Apa yang dilakukan orang-orang kota itu?” tanya Yunus.

Pejalan kaki itu menjawab, “Inilah yang mereka lakukan. Segera setelah Nabi mereka meninggalkan mereka, mereka mengerti bahwa dia mengatakan kebenaran ketika dia memperingatkan mereka dengan hukuman.

“Jadi mereka meninggalkan kota mereka ke suatu tempat terbuka, dan memisahkan semua ibu dari anak-anak mereka, dan berseru kepada Allah memohon pertolongan. Mereka bertobat, pertobatan mereka diterima, dan hukuman dibatalkan.”

Mendengar hal ini, Yunus berkata dengan marah, “Demi Allah, aku tidak akan pernah kembali kepada mereka sebagai pendusta. Aku memperingatkan mereka dengan hukuman pada hari tertentu, lalu (hukuman itu malah) dibatalkan.” Dia pergi, marah kepada Allah, dan jatuh ke dalam jerat iblis.[1]

Untuk melihat bagaimana kelanjutan kisah di atas, sekarang mari kita simak penuturan dari Ibnu Katsir dalam Qisas Al-Anbiya:

Penduduk kota Niniwe adalah penyembah berhala yang menjalani kehidupan yang tidak tahu malu. Nabi Yunus as diutus untuk mengajari mereka menyembah Allah.

Orang-orang ini tidak menyukai campur tangannya dalam cara beribadah, jadi mereka mendebatnya, “Kami dan nenek moyang kami telah menyembah tuhan-tuhan ini selama bertahun-tahun dan tidak ada bahaya yang menimpa kami.”

Dia berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan mereka tentang kebodohan penyembahan berhala dan kebaikan hukum Allah, mereka mengabaikannya. Dia memperingatkan mereka bahwa jika mereka terus melakukan kebodohan mereka, hukuman Allah akan segera datang.

Alih-alih takut kepada Allah, mereka memberi tahu Yunus bahwa mereka tidak takut dengan ancamannya. “Biarkan itu terjadi,” kata mereka kepadanya.

Yunus berkecil hati, “Jika demikian, aku akan membiarkan kalian menderita!” Setelah berkata demikian, dia meninggalkan Niniwe, khawatir bahwa amarah Allah akan segera datang.


وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya).” (QS al-Anbiya [21]: 87)


Dia baru saja meninggalkan kota ketika langit mulai berubah warnanya dan tampak seperti terbakar. Orang-orang dipenuhi ketakutan dengan pemandangan ini. Mereka mengingat kehancuran kaum Ad, Tsamud, dan Nuh.

Apakah nasib mereka sama? Perlahan-lahan keimanan memasuki hati mereka. Mereka semua berkumpul di gunung dan mulai memohon belas kasihan dan pengampunan-Nya. Gunung-gunung menggema dengan tangisan mereka.

Ini adalah kejadian yang begitu monumental, diisi dengan pertobatan yang tulus. Allah menghapus murka-Nya dan memberkahi mereka sekali lagi. Ketika badai yang mengancam terangkat, mereka berdoa agar Yunus kembali sehingga dia bisa membimbing mereka.

Sementara itu Yunus sudah naik perahu kecil ditemani beberapa penumpang lain. Perahu itu berlayar sepanjang hari di perairan yang tenang dengan angin kencang meniup layar.

Saat malam tiba, laut tiba-tiba berubah. Badai yang mengerikan berhembus seolah-olah akan membelah perahu menjadi serpihan. Gelombangnya menggila. Mereka naik setinggi gunung lalu terjun ke bawah bagaikan lembah, menghantam perahu dan menyapu dek.

Di belakang perahu, seekor paus besar membelah air dan membuka mulutnya. Sebuah perintah telah diturunkan Allah Yang Maha Kuasa kepada salah satu paus terbesar di lautan untuk naik ke permukaan. Ia mematuhinya.

