Dalam kitab tersebut Ibnu Mujahid hanya memilih tujuh orang imam dari ratusan imam-imam qiro'at yang ada pada masa tersebut. Pemilihan ketujuh imam qiro’at ini didasarkan pada syarat-syarat tertentu yang dia tetapkan.
Dahulu Ibnu Mujahid dikritisi banyak ulama ketika hanya meringkas bacaan Al-Qur’an dari 7 ahli qiraah saja atau yang terkenal menjadi qiraah sab’ah [1]. Kendati Ibnu Mujahid hanya membatasi qira’at tujuh saja, tidak berarti ia meniggalkan qira’at yang lain[2].
Imam Ibnu Mujahid juga membaginya berdasarkan wilayah-wilayah yang terkenal dengan ilmu pengetahuan dan qiro’at pada masa itu. Wilayah-wilayah tersebut adalah; Madinah, Makkah, Damaskus, Syam, Basrah dan Kufah. Kota-kota ini lah yang menjadi tujuan pengiriman mushaf Utsmani pada masa khalifah ketiga, Khalifah Utsman bin Affan. Dari kota-kota ini juga tumbuh pusat-pusat ilmu qiro’at, fiqih, tafsir dan ilmu keislaman yang lainnya.
Setelah itu Imam Ibnu Mujahid memilih dua orang yang mengambil riwayat bacaan dari setiap imam yang tujuh tersebut. Lalu menjelaskan dasar dari qiro'at yang tujuh tersebut dan memaparkannya.
Buku As-Sab’ah fi Al-Qiro’at karangan Ibnu Mujahid ini, telah menjadi salah satu referensi utama bagi para penuntut ilmu yang ingin mendalami ilmu qiro'at. Dengan metodenya dalam penulisan buku ini, membuat ilmu qiro’at menjadi lebih mudah, sehingga memberikan banyak manfaat bagi orang-orang yang ingin mendalami ilmu qiro’at.
a. Nasab Ibnu Mujahid
Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Musa bin Al 'Abbas bin Mujahid At-Taimi Al-Baghdadi. Dilahirkan di sebuah daerah yang dinamakan Suq Al 'Athasy di kota Bagdad pada tahun 245 H. Beliau meninggal dunia pada hari Rabu pada tanggal 11 Sya'ban tahun 324 H[3].
b. Sanad Keilmuan Ibnu Mujahid
Ibnu Mujahid mengawali pendidikannya pada usia yang bisa dibilang sangat muda. Beliau mengawalinya dengan menghafal Al-Qur`an serta mendalami ilmu bahasa dan beberapa ilmu keagamaan. Selain itu, beliau juga sangat menguasai ilmu qira’at Al-Qur`an beserta tafsir, makna, dan i’rabnya baik dalam segi riwayat maupun thuruqnya. Dalam pendidikannya, beliau memiliki banyak guru. Akan tetapi, diantara sekian banyak gurunya, Abdur Rahman ibn Abdus merupakan salah satu guru yang paling diakui ketsiqahan dan kedhabitannya. Abdur Rahman ibn Abdus[4] merupakan salah satu murid dari Abu ‘Amr ad-Duri[5].
Seiring dengan meluasnya aktifitas Ibnu Mujahid dalam mendalami ilmu qiro’at dengan cara talaqqi kepada beberapa ulama ahli qiro’at, tercatat banyak sekali perbedaan bacaan antara satu guru dengan lainnya.
Maka dari itu Ibn Mujahid mulai menghafalkan seluruh ragam bacaan dari berbagai jalur yang ia terima pada masa itu. Misalnya dari salah satu gurunya yang bernama Abdur Rahman ibn Abdus, Ibnu Mujahid menerima sanad qiro’at menurut riwayat Nafi’ dan disetorkan dengan metode musyafahah (sorogan) lebih dari dua puluh kali khataman. Bukan hanya qirat Nafi’ saja yang berhasil beliau khatamkan, qiro’at menurut riwayat Hamzah, al-Kisai, dan Abu ‘Amr juga berhasil beliau hatamkan lebih dari satu kali.
Dikisahkan pula bahwasanya Ibn Mujahid mengambil sanad qiro’at riwayat Ibnu Katsir kepada Qunbul yang merupakan salah seorang imam qiro’at terkemuka di daerah Makkah. Aktifitas yang ia lakukan ini seakan menandakan betapa besar gairah serta minatnya terhadap ilmu qiro’at. Ia merelakan diri untuk berkelana dari kota Baghdad menuju Makkah, Madinah, Kuffah, Basrah serta Damaskus hanya untuk mengejar tujuannya yakni mendapatkan sanad qiro’at[6].
Dari usaha yang beliau lakukan guna untuk mendapatkan sanad qiro’at dari beberapa guru dengan cara talaqqi secara langsung, Ibn Mujahid telah berhasil meriwayatkan berbagai ragam qiro’at kurang lebih dari empat puluh orang guru[7].
Diantara sekian banyak guru Ibn Mujahid yang terkemuka antara lain:
- Abdu al-Rahman ibnu Abdus Abu al-Za’ra’ al-Baghdadi
- Idris ib Abdu al-Hakim al-Haddad Abu al-Hasan al-Baghdadi (w. 292 H)
- Ahmad ibn Zuhair Abu Bakar ibn Abi Khaitsumah al-Baghdadi (w. 272 H)
- Ahmad Ibn Yusuf Abu Abdullah al-Taghlibi al-Baghdadi
- Ismail ibnu Ishaq Abu Ishaq al-Qhadli al-Baghdadi (w. 282 H)
- Al-Hasan ibn Abi Mahran al-Jamaal al-Razi (w. 289 H)
- Al-Hasan ibn Ali Abu Ali al-‘Asynani al-Baghdadi (w. 278 H)
- Abdullah ibn Sulaiman Abi Daud al-Sajastani (w. 316 H)
- Muhammad Ibnu al-Jahm al-Simari al-Baghdadi (w. 208 H)
- Muhammad ibnu Abdu al-Rahman Khalid al-Makki (w. 290 H)
c. Murid-Murid Ibnu Mujahid
Beliau juga mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, diantaranya; Abu Tohir Abdul Wahid bin Umar bin Abi Hisyam, Al Hasan bin Said al Mathu’i, Abu Ahmad Abdullah bin al Husain as Samiri.
Pada tahun 286 H, Ibn Mujahid diangkat sebagai imam qiro’at di Baghdad. Beliau juga memiliki kedudukan yang tinggi di pemerintahan. Akan tetapi dengan kedudukannya itu, beliau tidak merasa terlena sedikitpun. Beliau tergolong zahid yang tidak memperdulikan kemewahan duniawi. Semua itu beliau lakukan semata-mata hanya untuk mengharapkan ridha Allah SWT[8].
Popularitas Ibn Mujahid menyebar di berbagai penjuru daerah kekuasaan Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan membeludaknya majelis pengajian yang diselenggarakannya. Bahkan terdapat sekurang-kurangnya 84 asisten yang membantu beliau dalam proses pengajaran ataupun penyampaian pada khalayak yang berasal dari berbagai daerah dengan beragam perbedaan lahjah dan bahasa[9].
Diantara karya Ibn Mujahid yang paling fenomenal dan menjadi pedoman bagi pegiat ilmu qiro’at adalah Kitab al-Sab’ah fi al-Qiro’at. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa itu serta mulai menurunnya minat masyarakat pada pendalaman qiro’at. Oleh karena itu, Ibnu Mujahid berupaya untuk meningkatkan kembali minat terhadap qiro’at di kalangan umat Islam dengan mendeklarasikan qiro’at sab’ah.