Paus itu dengan cepat naik ke permukaan laut dan mengikuti perahu seperti yang diperintahkan. Badai terus berlanjut dan kepala awak meminta awak perahu untuk meringankan beban berat perahu. Mereka membuang barang-barang mereka ke laut, tetapi ini tidak cukup.

Keselamatan mereka terletak pada pengurangan beban yang lebih banyak, jadi mereka memutuskan di antara mereka sendiri untuk meringankan beban mereka dengan menghilangkan setidaknya satu orang.[2] (PH)

Kisah Nabi Yunus (1): Nabi yang Marah

 Yunus didatangi Jibril, “Pergilah ke orang-orang Niniwe dan peringatkan mereka bahwa hukuman sudah dekat.” Yunus kemudian berkata, “Aku akan mencari seekor hewan tunggangan.” Jibril membalas, “Perintah ini terlalu mendesak.”



Untuk memulai kisah tentang Nabi Yunus as, kita akan mengikuti alur cerita yang disampaikan oleh al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Sebelum mulai membaca kutipan dari al-Tabari, ada beberapa poin yang hendak disampaikan agar kita dapat lebih mudah memahaminya alur kisahnya.

Poin-poin di bawah ini mengikuti jalan berpikir al-Tabari:


Peristiwa diutusnya Yunus kepada kaumnya terjadi pada masa Persia kuno, yaitu ketika Dinasti Partia berkuasa. Al-Tabari menyebut dinasti ini berkuasa selama 266 tahun, namun dalam kajian sejarah modern, dinasti ini disebutkan berkuasa lebih lama, yaitu sekitar 247 SM-224 M.[1]
Alquran menyebutkan bahwa Yunus pergi dalam keadaan marah kepada Allah. Menurut al-Tabari, ada dua pendapat mengenai kapan Yunus marah kepada Allah: (1) Sebelum Yunus berdakwah kepada umatnya, dan (2) Setelah Yunus berdakwah kepada umatnya.
Sekarang mari kita simak apa yang ditulis oleh al-Tabari:

Pada periode para pangeran di daerah (muluk al-tawa’if)[2] terdapatlah kisah tentang Yunus, putra Amittai. Dia dikatakan berasal dari sebuah kota di wilayah Mosul, yang disebut Niniwe (sekarang di Irak).

Umatnya menyembah berhala, maka Allah mengutus Yunus kepada mereka dengan sebuah ketetapan yang melarang penyembahan ini dan perintah untuk bertobat, untuk kembali kepada Allah dari kekafiran mereka, dan untuk beriman hanya kepada satu Tuhan.

Apa yang terjadi kepadanya dan kepada siapa dia diutus diceritakan dalam Alquran:

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS Yunus [10]: 98)

Juga dikatakan:

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’.” (QS al-Anbiya [21]: 87)

Para ulama terdahulu, umat Nabi kita, Muhammad, memiliki perbedaan pendapat tentang bagaimana Yunus telah menentang Allah, berpikir bahwa Allah tidak akan memiliki kuasa atasnya, dan mengenai waktu kejadiannya.

Beberapa (ulama itu) bersikukuh bahwa rujukan itu (ayat Alquran di atas yang menceritakan Yunus pergi dalam keadaan marah) adalah pada waktu sebelum dia menyeru kepada umat di mana dia diutus, dan sebelum dia menyampaikan kepada mereka pesan dari Allah.

Intinya adalah (menurut pendapat pertama) bahwa Sang Nabi (yaitu Yunus) diperintahkan untuk melaksanakan (dakwahnya) kepada umat di mana dia diutus pada saat azab ilahi telah dipersiapkan untuk mereka, untuk menyampaikan kepada mereka bagaimana Tuhan telah menunda hukuman 

kepada mereka agar mereka dapat bertobat dari praktik buruk mereka yang penuh kebencian kepada Tuhan.