Melalui Kitab as-Sab’ah ini, Ibnu Mujahid membatasi ragam bacaan hanya dengan merujuk pada tujuh macam qiro’at yang masyhur saja pada masa itu[10]. Namun demikian, bukan berarti beliau mengesampingkan qiro’at yang lain karena qiro’at lainnya dipandang kurang populer serta minat masyarakat yang mulai menurun.
Meski upaya pembatasan qira’at sudah seringkali dilakukan sejak zaman khalifah ‘Utsman bin ‘Affan, Pembatasan pada masa Ibnu Mujahid ini sangatlah berbeda, yakni dengan disertai ancaman hukuman bagi mereka yang menggunakan qira’at lain selain yang tujuh. Kebijakan ini didukung oleh fuqaha’ dengan fatwa sebagai berikut: “orang yang masih membaca dengan qira’at syadzdzah harus bertaubat dan berhadapan dengan pemerintah, serta akan ditindak tegas”. Akibat kebijakan ini, Ibnu Syanabudz, salah seorang tokoh qira’at dihakimi pemerintah karena membaca Al-Qur`an dengan qira’at syadzdzah di depan mimbar[11].
Di antara sebab yang mendorong Ibnu Mujahid menulis sebuah buku tentang qiro'at adalah keinginannya yang besar untuk menjaga bacaan-bacaan tersebut dan mempermudah untuk mendapatkannya dan mempelajarinya. Di mana orang-orang yang ingin menuntut ilmu qiro'at pada umumnya merasakan kesusahan dengan banyaknya cabang-cabang qiro'at dan jalan-jalan periwayatannya, belum lagi dengan illat (alasan) yang ada pada setiap bacaan. Ibnu Mujahid telah mengisyaratkan hal ini ketika dia ditanya, "Mengapa anda tidak menulis (tentang qiro'at) satu huruf saja (yaitu bacaan dari satu imam qiro'at)?" Kemudian dijawab oleh Ibnu Mujahid, "Menjaga seluruh bacaan yang dipakai oleh Imam-imam terdahulu lebih dibutuhkan dari pada memilih salah satu di antara mereka"[12].
Pasca kemunculan Kitab al-Sab’ah karya Ibn Mujahid ini, minat masyarakat dalam mempelajari serta mendalami ilmu qira’at semakin meningkat. Hal tersebut dapat dibuktikan dari banyaknya respon para ulama baik pada masa itu maupun masa sesudahnya dengan keikutsertaan mereka dalam melestarikan ilmu qira’at melalui beberapa karya. Adapun karya-karya para ulama’ qira’at sebagai berikut:
- Al-Ghayah fi al-Qira’at al-‘Asyrah karya Abu Bakar Ahmad ibn Husein ibn Mahran (w. 381 H)
- Al-Taisir karya ulama Andalus bernama Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H). kitab tersebut menjadi acuan Imam as-Syathibi (w. 590 H) dalam mengarang kitabnya yang berudul al-Hirzul al-Amani wa Wajhu al-Tahani atau yang pupoler dikenal dengan Nazam Syathibiyyah,
- Al-Iqna’ karya Abu Ja’far ibnu Badzisy (w. 540 H). kitab tersebut berisi kaidah bacaan imam qira’at
- An-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazary (w. 833 H). kitab ini menjadi penguat dari kitab al-Ghayah untuk mempopulerkan dan menempatkan qira’at asyrah dalam jajaran qiro’at yang shahih.
Pada dasarnya, Ibnu Mujahid bukanlah orang yang pertama kali mengumpulkan sejumlah qiro'at para Imam qiro'at dalam satu buku. Telah ada ulama lain yang terlebih dahulu melakukan apa yang dia kerjakan, di antara para ulama itu adalah:
- Abu Ubaid Al Qasim bin Salam (224H). Dia telah mengumpulkan lima belas jenis bacaan para Imam dalam kitab karangannya yang berjudul Qararat[13].