Sang Nabi meminta untuk dibebaskan dari misi ini tetapi Allah tidak mengabulkan sebuah jeda (untuk berdakwah), maka Sang Nabi menjadi marah kepada Allah karena mendesak dia untuk melaksanakan perintah-Nya, dan karena menolak permintaan jeda.

Mereka yang memegang pandangan ini (yaitu pendapat pertama):

Menurut al-Harits dari al-Hasan al-Ashyab dari Abu Hilal Muhammad bin Sulaim dari Shahr bin Hawshab:

Yunus dikunjungi oleh malaikat Jibril yang berkata kepadanya, “Pergilah ke orang-orang Niniwe dan peringatkan mereka bahwa hukuman sudah dekat.”

Yunus kemudian berkata, “Aku akan mencari seekor hewan tunggangan.”

Jibril membalas, “Perintah ini terlalu mendesak.”

Sekarang Yunus berkata, “Aku akan mencari alas kaki.”

Jibril kembali membalas, “Perintah ini terlalu mendesak.”

Dengan marah Yunus melanjutkan ke perahu dan menaikinya, tetapi perahu itu terhenti, tidak bergerak maju atau pun mundur. Kemudian mereka menarik undian, dan undian jatuh ke Yunus. Ikan Paus (al-hut) datang dengan menggoyangkan ekornya.

Telah disampaikan secara ilahiah, “Paus, wahai Paus! Kami tidak akan menjadikan Yunus sebagai makananmu! Sebaliknya, Kami menjadikanmu sebagai tempat peristirahatan untuknya, tempat perlindungan.”

Paus itu menelan Yunus, dan melanjutkan perjalanan dari tempat itu ke Ubullah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Tigris, sampai memuntahkan Yunus di Niniwe.[3]

Demikianlah riwayat yang mendukung pendapat pertama, bahwa Nabi Yunus marah sebelum dia menyampaikan dakwah kepada umatnya. Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa Yunus marah setelah dia berdakwah kepada umatnya, akan diulas dalam artikel selanjutnya. (PH)

Pada artikel pertama, telah digambarkan bahwa Nabi Yunus as marah kepada Allah sebelum dia berdakwah kepada umatnya. Pada artikel kali ini kita akan membahas riwayat-riwayat yang mendukung pendapat bahwa Nabi Yunus marah justru setelah dia berdakwah kepada umatnya.

Jumhur ulama mendukung pendapat ini, bahwa Nabi Yunus pergi dalam keadaan marah setelah dia berdakwah kepada umatnya, meskipun ada perbedaan tafsir mengenai marahnya ini ditujukan kepada siapa.


Menurut al-Tabari, para sahabat yang mendukung pendapat ini adalah Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, sebagaimana riwayat dari mereka yang akan disampaikan kemudian. Sementara itu, ulama abad pertengahan yang mendukung pendapat ini adalah Ibnu Katsir. Pada masa kekinian, ulama yang mendukung pendapat ini di antaranya adalah Quraish Shihab.

Sebagai permulaan, kita akan memulai pemaparan dari Quraish Shihab. Menurut Quraish Shihab, Nabi Yunus bin Matta lahir di Gats Aifar, Palestina. Dia diutus Allah kepada penduduk Niniwe setelah kehancuran Bait al-Maqdis, sekitar abad ke-11 sebelum Hijrah, yakni sekitar awal abad ke-8 sebelum Masehi.

Dia dikuburkan di Jaljun, suatu desa yang terletak di antara Qudus di Palestina dan al-Khalil yang terletak di tepi barat Laut Mati.

Masyarakatnya menolak ajakannya, sehingga dia menuju ke Yafa, sebuah pelabuhan di Palestina, dan melaut menuju tempat yang disebut Tarsyisy, sebuah kota di sebelah barat Palestina atau kota lainnya. Lalu dia diturunkan di tengah laut sampai ditelan oleh ikan besar. Kisahnya disebut Alquran secara singkat dalam surat Nun.

Quraish Shihab menjelaskan, bahwa Nabi Yunus kesal terhadap umatnya karena enggan beriman, sehingga dia memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Nabi Yunus menyangka, bahwa pergi tanpa izin Allah tidak akan membuat dirinya kesulitan, karena menyangka bahwa Allah akan memperkenankan sikapnya yang demikian.


Namun dugaannya ternyata salah, karena dia kemudian ditelan oleh ikan besar, sehingga selama di dalam perutnya, dia hidup dalam kesempitan, bukan saja kesempitan ruang, tetapi lebih-lebih kesempitan dan kesesakan hati.

Selama di dalamnya Nabi Yunus menyangka bahwa Allah tidak akan menyelamatkan dirinya karena menurut kebiasaan pada umumnya, mustahil seseorang yang ditelan ikan dapat keluar dengan selamat.

Di dalamnya Nabi Yunus kemudian berdoa, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir,  “Dengan nama Allah yang bila didoakan dengannya dan bila dimohonkan kepada-Nya niscaya dikabulkan adalah doa Yunus bin Matta.”

Sa’id bin Abi Waqqash, perawi hadis ini, bertanya kepada Nabi saw,  “Apakah itu khusus buat Yunus, atau umum mencakup kaum Mukminin?”

Nabi menjawab,  “Ia secara khusus buat Yunus dan secara umum buat kaum mukminin, apabila mereka berdoa dengannya. Tidakkah engkau mendengar firman Allah: (lalu beliau membaca ayat 87-88 surat al-Anbiya)?”

Dan bersabda,  “Ini merupakan syarat dari Allah bagi yang berdoa dengannya.”

Pada ayat lain, Allah berfirman:

 “Maka kalau sekiranya dia (Nabi Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS as-Saffat [37]: 143-144)

Demikianlah rangkuman pemaparan dari Quraish Shihab dalam menjelaskan tafsir Alquran surat al-Anbiya ayat 87-88.[1]

Sekarang mari kita simak riwayat dari Ibnu Abbas:

Misi (dakwah) Yunus terjadi setelah ikan paus mengeluarkannya (mengacu kepada riwayat sebelumnya yang pernah kita sampaikan dalam artikel pertama). Yang lain mengatakan bahwa itu terjadi setelah dia menyeru kepada mereka di mana dia diutus untuk mengikuti instruksi ilahi, dan setelah dia menyampaikan kepada mereka pesan Tuhan.

Dia memperingatkan mereka bahwa hukuman ilahi akan dimulai pada waktu yang ditentukan (jika mereka tidak bertobat); tetapi dia (Yunus) pergi karena mereka tidak bertobat, mereka juga bahkan (sama sekali) tidak mempertimbangkan untuk menaati Allah dan beriman kepada-Nya.

Namun ketika hukuman ilahi membayangi orang-orang itu, ia menyelimuti mereka seperti yang dijelaskan dalam Alquran. Kemudian mereka bertobat, dan berpaling kepada Allah; dan Allah mencabut hukuman itu.

Yunus mendengar tentang pembebasan mereka, dan pencabutan hukuman yang telah dia peringatkan kepada mereka. Marah karenanya, dia berkata,  “Aku memperingatkan mereka tetapi peringataanku ditolak.”

Dia pergi, dengan marah kepada Allah, dan menolak untuk kembali kepada mereka, karena mereka telah mencela dia sebagai pendusta.[2]

Jika kita menyimak dua pemaparan di atas, meskipun keduanya memiliki kronologi yang sama, yaitu Nabi Yunus marah setelah dia berdakwah, namun ada perbedaan mengenai marahnya itu ditujukan kepada siapa.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa Nabi Yunus marah kepada umatnya, dan dia pergi meninggalkan mereka tanpa seizin Allah. Sementara Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Nabi Yunus marah baik kepada umatnya maupun kepada Allah juga. (PH)