- Ismail bin Ishaq Al Qadhi, Abu Ishaq Al Azadi Al Baghdadi (282H), beliau juga guru Ibnu Mujahid. Beliau telah mengarang sebuah kitab yang di dalamnya mencantumkan dua puluh bacaan Imam Ahli qiro'at. Wallahua'lam.
[1] Ibnu al-Jazari Syamsuddin Muhammad bin Muhammad (w. 833 H), an-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr (Baerut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), juz 1, hal. 36
[2] Romlah Widayati, dkk., Ilmu Qiro’at 1 (Jakarta: IIQ Jakarta Press, 2018), cet. Ke-3, hal. 33
[3] Syamsuddin Abi al-Khair Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Jazary al-Dimasyqi al-Syafii, Ghayatun Nihayah fi Thabaqaatil Qurra’, (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), h. 128
[4] Abdurrahman ibn Abdus Abu al-Za’ra’ al-Baghdadi merupakan seorang yang terkenal akan ketsiqahan dan kedhabitannya. Beliau merupakan murid dari Abu Amr ad-Duri. Diantara banyak murid ad-Duri, Abdurrahman ibn Abdus merupakan murid yang paling cemerlang diantara murid-murid yang lain. Dalam belajar qira’at, Ibn Mujahid mengambil riwayat Nafi’secara tuntas sekitar dua puluh kali khatam. Dalam hal qira’at, Ibn Mujahid juga belajar qira’at riwayat al-Kisai, Abu Amr dan Hamzah. Lihat: Ghayatun Nihayah fi Thabaqaatil Qurra’, h. 337-338
[5] Nama lengakapnya adalah Hafs ibn Umar ibn Abdul Aziz ibn Shibhan ibn ‘Adiy ibn Shibhan, ia tercatat sebagai salah seorang imam dan guru dari ahli qiraat pada zamannya. Ia juga dikenal sebagai seorang yang pertama kali mengumpulkan riwayat qiraat. Disebutkan juga bahwa seluruh ragam bacaan qiraat telah tuntas ia rekam, baik qiraat yang shahih sampai dengan qiraat Syadzdzah. Ia wafat pada bulan Syawal tahun 246 H. Lihat: Ghayatun Nihayah fi Thabaqaatil Qurra’, h. 230-232
[6] Syauqi Dlaif dalam pengantar tahqiq terhadap Kitab as-Sab’ah karya Ibn Mujahid menjelaskan secara rinci proses perjalanan spiritual Ibn Mujahid dalam mencari sanad keilmuan qiraat. Mulai dari tanah kelahirannya di Baghdad sampai dengan berbagai kota lain yang menjadi sentral keilmuan islam pada masa itu. Lihat: Ibn Mujahid, Kitab al-Sab’ah fi al-Qiraat. hal. 14
[7] Muhammad Mukhtar, Tarikh al-Qira’at fi al-Masyriq wa al-Maghrib, (Rabat: Isesco Iznan, 2001), h. 121
[8] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012) hal. 84
[9] Ibn Mujahid, Kitab al-Sab’ah fi al-Qiraat. (Kairo: Daar al-Ma’arif, 2009), hal. 15
[10] Muhammad bin Muhammad Abu al-Qasim an-Nuwairi (w. 857 H), Syarh Thaibat an-Nashr fi al-Qiraat al-‘Asyr (Baerut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1424 H), juz 1, hal. 160
[11] Romlah Widayati dkk. Ilmu Qiro’at 1 Memahami Bacaan Imam Qiro’at Tujuh. (Ciputat: IIQ Press, 2015), Cet. Ke-II, h. 33-34
[12] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyar A'lamu an-Nubala', (Baerut: Muasisah ar-Risalah, 1982 M), hal. 256.
[13] Ibnu al Jazary ad Dimasyqi, Ghayatu an-Nihayah fi Tabaqati al Qura', jilid 1, hal. 162.
0 Post a Comment: